You are on page 1of 42

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menganut paham demokrasi. Dalam paham ini rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting, sebab kedaulatan berada di tangan rakyat. Menurut Abraham Lincoln ( dalam Ngabiyanto 2003: 42) suatu negara demokratis adalah negara yang memiliki bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Pemilu ( pemilihan umum ) menurut Pasal 1 UU RI No12 Tahun 2003 adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum menjadi salah satu indikator stabil dan dinamisnya demokratisasi suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pemilu memang secara periodik sudah berlangsung sejak awal-awal kemerdekaan bangsa ini, akan tetapi proses demokratisasi lewat pemilupemilu yang terdahulu belum mampu menyemai nilai-nilai demokrasi yang matang akibat sistem politik yang otoriter. Harapan untuk menemukan format demokrasi yang ideal mulai nampak setelah penyelenggaraan 2 pemilu

xiv

langsung terakhir di tahun 2004 dan 2009 yang berjalan relatif cukup lancar dan aman. Untuk ukuran bangsa yang baru beberapa tahun lepas dari sistem otoritarian, penyelenggaraan pemilu yang terdiri dari pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindakan kekerasan dan konflik menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa ini. Terlebih dengan diadakan pemilihan Kepala Daerah yang juga dilaksanakan secara langsung. Dalam tahapan demokrasi ini, bangsa Indonesia kembali diuji dengan momentum pemilihan kepala daerah langsung yang telah berlangsung sejak 2005. Meskipun sebagian masyarakat masih skeptis dengan Pilkada langsung ini terutama ketidaksiapan materi dan infrastruktur, namun demikian momentum pilkada idealnya dijadikan sebagai proses penguatan

demokratisasi. Di tengah masih lemahnya kesadaran politik di level grass root, maka momentum Pilkada menjadi ajang pertarungan politik yang selalu membuka ruang potensi konflik, manipulasi, money politics, dan intimidasi. Semua itu jika tidak disikapi dengan bijak dengan tingginya kesadaran politik masyarakat untuk berpartisipasi politik ikutserta dalam menciptakan jalannya pemilihan umum langsung, maka akan dapat menimbulkan perpecahan didalam intern suatu wilayah yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan NKRI. Untuk itulah dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang jelas dan sesuai untuk diterapkan guna memandu jalannya pelaksanaan pemilu. Berbicara pilkada langsung kita tidak lepas dari Undang undang No. 32 Tahun 2004. Tidaklah kalah penting dari Undang-undang tersebut adalah aspek demokratisasi. Aspek demokratisasi dalam Undang-undang ini diukur

xv

dari dua

faktor penting, yaitu unsur keterlibatan masyarakat dalam dan keterlibatan

menentukan pejabat publik di daerah (kepala daerah)

masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara luas. Salah satu aspek efektifitas demokrasi adalah adanya kesempatan bagi masyarakat atau publik untuk menentukan pejabat publik tersebut pada tingkat lokal melalui pemilihan umum yang dilaksanakan langsung secara periodik. Karena demokrasi dan partisipasi politik rakyat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Adalah tidak realistis jika kita ingin menegakkan demokrasi sementara itu rakyat tidak bisa berperan secara aktif. Berdasarkan konsep tersebut dapat diambil pengertian bahwa sebuah pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara langsung dan bebas oleh publik dengan cara terbuka dan jujur. Dalam konteks penguatan demokratisasi, pilkada langsung sebenarnya menjadi peluang untuk melakukan pematangan dan penyadaran berdemokrasi. Rakyat yang memiliki kesadaran berdemokrasi untuk berpartisipasi aktif mensukseskan jalannya pilkada langsung sampai kepada tingkatan masyarakat yang paling bawah terutama dalam masyarakat pedesaan. Sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa, Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Disini jelas dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung oleh rakyat di

xvi

daerah bersangkutan. Masyarakat diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk menentukan figur kepala daerah masing-masing. Pengaturan dari pasal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan

Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan wujud dari model pengisian pejabat publik oleh masyarakat, sehingga akuntabilitasnya kepada pemilik kedaulatan menjadi lebih konkrit. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan upaya membuat sistem pengisian pejabat politik menjadi konsisten, mulai dari presiden kepala daerah (propinsi, kabupaten/kota) sampai kepala desa. Meski pada dasarnya pemilihan secara langsung ini sebenarnya bukan

kemajuan, namun hanya kembali pada kebiasaan yang sudah ada dari dahulu yang telah mendarah daging, seperti dalam pemilihan kepala desa. Namun dalam cakupan wilayah yang lebih besar dan kesuksesan pelaksanaan PEMILU dipengaruhi oleh banyak faktor dan sampai sejauh mana partisipasi politik masyarakat. Aspek penting lainnya yang menjadi fenomena demokrasi lokal yang terjadi dalam pilkada secara umum di Indonesia seperti yang diberitakan Harian Kompas, Rabu 9 Agustus 2006, Partisipasi Pemilih Dalam Pilkada adalah banyaknya kepala daerah terpilih yang hanya meraup suara di bawah 70% dari total keseluruhan DPT yang mengikuti Pilkada. Dimana masih banyaknya Golput (orang yang tidak mencoblos) dalam pelaksanaan Pilkada Fenomena tersebut, tidak dapat dibaca sekedar hitam diatas putih. Kasus

xvii

pilkada Kabupaten Pati misalnya membuktikan telah terjadi "tsunami" politik yang menyebabkan pemilih banyak yang tidak datang ke TPS dan sengaja menghindar. Bahkan dari penelitian Achmad (2006) terbukti ada salah satu TPS di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati dengan jumlah pemilih sebesar 502, tetapi yang datang ke TPS tersebut dan mencoblos surat suara hanya 1 orang saja. Diperlukan usaha keras untuk mensosialisasikan pentingnya partisipasi politik masyarakat didalam pelaksanaan Pilkada agar dapat dihasilkan seorang pimpinan kepala daerah yang mumpuni dan sesuai dengan keinginan rakyat demi peningkatan kemandirian di daerahnya. Jika dilihat dari pelaksanaan pilkada di Provinsi dari tahun 2005 -2008
Tabel i Partisipasi Pemilih dalam Pilkada Di 35 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Partisipasi Pemilih DalamPemilu/Pilkada 2005 2006 2007 2008 (3) (4) (5) (6)
67,84 72,96 73,12 72,97 71,81 74,96 79,20 72,48 76,68 74,53 72,45 68,96 68,94 71,63 69,92 74,25 82,42 51,78

