You are on page 1of 19

PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES Akhtar Fajar M Ari Sutjahjo PENDAHULUAN Penyakit arteri

perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan suatu kumpulan kelainan yang ditandai oleh penyempitan atau oklusi arteri yang dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke ekstremitas. Pasien yang menderita PAD dapat asimtomatik namun jika penyakit ini bertambah parah, penderita umumnya mengalami morbiditas yang bermakna serta penurunan kualitas hidup sebagai akibat dari oklusi arteri perifer seperti klaudikasio intermiten serta gejala critical limb ischemia (CLI) yang ditandai dengan nyeri pada ekstremitas pada saat istirahat, ulserasi iskemik ataupun gangren. Pasien diabetes yang menderita PAD memiliki resiko tinggi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular. Oleh karena jumlah pen derita diabetes mellitus (DM) sangat banyak (120-140 juta orang) di seluruh dunia dan a danya kenyataan bahwa pasien diabetes memiliki risiko yang tinggi untuk menderita PAD maka implikasi dari masalah ini menjadi sangat besar (ADA, 2003). Sehubungan dengan hal tersebut maka pembahasan kali ini akan menitikberatkan pada pemahaman mengenai patofisiologi penyakit ini serta menentukan modalitas pemeriksaan yang tepat dan cepat dalam upaya penegakan diagnosis sehingga dihara pkan manajemen PAD pada pasien diabetes menjadi lebih baik. FAKTOR RESIKO PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES Terdapat beberapa faktor resiko yang telah dikenali dapat meningkatkan predisposisi kejadian PAD pada diabetes. Banyak penelitian telah berusaha untuk menemukan jawaban dari permasalahan ini dengan cara membandingkan PAD pada pasien diabetes dan non-diabetes serta membandingkan pasien diabetes dengan dan tanpa PAD. Pertambahan usia berhubungan erat dengan PAD pada pasien DM tipe 1 maupun tipe 2. Walaupun pada penelitian Framingham menjelaskan bahwa resiko tinggi pasi en DM menderita PAD terjadi pada usia kurang dari 75 tahun, penelitian Framinghamoffspring juga menemukan bahwa setiap usia 10 tahun, odds ratio PAD sebesar

2,6(Murabito, 2002). Pada penelitian Framingham dan Rochester, insidens PAD lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Wanita dengan diabetes lebih cenderung menderita PAD jika dibandingkan dengan wanita yang non-diabetes pada usia yang sama. Sementara itu, wanita yang belum menopause pada populasi umum memiliki perlindungan yang relati f baik terhadap aterosklerosis oleh karena status hormonal yang masih aktif (Abbot t, 1990). Pada suatu penelitian oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), durasi dan derajat hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan resiko insidens PAD secara independen dari faktor resiko lainnya. Peningkatan HbA1C setiap 1% berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya PAD pada akhir durasi 18 tahun menderita diabetes sebesar 28% (Adler, 2002). UKPDS juga menemukan bahwa peningkatan tekanan darah sistolik merupakan faktor resiko independen untuk PAD dan setiap peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg maka resiko terjadinya PAD pada akhir durasi 18 tahun menderita diabetes meningkat sebesar 25%(Adler, 2002). Tabel 1 : Faktor resiko PAD pada diabetes mellitus (Adler, 2002) Faktor Resiko Tipe Diabetes Mellitus Peningkatan usia Jenis Kelamin Laki-Laki Durasi diabetes mellitus Derajat hiperglikemia Merokok Hipertensi Dislipidemia Peningkatan kadar lipoprotein (a) Peningkatan kadar apolipoprotein (a) Obesitas, obesitas sentral Resistensi insulin Peningkatan kadar fibrinogen Hiperhomosisteinemia Mikroalbuminuria Peningkatan kadar faktor von Willebrand Peningkatan kadar kompleks trombin-antitrombin Peningkatan kadar molekul adhesi intraseluler 1, 2 2 1, 2 2 2 1, 2 1, 2 1, 2 2 2 1, 2 2 Non-diabetes 1, 2 2

