You are on page 1of 27

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG Gopinath Nadarajan, Nur Adilah, Musdah, Riska Hermita, Misni, Dewi Sartika Bagian Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar ABSTRAK Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus Auerbach dan pleksus Meissner pada kolon. Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional (SPM, Sardjito) dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal (IKA UI). Kata Kunci : Hirschsprung Disease, kongenital, pleksus Auerbach, pleksus Meissner

PENDAHULUAN

Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886(Yoshida, 2004). Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).

HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup (Belknap, 2006). Insidensi penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
1

tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta (Irwan, 2003).

Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus tidak mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran. Walaupun barium enema berguna untuk menegakkan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi gold standard penegakkan diagnosis. Setelah diagnosis dikonfirmasi,

penatalaksanaan mendasar adalah untuk membuang jaringan usus yang aganglionik dan untuk membuat anastomosis dengan menyambung rektum bagian distal dengan bagian proksimal usus yang memiliki innervasi yang sehat. Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan enterokolitis.

LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin MRS Ruang Perawatan RM : By. F : 9 hari : Laki-laki : 5 April 2013 : Ruang Isolasi, NICU : 602911

II.

ANAMNESIS : Susah buang air besar

Keluhan Utama

Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak lahir, 24 jam setelah lahir keluar kotoran mekonium (+) dari anus dalam jumlah sedikit, setelah itu tidak pernah keluar kotoran lagi sampai sekarang. Perut bayi dirasakan semakin membesar dan mengeras mulai hari ke 2 kelahiran. Ada riwayat muntah berwarna kehijauan 4 hari sebelum masuk RS. Bayi sering muntah setiap kali setelah makan. Bayi hanya minum ASI tapi malas menetek sejak lahir. Saat masuk RS tidak demam, tetapi ada riwayat demam 4 hari sebelum masuk rumah sakit, terus menerus, tidak menggigil dan membaik setelah 2 hari. Tidak ada riwayat konsumsi obat penurun panas. Kejang tidak ada, batuk tidak ada, sesak tidak ada. BAK : kuning. Riwayat kehamilan : Ibu rajin kontrol (4 kali) di bidan, mendapat suntikan TT 2 kali, mendapat vitamin dan penambah darah, selama hamil ibu mual dan muntahmuntah sampai trimester I kehamilan, riwayat minum obat-obatan dan jamujamuan tidak ada. Riwayat persalinan : Bayi lahir secara spontan di rumah, ditolong oleh bidan, segera menangis, ketuban jernih serta mendapat injeksi vitamin K. Berat badan bayi saat lahir 2800 gr.

III.

PEMERIKSAAN FISIK (Status Present 9 April 2013)

Status generalis : Sakit sedang/ gizi cukup/ sadar (BB: 2.9 kg, PB: 48cm, 50 percentile) Status vitalis : : 128 kali/ menit : 40 kali/ menit (irregular)

Heart Rate Pernapasan

Suhu (aksila) : 36,8 C Status Lokalis Regio Abdomen (LP: 29cm) Inspeksi : Distended(+), darm contour(+), darm steifung(-), vena dilatasi

Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal. Palpasi Perkusi : Massa tumor (-) : Tympani (+)

Rectal touch - Sphincter mencekik, massa tumor (-), ampula berisi feses, mukosa licin. - Handscoen : darah (-), lendir (-), feses (+), saat jari dikeluarkan keluar feses. Status Regionalis Kepala Rambut Mata Hidung Bibir Leher Regio colli anterior : Inspeksi Palpasi : Tidak tampak massa tumor : Tidak teraba massa tumor, nyeri tekan tidak ada
4

: hitam, lurus dan sukar dicabut : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : rhinorrhea tidak ada, epistaksis tidak ada : sianosis tidak ada

Regio colli posterior : Inspeksi Palpasi Thoraks Paru Inspeksi : Pergerakan dinding thorax simetris kiri dan kanan, pernapasan tipe thorakoabdominal, frekuensi 40x/menit Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada, sensasi raba dan nyeri sama pada seluruh lapangan toraks Perkusi Auskultasi : sonor : Bunyi pernapasan vesikular, tidak ada bunyi tambahan : Tidak tampak massa tumor : Tidak teraba massa tumor, nyeri tekan tidak ada

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis tidak teraba : Pekak, batas kanan jantung linea parasternalis dextra, batas kiri jantung linea midclavicularis sinistra, batas atas ICS II sinistra, batas bawah ICS V sinistra Auskultasi Ekstremitas a. Ekstremitas superior dekstra et sinistra : Simetris, warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak tampak jejas dan edema tidak ada. Palpasi ROM NVD : Nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada : Dalam batas normal : Arteri radialis kiri dan kanan teraba, sensibilitas dalam batas normal, dan capillary refill time kurang dari 2 detik : Bunyi jantung I/II, murni regular, bising tidak ada

Inspeksi

b.