No (1)
1 2

Kab/Kota (2)
Kab Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

xviii

19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal

56,44 55,07 77,64 66,99 81,03 73,35 77,66 74,02 64,94 57,20 55,07 77,20 74,91 76,58 66,51 67,95 65,81

Sumber data : Diolah dari KPU Jateng

Dikabupaten Pemalang sendiri jika dibandingkan hasil Pilkada sebelumnya di tahun 2005 juga mengalami penurunan. Dimana dalam Pilkada 2005 tingkat partisipasinya mencapa 64, 94 %, sedangkan dalam Pilkada tahun 2010 tingkat partisipasi itu menurun menjadi 54%. Banyak faktor yang menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat pemalang menurun, salah satunya adalah topografi pemalang dan persebaran penduduk Pemalang yang sebagian besar merupakan wilayah pedesaan di pegunungan dan lingkungan desa pesisir. Untuk itu sangat diperlukan langkah yang tepat dan sesuai untuk menanamkan pentingnya keikutsertaan masyarakat dalam mensukseskan Pilkada terutama ditingkat lokal yaitu di wilayah Pedesaan. Hasil suara dari desa memiliki pengaruh besar dalam Pilkada karena hampir disetiap daerah sebagian besar masyarakatnya yang berdomisili di Pedesaan dengan segala

xix

keterbatasannya. Disamping minimnya akses sumber informasi, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat desa juga berpengaruh terhadap partisipasi politik masyarakat desa terhadap Pilkada. Disinilah sosialisasi politik berperan dalam hubungannya dengan partisipasi politik masyakat. . Mengingat pentingnya pelaksanaan Pilkada secara langsung sebagai partisipasi

wujud pelaksanaan demokrasi yang sebenar-benarnya. Tingkat

politik adalah faktor yang menentukan apakah Pemilu ataupun Pilkada yang berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih, maka tingkat keberhasilan Pemilu ataupun Pilkada semakin tinggi. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik di tingkat masyarakat yang paling bawah yaitu di tingkat desa, maka penulis tertarik untuk mengambil judul Pengaruh Sosialisasi Politik Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa Dalam Pilkada Kabupaten Pemalang Tahun 2010 B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui sejauhmana partisipasi masyarakat desa pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Pemalang Periode 2010-2015. b. Untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan sosialisasi politik dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Pemalang Periode 2010-2015.

xx

c.

Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik masyarakat desa dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Pemalang Periode 2010-2015.

2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagi Mahasiswa: untuk menerangkan sekaligus menerapkan teori teori yang di peroleh di bangku kuliah. b. Bagi pembuat kebijakan: Kontribusi penelitian ini tidak hanya dalam memperkaya khasanah teori, tetapi hasil temuan yang diolah secara proporsional dan profesional, diharapkan menjadi sumbangan sebagai masukan pemikiran bagi pemerintah dalam merancang level kebijakan mengenai proses pemilihan kepala daerah. c. Bagi ilmu pengetahuan: Temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi (kegunaan) dalam pengembangan keilmuan terutama yang berkaitan langsung dengan kegiatan sosial politik masyarakat atau kajian sosiologi politik. C. Ruang Lingkup Permasalahan 1. Pokok Permasalahan Pada hakekatnya masalah dalam suatu penelitian merupakan segala bentuk pernyataan yang perlu ditimbul dari ketidak sesuaian antara kenyataan dengan harapan. Ketidaksesuaian itulah yang harus dicari

penyebabnya, atau segala bentuk kesulitan yang dapat menyebabkan terjadinya ketidak sesuaian, sehingga dapat ditentukan cara yang tepat dan

xxi

efektif untuk diwujudkan kedalam kegiatan yang terstruktur sebagai langkah konkret untuk memecahkan permasalahan sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang penulis ajukan adalah: Bagaimana Pengaruh Sosialisasi Politik dalam pelaksanaan

Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa

Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Pemalang periode 2010-2015 ? 2. Obyek Permasalahan Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah : 2.1. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian adalah 3 Desa di Kecamatan Warungpring, Kabupaten Pemalang yang memiliki tingkat partisipasi politik paling rendah (46%) se-Kabupaten Pemalang dengan kriteria : 1). Desa

dengan tingkat partisipasi politik tertinggi, 2). Desa dengan tingkat partisipasi politik sedang dan 3). Desa dengan tingkat partisipasi politik rendah. 2.2 Responden Responden yang menjadi obyek penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah Masyarakat Desa sebagai pelaku pemilihan (Voters) , Pegawai Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Pemalang dan anggota KPPS selaku petugas pelaksana Pilkada, perangkat desa dan pengurus partai di tingkat ranting.