2 2

I. PATOFISIOLOGI PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES I.1. Diabetes dan Inflamasi Vaskuler Inflamasi telah menjadi petanda resiko bahkan faktor resiko penyakit aterotrombosis termasuk PAD. Diabetes mellitus meningkatkan proses pembentukan ateroma. Terdapat peningkatan kadar histamin pada plasma dan sel pada pasien dia betes dengan PAD sehingga dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel. Akibatn ya, migrasi limfosit T ke dalam tunika intima serta sekresi dan aktivasi sitokin men ingkat. Monosit/makrofag menelan molekullow-density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi y ang kemudian berubah menjadi sel busa dimana akumulasi dari sel ini akan membentuk f atty streakyang merupakan prekursor dari ateroma. Plak ateroma akan menjadi tidak sta bil oleh karena sel endotel pada pasien diabetes ini mengeluarkan sitokin yang mengh ambat produksi kolagen oleh sel otot polos pembuluh darah. Selain itu metalloproteinas e juga dikeluarkan oleh sel-sel inflamasi ini dimana zat ini dapat menghancurkan kolage nfibrous cap plak ateroma sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya ruptur pla k dan pembentukan trombus (Rader, 2000; Beckmann, 2002; Hansson, 2005). Peningkatan kadar C-Reactive Protein (CRP) berhubungan erat dengan kejadian PAD. Selain itu, kadar CRP juga meningkat pada pasien dengan kelainan regulasi glukosa darah termasuk pasien dengan toleransi glukosa darah terganggu dan diabe tes. Selain sebagai petanda adanya penyakit, kadar CRP yang tinggi juga dapat menjadi penyebab terjadinya eksaserbasi PAD. CRP ternyata dapat berikatan dengan resepto r sel endotel yang dapat merangsang apoptosis dan berada bersama dengan LDL teroksidas i pada plak aterosklerosis. CRP juga dapat menstimulasi produksi faktor prokoagula si oleh endotel, molekul adhesi leukosit dan menghambat endothelial cell nitric oxide sy nthase (eNOS) sehingga menyebabkan kelainan pada pengaturan tonus pembuluh darah. Selai n itu, CRP juga dapat meningkatkan produksi bahan yang menggangu proses fibrinolis is seperti plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) (Ridker, 1998). I.2. Diabetes dan Disfungsi Endotel Kelainan fungsi sel endotel dan otot polos pembuluh darah serta adanya kecenderungan terjadinya trombosis memberikan dampak terhadap kejadian aterosklerosis dan komplikasinya. Oleh karena posisi anatomis yang strategis ant ara dinding pembuluh darah dengan aliran darah, sel endotel dapat mengatur fungsi da n

struktur pembuluh darah. Pada keadaan normal, banyak zat aktif disintesis dan di lepaskan oleh sel endotel untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah sehingga dapat mempertahankan aliran darah serta nutrisi ke jaringan sekaligus mencegah terjadi nya trombosis dan diapedesis leukosit (Kinlay, 2001). Dari semua molekul yang disintesis oleh sel endotel, nitric oxide (NO) yang diproduksi oleh endothelial NO synthase (eNOS) melalui oksidasi guanidine-nitrog en terminal dari L-arginine. Bioavailabilitas NO merupakan petanda utama kesehatan pembuluh darah. NO menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi guanylyl cyclase pa da sel otot polos pembuluh darah. Selain itu, NO melindungi pembuluh darah terhadap cedera dari dalam seperti aterosklerosis dengan cara memperantarai sinyal-sinyal molekuler yang mencegah interaksi leukosit dan platelet dengan dinding pembuluh darah dan menghambat proliferasi dan migrasi sel otot polos pembuluh darah (Moncada, 1993).Sebaliknya, penurunan produksi NO oleh sel endotel dapat meningkatkan akti vitas faktor transkripsi proinflamasi nuclear factor kappa B (NF-.B) yang menyebabkan ekspresi molekul adhesi leukosit serta produksi sitokin dan kemokin meningkat. A ktivitas ini merangsang migrasi monosit dan sel otot polos pembuluh darah ke dalam tunika intima dan menstimulasi pembentukan sel busa makrofag sebagai tanda awal perubah an morfologi aterosklerosis (Mohamed, 1999). Terdapat banyak kelainan metabolik yang terjadi pada diabetes termasuk hiperglikemia, peningkatan pelepasan asam lemak bebas dan resistensi insulin dim ana hal-hal tersebut dapat mempengaruhi sintesis dan degradasi NO yang pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi sel endotel. I.2.1. Hiperglikemia, Stres Oksidatif dan NO Bioavailabilitas NO mencerminkan suatu keseimbangan antara produksinya melalui NOS dan degradasinya khususnya oleh radikal bebas oksigen. Data penelitian eksperimental menunjukkan bahwa keadaan hiperglikemia menurunkan kadar NO yang dihasilkan sel endotel. Hiperglikemia merangsang serangkaian aktivitas pada ting kat seluler yang meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS) seperti anion superoksida dimana bahan ini dapat menginaktivasi NO untuk menghasilkanperoksini trit (ONOO-). Hiperglikemia dapat merangsang proses ini dengan cara meningkatkan produksi anion superoksida melalui rantai transport elektron mitokondria. Anion

