You are on page 1of 17

PILKADES; MENGEJAR SAPEKEN

(Setitik Harapan Dari Seberang) Oleh : Muarif (Mahasiswa IAIN dan HIMAS Surabaya)

Tahun ini, dalam beberapa waktu dekat, pemilihan kepala desa (PilKaDes) di Sapeken akan digelar. Pilkades secara langsung dengan partisipasi penuh seluruh elemen masyarakat sapeken. Menurut salah satu sumber, pilkades yang berlangsung di sapeken diikuti oleh enam pulau yang ada di sekitarnya seperti Pulau saibus, Saur, dll akan meyuarakan aspirasinya dalam pilkades di sapeken. Pemilihan langsung digelar guna meminimalkan ekses sekaligus mendapatkan kepala desa yang benar-benar pilihan masyarakat. Namun kualitas atau tidaknya kepala desa yang terpilih tidak lepas dari situasi masyarakat (baca: massa), dimana mereka punya andil cukup besar. Potensi konflik yang mungkin muncul mengingat pelaksanaan pilkades di sapeken jarak waktunya berdekatan dengan pilgub jatim 2008 dan pemilu 2009 mendatang, bisa jadi massa pendukung mengalami perbedaan dan perpecahan suara di dalamnya. Perbedaan ini dapat menyebabkan benturan massa pendukung atau partai. untuk itu, kesadaran dan kecerdasan politik masyarakat yang tinggi, serta kearifan politik parpol untuk sanggup menerima menang dan kalah menjadi factor penting kesuksesan pilkades di sapeken itu. Detik-detik menjelang pilkades suhu pilkades, dll, suhu politik semakin menghangat. yang kasat mata, ruang public biasanya dipenuhi dengan parade aneka baliho, poster, jargon, iming-iming, dan nilai jual program. Yang tidak kasat mata adalah gerilya, maneuver, dan deal-deal politik dalam mencari dukungan dan simpatisan yang tidak mungkin diungkap secara telanjang ke public. Politik uang atau money polityc adalah penyakit kronis yang masih menggerogoti sebagian parpol di Indonesia. Bukan rahasia lagi jika tiket memasuki pilkades, dll, melalui partai politik ataupun tidak sangat mahal. Kelak, masyarakat sapeken juga menghendaki figure kepala desa yang lebih punya loyalitas dan komitmen pada kepentingan masyarakat.

Kecenderungan Pemilih Dalam Pilkades Sapeken 2008 Perlu diingat, bahwa mayoritas pemilih dalam pilkades sapeken adalah pemilih tradisional. Adalah fakta, mayoritas masyarakat adalah menengah ke bawah. Bagi tipe pemilih ini, dimensi popularitas dan dikenal tidaknya sang kandidat oleh pemilih sudah cukup menjadi pertimbangan bahwa sang calon layak untuk dipilih. Dari sisi popularitas, untuk pilkades sapeken-menurut salah satu sumber, semua calon yang muncul saat ini cukup pupuler dan dikenal masyarakat. Hal ini tak lepas dari posisi mereka yang masih merupakan ada yang berlatar belakang daI, pengusaha, dan bisnismen. Ditambah promosi mereka kepada public lewat kampanye dll. Tentunya, kepopuleran ini adalah salah satu modal yang cukup penting. Lain pemilih tradisional, lain pula pemilih rasional. Jumlah pemilih ini (rasional) lebih sedikit disbanding tipe pertama (tradisional). Tipe pemilih ini umumnya didominasi oleh masyarakat terpelajar atau masyarakat perkotaan. bagi kaum ini, figure calon tidak harus populer. Pemilih rasional akan lebih menimbang kualitas dari pada popularitas. Punya integritas dan kompetensi serta peduli dengan rakyat kecil menjadi factor penarik minat untuk dipilih (figure calon yang popular belum tentu dekat dan peduli dengan rakyat). Integritas dan kompetensi pemimpin inilah yang sebenarnya lebih dibutuhkan masyarakat kepulauan sapeken. Integritas dan kompetensi akan menentukan sejauh mana program-program kerja dan strategis peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sapeken dirancang dan diimplementasikan. Dua hal inilah yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi sapeken ke depan. Kompetensi mungkin bisa dibangun melalui kecerdasan dan pengalaman, tapi bagaimana dengan integritas dan kepeduliannya kepada rakyat kecil yang setiap harinya dihimpit beragam problem ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup? Masih tentang tipe pemilih, rasanya tak lengkap jika tidak menyebutkan tipe pemilih yang ketiga. Sebetulnya kurang sreg kalau dikatakan tipe pemilih, karena sebenarnya berjumlah sedikit dan kesenangannya adalah mengail di air keruh. Dalam setiap momen pemilihan; pilkades, pilkada, pelpres, dll, tipe ini akan selalu ada. Tipe ini adalah tipe pragmatis. Tipe pemilih inilah yang tidak punya pendirian dan sering

menipu hati nuraninya sendiri. Dia akan memilih calon yang lebih memberinya keuntungan material atau financial meskipun tidak sesuai dengan hati nuraninya. Tipe ini bisa muncul dari kalangan terpelajar atau tidak, dari masyarakat kota ataupun yang tinggal di pelosok desa. Dari tiga tipe pemilih di atas, anda bisa memilih sendiri masuk pada kelompok yang mana. Menanti Arah Perubahan Sapeken Dalam setiap momen pergantian kepemimpinan, secara otomatis akan selalu muncul harapan suatu perubahan. Harapan perubahan ini selalu mengarah pada hal yang lebih baik. Menurut Jhon P Kotter dalam bukunya the Heart of change, orang terdorong untuk berubah karena ia melihat urgensi untuk berubah, merasakan kepentingan untuk berubah, dan selanjutnya melakukan perubahan. Urgensi untuk berubah bisa terlihat dalam wujud kegagalan, kesalahan, kekalahan, dan kerugian, baik yang sudah terjadi maupun yang masih berupa potensi dan kemungkinan untuk terjadi. urgensi bisa juga berwujud kesuksesan, kemenangan, dan keuntungan yang mungkin diraih dengan merangkul perubahan. Pilkades tak akan ada artinya jika tidak mampu membawa perubahan bagi masyarakat sapeken. Kepala desa dapeken akan datang harus mampu memberikan solusi pada beragam masalah kemiskinan hingga kesehatan. Ketika para kandidat bersedia dan sanggup mencalonkan diri, pada saat itulah ia telah menandatangani kontrak politik terhadap rakyat. Di dalamnya berisi kesediaan untuk menjalankan amanah masyarakat sapeken. Pilkades sapeken adalah bagian dari proses demokrasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Diskursus dan diskusi (formal ataupun non formal) yang marak menjelang pilkades adalah wahana efektif bagi masyarakat sapeken untuk melek politik. Namun saya secara pribadi sangat menyayangkan Debat Kandidat yang diselenggarakan oleh himas tidak mendapat respon yang baik dari masyarakat, padahal itu salah satu bagian dari proses pendidikan politik dan melek politik bagi masyarakat sapeken. Masyarakat sapeken dituntut cerdas memilih pemimpin dan tidak terbuai janji politik an sich.