xxii

D. Kerangka Dasar Teori 1. Pengertian dan arti pentingnya Pilkada langsung Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian Kepala Daerah adalah orang yang memimipin Pemerintahan Daerah misalnya Gubernur untuk Daerah Tingkat I dan Bupati untuk Daerah Tingkat II, sedangkan langsung menurut Moh. Mahfud. M.D: 21: 2008 artinya di lakukan sendiri secara langsung oleh yang berhak tidak diwakilkan kepada pihak lain. Adapun persoalan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) diatur dalam Undang-undangNo. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PEMDA). Undang-undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Disana dituliskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menganut paham demokrasi. Dalam paham ini rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting, sebab kedaulatan berada di tangan rakyat. Menurut Abraham Lincoln (dalam Ngabiyanto 2003: 42) suatu negara demokratis adalah negara yang memiliki bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun dalam praktek ketatanegaraan negara negara di dunia, bentuk pemerintahan demokratis yang diselenggarakan belum sesuai dengan bentuk demokrasi yang ideal, bahkan terdapat

xxiii

kecenderungan bahwa pelaksanaanya disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing sehingga muncullah variasi dari demokrasi sebagai tuntutan untuk memenuhi kebutuhan negara yang menganutnya. Upaya untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia ditempuh melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan menjalankan desentralisasi, termasuk di dalamnya Pilkada langsung. Desentralisasi merupakan bagian dari proses demokratisasi. Dengan desentralisasi maka kepada daerah, baik pemerintahannya, rakyatnya, maupun wakil-wakil rakyat, diberi kemungkinan dan kesempatan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat (Nadapdap, 2005). Pilkada langsung merupakan salah satu bentuk implementasi desentralisasi dalam perspektif politik, dimana terjadi proses transfer lokus kekuasaan dari pusat ke daerah (Romli, 2005). Pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia dimulai pada tahun 2005, tepatnya pada bulan Juni 2005. Pilkada langsung di Indonesia sering dikatakan sebagai suatu lompatan demokrasi yang dapat berkono tasi positif maupun negatif (Kristiadi, 2006). Dalam arti positif, Pilkada langsung memberikan kesempatan kepada rakyat di daerah sebagai salah satu infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini akan mendorong terjadinya keseimbangan antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik, karena melalui

xxiv

pilkada langsung maka rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Pengertian PILKADA sendiri ialah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung) sudah terjadi di ratusan tempat di seluruh Indonesia. Namun, ada gejala mencolok yang cukup mengkhawatirkan yang terjadi dalam masyarakat. Antusiasime publik dan tingkat partsipasi masyarakat luas dalam pilkada itu cukup rendah. Ukuran paling mencolok dari rendahnya keterlibatan publik itu adalah rendahnya tingkat Voter Turnout (partisipasi pemilih yang mencoblos di TPS pada hari pemilihan). Di banyak daerah di Indonesia, hanya 70 persen pemilih yang terdaftar yang datang ke tempat pemungutan suara. Di beberapa tempat, bahkan hanya sekitar 50 persen dari pemilih yang ikut mencoblos. Persentase Voter Turnout (50 %) itu jelas sekali di bawah rata-rata standard Pemilu Nasional di Indonesia. Sejak Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi, rata-rata Voter Turnout itu sekitar 90 persen. (Denny JA, 01/05/2006). Secara hukum, rendahnya tingkat partisipasi publik itu tidak membatalkan pemilu. Sejak awal negara kita menganut asas suka-rela

xxv

dalam partisipasi politik di dalam pelaksanaan pemilu. Para pemilih boleh mendaftarkan diri sebagai pemilih, boleh juga tidak. Bahkan pemilih yang sudah memiliki kartu pemilih boleh datang ke tempat pemilihan, boleh juga tidak. Partisipasi politik itu dianggap menjadi hak warga negara bukan kewajiban dari warga negara. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Yaitu: a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung. b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.

xxvi

d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan. e. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini. 2. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Langsung Pilkada berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 dikatakan memenuhi syarat sebagai pilkada langsung karena adanya kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pemilih dan memberikan peluang kepada masyarakat melalui partai politik untuk menjadi calon, menjadi penyelenggara, dan mengawasi jalannya pelaksanaan kegiatan. Adapun kegiatan pilkada langsung dilaksanakaan dalam 2 (dua) tahap, yakni masa persiapan dan masa pelaksanaan, sebagaimana dinyatakan

xxvii

dalam pasal 65 ayat (1)10. Pada ayat (2) disebutkan bahwa kegiatankegiatan yang tercakup dalam masa persiapan adalah: a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah. b. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pilkada c. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS. d. Pembentukan dan pendaftaran pemantau. Dalam kegiatan masa persiapan, partisipasi masyarakat sangat menonjol dalam pembentukan Panitia Pengawas (Panwas), PPK, PPS, dan KPPS. Tahapan pelaksanaan terdiri dari 6 (enam) kegiatan sesuai pasal 65 ayat (3)11, yaitu: 1) Penetapan daftar pemilih 2) Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah 3) Kampanye 4) Pemungutan suara 5) Penghitungan suara 6) Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.

xxviii

3. Pengertian Sosialisasi Politik Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat. Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistim politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik (Rush & Althof : 2008: 27 ) Lebih lanjut Greenstein dalam karyanya International Encyolopedia of The Social Sciences 2 mendefinisikan sosialisasi politik : a. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini. b. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara nominal belajar bersikap non politik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang

bersangkutan. Berbeda dengan pendapat lainnya menurut Easton dan Denuis mengatakan bahwa sosialisasi politik adalah suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya. Devinisi ini memberikan penekanan pada pentingnya sosialisasi politik untuk membentuk orientasi politik masyarakat. Sedangkan