superoksida kemudian merangsang kaskade aktivasi endotel yang menyebabkan peningkatan beberapa elemen seluler untuk menghasilkan radikal bebas oksigen. Ha l ini dapat dilihat pada anion superoksida yang mengaktivasi protein kinase C (PKC), a tau sebaliknya, aktivasi PKC dapat berkontribusi dalam pembentukan superoksida (Hink , 2001). Aktivasi PKC oleh glukosa berhubungan dengan regulasi dan aktivasi membra neassociated NADPH-dependent oxidases serta produksi anion superoksida (Beckman, 2001; Cosentino, 2003). Produksi anion superoksida oleh mitokondria juga meningkatkan produksi advance glycation end products (AGEs) intrasel. Protein yang terglikasi mengubah fungsi sel dengan cara mempengaruhi fungsi protein dan aktivasi reseptor AGEs (RAGEs). AGEs sendiri dapat meningkatkan produksi radikal bebas oksigen dan aktivasi RAGE meningkatkan produksi anion superoksida enzimatik intraseluler. Selain itu, peni ngkatan produksi anion superoksida mengaktivasi jalur heksosamine yang menurunkan aktiva si NOS melalui protein Akt kinase. Proses ini cenderung merekrut xanthine oxidase sehingga memperbesar stres oksidatif. Stres oksidatif yang diinduksi oleh hiperg likemia juga dapat meningkatkan kadar asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu antagoni s kompetitif NOS. Konsep mengenai stres oksidatif yang diinduksi hiperglikemia dap at menyebabkan disfungsi endotel pada pasien dengan diabetes didukung oleh observas i pada percobaan dengan pemberian infus intra-arterial asam askorbat, suatu antiok sidan yang larut dalam air yang dapat menghancurkan anion superoksida (Schmidt, 2000; Desco, 2002). Hiperglikemia juga dapat meningkatkan produksi lipid second messenger diacylglycerol dimana hal ini dapat menyebabkan translokasi membran dan aktivasi PKC. Aktivasi PKC menghambat aktivitas jalur phosphatidylinositol-3(PI-3)kinase, sehi ngga hal tersebut dapat menghambat aktivasi Akt kinase dan juga fosforilasi NOS yang pada akhirnya dapat menurunkan produksi NO(Du, 2001; Beckman 2002). I.2.2. Pelepasan Asam Lemak Bebas dan Disfungsi Endotel Kadar asam lemak bebas dalam sirkulasi meningkat pada diabetes oleh karena pelepasannya yang berlebihan dari jaringan lemak dan penurunan uptake oleh otot rangka. Asam lemak bebas dapat mengganggu fungsi endotel melalui beberapa mekanisme meliputi peningkatan produksi radikal bebas oksigen, aktivasi PKC dan eksaserbas i

dislipidemia. Peningkatan kadar asam lemak bebas mengaktivasi PKC dan menurunkan aktivitas insulin receptor substrate-1 yang berhubungan dengan PI-3 kinase. Efek ini terhadap transduksi sinyal dapat menurunkan aktivitas NOS (Beckman,2002). Organ hati memberikan respon terhadap kadar asam lemak bebas dengan cara meningkatkan produksi VLDL dan sintesis kolesterol ester. Hal ini meningkatkan produksi protein yang kaya trigliserida dan penurunan klirens oleh lipoprotein l ipase menyebabkan keadaan hipertrigliseridemia yang sering didapatkan pada pasien diab etes. Kadar trigliserida yang tinggi menurunkan kadar HDL dengan cara meningkatkan transport kolesterol dari HDL ke VLDL. Kelainan ini mengubah morfologi LDL diman a hal ini meningkatkan jumlah small dense LDL yang lebih aterogenik. Keadaan hipertrigliseridemia dan rendahnya kadar HDL ini dikatakan berhubungan dengan terjadinya disfungsi endotel (Boden, 1999). I.2.3. Resistensi Insulin dan NO Diabetes mellitus tipe 2 ditandai oleh adanya resistensi insulin. Insulin merang sang produksi NO oleh sel endotel dengan cara meningkatkan aktivitas NOS melalui akti vasi PI-3 kinase dan Akt kinase. Jadi, pada orang sehat, insulin meningkatkan vasodil atasi yang dipengaruhi oleh endotel (NO). Pada penderita dengan resistensi insulin, vasodilatasi oleh endotel menurun (Zeng et al, 1996).Selain itu, pembuangan gluk osa oleh insulin berbanding terbalik dengan derajat abnormalitas vasodilatasi oleh e ndotel. Pengobatan yang meningkatkan sensitivitas insulin seperti metformin dan thiazolidinediones meningkatkan vasodilatasi. Kelainan vasodilatasi oleh endotel pada keadaan resistensi insulin mungkin dapat dijelaskan oleh perubahan sinyal intras eluler yang menurunkan produksi NO. Secara spesifik, transduksi sinyal insulin melalui jalur PI-3 kinase mengalami kelainan sehingga insulin kurang dapat mengaktivasi NOS da n menghasilkan NO (Montagnani et al, 2002). I.2.4. Produksi Vasokonstriktor oleh Endotel Pada diabetes, disfungsi sel endotel ditandai tidak hanya oleh penurunan NO namun juga peningkatan sintesis vasokonstriktor seperti prostanoid dan endotelin . Hiperglikemia meningkatkan ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) mRNA dan kadar protein namun tidak mengekspresikan COX-1 mRNA pada percobaan sel endotel aorta