Hari bagi masyarakat sapeken menentukan nasibnya semakin dekat. Suasana politik semakin menghangat dan akan terus menghangat. Yang harus tetap diingat, pilkades harus membawa perubahan ke depan yang lebih baik. Sekali lagi, kecerdasan politik masyarakat sapeken dalam memilih pemimpin ditunggu. Akhirnya, semua terpulang pada masyarakat sapeken sendiri. Ingin pemimpin berkualitas atau tidak. Ingin berubah kea rah yang lebih baik atau tidal. Berkualitas atau tidaknya kepala desa nanti juga merupakan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat sapeken yang mempunyai hak untuk menentukan. Yang pasti, jangan sampai hari esok lebih buruk karena kita salah memilih dan menentukan pemimpin. Kearifan dan kecerdasan masyarakat dalam menentukan pilihan dalam pilkades akan diuji. Pendidikan politik bagi masyarakat sapeken harus terus digalakkan. Karena momen pilkades bukan hanya untuk segelintir elit dan broker politik yang ingin melampiaskan hasrat politiknya. Tapi pilkades adalah untuk seluruh masyarakat sapeken. SELAMAT MEMILIH PEMIMPIN!
Diposkan oleh Rina Hafidiz di 02:07 0 komentar

MENGHENTIKAN PRILAKU KEKERASAN DI SAPEKEN DENGAN MEMBANGUN KESADARAN BAJOISME


Oleh : Muarief

Masih segar dalam ingatan kita, belum lagi kering air mata keedihan tragedi amuk massa di Tanjung Kiaok yang meminta korban nyawa, melukai kehormatan sebagai sebuah kepulauan ibadah, danmenghina kemanusiaan. Ditambah lagi tawuran pemuda antar pulau (kita ingat beberapa tawuran yang terjadi di kepulauan Sapeken) menambah deretan panjang prilaku anarkis dan kekerasan itu. Bukankah korban memiliki keluarga lain dan komunitas? Korban da keluarga memiliki saudara sesama manusia yang secara naluriah ikut bersedih. Semua pihak mengutuk aksi kekerasan tersebut. Dan dendam pun kembali disemai. Mengapa kekerasan dan prilaku anarkis terus terjadi di sekeliling kita? Ada apa dengan kita? Ada apa dengan kemanusiaan, sehingga prilaku anarkis acapkali menjadi jawaban atas persoalan atau kehendak yang ingin dicapai? Memeang tidak mudah untuk menjawabnya. Dari sebuah pristiwa yang terjadi, selalu ada sebagian latar, bermacam-macam dasar pandangan, alasan, simpulan, dan seterusnya. Pihak yang melakukannya selalu mengklaim behwa mereka berangkat

dari kebenaran, dan menyatakan pihak lain sebagai pihak yang bersalah dan harus mendapat hukuman. Tapi yang justru terjadi, korban justru lahir dari pihak-pihak yang tak ikut bersangkut-kait dengan persoalan. Yang jadi korban justru pihak-pihak yang tidak tahu apa-apa, tidak terlibat dengan persoalan yang sesungguhnya. Kenyataan inilah yang memilukan dan mengiris-iris batin. Kita tidak bisa menerima ini, dengan pemahaman yang bagaimanapun juga. Kekerasan harusnya menjadi alternatif terakhir dalam setiap perbedaan atau pertentangan, atau tidak menjadi alternatif dama sekali. Jika kita terbiasa menggunakan kekerasan sebagai solusi atas stagnasi yang terjadi, maka samalah artinya kita secara sengaja dan terus menerus mengikis nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Dalam banyak kasus, baik pada zaman moderen maupun yang tersurat dalam kitab-kitab, sejarah, kekerasan, perang, terorisme, tak pernah membuat keadaan menjadi lebih baik. Apa kurangnya jalan kekerasan yang diambil oleh Jengis Khan dalam mencapai tujuan. Tak terhitung lagi jumlah korban untuk kemenangan itu, tapi pada akhirnya kemenangan yang diperoleh lewat kekerasan itu menjadi jalan yang tak nyaman dilalui dan kemudian tenggelam. Hitler juga pernah langkah serupa, jutaan orang mati, tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa keberhasilan yang ia capai dengan mengoyak-ngoyak jaring kemanusiaan itu pada akhirnya menjadi petaka baginya, bagi kemanusiaan yang ia bengun (baca: tragedi kematian Hitler). Kekerasan (amuk massa, tawuran, dll) mungkin sebuah tanda bahwa ada pihak-pihak yang tidak mampu membnagun sebuah komunikasi yang bermartabat penuh kehormatan dengan pihak lain. Atau ketidakmampuan menjadikan dialog sebagai jembatan untuk mencapai hasrat. Ketidak mempuan itu kemudian diwujudkan dengan cara pemaksaan kehendak, melalui sebauh jalan pintas yang tidak manusiawi. Padahal, jika komunikasi antar manusia, kelompok, bahkan komunikasi antar ideologi, dapat terbangun secara baik, santun, lembut, setara dan bermartabat, dan tidak tersumbat, maka kekerasan tidak akan pernah muncul sebagai sebuah bentuk komunikasi. Selain soal komunikasi, kekerasan juga adalah soal cara menyikapi perbedaan pandangan. Kekerasan adalah muara dari kesombongan dalam memandang diri. Menganggap diri atau pihak sendiri yang memiliki otoritas kebenaran, sedang pihak lain sebagai pihak yang lebih rendah dan hina. Cara pandang yang semacam ini memang akan selalu menimbulkan benturan, karena ia menutup segala kemungkinan dialog. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh kesombongan kulit putih warga Amerika terhadap kulit hitam pada masa Abraham Linclon (baca: Ras), dan banyak lagi. Para pihak, semestinya menyadari bahwa kehidupan ini terdiri dari sederetan barisan panjang kafilah; bisa dalam bentuk suku, ras, bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya. Itu belum lagi gerbong-gerbong kepentingan yang berbeda, beragam keinginan, dan lain-lain. Menidakkan kemajemukan sama artinya dengan menidakkan sunnatullah. Bukankah kita diciptakan berbeda satu dengan yang lainnya? Perbedaan-perbedaan itu tidak mesti disikapi dengan saling curiga atau bermusuhan. Justru perbedaan itu merupakan sebuah berkah kehidupan. Kita dapat membangun sebuah kesadaran bahwa dunia tidak hanya berisi semata kita tapi juga ada pihak mereka yang mungkin berbeda keyakinan. Ketika kita sadar bahwa dunia ini beragam, maka kesadaran itu seharusnya melahirkan suatu sikap, bahwa antara satu dengan yang lain mesti membnagun kebersamaan. Kejadian-kejadian semacam tersebut di atas harus berhenti dan dihentikan. Kekerasan hanya akan membuat kita semakin terpuruk dari sisi apa pun. Semua perbedaan dan kehendak