xxix

menurut Almond mengatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku. (Dikutip Dari : http://zanas.wordpress.com/pentingnya-sosialisasi-politik-dalampengembangan-budaya-politik/) Jadi secara garis besar pengertian sosialisasi politik dapat diartikan sebagai suatu proses penyampaian informasi politik kepada individu untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik yang baik untuk membentuk sikapsikap politik dan pola-pola tingkah laku publik yang diarahkan pada pencapaian tujuan politik yang telah ditentukan. Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada dua tingkat: a. Tingkat Komunitas Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya. b. Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka. Proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanann tetapi sosialisasi dilakukan uantuk memberikan pencerahan kepada obyek sosialisasi melalui pendekatan yang persuasif sehingga kesadaran dapat tumbuh dan terbentuk. Dengan adanya sosialisasi pengertian dan pemahaman atas sesuatu hal yang belum jelas dapat dijelaskan secara rinci untuk

xxx

kemudian diarahkan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Hubungannya dengan politik sosialisasi lebih mengarah pada tingkat individual proses dimana sosialisasi itu dilakukan untuk membentuk pandangan-pandangan politik warga Negara. Dimana peran-peran agen sosialisasi sangat diperlukan untuk melaksanakan hal tersebut dengan pemahaman atas isi materi dan mekanisme yang tepat. Agar sosialisasi dapat berjalan lancar, tertib dan berlangsung terus menerus maka terdapat dua tipe sosialisasi yaitu formal dan informasi. a. Formal, sosialisasi ini terbentuk melalui lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat yang memiliki tugas khusus dalam mensosialisasikan nilai, norma dan peranan-peranan yang harus dipelajari oleh masyarakat. b. Informal, sosialisasi ini terdapat dalam pergaulan sehari-hari yang bersifat kekeluargaan Dalam konteks ini sosialisasi politik mengarah pada tipe sosialisasi politik formal yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku lembaga yang dibentuk Pemerintah yang memiliki tugas melaksanakan Pemilihan Umum secara langsung. Sosialisasi politik juga dikategorikan menjadi dua jenis yaitu sosialisasi politik langsung (face to face) dan sosialisasi politik tidak langsung dengan menggunakan media sosialisasi. Kedua jenis sosialisasi politik dapat digunakan oleh KPU dalam mensosialisasikan agenda tahapan pelaksanaan Pilkada dan memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk berpartisipasi.

xxxi

Sosialisasi yang dilakukan oleh KPU untuk mensosialisasikan Pemilihan Kepala Daerah dapat dilaksanakan melalui bentuk-bentuk sebagai berikut ; - Ceramah dan diskusi - Penerangan melalui berbagai forum seperti pengajian, paguyuban, arisan - Pengumuman melalui mobil keliling, Media Massa, Radio dan Televisi - Penyebaran poster, spanduk, baliho , kalender, pamphlet atau media lainnya. - Pendekatan dari rumah-rumah langsung pada masyarakat oleh para petugas. - Pengumuman lewat masjid, kerjasama dengan Ormas/LSM dan Kantor /instansi pemerintah dan lain-lain Bentuk-bentuk sosialisasi diatas dapat digunakan petugas lapangan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan mengingatkan tentang pentingnya pelaksanaan Pilkada untuk menentukan sosok Kepala Daerah yang sesuai dengan harapan masyarakat untuk memimpin daerahnya. Tahapantahapan pelaksanaan Pilkada juga menjadi materi dari sosialisasi. Dengan mengetahui hal tersebut Diharapkan peningkatan partisipasi politik

masyarakat mensukseskan jalannya Pilkada dapat dicapai sebagai tujuan akhir dilakukannya sosialisasi dalam Pilkada 4. Pengertian Partisipasi Politik. Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin pars yang artinya bagian dan capere, yang artinya mengambil, sehingga diartikan mengambil bagian. Dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi

xxxii

berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara. Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi. Pada hakekatnya asumsi yang mendasari demokrasi (partisipasi) adalah orang yang paling tahu tentang apa yang terbaik bagi dirinya adalah orang itu sendiri, karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah menyangkut dan berpengaruh besar terhadap kehidupan warga Negara. Maka dari itu warga Negara berhak ikutserta menentukan isi keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Jadi partisipasi politik diartikan sebagai keikut sertaan warga Negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan partisipasi politik warga Negara biasa dibagi menjadi dua yaitu : mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut untuk menentukan pembuat dan pelaksana keputusan politik. Dari pengertian diatas dapat ditarik beberapa criteria pengertian dari partisipasi politik yaitu : a. Menyangkut kegiatan yang dapat diamati (obyektif) b. Merupakan kegiatan politik warga Negara biasa yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung (perantara) c. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah baik berupa bujukan atau dalam bentuk tekanan bahkan penolakan terhadap keberadaan figur para pelaku politik dan pemerintah.

xxxiii

d. Kegiatan tersebut diarahkan kepada upaya mempengaruhi pemerintah tanpa peduli efek yang dapat timbul jika gagal maupun berhasil. e. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar tanpa kekerasan (konvensional) maupun diluar prosedur yang wajar (non konvensional) atau dengan kekerasan (violence) Sedangkan batasan partisipasi politik berdasarkan pengertian Huntington dan Nelson (1994:16-17)adalah: a. Partisipasi politik menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikapsikap. b. Subyek partisipasi politik adalah warga negara preman (private citizen) atau orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik. c. Kegiatan dalam partisipasi politik adalah kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabatpejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik. d. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu memunyai efek atau tidak.