manusia (Consentino et al, 2003). Pada arteri kelinci percobaan in vitro yang te rpapar oleh keadaan yang hiperglikemik, produksi vasokonstriktor prostanoid meningkat d an pemberian inhibitor COX dan antagonis prostaglandin H2/reseptor tromboksan A2 mengembalikan fungsi relaksasi oleh endotel (De Vriese et al, 2000). I.3 Diabetes dan Sel Otot Polos Pembuluh Darah Pengaruh diabetes mellitus terhadap fungsi pembuluh darah tidak terbatas hanya pada lapisan endotel. Pada pasien dengan DM tipe 2, respon vasodilatasi terhadap pemberian NO menjadi berkurang. Selain itu respon vasokonstriksi terhadap vasokonstriktor seperti endotelin-1 berkurang. Disregulasi fungsi otot polos pem buluh darah diperberat oleh gangguan fungsi sistem saraf simpatis. Diabetes dapat meningkatkan aktivitas PKC, produksi NF-.B dan pembentukan radikal bebas oksigen pada otot polos pembuluh darah dimana hal ini juga terjadi pada sel endotel (Hat tori et al, 2000). Selain itu diabetes meningkatkan migrasi sel otot polos pembuluh darah pa da lesi aterosklerotik dimana sel-sel tersebut melakukan replikasi dan menghasilkan matr iks ekstraseluler yang merupakan fase penting dalam pembentukan lesi aterosklerotik yang matur. Apoptosis sel otot polos pembuluh darah pada lesi aterosklerotik juga men ingkat dimana pasien yang mengalami hal ini cenderung memiliki sel otot polos pada lesi aterosklerotik yang lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan kecenderungan untu k terjadinya ruptur plak. Pada orang yang mengidap diabetes, pengaruh sitokin proinflamasi (IL-1, IFN gamma, TNF alfa) menurunkan sintesis kolagen dan meningkatkan produksi matrix metalloproteinases (MMP) sehingga meningkatkan kecenderungan destabilisasi dan ruptur plak (Suzuki et al, 2001). I.4 Diabetes, Trombosis dan Koagulasi Fungsi platelet pada diabetes juga mengalami kelainan. Ekspresi glikoprotein Ib dan IIb/IIIa meningkat sehingga meningkatkan faktor von Willebrand platelet dan interaksi platelet fibrin. Kadar glukosa platelet intraseluler mirip dengan lingku ngan ekstraseluler dan hal tersebut berhubungan dengan peningkatan pembentukan anion superoksida dan aktivitas PKC serta penurunan produksi NO oleh platelet. Hipergl ikemia lebih lanjut dapat mengubah fungsi platelet dengan cara menggangu homeostasis ka lsium

