You are on page 1of 9

LABA USAHA Suatu negara berhak memajaki laba usaha sebuah perusahaan yang berdomisili di negara lainnya apabila

perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha di negara yang disebut pertama melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT). Dengan kata lain, jika kegiatan usaha sebuah perusahaan dari satu negara dilakukan tidak melalui suatu BUT atau kegiatan tersebut tidak menimbulkan adanya BUT di negara lain, maka negara lain tersebut sama sekali tidak berhak memajaki laba usaha perusahaan dimaksud. Hal ini terdapat dalam pasal 7 pada hampir seluruh Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau dikenal dengan Tax Treaty yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan negara-negara mitra perjanjian. Mengenai bagaimana BUT dianggap timbul termasuk beberapa pengecualiannya, hal itu umumnya diatur dalam pasal 5 sebuah P3B. Ketika suatu negara berdasarkan P3B berhak mengenakan Pajak atas suatu Laba Usaha perusahaan luar negeri, teknis pemajakannya menggunakan ketentuan perpajakan domestik negara tersebut. Dalam rangka penerapan suatu P3B, otoritas perpajakan Indonesia memberi persyaratan administratif yaitu berupa Surat Keterangan Domisili (SKD) atau yang dalam terminologi perpajakan internasional disebut dengan Certificate of Domicile (COD) atau Certificate of Residence (COR). Hal ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER61/PJ/2009. SKD diterbitkan oleh pihak otoritas perpajakan negara mitra P3B yang pada dasarnya menerangkan bahwa seseorang atau sebuah badan adalah merupakan penduduk negara tersebut untuk tujuan perpajakan serta terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) di negara dimaksud. Dalam praktiknya, meskipun individu atau suatu badan berasal dari sebuah negara mitra perjanjian, P3B terkait tidak dapat diterapkan atas transaksi yang dilakukan sepanjang yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan SKD. Dalam hal ini ketentuan perpajakan Indonesia akan sepenuhnya diberlakukan. Ketentuan domestik juga berlaku penuh apabila perusahaan luar negeri berasal dari suatu negara di mana Indonesia tidak mendatangani P3B dengan negara tersebut.

KegiatanPemberianJasaYangMenimbulkanBUTdanAspekPemajakannya Kecuali dengan negara Jepang, P3B Indonesia dengan negara mitra perjanjian lainnya mencantumkan pemberian jasa (furnishing of services) dalam definisi permanent establishment atau BUT. Yang dimaksud dengan pemberian jasa di sini adalah di luar pemberian jasa dalam rangka proyek konstruksi, perakitan dan instalasi yang diatur dalam klausul tersendiri. Dalam P3B Indonesia dengan negara lain dinyatakan bahwa BUT dapat timbul dalam hal pelaksanaan suatu pemberian jasa melampaui jangka waktu tertentu. Jadi dalam penentuan BUT atas kegiatan pemberian jasa, terdapat semacam time test. Misalnya P3B Indonesia dengan Singapura mengatur bahwa jangka waktu pemberian jasa lebih dari 90 hari dalam periode 12 bulan baru akan menimbulkan adanya BUT.

Ketentuan perpajakan domestik Indonesia yakni pasal 2 ayat (5) huruf m Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) juga mengatur bahwa pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dapat menimbulkan BUT. Apabila pemberi jasa berasal dari negara yang bukan mitra P3B atau berasal dari negara mitra P3B namun tidak dapat menunjukkan SKD, maka ambang batas 60 hari sebagaimana menurut pasal 2 ayat (5) huruf m UU PPh tersebut akan diberlakukan sepenuhnya dalam menentukan apakah kegiatan pemberian jasa akan menimbulkan BUT. Pentingnya penentuan timbul tidaknya BUT dari suatu kegiatan pemberian jasa adalah dalam rangka perlakuan pemajakannya. Pasal 2 ayat (1a) UU PPh mengatur bahwa BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Selanjutnya, penjelasan pasal 2 ayat (2) UU PPh menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan BUT dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan WPDN sebagaimana diatur dalam UU PPh dan UU yang mengatur mengenai ketentuan umum yaitu UU KUP. Dengan demikian, berdasarkan self assessment yang dianut Indonesia, BUT wajib mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk mendapatkan NPWP dan memenuhi kewajiban sebagaimana layaknya WPDN, termasuk kewajiban dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan. Ketentuan pemotongan seperti PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat (2) juga berlaku terhadap BUT yang memperoleh penghasilan dari kegiatan pemberian jasa yang merupakan objek pemotongan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan terkait.

