You are on page 1of 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggorengan Penggorengan merupakan pengolahan pangan yang umum dilakukan untuk mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam pan yang berisi minyak. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan produk yang mengembang dan renyah, selain itu untuk meningkatkan citarasa, warna, gizi dan daya awet produk akhir. Penggorengan dapat mengubah eating quality suatu makanan dan memberikan efek preservasi akibat dekstruksi termal

mikroorganisme dan enzim serta mengurangi kadar air sehingga daya simpan menjadi lebih baik (Ketaren, 1986). Weiss (1983) melaporkan bahwa sebagian air akan menguap dan ruang kosong yang semula diisi air akan diisi minyak. Menurut Fellows (1990) penggorengan adalah suatu operasi mengubah eating quality suatu makanan, memberikan efek preservasi akibat destruksi termal pada mikroorganisme dan enzim, serta mengurangi aktivitas air (aw). Shelf life makanan goreng hampir semuanya ditentukan oleh kadar air setelah penggorengan. Proses utama yang terjadi selama penggorengan adalah perpindahan panas dan masa, dengan minyak yang berfungsi sebagai media penghantar panas. Panas yang diterima bahan dipergunakan untuk berbagi proses dalam bahan, antara lain untuk penguapan air, gelatinisasi pati, denaturasi protein, reaksi pencoklatan dan karamelisasi. Proses yang beragam ini harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak merusak mutu produk. Salah satu

pengendaliannya adalah dengan mengatur waktu dan suhu penggorengan (Suyitno, 1991). Proses penggorengan suatu produk pada umumnya terdiri dari empat tahap, yaitu: 1. Tahap pemanasan awal (initial heating) Selama tahap ini bahan terendam dalam minyak panas hingga suhunya sama dengan titik didih minyak. Perpindahan panas yang terjadi antara minyak dengan bahan selama penggorengan ini merupakan perpindahan panas konveksi dan tidak terjadi penguapan air dalam bahan.

2. Tahap pendidihan permukaan (surface boilling) Tahap ini dimulai dengan proses penguapan air permukaan. Perpindahan panas konveksi alami berubah menjadi konveksi paksa karena adanya turbulensi minyak di sekitar bahan. Selama proses ini mulai terbentuk lapisancrustdi permukaan. 3. Tahap laju menurun (falling rate) Tahap laju menurun ditandai dengan adanya penguapan lebih lanjut dan kenaikan suhu pusat sehingga mendekati titik didih minyak. Pada tahap ini terjadi perubahan fisika kimia seperti gelatinisasi pati dan pemasakan. Lapisan crust yang terbentuk menjadi lebih tebal dan penguapan air permukaan semakin menurun. 4. Titik akhir gelembung (bubble end point) Apabila bahan digoreng dalam waktu yang relatif lama, maka laju pengurangan kadar air akan semakin menurun dan tidak ada lagi gelembung udara di permukaan bahan. Menurut Ketaren (1986), metode penggorengan yang umum digunakan adalah penggorengan gangsa (pan frying) dan penggorengan rendam (deep frying). Sistem menggoreng deep fat frying adalah yaitu bahan terendam seluruhnya dalam minyak sehingga penetrasi panas dari minyak dapat masuk secara bersamaan pada seluruh permukaan bahan yang digoreng sehingga kematangan bahan yang digoreng dapat merata. Deep fat frying merupakan metode penggorengan yang penting karena prosesnya cepat, tepat dan menghasilkan makanan dengan tekstur dan flavor yang disukai. Deep fat frying juga hanya memerlukan unit peralatan yang sederhana serta menghasilkan limbah gas yang jumlahnya kecil (Lawson, 1994). Morreira (1999), metode penggorengan deep fat frying merupakan proses pemasakan makanan dengan menggunakan kontak langsung dengan minyak panas, dalam cara ini terjadi perpindahan panas dan massa. Perpindahan panas selama penggorengan berjalan cepat karena seluruh permukaan bahan berinteraksi langsung dengan minyak goreng sehingga akan menghasilkan warna dan penampakan produk yang seragam. Menurut Fellows (1990), metode

