You are on page 1of 113

SIROSIS HEPATITIS PENDAHULUAN Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ke tiga pada pasien yang

berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan k anker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sek itar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merup akan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit D alam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk men gatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagia n atas,koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial per itonitis serta Hepatosellular carsinoma. Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apab ila diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus Sirosis hati yang datang be robat ke dokter hanya kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit in, dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lai n, sisanya ditemukan saat atopsi. DEFINISI Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dar i kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warn a pada nodul- nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan seba gai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati ya ng normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis. Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anato mi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan me njadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar pa renkim hati yang mengalami regenerasi. INSIDENS Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika

dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun. KLASIFIKASI Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, ya itu : 1. Mikronodular 2. Makronodular 3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular) Secara Fungsional Sirosis terbagi atas : 1. Sirosis hati kompensata Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada sa at pemeriksaan screening. 2. Sirosis hati Dekompensata Dikenal dengan Active Sir osis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya ; ascite s, edema dan ikterus. ETIOLOGI 1. Virus hepatitis (B,C,dan D) 2. Alkohol 3. Kelainan metabolic : a. He makhomatosis (kelebihan beban besi) b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga) c. Defisiensi Alpha-antitripsin d. Glikonosis type-IV e. Galaktosemia f. Tirosi nemia 4. Kolestasis Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke u sus, dimana empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis terbanyak adalah akibat tersumbatnya saluran empedu yang disebut Biliary

atresia. Pada penyakit ini empedu memenuhi hati karena saluran empedu tidak berf ungsi atau rusak. Bayi yang menderita Biliary berwarna kuning (kulit kuning) set elah berusia satu bulan. Kadang bisa diatasi dengan pembedahan untuk membentuk s aluran baru agar empedu meninggalkan hati, tetapi transplantasi diindikasikan un tuk anak-anak yang menderita penyakit hati stadium akhir. Pada orang dewasa, sal uran empedu dapat mengalami peradangan, tersumbat, dan terluka akibat Primary Bi liary Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary Biliary Cirrosis da pat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran empedu. 5. Sumbatan salur an vena hepatica - Sindroma Budd-Chiari - Payah jantung 6. Gangguan Imunitas (He patitis Lupoid) 7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,IN H, dan lainlain) 8. Operasi pintas usus pada obesitas 9. Kriptogenik 10. Malnutr isi 11. Indian Childhood Cirrhosis GEJALA KLINIS Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau leb ih hal-hal yang tersebut di bawah ini : 1. Kegagalan Prekim hati 2. Hipertensi p ortal 3. Asites 4. Ensefalophati hepatitis Keluhan dari sirosis hati dapat berup a : a. Merasa kemampuan jasmani menurun b. Nausea, nafsu makan menurun dan diiku ti dengan penurunan berat badan c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berw arna gelap d. Pembesaran perut dan kaki bengkak

e. Perdarahan saluran cerna bagian atas f. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pa sien tidak sadarkan diri (Hepatic enchephalopathy g. Perasaan gatal yang hebat S eperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan perenkym hati yang masing-m asing memperlihatkan gejala klinis berupa : 1. Kegagalan sirosis hati a. edema b . ikterus c. koma d. spider nevi e. alopesia pectoralis f. ginekomastia g. kerus akan hati h. asites i. rambut pubis rontok j. eritema palmaris k. atropi testis l. kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan) 2. Hipertensi porta l a. varises oesophagus b. spleenomegali c. perubahan sum-sum tulang d. caput me duse e. asites f. collateral veinhemorrhoid g. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni) Klasifikasi Sirosis hati menurut criteria Child-pu gh : Skor / parameter 1 2

3 Bilirubin (mg%) <2,0 2-<3 > 3,0 Albumin (gr%) >3, 5 2,8 - < 3,5 <2,8 Prothromb in time (Quick%) > 70 40 - < 70 < 40 Asites 0 Minimal sedang (+) (++) Banyak +++ ) Hepatic enchepha Lopathy Tidak ada Std 1 dan II Std III dan IV KOMPLIKASI 1. Perdarahan gastrointestinal Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan pecah sehingga timbul perdarahan yang masih. 2 . Koma Hepatikum. 3. Ulkus Peptikum 4. Karsinoma hepatosellural Kemungkinan timb ul karena adanya hiperflasia noduler yang akan berubah menjadi adenomata multipl e dan akhirnya menjadi karsinoma yang

multiple. 5. Infeksi Misalnya : peritonisis, pnemonia, bronchopneumonia, tbc par u, glomerulonephritis srisipelas, septikema 6. Penyebab kematian kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis, endokarditis, PENATALAKSANAAN Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa : 1. Simtomatis 2 . Suportif, yaitu : a. Istirahat yang cukup b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin c. Pengoba tan berdasarkan etiologi Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti : a) kombinasi IFN dengan ribavirin Terapi kombinasi IFN dan Ribavi rin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari terga ntung berat badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan unt ukjangka waktu 24-48 minggu. b) terapi induksi IFN Terapi induksi Interferon yai tu interferon diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap h ari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa k ombinasi dengan RIB. c) terapi dosis IFN tiap hari. Dasar pemberian IFN dengan d osis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jarin gan hati.