seyugyanya dikomunikasikan melalui sebuah dialog yang adil, dengan kesantunan yang tinggi, dan kelembutan yang menyejukkan. Kita harus secara terus menerus belajar untuk percaya bahwa interaksi yang santun lembut serta penuh kehormatan, akan memberikan hasil yang baik dan maksimal, lebih besar dari yang mampu diberikan oleh jalan kekerasan. MEMBANGUN KESADARAN BAJO-ISME Kepulauan Sapeken merupakan gugusan pulau 22 pulau-pulau mini dengan penduduk 35.000 jiwa itu (baca: pesantren Abu Hurairah), sejak awal dikenal sangat relegius. Selain banyak didatangi oleh para ulama yang kemudian menetap (baca: tokoh moderenisme islama kepulauan sapeken), juga karena latar belakang penduduk asli yang hampir seluruhnya adalah etnis Bajo, sisanya adalah etnis Bugis, Mandar, dan Makassar yang kemudian menyatu islami dalam komunitas masyarakat yang kultur Bajo yang dikenal islami. Enis Bajo yang juga disebut Same, itu adalah sebuah etnis yang unik karena kehidupan mereka yang menyatu dengan laut, mereka hidup bermasyarakat di pantai-pantai dengan rumahrumah panggung yang terbuat dari kayu dan bambu, bahkan ada diantaranya yang berumah di atas leppa-leppa sembari berhanyut ke lautan tradisional yang dalam seperti terungkap dalam semboyan mereka ma darat kite ngilantu, ma di laut kite esso . Sebagaimana kita ketahui, bahwa mayarakat Bajo adalah masyarakat yang terkenal dengan asas kekelurgaannya, solidaritas yang tinggi, ini didukung oleh pulau yang membentuk watak mereka yang hanya luasnya kurang lebih 2,5 kilo persegi. Dengan demikian masyarakat Bajo adalah masyarakat yang memiliki ikatan emosional senasib-sepenanggungan. Sungguh ironis, jika kita menyaksikan beberapa tragedi kekerasan yang terjadi, ada apa dengan masyarakat Same kita? Apakah nilai dan budaya Bajo kita telah terkoyak-koyak? Oleh karena itu, kita perlu membagun kembali kesadaran Bajo-isme (semangat bajo kita; memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap sesama, asas kekeluargaan, dll) dengan memprioritaskan kepentingan bersama di atas segala-galanya. Hadaanallahu wa iyya kum Ajmain Diposkan oleh Rina Hafidiz di 02:05 0 komentar

Jumat, 29 Agustus 2008

MEMBANGUN PULAU SASIIL DALAM PROYEKSI MASA DEPAN; SEBUAH KENISCAYAAN


(Sebuah Renungan Singkat) Oleh : Muarif

Barangkali 50-100 tahun ke depan, orang tua seperti Bapak Mahamud, Kepala Desa, atau yang lainnya sudah memasuki usia senja, atau bisa jadi sudah berada di alam lain. Namun pertanyaannya, apa yang aka diwariskan untuk pulau yang tercinta ini, atau generasi-generasi berikutnya? Menjawabnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi butuh perenungan yang mendalam dan tentunya dengan penuh kesadaran yang sejatinya harus tumbuh mulai

sekarang. Jika tidak, keadaan dan kondisi pulau sasiil atau generasi (lebih tepatnya anak cucu kita) akan sama dengan kondisi sekarang, atau mungkin lebih parah lagi. Ketika membaca statemen di atas, sebagaian orang mungkin mengiyakan, mungkin juga sebagian lagi menyangkal dengan alasan yang macem-macem, kira-kira kalau ditebak alasan merekaitukan urusan belakangan, dan lain-lain ungkapan senada. Terhadap pikiran orang tua seperti ini seharusnya tidak perlu ditiru oleh generasi sekarang, seharusnya mereka tidak hidup, dan kalaupun hidup seharusnya tidak berusia panjang apalagi menikmati perjalanan waktu sampai 50-100 tahun ke depan. Karena hanya akan menambah beban sejarah kehidupan. Meminjam istilah Gie generasi-generasi tua yang mengacau harus disingkirkan. Membagun dalam proyeksi masa depan artinya bahwa untuk membangun pulau sasiil harus berorientasi jangka panjang, tidak terhenti pada masa sekarang, apalagi mundur ke masa lalu yang penuh dengan ketidak jelasan. Kegagalan dalam membangun adalah karena ketidak mampuan dalam membaca realitas. Dengan kata lain, salah satu kunci dalam membangun adalah kemampuan dalam membaca dan memahami realitas itu sendiri. Lagi-lagi pertanyaannya, apa yang akan kita bangun dala proyeksi masa depan itu?. Pada suatu kesempatan, saya pernah bertanya pada KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah lewat pesan singkat (sms), pertanyaan saya seperti ini: dalam paradigma membangun kepulauan, dari mana kita harus memulai?. Lalu dijawab oleh Beliau lewat sms pula : pendidikan dan SDM serta sarana yang memadai. Dengan jawaban singkat itu, saya bisa memahami bahwa kunci membangun sebuah peradaban adalah dengan melalui sektor pendidikan dan SDM-nya. Diperkuat dengan pernyataan Fazlur Rahman, bahwa pendidikan merupakan kunci peradaban sebuah bangsa. Pernyataan itu tidak sekedar omong kosong. Jepang adalah salah satu contohnya, ketika Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II di mana saat itu Jepang porak-poranda dan harus memulai membangun dari awal, maka sugguh tepat langkah yang diambil adalah memulainya dari sektor pendidikan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Beda halnya di Indonesia, pertama kali dibangun adalah ekonomi dan politik dengan mutu SDM yang rendah, sehingga banyak melahirkan manusia-manusia yang serakah dan banyak kepentingankepentingan sesaat, berlomba menduduki jabatan kekuasaan. Lahirlah kemudian generasigenerasi yang mentalnya_meminjam Amin Rais-bermental irlander (baca; Selamatkan Indonesia,2007) Oleh karena itu, mari kita bangun kesadaran kolektif sejak sekarang. Mari kita menganggap bahwa pendidikan itu penting, dan tentunya menyediakan sarana yang cukup memadai agar kita mampu bersaing di tengah pusaran global, paling tidak kita tidak menjadi bangsa yang bodoh dan dibodohi. Semoga ! Mudah-mudahan ini menjadi bahan renungan kita bersama. Wallahu alamu bisshowab Diposkan oleh Rina Hafidiz di 05:33 0 komentar