sehingga mengubah aspek aktivasi dan agregasi platelet termasuk struktur platele t itu sendiri dan pelepasan mediator (Vinik et al, 2001). Pada diabetes, faktor koagulasi plasma (misalnya faktor VII dan trombin) dan lesion-based coagulants (misalnya tissue factor) meningkat dan antikoagulan endo gen (misalnya thrombomodulin dan protein C) menurun. Selain itu produksi PAI-1, suat u penghambat fibrinolisis juga meningkat (Ren et al, 2002). Jadi, kecenderungan ak tivasi dan agregasi platelet serta kecenderungan koagulasi berhubungan dengan resiko trombosis pada pasien diabetes. II. DIAGNOSIS PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES II.1. Evaluasi Klinis : Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan riwayat penyakit yang lengkap khususnya riwayat mengenai berjalan kaki sebaiknya ditanyakan secara spesifik kepada pasien dan dilakukan secara rin ci oleh karena hal ini sering dilupakan. Riwayat penyakit ini akan mengungkap adanya gej ala klasik klaudikasio beserta variasinya. Terdapat dua komponen penting pada pemeri ksaan fisik yaitu inspeksi visual pada kaki dan palpasi nadi perifer.Tidak adanya pert umbuhan rambut kaki, distrofi kuku jari kaki serta kulit kaki yang dingin dan kering mer upakan tanda-tanda insufisiensi vaskuler dan sebaiknya diperhatikan dengan baik. Celah jari kaki sebaiknya diperiksa dengan baik untuk melihat adanya ulserasi dan infeksi. Palpasi nadi perifer sebaiknya menjadi hal yang rutin pada pemeriksaan fisik dan sebaiknya meliputi penilaian arteri femoralis, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri dorsalis pedis. Hal yang perlu diperhatikan adalah penilaian pulsasi arteri ini bergantung pada kemampuan pemeriksa sehingga penilaiannya memiliki variabilitas yang tinggi dengan rasio positif palsu dan negatif palsu yang tinggi. Arteri dorsalis pedis dilaporkan tidak dapat diraba pada 8,1% orang sehat sedangkan arteri tibialis posterior jug a sulit diraba pada 2,0% orang sehat. Namun demikian, jika kedua arteri dorsalis pedis y ang tidak dapat diraba oleh pemeriksa yang berpengalaman menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan yang sangat besar akan adanya penyakit vaskuler (Beckman, 2002). II.2. Ankle-Brachial Index (ABI) Pemeriksaan ABI merupakan pengukuran non-invasif yang cukup akurat untuk mendeteksi adanya PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini. ABI didefinisik an

sebagai rasio antara tekanan darah sistolik pada kaki dengan tekanan darah sitol ik padalengan. Kriteria diagnostik PAD berdasarkan ABI diinterpretasikan sebagai be rikut (Ankle Brachial Index Collaboration, 2008) : . . . . . Normal : 0,91 1,30 Obstruksi ringan : 0,70 0,90 Obstruksi sedang : 0,40 0,69 Obstruksi berat : < 0,40 Kurang kompresi : > 1,3

Gambar 1 : Protokol diagnosis PAD pada pasien diabetes (Hiatt, 2001)

Nilai ABI yang >1,30 menunjukkan arteri yang kurang terkompresi dikarenakan oleh adanya kalsifikasi arteri bagian medial (Mnckeberg s sclerosis) dimana kelaina n ini didapatkan pada sekitar 47% pasien dengan DM tipe 1 pada suatu penelitian serta sering juga didapatkan pada pasien dengan gagal ginjal dan perokok berat.Hal tersebut mengaburkan diagnosis PAD sehingga pada kondisi seperti ini, pemeriksaan ABI saj a kurang dapat dipercaya dalam menegakkan diagnosis penyakit ini(Hirsch et al, 200 6). Oleh karena angka kejadian PAD pada pasien dengan diabetes sangat tinggi, pemeriksaan ABI sebaiknya dilakukan untuk skrining pasien diabetesyang berusia l ebih dari 50 tahun. Jika hasilnya normal, pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan lagi se tiap lima tahun. Pemeriksaan ABI juga sebaiknya dipertimbangkan untuk skrining pasien diab etes yang berusia kurang dari 50 tahun yang memiliki faktor resiko PAD seperti meroko k, hipertensi, dislipidemia atau durasi diabetes yang lebih dari 10 tahun (Allison, 2008). II.3. Toe-Brachial Index (TBI) TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan pada pasien diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi pada pembul uh darah ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan menggunakan teknik tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini lebih terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang . 0,75 dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri (Brooks et al, 2001). II.4. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR) Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography merupakan suatu tes yang mengukur aliran darah arteri pada ekstremitas bawah dimana pulsas i yang mewakili aliran darah pada arteri diperlihatkan oleh monitor dalam bentuk gelomb ang. PVR juga dapat digunakan pada pasien PAD yang mengalami kalsifikasi pada arteri bagian medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada pasien usia tua, pas ien yang menderita diabetes cukup lama atau pasien yang menderita penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan PAD berat, PVR juga dapat memprediksi apakah kaki yang terkena PAD ini memiliki cukup aliran darah atau tidak untuk bertahan atau jika akan dilakuk an amputasi pada kaki tersebut (Allison, 2008).