penggorengan ini cocok untuk semua bentuk makanan, tetapi bahan makanan

dengan bentuk yang tidak teratur cenderung mengangkat minyak dalam volume besar ketika diangkat dari alat penggoreng. Makanan gorengan hendaknya memiliki warna coklat yang baik dan absorbsi minyak yang minimal. Faktor paling penting yang mempengaruhi sifatsifat ini adalah temperatur minyak goreng. Penggunaan temperatur minyak yang terlalu tinggi menyebabkan pembentukan warna coklat dan crustpada permukaan bahan makanan tidak sempurna. Apabila temperatur yang digunakan terlalu rendah, bahan makanan perlu waktu lebih lama untuk mencapai warna coklat yang dikehendaki dan semakin lama bahan dalam minyak goreng maka semakin banyak minyak yang terabsorbsi. Kisaran suhu yang dianggap secara ekonomis masih layak adalah antara 163-199 C (Djatmiko dan Erni, 1985 dalam Tursilawati, 1999).

2.2 Proses Penggorengan Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan mentah (raw food) menjadi makanan matang menggunakan minyak goreng adalah

(Sartika, 2009). Sedangkan menurut Muchtadi (2008) penggorengan

suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Minyak berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan (Ketaren, 1986). Sedangkan menggoreng hampa adalah menggoreng berbagai macam produk dengan kondisi hampa udara. Pada umumnya proses penggorengan dibedakan menjadi dua macam yaitu pan frying dan deep frying. Ciri dari pan frying adalah bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam di dalam minyak, sedangkan pada sistem deep frying dibutuhkan banyak minyak karena bahan pangan yang digoreng harus terendam seluruhnya. Deep fat frying didefinisikan sebagai proses dimana makanan dimasak dengan cara direndam dalam minyak nabati atau lemak dipanaskan di atas titik didih air. Proses ini dilakukan secara tradisional dalam kondisi atmosfer dan suhu penggorengan biasanya mendekati 180C. (Dobraszczyk, Ainsworth, Ibanoglu, & Bouchon, 2006 dalam Mariscal M 2008).

Menurut

Djatmiko

(1985)

penggorengan

adalah

proses

untuk

mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam ketel yang berisi minyak. Selama proses penggorengan minyak akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan alam sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh terhadap mutu bahan makanan yang digoreng. Prinsip penggorengan menurut Robertson (1967) dalam Djatmiko (1985) dapat dilihat pada Gambar 1. Di sini yang menjadi input dari ketel penggorengan adalah minyak, bahan makanan yang digoreng dan panas, sedangkan yang menjadi output adalah makan yang telah digoreng, uap panas, minyak by-products berminyak dan potonganpotongan bahan makanan yang dapat disaring.

Gambar 1. Proses penggorengan secara deep-fat frying (Robertson, 1967) Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168196C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan. Penggorengan dengan suhu tinggi sehingga makanan menjadi sangat matang memicu terjadinya reaksi browning (pencoklatan) dan akhirnya muncul senyawa amina-amina heterosiklis penyebab kanker. Selain itu