Lebih lanjut Huntinton dan Nelson menjelaskan tentang bentuk partisipasi politik yang meliputi : 1) Kegiatan pemilihan; memberikan suara, memberikan sumbangan untuk kampanye, mencari dukungan bagi seorang calon dll. 2) Lobbying; upaya-upaya untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil. 3) Kegiatan organisasi; kegiatan sebagai anggota atau pejabat organisasi yang tujuannya mempengaruhi pengambilan keputusan politik. 4) Mencari koneksi, (contacting); tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya seorang atau beberapa orang.

xxxiv

Bentuk partisipasi politik itu sendiri secara hierarkis dijelaskan oleh oleh Rush dan Althoff (2008:124) meliputi : Menduduki jabatan politik atau administrasi Mencari jabatan politik atau administrasi Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb Partisipasi dalam diskusi politik informasi, minat umum dalam politik Voting (pemberian suara) Apathis total

Secara garis besar bentuk kegiatan politik dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: kegiatan politik konvensional dalam bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern seperti kampanye, diskusi politik, pemberian suara dalam pemilihan dan sebagainya. Adapun bentuk nonkonvensional kegiatan politik seperti : Petisi, kekerasan, revolusioner, demonsrasi, konfontrasi, pengrusakan (anarkis) dan lain-lain Maka dari itu dibutuhkan kesadaran politik warga Negara dalam partisipasi politik masyarakat agar tidak terjadi perpecahan dan konflik. Artinya berbagai hal yang berhubungan denga pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses politik.

xxxv

Sementara itu menurut Milbarth dan Goel (dikutip dari artikel Wa Ode Asmawati : 2008) membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori yaitu : 1) apatis : orang yang menarik diri dari proses politik; 2) spectator : orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilu; 3) gladiator : orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus, aktivis partai dan pekerja kampanye serta aktivis masyarakat; 4) pengkritik : orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.

Disamping itu beberapa julukan juga diberikan kepada orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam politik seperti apatis, sinis, alienasi dan anomie (terpisah). (Sastroatmodjo, 1995 : 74). Partisipasi menurut sifatnya dibagi menjadi dua yaitu sukarela (otonom) dan desakan orang lain (mobilisiasi). Nelsom (Dalam

(Sastroatmodjo,1995: 77) membagi dua untuk mobilisasi yang dinamakan autonomous participation (partisipasi otonom) dan mobilized participation (partisipasi yang dimobilisasi). Pemberian suara dalam pemilu merupakan salah satu wujud partisipasi dalam politik yang terbiasa. Kegiatan ini, meskipun cuma pemberian suara, namun juga menyangkut semboyan yang diberikan dalam kampanye, bekerja dalam membantu pemilihan, membantu tempat pemungutan suara, dan lain-lain 5. Masyarakat Desa Soetardjo Kartohadikusumo (2004 : 9) dalam bukunya Desa

mengatakan bahwa Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan

xxxvi

sendiri. Jadi desa merupakan tempat tinggal suatu masyarakat. Masyarakat terbentuk karena tiga alasan pokok yaitu: a. Untuk hidup mencari makan, pakaian dan perumahan. b. Untuk mempertahankan hidup dari ancaman. c. Mencapai kemajuan/kemakmuran dalam hidup. Jadi masyarakat desa adalah sekelompok orang yang tinggal dalam suatu wilayah yang memiliki suatu pemerintahan dan bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan desa merupakan bagian dari suatu daerah/negara. Atau dapat dikatakan bahwa desa merupakan daerah otonom terkecil dalam suatu Negara. Seperti dijelaskan dalam UU nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 12 yang menyatakan bahwa : Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi jelas dikatakan bahwa desa berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang langsung bersingungan langsung dengan masyarakat dengan segala perbedaan adat istiadatnya. Desa memiliki peranan penting dalam suatu wilayah, dimana berbagai sektor kehidupan berada di desa. Disisi lain dalam kehidupan demokrasi Indonesia, keberadaan masyarakat desa cukup berpengaruh terhadap pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal terutama dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah

xxxvii

secara langsung. Karena sebagian besar daerah di Indonesia terdiri atas desa-desa dengan masyarakatnya yang masih tradisional. 6. Pengaruh Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa Dalam Pilkada. Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistim politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik dilakukan untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang gejalagejala politik yang terjadi dan diarahkan agar dapat memberikan tanggapan reaksi-reaksi positif terhadap gejala tersebut. Tanggapan dan reaksi ini merupakan wujud partisipasi politik masyarakat. Pada masyarakat pedesaan sosialisasi politik diperlukan, mengingat tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat desa relatif rendah. Ketersediaan tentang informasi politik pun kurang, sehingga masyarakat desa cenderung bersikap pasif menanggapi gejala-gejala politik yang terjadi. Seperti halnya dengan adanya pelaksanaan Pilkada, masyarakat desa cenderung jenuh dan lebih mementingkan mata pencahariannya untuk menopang hidupnya daripada mengikuti proses pelaksanaan Pilkada. Untuk itulah diperlukan sosialisasi politik yang tepat untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang arti pentingnya pelaksanaan Pilkada sebagai sarana pemilihan Kepala Daerahnya sendiri yang memiliki dedikasi tinggi membangun daerahnya dan memperbaiki taraf hidup

xxxviii

masyarakat. Dari uraian diatas diketahui bahwa proses sosialisasi politik memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi politik masyarakat desa dalam menanggapi gejala politik yaitu pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa. E. Definisi Konseptual Menurut Kerlinger (Jalalludin Rachmat: 1995:12), konsep adalah: abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasi hal-hal yang khusus.