Interpretasi dari tes ini dapat menyediakan informasi mengenai derajat obstruksi PAD secara spesifik. Pada arteri yang masih sehat, gelombang pulsasi akan terlih at tinggi dengan puncak yang tajam yang menunjukkan aliran darah mengalir dengan lancar. Namun jika arteri tersebut mengalami penyempitan atau obstruksi maka akan terlih at gelombang yang pendek dan memiliki puncak yang kecil dan datar. Tingkat keakurat an pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis PAD berkisar antara 90-95% (Hirsch et al, 2006). II.5. Ultrasonografi Dupleks Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam menilai sistem arteri perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak memerlukan bahan kontras yang nefrotoksik sehingga alat skrining ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan penggunaan angiografi dengan kontras (Elgzyri, 2008). Modalitas diagnostik ini j uga dapat digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan intervensi pad a sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk mendete ksi dan menentukan derajat stenosis pada PAD berkisar antara 70% dan 90% (Favaretto et al, 2007) Dupleks ultrasonografi juga dapat menggambarkan karakteristik dinding arteri sehingga dapat menentukan apakah pembuluh darah tersebut dapat diterapi dengan d istal bypass atau tidak. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan ap akah suatu plak pada arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi terjadinya embolis asi pada bagian distal pembuluh darah pada saat dilakukan intervensi endovaskular (Schwar cz, 2009). II.6. Computed Tomographic Angiography (CTA) Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah berkembang seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-slice).Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu stenosis . 50% atau oklusi adalah s ekitar 9599% (Shareghi et al, 2010). Seperti halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding arteri dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perif er, karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak, hiperpl asia tunika

intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki keterbatasan d alam hal penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal sedang-berat yang belum menj alani dialisis (Brockmann et al, 2009). II.7. Magnetic Resonance Angiography (MRA) MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah terhadap kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I Level of Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sam a dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi (Hirsch et al, 2006). Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras yang digun akan (gadolinium-based contrast) tidak terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan kontra s yang digunakan pada CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan angiografi kontras adalah s ekitar 80-90% (Leiner et al, 2005). II.8. Contrast Angiography Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang cukup aman dan merupakan teknologi yang cukup menjanjikan namun pemeriksaan yang masih merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis PAD adalah angiografi kontras.Pemeriksaan ini menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan direkomendasikan oleh ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk pasien PAD khususnya yang akan menjalani tindakan revaskularisasi (Hirsch et al, 2006; Esla mi, 2009). Seperti halnya pemeriksaan yang menggunakan media kontras, prosedur angiografi kontras juga memerlukan perhatian khusus mengenai resiko terjadinya nefropati kontras. Pasien dengan insufisiensi ginjal sebaiknya mendapatkan hidra si yang cukup sebelum tindakan. Pemberian n-acetylcysteinesebelum dan setelah tindakan p ada pasien dengan insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl) dapat d ilakukan sebagai tindakan pencegahan perburukan fungsi ginjal. Selain itu pasien diabetes yang menggunakan obat metformin memiliki resiko menderita asidosis laktat setelah angiografi. Metformin sebaiknya dihentikan sehari sebelum tindakan dan 2 hari se telah tindakan untuk menurunkan resiko asidosis laktat. Insulin dan obat hipoglikemik oral