Rabu, 27 Agustus 2008

ISLAM DAN DEMOKRASI


Oleh : Muarif * Salah satu isu yang paling populer sejak dasawarsa abad ke-20 yang baru lalu adalah isu

demokrasi. Di antara indikator paling jelas dari kepopuleran tersebut adalah berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara, seperti diakui oleh Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara, pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental, kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertinggi.(1 Namun di tengah gemuruh proses demokratisasi yang terjadi di belahan dunia, dunia Islam sebagaimana dinyatakan oleh oleh para pakar seperti Larry Diamond, Juan J Linze, Seymour Martin Lipset tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup. Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel P Huntington yang meragukan ajaran Islam sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. karena itu dunia Islam dipandang tidak menjadi bagian dari gemuruhnya proses demokratisasi dunia.(2 Pengertian demokrasi sampai pada benruknya sekarang dikenal adalah setelah melalui proses yang gradual dan evolutif disebabkan ia adalah konsep yang dinamis, multi-impretatif dan dapat berkembang sesuai dengan konteks dan kondisi sosio-historis di mana konsep demokrasi lahir dan berkembang. sifat yang dinamis dan flexible menyebabkan lahirnya sejumlah tipologi demokrasi itu sendiri seperti; demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan lain-lain. sehingga suatu bentuk pemerintahan otoriter pun terkadang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan yang demokratis. Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa dan istilah. Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Dalam istilah yang populer dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.(3 sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut : Joseph A Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Philippe C Schimitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggungjawab jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara... (4 Sementara itu, Affan Gaffar (pakar politik UGM) memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis. (5 dengan demikian, makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijkan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Secara historis istilah demokrasi sudah dikenal sejak abad ke-5 SM. pada awalnya, ia merupakan

respon terhadap pemerintahan monarki yang buruk dan kediktatoran penguasa di kota-negara (city-state) pada masa Yunani kuno. Sementara ide-ide demokrasi modern berkembang pada abad ke-16 M menyusul tradisi pencerahan yang melahirkan ide-ide dan lembaga-lembaga sekulerisme yang dipelopori oleh Nicollo Machiavelli (1462-1527), ide negara kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan lembaga-lembaga federal oleh John Locke (16321704). (6 Berdasarkan fakta historis tersebut di atas jelaslah bahwa paham demokrasi dalam bentuknya yang paling sederhana sudah lama dikenal jauh sebelum datangnya Islam. ia telah berkembang sejak zaman Plato dan Ariestoteles ketika Al-Qur'an belum diturunkan Allah ke dunia. oleh sebab itu, sesuatu hal yang wajar saja jika wacana dan pembicaraan tentang demokrasi selalu diasosiasikan ke dunia Barat, yang jika ditarik ke belakang sampai ke Yunani kuno. Dengan kata lain, paham dan istilah demokrasi bukan berasal dari Islam, tetapi ia di luar dunia Islam. meskipun demikian bukan berarti tidak ada prinsip-prinsip berdemokrasi sama sekali dalam Islam. Sebenarnya jika diamati lebih jauh, terdapat unsur-unsur kesamaan antara demokrasi model Barat dengan demokrasi Islam dalam beberapa hal; meskipun keduanya tetap mempunyai perbedaan-perbedaan karena memang keduanya lahir dan berkembang dengan latar belakang kultur dan budaya yang tidak sama. Dalam rumusan Ahmad Syauqi Al Fanjari (seorang Penulis Mesir), adanya afinitas antara dua entitas demokrasi ini, sebagaimana dikutip oleh Hamid Enayat apa yang disebut kemerdekaan di Eropa adalah persis apa yang didefinisikan oleh agama kita sebagai keadilan (adl), hak (haq), musyawarah (syuro) dan persamaan (al musawat)...ini disebabkan karena aturan-aturan kemerdekaan dan demokrasi terdiri dari pemberian keadilan dan hak kepada rakyat, dan peran serta bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri. Padanan kemerdekaan dalam Islam adalah kebaikan budi dan kasih sayang (rahmah), dan padanan demokrasi adalah saling mengasihi (tarahum). Dalam Al-Qur'an, demikian diingatkan, Muhammad SAW diperintahkan untuk menunjukkan sikap pemaaf, dan di dalam ayat yang sama beliau diperintahkan agar bermusyawarah dengan kaum Muslimin dalam urusan-urusan kemasyarakatan... (7 Dari rumusan Al Fanjari ini bisa dilihat bahwa dari kitab suci Al-Qur'an dapat digali masalahmasalah substansial yang berkaitan dengan prinsip-prinsip hidup berdemokrasi. Sebagian cendekiawan Muslim menggunakan istilah Syuro sebagai padanan konsep demokrasi Islam, disebabkan dalam prinsip dan kaedah Syuro diperhatikan pentingnya bertukar pikiran, berkonsultasi, bertukar pendapat mengenai berbagai masalah kemasyarakatan dan kepentingan publik. Jika ditelusuri lebih jauh, perbedaan yang signifikan antara demokrasi Barat dengan sistem Syuro atau demokrasi Islam adalah berpangkal pada pemeganh kedaulatan atau kekuasaan. Demokrasi Barat menjadikan kedaulatan sebagai prinsip kekuasaan legislatif adalah milik rakyat. Sedangkan dalam sistem Syuro, kedaulatan pada prinsipnya hak dan wewenang Allah yang termanifestasikan dalam syari'ah, dan yang terakhir adalah produk Allah bukan buatan manusia atau pun alam. Sebagian ilmuan Muslim berpendapat bahwa sistem dan konsep demokrasi sejak awal sejalan dengan ajaran Islam, hanya saja kedaulatan yang berada di tangan rakyat tidaklah dipahami bahwa keputusan apapun dapat diambil tanpa batasan-batasan tertentu oleh rakyat atau melalui perwakilannya. Suara rakyat adalah suara Tuhan bukanlah dalam pengertian sebenarnya dikarenakan tidak ada kekuasaan yang berada di atas kekuasaan Tuhan. Akan tetapi bukan