Kerangka konsep ini berguna untuk menggambarkan konsep-konsep yang khusus, yang berbeda dari variabelvariabel penelitian yang akan diteliti. Untuk memperjelas penguraian lebih lanjut dalam penulisan, maka perlu dilakukan penjelasan mengenai beberapa pengertian atau istilah yang berkaitan terhadap pokok pembahasan. Dan dimaksud untuk menciptakan keseragaman atau kesamaan pemahaman terhadap pengertian masingmasing konsep yang terkandung dalam pengertian tersebut. Melalui konsep peneliti diharapkan dapat menyederhanakan

pemikirannya atau mengunakan satu istilah dengan beberapa kejadian yang berkaitan antara satu dengan yang lainya. jadi denifisi konsep merupakan tahap pemberian penjelasan mengenai pembatasan pengertian dari hal-hal yang diamati. Agar tidak menimbulkan kekaburan pengertian, kiranya diperlukan penjelasan mengenai batasan konsep-konsep penelitian, adapun konsep-konsep ini meliputi : yang digunakan dalam

xxxix

1. Pilkada. Pengertian PILKADA langsung ialah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. 2. Sosialisasi Politik Sosialisasi politik dapat diartikan sebagai suatu proses

penyampaian informasi politik kepada individu untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik yang baik untuk membentuk sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku publik yang diarahkan pada pencapaian tujuan politik yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini proses sosialisasi politik lebih mengarah pada efektifitas fungsi agen-agen sosialisasi politik, isi materi sosialisasi politik yang disampaikan, media yang digunakan dan mekanisme pelaksanaan sosialisasi politik dalam meningkatkan partisipasi politik

masyarakat desa untuk mensukseskaan jalannya pelaksanan Pemilihan Kepala Daerah. 3. Partisipasi Politik Partisipasi politik adalah keterlibatan mental dan emosional yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan atau citacita kelompok dan turut bertanggung jawab dalm dunia politik.

xl

Jadi Dalam konteks politik partisipasi dapat dimaknai sebagai bentuk keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik sebagai bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga masyarakat yang dimaksud adalah kemauan warga masyarakat untuk melihat, mengkritisi serta ikut terlibat secara aktif dalam setiap proses politik. Partisipasi dalam penelitian ini adalah partisipasi politik pada tataran demokrasi tingkat lokal yaitu di masyarakat desa. Dalam berpartisipasi memberikan hak suara yang dimilikinya dan mengikuti proses Pilkada Kabupaten Pemalang 2010. F. Denifisi Operasional Definisi operasional adalah merupakan terjemahan secara terinci tentang konsep-konsep yang ada dalam suatu penelitian. Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1995 : 5), mengemukakan definisi operasional adalah Suatu unsur yang sangat membantu komunikasi antara peneliti dan juga merupakan petunjuk bagaimana variabel-variabel itu diukur. Adapun salah satu fungsinya adalah untuk memberi petunjuk bagaimana suatu variabel yang diteliti itu dapat diukur dengan indikator-indikatornya. Namun apabila suatu variabel yang menurut pengertian konsep sulit diukur, maka pengukurannya dilakukan dengan mengoperasionalisasikan pengertian konsep tersebut. Dari definisi operasional tersebut akan melahirkan indikator-indikator, dan dari indikator-indikator tersebut akan menghasilkan deskriptor-deskriptor,

xli

sampai pada akhirnya menghasilkan butir-butir pertanyaan atau pernyataan yang dipakai sebagai alat pengumpul data. Adapun dalam penelitian ini ada dua variabel, yaitu : Pengaruh Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa, dengan indikator sebagai berikut : a. Efektifitas peran agen-agen dan media sosialisasi politik. b. Frekuensi kegiatan sosialisasi pilkada. c. Jumlah masyarakat yang mengikuti kegiatan sosialisasi politik. d. Jangkauan sosialisasi politik. e. Keikutsertaaan masyarakat dalam mengikuti proses tahapan Pilkada f. Jumlah suara sah, prosentase golput dan surat suara yang rusak.

G. Hepotesa penelitian Bertitik tolak dari uraian-uraian dan teori-teori yang telah diketengahkan di bagian depan, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis ada pengaruh sosialisasi politik dan tingkat partisipasi politik masyarakat desa dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Pemalang tahun 2010. Yang dapat digambarkan sebagai berikut : X SOSIALISASI POLITIK
Hubungan kausal/ sebab akibat, X mempengaruhi Y

Y TINGKAT PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DESA

xlii

H. Metodologi Penelitian 1. Tipe Penelitian Menurut David Kline dalam buku Metode Penelitian Administrasi Prof. Dr. Sugiyono menjelaskan bahwa tingkat ekplanasi adalah tingkat penjelasan, penelitian menurut tingkat ekplanasi adalah penelitian yang bermaksud menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta hubungan antara variabel satu dengan variabel lain . berdasarkan hal ini penelitian dikelompokkan menjadi : a. Deskriptif menurut bukunya Prof. Dr. Sugiono adalah Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (Independen) tanpa membuat perbandingan, atau

menghubungkan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain. b. Komparatif adalah Suatu penelitian yang bersifat membandingkan. c. Asosiatif atau Hubungan adalah merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini menggunakan metode asosiatif yaitu untuk menguji pengaruh antar variabel, dan tingkat signifikan pengaruh tersebut dengan analisa statistik. 2. Macam dan jenis data Penelitian adalah merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid. Untuk itu peneliti harus mengetahui macam-macam data. Menurut Sugiyono (2006:14-15) dalam bukunya Metode Penelitian Administrasi membagi macam data menjadi dua yaitu:

xliii

a. Data Kualitatif Data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat dan gambar b. Data Kuantitatif Data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (skoring: baik sekali=4, baik=3, kurang baik=2 dan tidak baik=1) Data kuantitatif dibedakan menjadi dua jenis data meliputi data diskrit/nominal yang hanya dapat digolong-golongkan secara terpisah, secara diskrit atau menurut kategori tertentu dan data kontinum. Data kontonum adalah data yang bervariasi menurut tingkatan dan diperoleh dari hasil pengukuran. Data kontinum terdiri dari tiga jenis data yaitu: 1) Kontinum ordinal : data yang berbentuk ranking atau peringkat