PemotonganPPhAtasBUTYangTidakMemiliki NPWP Dalam praktik, tidak jarang timbul permasalahan ketika WPDN melakukan transaksi dengan pihak perusahaan luar negeri yang tidak atau belum memiliki NPWP meskipun dari kegiatan pemberian jasa yang dilakukannya telah menimbulkan adanya BUT di Indonesia, baik karena telah melampaui time test dalam P3B atau melebihi jangka waktu 60 hari berdasarkan UU PPh dalam hal tidak terdapat P3B dengan negara asal pihak pemberi jasa atau karena tidak dapat menunjukkan SKD. Terdapat kebimbangan dalam menentukan apakah atas imbalan jasa yang dibayarkan akan dipotong PPh pasal 23 atau PPh pasal 26 UU PPh. Masalah ini tidak hanya terjadi di kalangan Wajib Pajak tetapi juga muncul ketika petugas pajak melakukan penelitian berkas maupun pada waktu melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pihak yang condong untuk memotong PPh pasal 26 umumnya beralasan karena BUT tersebut belum atau tidak memiliki NPWP sehingga tidak dapat dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Alasan ini kurang dapat diterima, karena tidak ada dasar hukumnya. Persyaratan memiliki NPWP tidak termasuk penentu timbul tidaknya suatu BUT.

Lagi pula, tidak ada ketentuan yang mengakibatkan status Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) BUT berubah menjadi WPLN Non BUT hanya karena tidak memiliki NPWP. Seandainya alasan demikian dapat diterima, perusahaan luar negeri akan dengan mudah menghindari BUT dengan cara sengaja tidak mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk mendapatkan NPWP. Selain itu, tidak terdapat ketentuan yang mengatakan bahwa pemotongan PPh pasal 23 tidak dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiki NPWP. Pasal 23 ayat (1a) UU PPh menegaskan bahwa apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% dari tarif yang seharusnya. Wajib Pajak yang dimaksudkan disini menurut Pasal 23 UU PPh adalah sangat jelas yaitu WPDN atau BUT. Jadi, masalah BUT memiliki atau tidak memiliki NPWP dalam rangka pemotongan PPh Pasal 23 adalah hanya berakibat pada perbedaan besarnya tarif pemotongan yang akan dikenakan, tidak lantas mengakibatkan penerapan pemotongan PPh pasal 26.

Tidak kalah pentingnya untuk dipahami secara mendasar adalah bahwa pemotongan PPh Pasal 26 hanya berlaku bagi WPLN selain BUT. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan pasal 26 UU PPh. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini, pemotongan PPh pasal 26 atas BUT adalah tidak tepat. PPh pasal 26 dengan tarif 20% dikenakan terhadap perusahaan luar negeri yang berasal dari negara mitra P3B tetapi tidak dapat menunjukkan SKD atau berasal dari negara non mitra P3B di mana kegiatan pemberian jasa di Indonesia tidak melebihi jangka waktu 60 hari sebagaimana di atur dalam pasal 2 ayat (5) huruf m UU PPh. Dalam hal ini status perusahaan asing tersebut adalah WPLN Non BUT. Apabila perusahaan yang disebut pertama dapat menunjukkan SKD, maka dalam hal kegiatan pemberi jasa tidak melebihi jangka waktu yang terdapat dalam P3B, maka perusahaan asing tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh sama sekali karena tidak menimbulkan adanya BUT di Indonesia. Penutup Munculnya permasalahan pemotongan PPh atas pembayaran imbalan jasa kepada BUT yang tidak memiliki NPWP tampaknya didasari pemikiran bahwa perusahaan luar negeri baru dapat dipotong PPh pasal 23 apabila BUT tersebut telah memiliki NPWP. Pemahaman ini masih kental di sebagian kalangan Wajib Pajak maupun Fiskus meskipun tidak ada dasar hukumnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ketentuan perpajakan yang menyangkut BUT dalam UU PPh tidak sinkron dengan persyaratan administratif. Perlu dipahami bahwa sistim dan prosedur perpajakan Indonesia yang self-assessment mewajibkan Wajib Pajak sendiri termasuk BUT untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk memperoleh NPWP. Tidak ada mekanisme yang mewajibkan pihak pemotong untuk memaksa BUT mendaftarkan diri. Ketentuan di KUP hanya mengatur bahwa kepada Wajib Pajak akan diterbitkan NPWP secara jabatan apabila kewajiban mendaftarkan diri tidak dilaksanakan. Urusan pendaftaran Wajib Pajak dalam hal ini BUT untuk memperoleh NPWP maupun penerbitan NPWP secara