Ekstremitas inferior dekstra et sinistra : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak tampak jejas dan edema tidak ada

Inspeksi

Palpasi ROM NVD

: Nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada : Dalam batas normal : Arteri dorsalis kiri dan kanan teraba, sensibilitas dalam batas normal, dan capillary refill time kurang dari 2 detik

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (06/04/2013) Pemeriksaan WBC RBC Hb PLT HCT GDS Ureum Kreatinin SGOT SGPT Na K Cl CT BT Hasil 13,90x 10 /L 4,75 x 10 /L 16,4 gr/dL 230/L 47,4% 171 mg/dL 171 mg/dL 0,5 mg/dL 59 /L 21 /L 155 mmol/L 6,4 mmol/L 111 mmol/L 730 230
6 3

Nilai Normal 4,00-10,00 4,00-6,00 15,0-23,5 150-400 37,0-48,0 < 140 10-50 <1,1 < 38 < 41 136-145 3,5-5,1 97-111 4-10 1-7

Foto Radiologi Foto Polos Abdomen (08/04/2013)

Kesan : Pulmo normal dan meteorismus

V. RESUME Seorang bayi perempuan berumur 9 hari masuk RS Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 5 April 2013 dengan keluhan susah buang air besar . BAB mekonium (+) 24 jam setelah lahir dengan jumlah sedikit setelah itu tidak pernah keluar feses. Perut bayi dirasakan semakin membesar dan mengeras mulai hari ke 2 kelahiran. Ada riwayat muntah berwarna kehijauan 4 hari sebelum masuk RS. Bayi sering muntah setiap kali setelah makan. Bayi hanya minum ASI tapi malas menetek sejak lahir. Saat masuk RS tidak demam, tetapi ada riwayat febris 4 hari sebelum masuk rumah sakit, terus menerus, tidak menggigil dan membaik setelah 2 hari. Tidak ada riwayat konsumsi obat penurun panas. Kejang tidak ada, batuk tidak ada, sesak tidak ada. BAK kesan lancar. Riwayat kehamilan : Ibu ke ANC (4 kali) di bidan, mendapat suntikan TT 2 kali, mendapat vitamin dan penambah darah, selama hamil ibu mual dan muntah-muntah sampai trimester I kehamilan, riwayat minum obat-obatan dan jamu-jamuan tidak ada. Riwayat persalinan : Lahir di rumah ditolong bidan, lahir secara spontan, segera menangis, dan ketuban jernih serta mendapatkan injeksi vitamin K. Berat saat lahir 2800 gr.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan keadaan sakit sedang, gizi cukup dan compos mentis. Pada pemeriksaan status vitalis didapatkan dengan heart rate 128 kali per menit, pernapasan 40 kali per menit, suhu tubuh (aksila) 36,8 oC. Bentuk kepala normocephal. Sklera tidak ikterus. Konjungtiva tidak anemis. Bibir tidak sianosis. Pupil bulat isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung positif. Pada pemeriksaan leher, thoraks, jantung, dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan. Pada abdomen, tampak cembung, ikut gerak napas, warna kulit sama dengan sekitar dengan peristaltik (+) kesan normal. Didapatkan abdomen distended dengan lingkar perut 29 cm dan vena-vena dilatasi, ada darm contour, tidak ditemukan darm steifung, tidak ditemukan nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba, tali pusar basah disertai bau. Pada genitalperianal : tampak lubang anus. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 6 April 2013, diperoleh nilai hemogblobin 16,4 g/dL, hematokrit 47,4%, trombosit 230.000/L, leukosit 13.900/L, eritrosit 4,70 x 106/L. Didapatkan waktu bekuan 730, waktu pendarahan 230, ureum 171, kreatinin 0,5, SGOT 59, SGPT 21, HbSAg non reaktif, anti HCV non reaktif. Pada pemeriksaan foto BNO tanggal 8 April 2013 didapatkan kesan meteorismus dan pulmo normal. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang di atas, pasien dapat didiagnosis dengan suspek Hirschsprung disease.

VI. DIAGNOSIS -Hirschsprungs Disease

VI. PENATALAKSANAAN Non-operatif - Resusitasi cairan: ASERING 435cc/hari = 18 tpm (mikrodrips) - Koreksi elektrolit - Pemasangan kateter - Pemasangan nasogastric tube - Pemasangan pipa rektum (lavase kolon dengan irigasi cairan)

-Pemberian antibiotik

Operatif Tindakan bedah sementara: - Dekompresi abdomen ( Kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal di bagian distal)

Tindakan bedah definitif: - Laparotomi eksplorasi - Prosedur Duhamel/ Swenson/ Soave/ Rehbein

DISKUSI I. Anatomi Anorektal Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile.Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior.Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan .

Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior.Sedangkan arteri

hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan daerah anus.

10

Gambar 2. Pendarahan anorektal Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis.Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4.Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis.Syaraf sepenuhnya simpatis dikontrol tidak mempengaruhi otot

rektum.Defekasi

oleh

n.splanknikus

(parasimpatis).Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis). Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus : 1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal 2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler 3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa. Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut.

11

Gambar 3. Innervasi daerah perineum (laki-laki)

II.

Fisiologi Saluran Anal Pubo-rectal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas

penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang lain. Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan: a. Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.
12

b. Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex, yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara involunter. c. Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri. d. Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi.

Gambar 4. Skema syaraf autonom intrinsik usus

III.

Epidemiologi Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi

berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup.Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan
13

dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria mencapai 1/3 dari jumlah seluruh kasus.

IV.

Patofisiologi Pada penyakit ini, kolon mulai dari yang paling distal sampai pada bagian

usus yang berbeda

ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion

parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon. Pleksus mesenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan funsi lainnya. Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui. Sel ganglion enteric berasal dari diferensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam bertahan, berpoliferase, atau berdiferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen pada usus yang aganglionik adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor neurotrophic. Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon anganglionik menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan penyakit Hirschsprung. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker yang menghubungkan antara saraf enteric dan otot polos usus, juga telah dipostulat menjadi factor penting yang berkontribusi. Terhadap tiga pleksus
14

neuronal yang menginnervasi usus, Ketiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal (Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mucosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbs, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsic. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergic menyebabkan inhibisi. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga control intrinsic menurun, menyebabkan peningkatan control persarafan ekstrinsik. Innervasi dari system adrenergik diduga mendominasi system kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsic, peningkatan tonus tidak diimbangi dan mengakibatkan ketidak seimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltic yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fungsional. Klasifikasi keadaan anganlianik dapat dibedakan menjadi segmen sangat pendek (sekitar 2 cm dari garis mukokutan). Segmen pendek (aganglionik sepanjang netosigmoid), segmen panjang bila aganglianik sepanjang rectum ke udon transversum, segmen total sepanjang nektum ke sekan dan segmen universal bila aging lionik mencakup hampir seluruh usus. V. Klasifikasi Hirschprung Disease diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen agangliosinosisnya, yaitu: 1. Hirschprung disesase (HD) klasik (75%), segmen aganglionik tidak melewati bagian atas segmen sigmoid. 2. Long segment HD (20%) 3. Total colonic aganglionosis (3-12%)

15

Beberapa lainnya terjadinya jarang, yaitu: 1. Total intestinal aganglionosis 2. Ultra-short-segment HD (melibatkan rektum distal dibawah lantai pelvis dan anus.

VI.

Gambaran Klinis Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan

usia gejala klinis mulai terlihat: a. Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans.Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. b. Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive).Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen.Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

16

VII.

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit

Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas : 1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi; 2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi; 3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung tetapi disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

Gambar 5.Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

17

VIII. Pemeriksaan Patologi Anatomi Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika

menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik.Secara tekhnis, metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner.

Gambar 6. Gambaran histopatologi Hirschprung

18

IX.

Manometri anorektal Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif

mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer. Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah: 1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi; 2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik; 3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan

X.

Diagnosis Banding Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit

fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal dan sindrom pseudo obstruksi intestinal. Puri (1997) menyatakan banyak kelainan-kelainan yang menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi anatomi ternyata didapatkan sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara lain Intestinal neuronal dysplasia, Hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence of argyrophyl plexus, Internal sphincter achalasia dan kelainan-kelainan otot polos (Puri, 1997).

19

XI.

Penatalaksanaan

Tindakan Bedah a. Tindakan Bedah Sementara Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose. b. Tindakan Bedah Definitif 1. Prosedur Swenson Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung.Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani.Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode

operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,51 cm rektum.

20

Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup. 2. Prosedur Duhamel Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga

membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.


21

3. Prosedur Soave Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi.Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.

22

4. Prosedur Rehbein Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis (Swenson dkk,1990). 5. Prosedur Miomektomi Anorektal Pada pasien-pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut

miomektomi anorektal, dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion (Teitelbaum at al, 2003).

6. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidon-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa (Tore, 2000 ). Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konsipasi dan striktur anastomosis.