2) Kontinum interval : data yang jaraknya sama tapi tidak mempunyai nilai nol (0) absolute/mutlak 3) Data ratio : data yang jaraknya sama dan mempunyai nilai nol (0) absolute/mutlak. Misalnya : berat, panjang, volume dal lain-lain Dalam penelitian ini banyak menggunakan data-data kontinum ordinal yang digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi politik masyarakat desa dalam mengikuti proses pilkada dan sejauh mana efektifitas sosialisasi politik yang telah dilakukan oleh para petugas dalam Pilkada Pemalang tahun 2010.

xliv

Selain itu jika dilihat dari sumber datanya, dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu : a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan (sumber utama). Dalam penelitian ini data primer bersumber dari warga/penduduk yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada Kabupaten Pemalang 2010 yang dipilih dan ditentukan dalam penelitian ini, para petugas pemilihan/KPUD dan pengurus partai politik setempat serta pihak-piha terkait. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber utama. Data ini diperoleh dari instansi terkait, arsip, bahan dokumentasi pustaka terkait, buku, jurnal, koran, monografi, sumber data internet dan lain-lain 3. Tehnik pengumpulan data Tehnik pengumpulan data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah : a. Metode Observasi Sutrisnohadi (1986 ) dalam buku Metode Penilitian Administrasi (Sugiyono, 2006:166) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang disusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis dengan aspek terpenting antaranya proses pengamatan dan ingatan. Metode ini digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.

xlv

Dari segi pelaksanaan observasi dapat dibedakan menjadi : 1). Observasi berperan serta (participant observation) Peneliti terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari obyek yang diamati dan mengikuti aktivitas obyek penelitian. 2). Observasi nonpartisipan (participant observation) Peneliti tidak terlibat langsung dan hanya sebagai pengamat independen Dalam penelitian ini digunakan metode observasi nonpartisipan dimana peneliti hanya sebagai pengamat. Peneliti mengamati perilaku masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dan sejauh mana sosialisasi politik dilaksanakan dan diikuti oleh masyarakat dalam Pilkada Kabupaten Pemalang 2010. b. Metode interview (wawancara) Wawancara adalah percakapan dengan maksud dan tujuan tertentu. Tehnisnya adalah dengan memberikan pertanyaaan langsung kepada responden, dengan mengunakan metode wawancara langsung dimaksudkan untuk mempertegas hal-hal yang mungkin tidak diketahui responden. Pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan topik penelitian untuk memperoleh data primer dari obyek penelitian. Dalam penelitian kualitatif wawancara bertujuan untuk

memperoleh informasi suatu peristiwa, situasi dan keadaan tertentu yang dialami masyarakat desa hubungannya dengan partisipasi politik dan kegiatan politik dalam pelaksanaan Pilkada Kab Pemalang 2010.

xlvi

Wawancara juga dilakukan untuk memperoleh data tertentu sebagai pelengkap data kuesioner. c. Metode angket ( Kuesioner) Kuesioner adalah Sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahui (Arikunto 2002: 128). Kuesioner yang digunakan dalam hal ini adalah kuesioner tertutup, yakni kuesioner yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih dan jawab secara langsung oleh responden. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dari responden mengenai Pengaruh Sosialisasi

Politik Terhadap Partsipasi Politik Mayarakat Desa dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Pemalang tahun 2010. Selain itu item pertanyaan yang diajukan dan disediakan pula alternative jawaban. Oleh karena itu data angket berupa data kualitatif maka perlu diubah menjadi data kuantitatif dengan mengunakan simbul berupa angka. Sehingga semakin sesuai antara jawaban yang diberikan
responden dengan jawaban yang diharapkan, maka semakin tinggi skor atau bobot yang diperoleh jawaban setiap item instrument tersebut mengunakan bentuk pilihan ganda. (Sugiyono 2006: 73).

d. Metode Dokumenter yaitu mempelajari buku-buku dan bahan-bahan yang berhubungan dengan masalah yang menjadi pokok bahasan guna mendapatkan informasi teoritis. Data diperoleh secara tidak langsung melalui data perpustakaan

xlvii

dengan membaca dan mencari literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Studi ini dilaksanakan untuk menganalisis dokumen, catatan dan arsip mengenai pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik masyarakat desa dalam Pilkada. 4. Populasi dan Tehnik Sampling a. Populasi Pelaksanaan penelitian senantiasa akan selalu berhadapan dengan masalah populasi, sebab suatu pengujian masalah selalu berhubungan dengan sekelompok subjek baik manusia, gejala ataupun peristiwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto (2002:115) mengatakan definisi populasi sebagai berikut: keseluruhan subjek penelitian. Berangkat dari pendapat ahli diatas maka dalam penelitian ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan Warungpring, Kabupaten Pemalang yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 32,622 orang yang terbagi dalam enam desa. Kecamatan Warungpring merupakan kecamatan yang memiliki tingkat partisipasi politik paling rendah (46%) karena dari 32.662 jiwa yang terdaftar dalam DPT hanya 15,155 jiwa suara sah. b. Sampel dan Teknik Sampling Penelitian Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2006:91). Sampel yang diambil dalam penelitian harus dapat dianggap mewakili dalam suatu penelitian. Karena Populasi adalah

xlviii

tidak memungkinkan setiap peneliti menyelidiki populasi secara keseluruhan, sedangkan penelitian bertujuan untuk menemukan

generalisasi yang berlaku secara umum, maka seringkali peneliti mengambil sebagian dari populasi penelitian yaitu sebuah sampel. Untukitu dibutuhkan tehnik sampel yang tepat dan efektif untuk mendapatkan sampel yang proporsional dapat mewakili populasi penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik

Proportionate Statified Random Sampling yaitu tehnik yang digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Masyarakat Desa merupakan suatu organisasi yang mempunyai latar belakang pendidikan yang berstrata. Data diambil dengan menggali pendapat sebanyak-banyaknya dari masyarakat desa dan para petugas serta pelaku yang berkepentingan dalam Pilkada berkaitan dengan pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik, selain itu tehnik area random juga digunakan dengan mengambil obyek penelitian di Kecamatan Warungpring yang memiliki tingkat partisipasi politik paling rendah dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten Pemalang. Yaitu hanya mencapai 46% suara sah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dalam penelitian ini direncanakan akan mengambil sampel 60 orang di 3 desa di Kecamatan Warungpring ditambah pengurus/kader partai setempat dan para petugas serta dinas yang terkait dalam pelaksanaan Pilkada, sehingga total responden mencapai 100 orang.

xlix

5. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di 3 desa pada kecamatan Warungpring, Kabupaten Pemalang yang memiliki tingkat partisipasi politik paling rendah (46%) dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten Pemalang tahun 2010. Dalam pelaksanaan penelitian ini direncanakan pada bulan Januari 2010. 6. Analisa Data Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan di interpresetasikan. Proses analisa data yang dilaksanakan dalam penelitianadalah dengan : a. Menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber antara lain dari wawancara, dokumen/arsip, data statistik, laporan rekapitulasi hasil pilkada, dan sebagainya. b. Mengadakan reduksi data dengan membuat rangkuman inti atas generalisasi dari data primer yang diperoleh dan dipadukan dengan data sekunder. c. Analisis deskriptif kuantitatif, untuk mengukur tingkat partisipasi politik masyarakat desa dalam pilkada , keikutsertaan dalam kegiatan politik dan faktor sosial politik yang mempengaruhi dengan menggunakan tabel-tabel frekuensi dan persentase. Hal ini dilakukan oleh peneliti dengan membandingkan hasil analisanya dengan kesimpulan peneliti lain dan menghubungkan kembali

interprestasinya dengan teori yang ada.

d. Analisis hubungan variabel penelitian ini digunakan analisa korelasi Rank Sperman karena data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data data ordinal yang menggunakan skala Likert. Teknik analisa Korelasi Rank Spearman digunakan untuk pengujian hipotesis untuk mengetahui kuat tidaknya serta arah hubungan antara variabel independen (X) yaitu sosialisasi politik variabel dependen (Y) yaitu partisipasi politik masyarakat desa dengan menggunakan uji statistik Koefesien Rank Spearman yang bersimbol rs dengan rumus menurut Nasir (2006 : 453) sebagai berikut : rs = 1 6di2 N(n2-1) Dimana : rs = koefisien korelasi n = total pengamatan di2 = beda antara 2 pengamatan Selanjutnya untuk menguji tingkat signifikasi hubungan antara variabel X dan karena n lebih dari 100 maka pengujian signifikasi menggunakan rumus t (Sugiyono, 2006: 314) , yaitu : n-2 t=r

1 - r2
e. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel sosialisasi politik (x) terhadap variabel partisipasi politik (y) digunaka analisa koefisien determinasi dengan rumus : kd = 1 (rs 2 x 100%) Keterangan: kd = Koefisien determinasi rs2 = Koefisien korelasi.

li

I. Sistematika Pembahasan Tujuan adanya sistematika pembahasan adalah untuk mengetahui secara rinci tentang urutan proposal. Adapun sistematika proposal ini adalah : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian B. Tujuan dan Manfaat Penelitian C. Ruang Lingkup Permasalahan D. Kerangka Dasar teori E. Denifisi Konseptual F. Denifisi Operasional G. Hipotesis Penelitian H. Metodologi Penelitian I. Sistematika Pembahasan BAB I DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN A. Tinjauan Umum Kabupaten Pemalang BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Khusus Proses Pelaksanaan Pilkada

Kabupaten Pemalang 2010 B. Sosialisasi Politik C. Partisipasi Politik Masyarakat Desa

lii

D. Pengaruh Sosialisasi Politik Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa dalam Pilkada Kabupaten Pemalang 2010. BAB III HASIL PENELITIAN A. Laporan Hasil Penelitian B. Analisa Data BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

liii

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, dan Bisri A. Zaini., 2006. Pilkada Langsung Problem dan Prospek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nadapdap, Binoto. 2005. Pasang Surut Otonomi Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Sociae Polites Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. V, No. 22. Nasir, Muhamad. 2005 Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Bandung. Suparyo, Yossy. 2005, Undang-Undang Otonomi Daerah. Media Abadi, Jogjakarta Jalalludin, Rachmat. 1995, Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Rush, Michael dan Althoff, Philip. 2008. Pengantar Sosiologi Politik. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Poerwodarminta, W.J.S . 1988. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta
Pradhanawati, Ari., 2005. Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal. , Surakarta

Soetardjo Kartohadikusumo, 2004. Desa, Balai Pustaka, Jakarta. Parwitaningsih Dkk.2007, Pengantar Sosiologi, Universitas Terbuka Jakarta Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV Alfabeta, Bandung
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. PT. Grasindo , Jakarta

Syamsudin Haris (Ed). 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum. Jakarta: Sekretariat Negara.

liv

Raga Maram, Rafael, 2007, Pengantar Sosiologi Politik, PT Rineka Cipta, Jakarta Surbakti, Ramlan, 2005, e Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta Keputusan Komisi Pemilihan Umun Dan Peraturan Komusi Pemilihan Umum Online http://www.kpu.go.id (20 Desember) Prasetya, Teguh, 2005, Pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik mahasiswa, , http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp.id=74308 Online (23 Desember 2010) Irfan Zanas, 2007, Pentingnya sosialisasi politik dalam pengembangan budaya politik, http://zanas.wordpress.com, Online: 23 Desember 2010)

lv

You might also like