penggorengan juga mengakibatkan penurunan kandungan zat-zat gizi karena rusak. Kesalahan teknik menggoreng juga bisa berdampak buruk lainnya. Apabila minyak belum siap untuk menggoreng, kadang-kadang bahan makanan akan menyerap minyak lebih banyak. Penting diketahui bahwa meski sebagian zat gizi akan rusak selama penggorengan, makanan yang digoreng rasanya lebih gurih dan mengandung kalori lebih banyak. Cita rasa makanan gorengan ini sering lebih enak dibandingkan dengan makanan rebusan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggorengan adalah ketel penggorengan dan minyak goreng. Syarat ketel penggorengan ialah maempunyai konstruksi yang baik, coeficient of oil renewal besar, peralatan ketel harus terbuat dari metal yang tahan oksidasi dan ketel harus sering dibersihkan. Sedangkan minyak yang dipakai harus baik mutunya dimana kandungan asam lemak bebasnya rendah, ketidak jenuhannya tinggi, smoke point tinggi dan titik cair rendah. Dalam proses penggorengan suhu tidak boleh terlalu tinggi, kontak minyak dengan udara harus kecil dan minyak harus sering dibersihkan dari kotoran-kotoran. Minyak yang telah dipakai dapat dimurnikan kembali, akan tetapi kemurniannya tidak akan seperti semula. Pemakaian minyak ini harus dicampur dengan minyak segar (Djatmiko 1985). Menurut Muchtadi (2008), Pada penggorengan deep frying (Gambar 2) saat bahan makanan dimasukkan ke dalam minyak suhu permukaan bahan akan segera meningkat dan air menguap, permukaan bahan pangan akan mengering, terjadi penguapan lebih lanjut dan berbentuk kerak (crust). Suhu permukaan bahan akan meningkat hingga suhu minyak panas, sedangkan suhu bagian dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan hingga suhu 100C. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak sekitar 180C-200C. Pada saat bahan pangan digoreng, akan terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke bahan pangan, melalui media pindah panas minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, bahan pangan akan melepaskan uap air yang dikandungnya. Permukaan bahan pangan memiliki struktur yang porous, yang memiliki kapiler-kapiler dengan berbagai ukuran. Selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler-

kapiler yang lebih besar dahulu, dan digantikan oleh minyak panas. Uap air yang keluar dari bahan pangan pada saat penggorengan akan dilepaskan ke udara bebas. Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pangan yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur yang renyah. Minyak juga akan melepaskan hasil degradasi minyak yang bersifat volatil ke udara. Bahan pangan sendiri akan melepaskan remah-remah hasil penggorengan ke dalam minyak, demikian juga berbagai komponen yang terlarut minyak akan berada pada minyak goreng. Suhu tinggi akan menyebabkan waktu penggorengan lebih singkat. Namun suhu tinggi juga dapat mempercepat terjadinya kerusakan minyak akibat pembentukan asam lemak bebas, yang mengakibatkan perubahan kekentalan, flavor, dan warna minyak goreng. Pemanasan yang berlebihan pada bahan pangan mengakibatkan minyak lebih banyak terperangkap dalam produk gorengan. Produk yang diibginkan memiliki kerak yang kering dengan bagian dalam basah , harus digoreng pada suhu tinggi. Terbentuknya kerak pada permukaan bahan pangan akan menghambat laju pindah panas ke bagian dalam bahan pangan. Pemanasan pada tekanan atmosfer memungkinkan terjadinya kontak antara minyak goreng dengan udara yang memungkinkan terjadinya oksidasi pada minyak.

Gambar 2. Skema penggorengan deep frying pada tekanan atmosfer Menurut penggorengan Muchtadi juga dapat (2008) berdasarkan kondisi kondisi tekanan prosesnya, atmosferik,

dilakukan pada

bertekanan lebih tingggi dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi vakum. Penggorengan pada kondisi tekanan atmosfer terjadi pada penggorengan

konvensional dimana proses penggorengan dilakukan secara terbuka pada tekanan normal atmosfer. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak yaitu sekitar 180-200C. Uap air yang keluar dari bahan pangan akan dilepaskan ke udara bebas. Proses penggorengan pada kondisi bertekanan, dilakukan pada tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan peralatan penggorengan khusus dengan sistem tertutup yang mampu

menahan tekanan tinggi. Wajan penggorengan berupa wadah tertutup yang diberi tekanan tinggi yang akan mengakibatkan proses penggorengan terjadi pada suhu yang juga lebih tinggi. Proses penggorengan pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer, hingga tekanan lebih kecil dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan pada tekanan yang lebih rendah akan menyebabkan titik didih minyak goreng juga lebih rendah, misalnya dapat mencapai 90C. Proses penggorengan yang terjadi pada suhu yang rendah ini menyebabkan proses ini sangat sesuai digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi. Bahan pangan seperti sayuran dan buah segar, apabila digoreng pada tekanan atmosfer akan segera mengalami kecoklatan dan gosong, teksturnya juga lembek dan liat karena tidak banyak melepaskan air yang

dikandungnya. Sedangkan bila digoreng dengan kondisi

vakum, suhu

penggorengan akan lebih rendah sehingga dapat dihasilkan warna hasil gorengan yang baik, serta tekstur yang renyah.