jabatan ini tentu berada dalam ruang lingkup tanggung jawab pihak Direktorat Jenderal Pajak, bukan di pihak Pemotong. Pihak otoritas perpajakan Indonesia perlu memikirkan cara paling efektif untuk menjaring semua WPLN yang melakukan kegiatan pemberian jasa di Indonesia yang berdasarkan P3B atau ketentuan UU PPh menimbulkan BUT di Indonesia agar mereka mendaftarkan diri ke kantor pajak atau diberikan NPWP secara jabatan. Sementara itu, perlu diterbitkan semacam penegasan tentang pemotongan PPh atas BUT yang tidak memiliki NPWP untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi dalam praktik. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 NEGARA Algeria Australia Austria Belgium Brunei Darussalam Bulgaria Canada Czech China Denmark Egypt Finland France Germany Hungary India Italy Japan Jordan Korea, Republic of Korea, Democratic Peoples Republic of Kuwait Luxembourg Malaysia Mauritius Mongolia Netherlands - Renegosiasi, - dan Renegosiasi ke 2 New Zealand Norway Pakistan Philippines KEGIATAN DARI BUT Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya PENJUALAN BARANG YANG SAMA Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya KEGIATAN LAIN YANG SAMA Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya

32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56

Poland Romania Russia Saudi Arabia Seychelles Singapore Slovak South Africa Spain Sri Lanka Sudan Sweden Switzerland Syria Taipei Thailand Tunisia Turkey U.A.E. Ukraine United Kingdom United States Uzbekistan Venezuela Vietnam

Ya Ya Ya Tidak Ada Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Ya Ya Ya Tidak Ada Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya

Ya Ya Ya Tidak Ada Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya

khusus Saudi Arabia, P3B hanya mencakup Lalu lintas Internasional I Kolom "Kegiatan dari BUT" Menjelaskan apakah atas laba usaha suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan. Jawabannya "Ya" apabila laba tersebut berasal dari BUT suatu negara (contoh: Venezuela) yang berada di Indonesia. Ketentuan ini terdapat dalam P3B Pasal 7 (contoh: Pasal 7 ayat 1 P3B RI-Venezuela). PENJELASAN LABA USAHA 98,11% atau 55 P3B menyatakan bahwa komponen laba usaha adalah kegiatan dari BUT 1,89% atau 1 P3B (Rl-Saudi Arabia) tidak mengatur perlakuan perpajakan atas laba usaha.
*

II Kolom "Penjualan Barang yang Sama" Menjelaskan apakah atas laba usaha suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan. Jawabannya "Ya" apabila laba tersebut berasal dari BUT suatu negara (contoh: Venezuela) yang berada di Indonesia. Ketentuan ini terdapat dalam P3B Pasal 7 (contoh: Pasal 7 ayat 1 P3B RI-Venezuela). Menjelaskan apakah dalam P3B antara Indonesia dengan suatu negara terdapat ketentuan yang menimbulkan pengenaan pajak atas laba usaha yang diperoleh dari penjualan barang yang sama dengan yang dijual melalui BUT perusahaan tersebut di negara lainnya. Bila pada kolom tertulis "Ya", maka ketentuan tersebut memang diatur dalam P3B (contoh: P3B RI-Kuwait Pasal 7 ayat 1). Penjualan barang atau barang dagangan secara langsung oleh perusahaan induk di Kuwait, yang sifatnya sama dengan yang dijual oleh BUT-nya di Indonesia, dapat dikenakan pajak di Indonesia. Menjelaskan apakah dalam P3B antara Indonesia dengan suatu negara terdapat ketentuan yang menimbulkan pengenaan pajak atas laba usaha yang diperoleh dari penjualan barang yang sama dengan yang dijual melalui BUT perusahaan tersebut di negara lainnya. Bila pada kolom tertulis "Ya", maka ketentuan tersebut memang diatur dalam P3B (contoh: P3B RI-Kuwait Pasal 7 ayat 1). Penjualan barang atau barang dagangan secara langsung oleh perusahaan induk di Kuwait, yang sifatnya sama dengan yang dijual oleh BUT-nya di Indonesia, dapat dikenakan pajak di Indonesia.