berarti manusia tidak memiliki otoritas apapun, karena pada kenyataannya Allah memberikan wewenang kepada manusia untuk melakukan ijtihad, dan lain-lain termasuk membentuk sistem pemerintahan yang demokratis. Jika dilihat secara umum respon umat Islam terhadap demokrasi, minimal tiga bentuk yang masing-masing merepresentasikan tiga pandangan utama: Pertama, kelompok yang memandang bahwa konsep Islam sejalan dengan konsep demokrasi dengan alasan bahwa demokrasi itu sendiri sudah inklusif di dalam ajarannya. Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa demokrasi adalah paham dan konsep yang mulia pada dasarnya, tetapi dalam perkembangan berikutnya mengandung bias pemikiran Barat sehingga masih perlu difilter dan diwarnai dengan jiwa yang Islami. Dengan kata lain, pola pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tidak keluar dari prinsipprinsip dasar ajaran Islam perlu didukung dan dikembangkan. Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa demokrasi adalah paham sekuler dan kehadirannya mesti ditolak, disebabkan di dalam sistem demokrasi segala produk hukum dan perundang-undangan dibuat oleh perwakilan rakyat bukan oleh Allah. (8 Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh John L Esposito dan James P Piscatory, secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran : Pertama, Islam dan demokrasi adalam dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem politik self-suffucient, hubungan keduanya bersifat mutually-ekslusif. Islam dipandang sebagai sistem politik alternatif demokrasi. dengan demikian, Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama yang kaffah tidak saja mengatur persoalan akidah (teologi) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia. Di antara tokoh kelompok ini adalah Syaikh Fadhallah Nuri, Sayyid Quthb, Thabthabai, dan lain-lain. Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktekkan di negara maju (Barat), sedangkan Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara substansif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Di antara tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah Al Maududi, Rasyid al Ghanaoushi, Abd Fatah Morou, dan lain-lain. Di Indonesia diwakili oleh M. Natsir dan Jalaluddin Rahmat. Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti dipraktekkan negara-negara maju. Di Indonesia, pandangan yang ketiga ini tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya. Di antara tokoh dalam kelompok ini adalah Fahmi Huwaidi, Al Aqqad, M. Husen Haikal, Zakaria Abdul Munim Ibrahim, Robert N Bellah, dan lain-lain. Di Indonesia diwakili oleh Nur Chalis Madjid, Amin Rais, Munawir Sadzali, A Syafii Maarif dan Abdurrahman Wahid. (9

Catatan : Dede Rosyada, dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan

Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h 141. ibid, h 141 ibid, h 110 ibid, h 110 ibid, h 110 Dr. Masykur Hakim, Drs. Tanu Widjaya, MA. Model Masyarakat Madani, Jakarta: Intimedia, 2003, h 56. ibid, h 57 ibid, h 59 Dede Rosyada, dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h 142

* Mahasiswa Fakultas Syariah (hukum tata Negara dan pidana islam) IAIN SURABAYA Diposkan oleh Rina Hafidiz di 06:51 0 komentar

Sabtu, 23 Agustus 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional; Membebaskan Sapeken Dari Tujuh Penjara Politik
Oleh : Muarif Mahasiswa Fakultas Syariah (Hukum Tata Negara dan Pidana Islam) IAIN Surabaya

Dalam usia 100 tahun kebangkitan nasional, pertanyaan mendasar adalah sampai di manakah perjalanan politik bangsa Indonesia sekarang ini? Tidak ada yang tahu pasti. Sebab, para politisi, para pakar, para jurnalis, dan masyarakat sendiri sekarang lebih sibuk bermain-main dengan berbagai atraksi sulap atau akrobat politik, termasuk akrobat (pertunjukan seni dengan keterampilan yang luar biasa) kata-kata, yang hampir setiap hari berganti-ganti ditambah lagi dengan permainan dari mereka yang mengaku sebagai paranormal, para broker politik dan tokoh-tokoh di balik layar yang juga ikut memproduksi ilusi, imajinasi dan isu-isu politik, yang juga hampir setiap hari lakonnya. Ini menyebabkan peristiwa politik atau fakta-fakta politik yang sesungguhnya wajar, rasional dan relatif kalkulatif berubah menjadi sesuatu yang mistis, tidak jelas, mendebarkan dan sulit dikalkulasi. Itu semua kemudian mengaburkan perjalanan politik bangsa Indonesia. bukan saja posisinya, tetapi juga makna-maknanya. Bagi mereka yang tidak kritis, maka atraksi sulap politik, akrobat politik, ilusi, imajinasi dan isu-isu politik buatan sulit dijadikan pertanda bagi perjalanan politik bangsa. Akan tetapi bagi mereka yang mampu bersikap kritis dan efektif, semua itu dapat dimaknakan bahwa bangsa Indonesia memang tengah menempuh perjalanan politik transisional waktu dan tempat ketika berbagai negoisasi-negoisasi ulang dalam perpolitikan dilakukan.