2.3 Teknik Penggorengan Bahan Pangan Penggorengan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air bahan yang dipindahkan dari permukaan bahan yang digoreng dengan minyak sebagai media panghantar panas. Tujuan penggorengan adalah mengurangi kadar air bahan akibat dari penguapan karena pemanasan. Sedangkan menurut Azkenazi et al (1984), menyatakan bahwa penggorengan adalah suatu teknik pemasakan dan pengeringan melalui kontak

dengan minyak atau lemak panas yang melibatkan pindah panas dan massa secara simultan. Pada proses penggorengan pemanasan bahan berlangsung secara cepat dengan penetrasi jauh kedalam, sehingga penurunan nilai gizi dan kualitas sensorisnya lebih kecil. Menurut Lawson (1995), proses penggorengan dapat dibedakan menjadi 3 metode yaitu: griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode griddling dan pan frying banyak digunakan dalam pengolahan pangan skala rumah tangga. Metoda griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle (alat penggoreng dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat sedikit, sehingga membentuk lapisan film minyak pada permukaan griddle. Sedangkan goreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah teknik menggoreng dimana bahan bersentuhan langsung dengan pemanas dan hanya dibatasi oleh selapis tipis minyak/lemak. Secara tradisional umumnya proses ini hanya berlangsung pada satu permukaan dari bahan yang digoreng, sehingga bahan perlu dibolak- balik agar matang secara merata. Sedangkan metode deep fat frying yaitu proses menggoreng dengan menggunakan pindah panas yang

langsung dari minyak yang panas kemakanan yang dingin (Lawson, 1995). Dimana metode ini biasa digunakan dalam industri-industri makanan. Pengertian menggoreng cenderung mengarah ke pengertian deep fat frying, dimana seluruh bagian bahan pangan terendam dalam banyak minyak dan seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga berwarna seragam. Proses penggorengan ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama disebut tahap pemanasan awal. Pada tahap ini pindah panas yang terjadi antara minyak dan bahan adalah konveksi dan belum terjadi penguapan air dari bahan. Sedangkan pada tahap kedua lapisan luar bahan pangan mulai mendidih, dan penguapan air bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan. Tahap ketiga (falling rate) ditandai dengan banyaknya keluar air dari bahan pangan dengan suhu permukaan bahan diatas 100C, temperatur lapisan core mulai mencapai titik didih dan lapisan renyahan terus terbentuk. Sedangkan pada tahap keempat yang disebut dengan bubble end point, proses yang terjadi yaitu laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat dilapisan permukaan bahan.

Perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan kadar air selama proses penggorengan dalam dua cara, pertama transfer massa air terjadi dari dalam ke permukaan bahan kemudian menguap kelingkungan, dan kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan.

2.4 Struktur Produk Gorengan Struktur dasar pangan gorengan terdiri dari inerzone atau inti, outerzone atau kerak dan outerzone surface atau permukaan kerak (Robertson, 1967). Inti adalah bagian yang masih mengandung air. Pada pangan tipis seperti keripik, bagian inti ini hampir tidak ada yang tertinggal hanya bagian kerak saja.

Gambar 3. Struktur bahan pangan yang digoreng Kerak outerzone adalah bagian luar pangan gorengan yang mengalami dehidrasi, semakin tebal bagian ini maka makin banyak minyak yang terserap. Outerzone surface adalah bagian paling luar dari bahan pangan gorengan yang berwarna coklat kekuningan. Warna coklat umumnya me rupakan hasil reaksi Maillard yang dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu dan lama penggorengan. Ada dua cara untuk menggolongkan produk hasil gorengan. Yang pertama dikemukakan oleh Azkenazi, et al (1984) serta Blumenthal (1991) dimana

mereka membagi produk gorengan menjadi (a) produk gorengan tanpa kerak contohnya ayam goreng, (b) produk dengan kerak contohnya French fries dan (c) produk yang keseluruhannya berupa kerak seperti keripik kentang.