sebaiknya dihentikan penggunaannya pada pagi hari menjelang tindakan. Evaluasi k linis termasuk pemeriksaan fisik dan pengukuran fungsi ginjal direkomendasikan untuk dilakukan dua minggu setelah prosedur angiografi untuk mendeteksi adanya efek samping lanjut seperti perburukan fungsi ginjal atau adanya cedera pada daerah a kses kateter pembuluh darah (Kashyap et al, 2008). KESIMPULAN Penyakit pembuluh darah khususnya PAD merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan diabetes mellitus. Diabetes mellitus secara la ngsung dapat meningkatkan resiko penyakit pembuluh darah dalam hal ini PAD. Patofisiolo gi PAD pada diabetes melibatkan kelainan pada lapisan endotel, sel otot polos pembu luh darah dan fungsi platelet. Kelainan metabolik yang khas pada diabetes seperti hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin dapat mencetu skan beberapa mekanisme molekuler yang menyebabkan disfungsi vaskuler. Penegakan diagnosis penyakit ini dapat dilakukan dengan berbagai modalitas pemeriksaan mulai dari tessederhana seperti ABI sampai pemeriksaan dengan teknol ogi tinggi seperti MRA dan angiografi kontras. Kemampuan seorang klinisi dalam menegakkan diagnosis dan memilih modalitas pemeriksaan yang tepat dan cepat pent ing dalam menetukan langkah selanjutnya. Dengan memahami patofisiologi dan proses penegakan diagnosis penyakit ini maka diharapkan manajemen PAD pada diabetesmenjadi lebih baik sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. DAFTAR PUSTAKA Abbott RD, Brand FN, Kannel WB. Epidemiology of some peripheral arterial finding s in diabetic men and women: experiences from the Framingham Study. Am J Med. 1990; 88: 376 381. Adler AI, Stevens RJ, Neil A, Stratton IM, Boulton AJ, Holman RR. UKPDS 59: hyperglycemia and other potentially modifiable risk factors for peripheral vascu lar disease in type 2 diabetes. Diabetes Care. 2002; 25: 894 899. Allison MA, Hiatt WR, Hirsch AT, Coll JR, Criqui MH. A high ankle-brachial index is associated with increased cardiovascular disease morbidity and lower quality of life. J Am Coll Cardiol. 2008;51(13):1292-1298. American Diabetes Association. Peripheral arterial disease in people with diabet es. Diabetes Care. 2003; 26: 3333 3341.

Ankle Brachial Index Collaboration. Ankle Brachial Index Combined With Framingha m Risk Score to Predict Cardiovascular Events and Mortality: A Meta-analysis. JAMA. 2008;300(2):197-208. Beckman JA, Goldfine AB, Gordon MB, et al. Ascorbate restores endothelium-depend ent vasodilation impaired by acute hyperglycemia in humans. Circulation. 2001;103:1618 1623. Beckman JA, Goldfine AB, Gordon MB, et al. Inhibition of protein kinase C beta prevents impaired endothelium-dependent vasodilation caused by hyperglycemia in humans. Circ Res. 2002;90:107 111. Boden G. Free fatty acids, insulin resistance, and type 2 diabetes mellitus. Pro c Assoc Am Physicians. 1999;111:241 248. Brockmann C, Jochum S, Sadick M et al. Dual-energy CT angiography in peripheral arterial occlusive disease. Cardiovasc. Intervent. Radiol. 2009;32(4), 630 637. Brooks, B., et al.TBI or Not TBI: That Is the Question. Is It Better to Measure Toe Pressure than Ankle Pressure in Diabetic Patients?. Diabetic Medicine. 18(7):528 532, July 2001. Cosentino F, Eto M, De Paolis P, et al. High glucose causes upregulation of cyclooxygenase-2 and alters prostanoid profile in human endothelial cells: role of protein kinase C and reactive oxygen species. Circulation. 2003;107:1017 1023. De Vriese AS, Verbeuren TJ, Van de Voorde J, et al. Endothelial dysfunction in d iabetes. Br J Pharmacol. 2000;130:963 974. Desco MC, Asensi M, Marquez R, et al. Xanthine oxidase is involved in free radic al production in type 1 diabetes: protection by allopurinol. Diabetes. 2002;51:1118 11124. Du XL, Edelstein D, Dimmeler S, et al. Hyperglycemia inhibits endothelial nitric oxide synthase activity by posttranslational modification at the Akt site. J Clin Inve st. 2001;108:1341 1348. Elgzyri T, Ekberg G, Peterson K, Lundell A, Apelqvist J. Can duplex arterial ultrasonography reduce unnecessary angiography? J. Wound Care. 2008;17(11), 497 500. Eslami MH, Csikesz N, Schanzer A, Messina LM. Peripheral arterial interventions: trends in market share and outcomes by specialty, 1998 2005. J. Vasc. Surg. 2009; 50(5), 1071 1078. Favaretto E, Pili C, Amato A et al. Analysis of agreement between duplex ultraso und scanning and arteriography in patients with lower limb artery disease. J Cardiov asc Med. 2007; 8(5), 337 341 Hansson GK. Inflammation, atherosclerosis and coronary artery disease. N Engl J Med. 2005; 352:1685-95 Hattori Y, Hattori S, Sato N, et al. High-glucose-induced nuclear factor kappaB activation in vascular smooth muscle cells. Cardiovasc Res. 2000;46:188 197. Hiatt WR. Medical treatment of peripheral arterial disease and claudication. N E ngl J Med. 2001;344:1608-1621. Hink U, Li H, Mollnau H, et al. Mechanisms underlying endothelial dysfunction in

diabetes mellitus. Circ Res. 2001;88:E14 E22. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for th e management of patients with peripheral arterial disease (lower extremity, renal, mesenteric, and abdominal aortic): a collaborative report from the American