Akan tetapi selalu ada pertanyaan mendasar yang mengganggu. Dimanakah posisi rakyat kecil di tengah berbagai macam pertunjukan dan eksposisi politik itu? juga dimanakah posisi kekuatan moral seperti mahasiswa dan cendekiawan bebas sekarang ini? Tidak jelas benar. yang terasa sampai hari ini, rakyat, wong cilik, juga mahasiswa hanya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan) politik dan alat politik belaka. Mereka sering tidak kebagian panen politik. Tetapi justru sering kebagian peran sebagai pekerja keras, korban, atau instrumen-instrumen yang dimanfaatkan oleh para politisi. Lebih-lebih yang tidak berhati nurani.

Tujuh penjara politik Bangsa Indonesia nampaknya belum berhasil membebaskan diri berbagai penjara politik yang selama ini megungkungnya. Dan selama belum bisa berhasil keluar dan membebaskan diri dari penjara-penjara politik itu, bangsa Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk menjadi bangsa yang unggul dan siap bertarung di millennium ketiga nanti. penjara-penjara politik yang masih membelenggu bangsa Indonesia, adalah : Penjara pertama, kekerasan. kita melihat masih digunakannya kekerasan sebagai alat penyelesaian. Termasuk kekerasan sturuktural, kekerasasan simbolik, dan kekerasan fisik, kekerasan massa misalnya. Ini bertentangan dengan semangat kemanusiaan yang sekarang sedang menjadi trend global yang mengkhawatirkan, kekerasan politik itu akan melahirkan kekerasan politik yang baru, dan seterusnya. Karena yang menjadi korban kekerasan ada kemungkinan untuk melakukan balas dendam Penjara kedua, mitos-mitos politik. Adanya mitos-mitos politik ini akan menjadi penghalang besar bagi berlangsungnya transparansi proses-proses politik, akan meniadakan kemungkinan kontrol yang obyektif. Lebih-lebih lagi kalau adanya mitos itu kemudian sampai berfungsi sebagai bagian dari proses labelisasi pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. mitos bahwa bangsa Indonesia hendaknya jangan dipimpin oleh Presiden dari masyarakat santri, karena ditakuti akan bertindak ekstrim misalnya. Mitos lain yang juga perlu dicermati adalah bahwa satu-satunya penyelamat negara adalah aparat militer. Adanya mitos-mitos seperti itu ternyata menyebabkan adanya kecenderungan pengambilan keputusan politik yang tidak transparan dan cenderung diskriminatif. Penjara ketiga, kultus individu. Adanya gejala kultus individu, dan menempatkan tokoh-tokoh politik tertentu pada posisi super human sedang para pengikutnya harus rela menempati posisi sub human atau setengah manusia. padahal dalam kehidupan politik yang sehat, tokoh politik dan pengikutnya sama-sama berada pada posisi human, sehingga posisi humanitasnya juga setara. Pola relasinya adalah horizontal-fungsional, bukan vertikal-hirarkis. Maksudnya, tokoh politik tersebut adalah manusia biasa yang layak untuk dikritik dan ditegur, bahkan di hukum bila berbuat salah. Penjara keempat. Sakralisasi. Masih berlakunya proses sakralisasi lembaga-lembaga dan simbolsimbol pemerintahan. Bahkan sakralisasi ini menyentuh pada sistem politik yang seharusnya terbuka terhadap perubahan dan koreksi yang diperlukan. Misalnya sakralisasi Pancasila, sakralisasi UUD 45, sakralisasi lembaga, sakralisasi partai, dan lain sebagainya. Sakralisasi seperti ini akan membuat kehidupan politik akan cenderung berjalan kaku, linier, kering dan tidak luwes menghadapi berbagai kemungkinan perubahan di luar kehidupan politik. Penjara kelima, penjara historis. Baik berupa trauma sejarah, stigma sejarah, stigma politik, dan pengalaman historis sebagai pemenang yang dimanjakan atau pengalaman historis sebagai pecundang yang dikurangi, dianiaya, dan dikhianati oleh pihak lain. Kita yang belum berhasil

membebaskan diri dari penjara historis ini akan mudah melakukan balas dendam, sapu bersih lawan dan bertindak tidak demokratik karena tidak menghargai pluralitas politik. Partai yang lahir dari penjara historis seperti itu, maka agenda politiknya juga terbatas pada upaya untuk menghilangkan beban sejarahnya sendiri, secara eksklusif tidak memandangnya sebagai beban sejarah bangsa yang perlu disikapi dengan kearifan. Penjara keenam, ketidak berdayaan warga negara sebagai aktor politik. Konsep warga negara masih belum dihayati dengan baik oleh setiap anggota masyarakat. kehadiran mereka selama ini telah mengalami distorsi dan reduksi makna, hanya hadir dan diperlukan sebagai massa, bukan sebagai warga negara. Buktinya, pernah ada kebijakan pengembangan massa, dan setiap pengikut partai masih sering disebut sebagai massa partai. Jika terjadi bentrok, yang ditulis dalam berita pelakunya juga massa. Massa ini mirip dengan oknum, yaitu sesuatu yang sulit didefinisikan sehingga sulit dimintai pertanggungjawaban, dan sulit dikenai sanksi hukum jika melanggar hukum. Penjara ketujuh, demoralisasi atau kondisi mental bangsa yang mengalami proses pembusukan. Mental bangsa yang mengalami pembusukan ini awalnya ditandai dengan perlakuan yang tidak adil antara proses dan hasil, penempatan posisi yang tidak seimbang antara alat dan tujuan dan kecenderungan disfungsionalisasi moral hampir di segala bidang. Pada saat melaksanakan pembangunan, yang dipentingkan cenderung hasil. Proses untuk mencapai hasil sepertinya menjadi kurang penting. Oleh karena itu terjadilah proses pembusukan mental yang berkepanjangan. Penjara-penjara politik tersebut di atas saat ini kita rasakan masih membelenggu kepulauan Sapeken. Kita melihat masih digunakannya kekerasan sebagai alat penyelesaian, sebagai contoh adalah tragedi berdarah di Tanjung Kiaok yang oleh kawan-kawan HIMAS disebut dengan peristiwa terheboh di tahun 2008 ini di Kepulauan Sapeken. Menurut pengamatan saya bahwa tragedi berdarah itu ada unsur-unsur politik di dalamnya. Yang tidak kalah pentingnya juga di antara penjara-penjara politik yang masih membelenggu Kepulauan Sapeken adalah adanya kultus individu. Dan masih sakralisasi-sakralisasi partai, dan lain sebagainya.