2.5 Transfer Panas

Penggorengan merupakan fenomena transfer yang terjadi secara simultan yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak. Panas yang ditransfer dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan dan minyak diserap oleh bahan (Whitaker 1977a; Sahin et al. 1999). Faktor- faktor yang memp engaruhi proses transfer panas dan massa tersebut adalah sifat-sifat thermal dan physicochemical bahan dan minyak, suhu minyak dan perlakuan bahan sebelum digoreng (Krokida et al . 2001). Kecepatan transfer panas dari minyak ke bahan sangat dipengaruhi oleh suhu minyak, koefisien transfer panas, konduksi bahan dan bentuk dimensi serta ukuran bahan. Kecepatan transfer massa air dari bahan ke lingkungan (minyak) dipengaruhi oleh kadar air awal produk yang akan digoreng, difusifitas bahan dan bentuk dimensi serta ukuran bahan. Kecepatan transfer minyak oleh bahan dipengaruhi oleh suhu minyak, viskositas minyak, porositas bahan, dan perbedaan tekanan kapiler. Panas merupakan dasar dari proses pemasakan, yang diakibatkan dari meningkatnya temperatur berakibat terhadap energi input.

2.6 Suhu Penggorengan Suhu penggorengan harus lebih tinggi dari titik didih air, tetapi tidak boleh tinggi karena akan mempercepat kerusakan minyak. Biasanya suhu penggorengan yang dipakai adalah 177 - 221C (Winarno, 1997), atau 163-196C (Block, 1964), tergantung bahan pangan yang akan digoreng. Penggorengan pada suhu 165- 178C baik untuk menggoreng kacang dan berbagai jenis keripik, sedangkan pada suhu 190C baik untuk menggoreng donat (Robertson, 1967). Pedoman umum dalam menggoreng telah dirumuskan oleh Weiss (1985) yakni untuk makanan yang berbentuk irisan kecil penggorengan dilakukan secara cepat menggunakan suhu tinggi. Sedangkan untuk irisan besar yang membutuhkan waktu yang lama untuk penetrasi panas, sebaiknya digoreng pada suhu yang rendah. Tindakan ini untuk mencegah pemasakan yang berlebihan atau gosongnya permukaan bahan pangan. Temperatur penggorengan yang tinggi menyebabkan air dalam bahan makanan menjadi panas dan terpompa keluar kedalam minyak disekitarnya dalam

bentuk uap air. (Varela, dkk, 1988). Sebagian air akan menguap dari ruang kosong yang semula diisi air kemudian diisi oleh minyak.

2.7 Perubahan Kandungan Air Bahan Pindah massa selama proses penggorengan terutama ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang terjadi karena menguapnya air dari bagian kerak dan menurunnya kapasitas pengikatan air (water holding capacity) bahan pada saat kenaikan suhu (Hallstrom, 1980). Kadar air merupakan parameter penting untuk diterima oleh konsumen karena akan menentukan sifat keripik. Menurut Prashad dan Mathur (1956) kehilangan air paling banyak terjadi pada menit pertama dan jumlahnya semakin bertambah dengan meningkatnya suhu penggorengan (Irawan, 1992). Pada awal terbentuknya kerak, air yang diuapkan pada lapisan tersebut ditransfer keluar permukaan bahan melalui media pemanas cair yang terlihat dalam bentuk gelembung kecil. Pada saat itu terjadi penurunan kadar air yang paling besar. Dengan meningkatnya waktu penggorengan, kerak makin tebal dan menghalangi jalannya uap air, akibatnya laju penurunan kadar air semakin berkurang. Pembentukan lapisan kerak yang kering pada bagian luar bahan menyebabkan adanya gradient difusi uap air pada bagian tersebut dan gradient tekanan uap air dibawah lapisan kerak (Irawan, 1992).