Jika pada kolom tertulis "Tidak", (contoh: P3B Rl-Jepang Pasal 7 ayat 1) berarti tidak terdapat ketentuan pengenaan pajak di negara lainnya atas laba usaha yang berasal dari penjualan barang atau barang dagangan yang sama atau sejenis dengan yang dijual oleh BUT-nya di negara lainnya tersebut oleh perusahaan induknya. III Kolom "Kegiatan Lain yang Sama" 81,13% atau 44 P3B menyatakan bahwa komponen laba usaha lainnya adalah dari penjualan barang yang sama. 16,98% atau 11 P3B tidak menyatakan hal ini sebagai komponen laba usahanya. 1,89% atau 1 P3B (Rl-Saudi Arabia) tidak mengatur perlakuan perpajakan atas laba usaha. 16,98% atau 11 P3B tidak menyatakan hal ini sebagai komponen laba usahanya. 1,89% atau 1 P3B (Rl-Saudi Arabia) tidak mengatur perlakuan perpajakan atas laba usaha. Pajak atas laba usaha dapat dikenakan di negara lainnya apabila laba tersebut berasal dari kegiatan usaha lainnya oleh perusahaan induk yang dilakukan di negara lainnya yang sifatnya sama atau serupa dengan yang dijalankan BUT-nya di negara lain tersebut. Jika dalam kolom tertulis "Ya", maka hal tersebut berarti terdapat ketentuan yang mengatur hal diatas dalam P3B (contoh: RI-Mesir) Pasal 7 ayat 1. Apabila tertulis "Tidak" (contoh: P3B Rl-Singapura) maka ketentuan yang mengatur hal diatas tidak terdapat dalam Pasal 7 ayat 1 P3B tersebut. 20,75% atau 13 P3B tidak mengatur hal ini. 77,36% atau 42 P3B mengatur bahwa laba usaha dapat berasal dari kegiatan lain yang sama. 1,89% atau 1 P3B (Rl-Saudi Arabia) tidak mengatur perlakuan perpajakan atas laba usaha

Penentuan laba usaha bentuk usaha tetap (1) Perusahaan multinasional gencar mempergunakan peluang usaha dengan

melakukan kegiatan usaha di negara lain, dengan mendirikan anak perusahaan maupun membuka cabang. Bagi negara tempat investasi, hal ini merupakan peluang menambah penerimaan negara dari pajak. Pendekatan yang ditempuh adalah dari segi yuridis fiskal, dengan memberi definisi "bentuk usaha tetap" (BUT) dalam undang-undang perpajakan dan memberi batasan atas laba usaha dari BUT yang akan dipungut pajak. Begitu juga di Indonesia, yang sejak reformasi perpajakan 1983 menjadi topik menarik. Sejalan dengan hal itu, OECD sejak awal 1960-an telah mengembangkan model persetujuan penghindaran pajak berganda, yang senantiasa diubah sesuai perkembangan. Masalah yang menjadi topik pembahasan adalah penentuan laba usaha dari BUT, sebagaimana diatur pasal 7 OECD Model, yang menurut literatur perpajakan internasional disebut "attribution principle". Pengertian "laba usaha" harus diberi arti yang luas, karena laba usaha dari BUT tersebut juga meliputi keuntungan dari pengalihan harta dan penghasilan penggunaan harta. Pembahasan topik difokuskan kepada penghasilan yang diperoleh BUT dari luar negara, dimana BUT berada. Sejalan dengan pengertian laba usaha yang dimaksud harus diberi arti luas, pembahasan juga akan menyinggung masalah penggunaan aktiva yang boleh disusutkan suatu BUT, dalam kaitannya dengan dasar penyusutan. Dasar pembahasannya adalah OECD Model dan Undang-undang Pajak Penghasilan. Seperti diketahui pada 2001, OECD telah membentuk kelompok kerja untuk membahas masalah ini. Tulisan ini mempergunakan laporan OECD sebagai bahan pembahasan. Penentuan laba usaha dari BUT dalam OECD Model diatur di Article 7, yang rumusannya seperti berikut: "Article 7 Business Profits 1. The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the

enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable to that permanent establishment. 2. Subject to provisions of paragraph 3, where an enterprise of a Contracting State carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein, there shall in each Contracting State be attributed to that permanent establishment the profits which it might be expected to make if it were a distinct and separate enterprise engaged in the same or similar activities under the same or similar conditions and dealing wholly independently with the enterprise of which it is a permanent. 3. In determining the profits of a permanent establishment, there shall be allowed as deductions expenses which are incurred for the purposes of the permanent establishment, including executive and general administrative expenses so incurred, whether in the State in which the permanent establishment is situated or elsewhere." Rumusan tersebut mengandung beberapa masalah pokok, yaitu istilah profits of an enterprise (laba usaha dari suatu perusahaan), permanent establishment (BUT), dan attributable. Definisi dari BUT diatur pada Article 5 dari OECD Model, yang rumusannya sebagai berikut: "Article 5 - Permanent Establishment 1. For the purposes of this Convention, the term "permanent establishment" means a fixed place of business through which the business of enterprise is wholly or partly carried on." Definisi tersebut memberi indikasi, walaupun tidak terlalu jelas, bahwa laba usaha dari suatu BUT di suatu negara adalah yang diperoleh dari kegiatannya di negara tersebut. Masalah pokok berkaitan dengan penentuan laba usaha dari BUT terletak dalam pengertian attributable yang berkaitan erat dengan profits of an enterprise. Sayangnya, OECD Commentary tidak memberikan penjelasan lebih lanjut atas apa yang dimaksud dengan "profits of an enterprise" itu. Rumusan itu hanya mengatur laba usaha tidak dapat dikenai pajak di negara sumber kecuali kegiatannya dilakukan melalui suatu BUT. Kata "attributable" dalam OECD Model mencegah prinsip "force of attraction" sebagaimana diatur

dalam United Nations Model (UN Model). Jadi profit merupakan kata kunci untuk membatasi hak pemajakan negara di mana BUT berada. Masalahnya, bagaimanakah kata profit diberi interpretasi. OECD pada 2001 memberikan dua pendekatan untuk menginterpretasikannya. Pendekatan pertama adalah "relevant business activity". Laba usaha yang "attributable" kepada BUT adalah laba usaha dari kegiatan di mana BUT tersebut berpartisipasi. Ini membatasi laba usaha BUT sesuai Article 7(1) dan (2) yaitu laba usaha BUT tidak akan melebihi laba usaha perusahaan tersebut secara keseluruhan. Ini juga berarti pendekatan masalah berdasarkan "relevant business activity", laba usaha dari perusahaan tidak dapat dianggap laba usaha dari BUT kecuali yang berasal dari yurisdiksi negara di mana BUT berada. Beberapa negara menerapkan pembatasan laba usaha suatu BUT dengan merujuk laba bersih dari semua cabang perusahaan atau sebagai alternatif lain dengan menggunakan "laba bruto". Tetapi, pendekatan ini tidak secara tegas menyebutkan laba usaha BUT hanya terbatas kepada penghasilan dari kegiatan dalam teritori di mana BUT berada. Pendekatan kedua adalah "functionally separate entity". Pada dasarnya pendekatan ini tidak membatasi laba usaha BUT dengan melihat secara keseluruhan atau kepada transaksi atau kegiatan usaha tertentu di mana BUT berpartisipasi. Pendekatan ini mencegah diterapkannya "force of attraction", karena hak pemajakan dari negara sumber hanya dibatasi kepada laba usaha sebagai hasil kegiatan BUT itu. Jadi jika ada kegiatan yang dilakukan kantor pusatnya yang tidak menimbulkan dampak pada BUT tidak dianggap sebagai laba usaha BUT tersebut.

You might also like