Alternatif upaya pembebasan Penjelasan adanya tujuh penjara politik di atas juga akan memudahkan kita untuk membedakan mana yang mendukung reformasi dan mana yang mendukung status quo. Maksudnya, mereka yang membela dan cenderung tidak mau membebaskan diri dari penjara-penjara politik di atas layak dikatagorikan sebagai pendukung status quo, pendukung masa lalu yang gelap dan membuat bangsa Indonesia menderita dan terpuruk selama puluhan tahun. Sedang mereka yang berjuang mati-matian bersama masyarakat dan bangsa untuk membebaskan diri dari penjarapenjara politik di atas layak disebut sebagai pendukung reformasi. Mereka adalah pendukung masa depan Indonesia Baru yang lebih demokratis, lebih bebas, transparan dan lebih sehat yang lebih menjanjikan kehidupan yang lebih layak untuk dijalani, termasuk dijalani secara politik. Untuk itu agar perjalanan Bangsa Indonesia secara politik akan memasuki kehidupan yang sehat, maka bangsa Indonesia sudah sepantasnya berani berjuang sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari tujuh penjara politik itu. ini diperlukan agar perjalanan politik tidak berjalan di tempat atau malahan mengalami kemunduran, tetapi akan mampu mengalami kemajuan yang berarti dan signifikan. Satu-satunya kemungkinan terbaik yang harus ditempuh adalah melangkah maju. oleh karena itu,

penjara-penjara politik itu harus dinegasikan, harus dipatahkan, dihancurkan. Caranya adalah dengan melakukan upaya pembebasan dengan alternatif langkah sebagai berikut : Pertama, manjauhi segala macam bentuk kekerasan, lebih-lebih kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Kedua, melakukan upaya demitologisasi perangkat politik negara, perangkat politik masyarakat, dan demitologisasi hal-hal yang selama ini dimitoskan. Caranya dengan menumbuhkan kesadaran bahwa proses politik adalah proses yang wajar-wajar saja. Ketiga, memangkas dan menghentikan kultus individu. Keempat, melakukan desakralisasi simbol-simbol negara, sistem politik, lembaga politik, konstitusi, partai-partai dengan segala macam produknya. desakralisasi diperlukan karena hal-hal tersebut memang bukan hal yang sakral. Kelima, agar pengalaman historis tidak berfungsi negatif menjadi semacam penjara politik, maka dengan jiwa besar kita hendaknya mampu memaafkan masa lalu. Keenam, perlu dilakukan pendidikan politik sebagai wujud dari pemberdayaan politik. Ketujuh, dengan menghentikan proses pembusukan mental dan melakukan operasi mental secara serentak lewat berbagai lini. Caranya, dengan memasukkan atau menumbuhkan kesadaran baru, dan memfungsikan moral sebagai kendali kontrol setiap rumusan kebijakan dan setiap evaluasi kebijakan politik. Dengan demikian, kalau dulu kita mengenal politik sebagai panglima, ekonomi sebagai panglima, panglima sebagai panglima, maka di masa sekarang dan masa yang akan datang hendaknya bangsa Indonesia mau menjadikan moral sebagai panglima. BANGKIT INDONESIA KU, BANGKIT SAPEKEN KU. Wallahu Alam bisshowab. Diposkan oleh Rina Hafidiz di 22:58 0 komentar

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
Q.S. al-Fatihah FKPPS HARAPAN SASIIL Oleh : Muarif * Assalamualaikum Wr. Wb. Salam Perjuangan....! Potret sejarah Indonesia, pemuda memiliki peranan luar biasa sebagai ujung tombak perubahan. Tonggak kebangkitan lahirnya kesadaran berbangsa, dimulai sejak pemuda membuat "komunike politik kebangsaan" 28 Oktober 1928. "Satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa". Berbagai hal menyangkut perubahan, selalu dikaitkan peranan pemuda. Sejarah membuktikan itu. Di berbagai belahan dunia, perubahan sosial-politik menempatkan pemuda di garda depan. Tak tanggung-tanggung pemimpin besar seperti Bung Karno Presiden RI Pertama mengungkapkan kata-kata pengobar semangat "Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia," yang disampaikan dalam pidato kenegaraan di masa jayanya. Mengenang kiprah kaum muda dari sejak merebut kemerdekaan hingga menumbangkan sang raja jawa, yang dikenal dengan bapak pembangunan H. Muhammad Soeharto yang tentunya membutuhkan pengorbanan yang sangat besar hingga nyawa taruhannya, sehingga lahirlah yang disebut orde reformasi. Namun kemudian muncul pertanyaan besar, benarkah Negara otoriter

birokratis Orde Baru telah berakhir dengan pernyataan berhenti presiden soeharto? secara singkat jawabannya tidak. Di era Reformasi ini juga menyentuh beragam kelompok kepemudaan yang menyadari perlunya perubahan sistem organisasi mereka. Organisasi-organisasi kepemudaan yang selama Orba berada dibawah payung KNPI mulai memisahkan diri dan menjalankan gerak organisasinya sesuai dengan ideologi yang diinginkan. HMI kembali menggunakan Islam sebagai azas organisasi, GMNI kembali menggunakan azas nasionalisme-marhaen, dan lain sebagainya. Beberapa organisasi kepemudaan tetap mempertahankan ideologi Pancasila, akan tetapi aura perubahan keras kali ini menghadapkan organ-organ ini pada kondisi sosial politik riil yang juga dihadapi oleh beragam kelompok di masyarakat. Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 (di mana pemuda juga punya peran luar biasa), namun era ini banyak orang yang kecewa. Reformasi tidak jadi katalisator proses pencerahan kehidupan berbangsa dan bernegara, malah sebaliknya, ternyata reformasi hanya sekedar pergantian acsesoris saja yang sama sekali tidak menyentuh substansinya sebagai mana kita sadari bersama. ini sekedar pengantar Intinya, melihat wajah gerakan mahasiswa saat ini, sangat memprihatinkan, seakan-akan apa yang sudah terkandung di dalam cita-cita semangat reformasi sudah hilang entah kemana, Sedikit yang menjadi renungan saya, kita perlu mengoreksi diri secara tuntas dan serius, ada apa sesungguhnya dengan gerakan mahasiswa, ada apa dengan gerakan kita saat ini?. entah, apakah yang kita lakukan selama ini sudah termasuk implementasi dari ide-ide kritis kita, atau hanya perbudakan sistem sehingga kita hanya menjadi ekor?. Jangan anggap perjuangan sudah selesai padahal kita belum pernah memulai, karena sejatinya perjuangan tidak akan pernah ada kalau kita tidak pernah paham apa yang mesti kita perjuangkan, perjuangan hanya ada kalau kita mempunyai tujuan bersama yang jelas, tidak parsial. maka dari itu kawan-kawan.. mari kita mulai bersama-sama memformulasikan FKPPS baru yang faham zaman dan membangun visi bersama yang mampu memjawab problemproblem kepulauan dan kebangsaan. Wallahu Alam Billattaufiq Wal Hidayah Wassalamualaikum Wr. Wb.