2.8 Pengaruh Penggorengan Terhadap Kerusakan Nutrisi Oksidasi pada lemak dapat menyebabkan terjadinya ketengikan

(Autooksidasi). Menurut Ketaren (1986) faktor-faktor yang mempercepat oksidasi adalah (1) radiasi oleh panas dan cahaya; (2) bahan pengoksidasi (oxidizing agent); (3) katalis metal khususnya garam dari logam berat; (4) system oksidasi yang diakibatkan adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Kerusakan akibat oksidasi pada bahan pangan yang berlemak terdiri atas dua tahap, tahapan pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen, tahapan kedua yang merupakan kelanjutan dari tahapan pertama, yang prosesnya dapat merupakan proses oksidasi maupun non oksidasi. Pada oksidasi ini umumnya terjadi pada setiap jenis lemak seperti minyak goreng.

Oksidasi lemak akan bereaksi dengan komponen bukan berasal dari lemak yaitu dengan protein. Perubahan oksidatif dari fraksi lemak adalah kecil tergantung dari kadar asam lemak tidak jenuh pada makanan yang digoreng. Senyawa peroksida yang mengalami dekomposisi oleh panas dalam waktu yang lama akan mengakibatkan destruksi beberapa vitamin dalam bahan pangan yang berlemak. Peroksida ini juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlahnya lebih besar daro 100 maka dia bersifat racun dan tidak dapat dimakan (Ketaren, 1986). Menurut Ketaren (1986), autooksidasi acyl -lipid ini dapat dihambat dengan tiga cara yaitu (1) dengan meminimalkan kontak dengan oksigen, (2) penyimpanan pada suhu rendah bebas cahaya, dan (3) dengan penggunaan kemasan vakum atau dengan pemberian oksidasi glukosa.

2.9 Jenis-Jenis Penggoreng (Fryer) Jenis-jenis penggoreng menurut FSTC (2002) antara lain : 1. Open Deep-Fat Fryer adalah jenis penggoreng yang paling umum digunakan. 2. Pressure Dee-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada tekanan lebih dari 1atm. Penggunaan tekanan dimaksudkan untuk mengurangi resapan minyak ke dalam produk dan mengurangi kehilangan air dari produk. 3. Vacuum Deep-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada tekanan di bawah 1atm. Jenis ini digunakan untuk produk yang tidak tahan pada suhu tinggi. Teknologi pemanasan minyak goreng khususnya pada penggoreng komersial pada dasarnya menggunakan pipa panas (heat pipe). Sumber panas yang digunakan untuk memanaskan pipa pemanas antara lain : 1. Panas listrik melalui kawat pemanas 2. Panas uap yang dibangkitan lewat boiler 3. Panas gas lewat pembakaran bahan bakar gas atau minyak. Posisi atau letak pipa panas dalam wada h penggoreng pada umumnya terletak di dasar sehingga minyak goreng menerima panas dari bawah.

Perpindahan panas dari pipa panas ke minyak goreng berlangsung secara konveksi natural akibat bouyancy force. Kapasitas wadah penggorengan berkisar antara 7 kg sampai 90 kg minyak goreng dengan daya listrik berkisar antara (2 27) kVA untuk penggorengan komersial (FSTC, 2002).

2.10 Deep fat frying Prinsip penggorengan deep fat frying, minyak, bahan pangan dan panas adalah input proses sedangkan out putnya berupa makanan gorengan, uap air, uap minyak, minyak jelantah dan remah- remah bahan pangan (Robertson, 1967). Metode ini sangat penting karena prosesnya cepat, mudah dan produknya mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.