23

Permasalahan-Permasalahan Pembedahan Permasalahan pembedahan yang sering dijumpai adalah masalah komplikasi pasca bedah. Kebocoran anastomosis, stenosis, gangguan fungsi sfingter ani ,enterokolitis serta mortalitas masih merupakan permasalahan yang serius. Komplikasi yang timbul dalam 4 minggu pertama merupakan komplikasi dini pasca bedah. Prosedur bedah manapun yang dipilih mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan komplikasi. Usia pada saat pembedahan, keadaan umum prabedah, prosedur bedah yang digunakan, ketrampilan dan pengalaman ahli bedah, antibiotika yang dipakai serta perawatan pasca bedah sangat berpengaruh untuk terjadinya komplikasi. Lebih muda usia pasien serta keadaan umum praoperasi yang kurang optimal umumnya lebih sering mengalami komplikasi (Rehbein, 1966; Langer, 2005). Prosedur prosedur operasi tersebut dapat menyebabkan trauma pada persarafan traktus genitourinarius dan otot-otot dasar panggul yang akan mengakibatkan masalah pada traktus urinarius bagian bawah. Inkontinensia urin yang terjadi setelah operasi dengan prosedur Rehbein 5,4%, prosedur Swenson 10,4%, prosedur Soave 15,3% dan prosedur Duhamel 14,3%.

Perawatan Pasca Operasi. Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah kembali normal, sedangkan kateter dilepas pada hari kedua pasca operasi. Antibiotik dapat diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Perhatian khusus ditujukan pada daerah perineum untuk terjadinya eritema dan selulitis yang dapat merupakan tanda awal dari kebocoran anastomosis (Teitelbaum et al, 2003). Dilatasi anorektal dapat dilakukan tiga minggu setelah operasi. Pada penderita neonatus dilatasi anorektal dapat dilakukan dengan insersi Hegar dilator nomer 6-7 yang dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya striktur anastomosis. Irigasi anorektal dapat dilakukan tiga bulan setelah operasi untuk mencegah enterokolitis (Teitelbaum et al, 2003). Beberapa pasien mendapatkan fungsi usus yang normal setelah dilakukan operasi, akan tetapi pada reseksi usus yang panjang dapat tejadi buang air besar yang frekwen dan berair sehingga menyebabkan ekskoriasis pada perineum. Pada
24

kasus yang demikian loperamid dapat diberikan untuk menurunkan frekwensi buang air besar. Agar feses menjadi padat dapat diberikan kaolin-pectin (Holschneider dan Ure, 2005). Hartman et al (2006) meneliti masalah fisik dan psikososial penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi dan menyarankan pengamatan pada inkontinensi feses, inkontinensi urin, konstipasi dan disfungsi sex. Perawatan pasca operasi yang disarankan adalah dilatasi anus, pemberian laxatif, enema, diet dan toilet. Perawatan medis harus dilakukan bersama perawatan paramedis yaitu fisioterapi, pengobatan psikososial dan konsultasi diet. Diet Makanan berserat tinggi dan mengandung buah-buahan segar dapat mengoptimalkan fungsi usus post-operatif pada beberapa pasien. Aktivitas Batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu untuk penyembuhan luka secara baik. Medikasi Tujuan dari farmakoterapi untuk mengeradiksi infeksi, mengurangi morbiditas, dan mengurangi komplikasi. Antibiotik Terapi antimikroba harus komprehensif dan mencakup seluruh patogen terkait dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya dipandu oleh tes kultur darah dan sensitivitas.

XII.

Komplikasi Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit

Hirschsprung

dapat

digolongkan

atas

kebocoran

anastomose,

stenosis,

enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama dari setiap operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik fungsi spinkter ani dan kontinen. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum
25

penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasca bedah. Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini bervariasi, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal. Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat kematian. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tandatanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat. Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab / prosedur operasi yang telah dikerjakan.

XIII.

Prognosis Belum ada penelitian prospektif yang membandingkan masing-masing

jenis operasi. Dalam keseluruhan prosedur, hasil fungsional mengalami perbaikan seiring dengan waktu, sehingga dalam 10 tahun follow up 90% pasien akan memiliki fungsi usus yang normal'.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Warner B. W. 2004. Chapter 70 surgery in Townsend Sabiston Textbook of Surgery. 17th edition. Elsevier-Philadelpjia. Page 2113-2114 2. Holschneider A, Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschprungs Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. saunders Company. Philadelphia. Page 453-468. 3. Hackam D.J, Nelman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 pediatric surgery in: Schwartzs Principles of Surgery. 8th edition. Mc. Graw-hill. New York. Page 1496-1498. 4. Zielger M.M., azizkhan R.G., Weber T.R., 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In: Operative Pediatric Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640. 5. Hansen T.J., Koeppen. 2006. Chapter 35 Digestive System in Netters Atlas of Humans Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640

27

You might also like