* Penggagas ide FKPPS. Diposkan oleh Rina Hafidiz di 22:54 0 komentar Beranda Langgan: Entri (Atom) GARUDA Pendidikan Indonesia, Penanaman Ideologi Gombal !! OLEH : HENRINA Kita dari kecil selalu dicekoki dogma. Dan memang anak kecil adalah individu yang paling gampang dibikin percaya sama omongan dogma. Kecenderngan anak adalah menerima, dan kalau ada anak kecil udah pinter protes, wahhh perlu dipertanyakan tuhh kekecilannya !!!Enggak bisa dipungkiri bahwa sistem pendidikan manapun, pasti mementingkan penanaman ideologi

pada peserta didik sejak usia muda. Tetapi jadi lain ceritanya kalau yang ditanamkan itu, yang dipaksakan untuk dipercaya iTu, adalah berita bohong. Ini akan sama saja dengan menyuruh guru-guru yang pahlawan tanda jasa itu melakukan kebohongan publik. Seorang guru biasanya mengajar di kelas yang sama bertahun-tahun. Tidak peduli anak didiknya udah berapa kali naik kelas dan lulus, gurunya sudah pasti tidak pernah naik kelas !!! Jadi kalau guru disuruh mengajar dogma yang salah, berarti setiap tahun dia membohongi orang baru, dan jadilah kebohongan dari generasi ke generasi. Alias kebohongan yang terstruktual sepanjang masa......!!!!!!Betapa susahnya jadi guru, yang katanya Iwan Fals dalam Oemar Bakrienya : 40 tahun mengabdi tapi makan ati, ditambah lagi disuruh ngasih kabar-kabar bohong secara sistematis..(cape' Decchh).Nahh lho, siapa saja yang berminat menjadi guru ??? Dan siapa saja yang gak mau dibohongi lagi ???Dogma bohong pendidikan Indonesia : pertama, Pancasila adalah Ideologi Bangsa. Tidak bolah diubah. Dalam sejarah, proses penulisan sila dalam pancasila ternyata pernah diubah. Selain butir-butir yang diubah tahun 94an, sila pertama yang dirumuskan dalam piagam jakarta ternyata tidak berbunyi seperti yang kita ketahui (Ketuhanan yang Maha Esa), tetapi berbunyi ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya. Sila pertama yang katanya sangat krusial ini, ternyata dirubah. jadi jelas donkk, dogma pancasila yang dikatakan digali dari budaya Indonesia dan sudah tentu sesuai dengan rakyat Indonesia, dengan kata lain tidak perlu diganti, adalah bohong. kedua, Kesaktian pancasila. Tidak tau sich, siapa yang memulai memberikan jargon pancasila sakti, tetapi kenyataannya pancasila nggak sakti blass. Ditilik dari sejarah, pancasila dibilabg sakti karena kaum komunis gagal menjatuhkannya. alias gagal menggantinya dengan Ideologi komunis. Lho, kalau memang beneran sakti, Pancasila tentunya juga tidak akan membiarkan sila pertamanya yang panjang dan justru sarat makna itu diganti dengan yang sekarang ini kita kenal. Pancasila juga semakin tidak berdaya ketika sila "kemanusiaan yang adil dan beradab"nya tidak dianut oleh pemerintahnya yang diam saja saudaranya di Palestina, Irak, Iran dizalimi oleh negara lain yang lebih kuat. Jadi dimana letak kemanusiaan yang adil dan beradab Pancasila ????. Lepasnya Timor-timur dari Indonesia juga menunjukkan kalau pengemban Pancasila gagal melakukan sila persatuan Indonesia. Ketiga, Indonesia adalah negara nonblok. Artinya tidak ngeblok kiri (komunis) dan tidak ngeblok kanan (sekuler). Sejarah Indonesia justru menunjukkan hal yang berbalikan. Di Orde lama Indonesia terlalu kekiri dan sejak Orde Baru sampai sekarang yang dikenal dengan Orde Reformasi (?) kita kebangetan ke kanan. Lepasnya tambang-tambang kita ke Freeport, Exxon, dll. adalah tanda betapa tunduknya kita ke Amerika, Negara pengusung Ideologi sekuler terbesar. Keempat, Politik luar negeri kita adalah bebas aktif. Bebas artinya tidak ngeblok, aktif artinya aktif dalam usaha perdamaian Dunia. Kenyataannya, selain Kita juga tidak bebas Blok, kita juga tidak pernah aktif mendamaikan atau memerangi negara yang turut andil dalam pejajahan Dunia. Alih-alih memerangi, kita malah sueeneng buanget waktu kita dibilang kita adalah sahabat Amerika yang notabene penjahat perang dunia. kelima, demokrasi sesuai dengan budaya Indonesia. Memang sih, seolah masyarakat Indonesia memiliki budaya gotong-royong, musyawarah, dsb. Padahal itu hanya salah satu bagian dari demokrasi. Justru inti dari demokrasi, yaitu kebebasan pada segala sektor, malah sangat bertentangan dengan budaya Indonesia yang dikemudian hari memberikan Banyak permasalahan moral bagi Bangsa Indonesia...Nahhh..buat temen-temen FKMS khususnya yang akan berprofesi sebagai guru, perlu hati-hati agar tidak melakukan kebohonga-kebohongan karena bagaimanapun guru adalah pendidik pertama dan utama serta penentu generasi-generasi muda yang berkualitas. Dari yang sedikit ini, semoga membuat kita semakin hati-hati dan mau berfikir cemerlang ketika mendengar dan percaya pada sesuatu. Yang paling penting, Percayalah pada sesuatu jika sudah

melalui proses aktualisasi pada diri kita. JANGAN PERNAH BERHENTI belaJAR, daN jANGAn muDAh DIbohoNGi LAGi........!!!!!!

You might also like