Gambar 4. Kesetimbangan masa dan panas pada proses penggorengan secara deep fat frying (modifikasi Robertson, 1967) Akibat proses penggorengan terjadi perubahan- perubahan fisik yang bersifat spesifik yaitu (1) kenaikan suhu produk ke level yang dikehendaki, (2) evaporasi air, (3) kenaikan suhu permukaan hingga terjadi pencoklatan dan terbentuknya kerak, (4) perubahan di mensional bahan pangan, (5) terserapnya minyak kedalam bahan, dan (6) perubahan densitas produk gorengan yang menyebabkan produk timbul tenggelam selama proses berjalan (Block, 1955).

2.11 Mesin Penggoreng Vakum Menurut Lastriyanto (2006), penggorengan hampa dilakukan dalam ruang tertutup dengan kondisi tekanan rendah sekitar 70 cmHg. Dengan penurunan tekanan maka suhu penggorengan bisa dilakukan relatif lebih

rendah dibandingkan suhu penggorengan dengan tekanan atmosfir. Prinsip utama cara kerja alat ini adalah melakukan penggorengan pada kondisi vakum, 7.52 cmHg-7.6 cmHg. Kondisi vakum ini dapat menyebabkan penurunan titik didih minyak dari 110 C-200 C menjadi 80C-100C sehingga dapat mencegah terjadinya perubahan rasa, aroma, dan warna bahan seperti mangga dan buah lainnya. Menurut Muchtadi (2008) proses penggorengan pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer, hingga tekanan lebih kecil dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan pada tekanan yang lebih rendah akan menyebabkan titik didih minyak goreng juga lebih rendah, misalnya dapat mencapai 90C. Proses

penggorengan yang terjadi pada suhu yang rendah ini menyebabkan proses ini sangat sesuai digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi.

Gambar 5. Mesin Vacuum Frying Deskripsi Mesin Penggoreng Vakum 1. Pompa vakum water jet, berfungsi untuk menghisap udara di dalam ruang penggoreng sehingga tekanan menjadi rendah, serta untuk

menghisap uap air bahan. 2. Tabung penggoreng, berfungsi untuk mengkondisikan bahan sesuai tekanan yang diinginkan. Di dalam tabung dilengkapi keranjang buah setengah lingkaran. 3. Kondensor, berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama penggorengan. Kondensor ini menggunakan air sebagai pendingin.

4. Unit Pemanas, menggunakan kompor gas LPG. 5. Unit Pengendali Operasi (Boks Kontrol), berfungsi untuk

mengaktifkan alat vakum dan unit pemanas. 6. Bagian Pengaduk Penggorengan, berfungsi untuk mengaduk buah yang berada dalam tabung penggorengan. Bagian ini perlu sil yang kuat untuk menjaga kevakuman tabung. 7. Mesin pengering (spinner), berfungsi untuk meniriskan kripik.

Gambar 6. Bagan skema sistem mesin penggoreng hampa sistem jet air

1. Sumber pemanas 2. Tabung penggoreng 3. Tuas pengaduk 4. Pengendali suhu 5. Penampung kondensat 6. Pengukur vakum 7. Keranjang Penampung bahan

8. Kondensor 9. Saluran hisap uap air 10. Water Jet 11. Pompa sirkulasi 12. Saluran air pendingin 13. Bak air sirkulasi 14. Kerangka

DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto, Mulono. 2003. Chemistry of Frying Oils. Tesis. Program Studi Teknik Pertanian. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: Jogjakarta Ayu Dewi Sartika, Ratu. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara, Sains, Vol. 13, No. 1, April 2009: 23-28 Blumenthal, M.M. and Stier, R.F. operations. Trend Food Sci. 1991. Optimization of deep fat frying

Krokida, M.K., Oreopoulou,V., Maroulis, Z.B., and Marinos-Kouris, D. 2001. Colour changes during deep fat frying. Journal of Food Engineering, 48, 219-225. Lastriyanto, A. 1998. Sistem peng-gorengan hampa dengan water jet. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Perkins, E.G. Lipid oxidation of deep fat frying, in Food Lipids and Health,McDonald, R.E. andMin, D.B.,Eds., Dekker, New York, 1996, p. 139. Rossell, J. B. 2001. Frying. Woodhead Publishing Limited, Abington Hall, Abington, Cambridge, England.

You might also like