Association for Vascular Surgery/Society for Vascular Surgery, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease): endorsed by the American Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Blood Institute; Society for Vascular Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation. 2006;113(11): 463-654. Kashyap VS, Pavkov ML, Bishop PD et al. Angiography underestimates peripheral atherosclerosis: lumenography revisited. J Endovasc Ther. 2008;15(1), 117 125. Kinlay S, Libby P, Ganz P. Endothelial function and coronary artery disease. Cur r Opin Lipidol. 2001;12:383 389. Leiner T. Magnetic resonance angiography of abdominal and lower extremity vascul ature. Top. Magn. Reson. Imaging. 2005;16(1), 21 66. Leiner T, Kessels AG, Nelemans PJ et al. Peripheral arterial disease: comparison of color duplex US and contrast-enhanced MR angiography for diagnosis. Radiology. 2005;235(2), 699 708. Mohamed AK, Bierhaus A, Schiekofer S, et al. The role of oxidative stress and NF kappaB activation in late diabetic complications. Biofactors.1999;10:157 167. Moncada S, Higgs A. The L-arginine nitric oxide pathway. N Engl J Med. 1993;329:2002 2012. Montagnani M, Golovchenko I, Kim I, et al. Inhibition of phosphatidylinositol 3kinase enhances mitogenic actions of insulin in endothelial cells. J Biol Chem. 2002;277:1794 1799. Murabito JM, Evans JC, Nieto K, Larson MG, Levy D, Wilson PW. Prevalence and clinical correlates of peripheral arterial disease in theFramingham Offspring St udy. Am Heart J. 2002; 143: 961 965. Rader D. Inflammatory markers of coronary risk. N Engl J Med. 2000;343:1179-1182 Ren S, Lee H, Hu L, et al. Impact of diabetes-associated lipoproteins on generat ion of fibrinolytic regulators from vascular endothelial cells. J Clin Endocrinol Metab . 2002;87:286 291. Schmidt AM, Stern D. Atherosclerosis and diabetes: the RAGE connection. Curr Atheroscler Rep. 2000;2:430 436. Schwarcz TH, Gatz VL, Little S, Geddings CF. Arterial duplex ultrasound is the m ost cost-effective, noninvasive diagnostic imaging modality before treatment of lowe rextremity arterial occlusive disease. J Vasc Ultrasound. 2009;33(2), 75 79. Shareghi S, Gopal A, Gul K et al. Diagnostic accuracy of 64 multidetector comput ed tomographic angiography in peripheral vascular disease. Catheter Cardiovasc Inte rv. 2010;75(1), 23 31. Suzuki LA, Poot M, Gerrity RG, et al. Diabetes accelerates smooth muscle accumul ation in lesions of atherosclerosis: lack of direct growth promoting effects of high glucose levels. Diabetes. 2001;50:851 860. Vinik AI, Erbas T, Park TS, et al. Platelet dysfunction in type 2 diabetes. Diab etes Care.

2001;24:1476 1485. Zeng G, Nystrom FH, Ravichandran LV, et al. Roles for insulin receptor, PI3-kina se, and Akt in insulin-signaling pathways related to production of nitric oxide in human vascular endothelial cells. Circulation. 2000;101:1539 1545.

You might also like

  • Cover
    Cover
    Document1 page
    Cover
    Addiittchemioumerahh Peenngenkee Manchestercity
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document2 pages
    Cover
    Addiittchemioumerahh Peenngenkee Manchestercity
    No ratings yet
  • Kata Pengantar+daftar Isi
    Kata Pengantar+daftar Isi
    Document2 pages
    Kata Pengantar+daftar Isi
    Arif Endotel
    No ratings yet
  • Kata Pengantar+daftar Isi
    Kata Pengantar+daftar Isi
    Document2 pages
    Kata Pengantar+daftar Isi
    Arif Endotel
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document1 page
    Cover
    Addiittchemioumerahh Peenngenkee Manchestercity
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document2 pages
    Cover
    Addiittchemioumerahh Peenngenkee Manchestercity
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document2 pages
    Cover
    Addiittchemioumerahh Peenngenkee Manchestercity
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document1 page
    Cover
    Addiittchemioumerahh Peenngenkee Manchestercity
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document1 page
    Cover
    Addiittchemioumerahh Peenngenkee Manchestercity
    No ratings yet