3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi komplikasi seperti : a. Asites Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas : - istirahat - diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dul u dengan istirahat dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan a pabila gagal maka penderita harus dirawat. - diuretik Pemberian diuretic hanya b agi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat 4 hari. Mengingat salah satu badannya kurang dari 1 kg setelah komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencet uskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, d an dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita k ombinasikan dengan furosemid. Terapi lain : Sebagian kecil penderita asites tida k berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita ada lah parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan a sites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien . Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam. b. Spontaneous bacterial peritonitis Infeksi cairan dapat terjad i secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe yang spontan terjadi 8 0% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini leb ih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada kebanyaka n kasus

penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi umumnya terjadi secara Blood Bo rne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi permiabilitas usus menurun da n mikroba ini beraasal dari usus. Adanya kecurigaan akan SBP bila dijumpai keada an sebagai berikut : - Sucpect grade B dan C cirrhosis with ascites - Clinical f eature my be absent and WBC normal - Ascites protein usually <1 g/dl - Usually m onomicrobial and Gram-Negative - Start antibiotic if ascites > 250 mm polymorphs - 50% die - 69 % recur in 1 year Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporin s Generasi III (Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon seca ra oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu. c. Hepatorenal syndrome Adapun crite ria diagnostik dapat kita lihat sebagai berikut : Criteria for diagnosis of hepa to-renal syndrome : Major : - Chronic liver disease with ascietes - Low glomerul ar fitration rate - Serum creatin > 1,5 mg/dl - Creatine clearance (24 hour) < 4 ,0 ml/minute - Absence of shock, severe infection,fluid losses and Nephrotoxic d rugs - Proteinuria < 500 mg/day - No improvement following plasma volume expansi on Minor : - Urine volume < 1 liter / day - Urine Sodium < 10 mmol/litre - Urine osmolarity > plasma osmolarity - Serum Sodium concentration < 13 mmol / litre S indroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang

berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yan g Nefrotoxic. Manitol tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra s eluler. Diuretik dengan dosis yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetusk an perdarahan dan shock. TIPS hasil jelek pada Childs C, dan dapat dipertimbangka n pada pasien yang akan dilakukan transplantasi. Pilihan terbaik adalah transpla ntasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal. d. Ensefalophaty hep atic e. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus Kasus ini merupakan kasus em ergensi sehingga penentuan etiologi sering dinomo rduakan, namun yang paling pen ting adalah penanganannya lebih dulu. Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusita si sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan : - Pasien dii stirahatkan daan dpuasakan - Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau p erlu transfusi - Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali k egunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian oba t-obatan, evaluasi darah - Pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2, Antifibr inolitik, VitaminK, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin - Disamping itu dip erlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan perdarahan misalnya Pem asangan Ballon Tamponade dan Tindakan Skleroterapi / Ligasi atau Oesophageal Tra nsection. e. Ensefalopati Hepatik Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma. Pada umumnya enselopati Hepat ik pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus, antara lain : infeksi, p erdarahan gastro intestinal, obat-obat yang

Hepatotoxic. Prinsip penggunaan ada 3 sasaran : 1. mengenali dan mengobati facto r pencetua 2. intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta to xin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan : - Dier rendah protein - Pemberia n antibiotik (neomisin) - Pemberian lactulose/ lactikol 3. Obat-obat yang memodi fikasi Balance Neutronsmiter - Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil) - Tak l angsung (Pemberian AARS) KESIMPULAN Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan men gobati penyulit, maka prognosa SH bisa jelek. Namun penemuan sirosis hati yang m asih terkompensasi mempunyai prognosa yang baik. Oleh karena itu ketepatan diagn osa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan sirosis ha ti. KEPUSTAKAAN : 1. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases 2. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung 3. S herlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England Blackwell 1997 4. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis 5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI, Jakarta 1987 6. Anonymo us http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm 7. Lesmana.L.A, Pembaharua n Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI. RSUPN C ipto Mangunkusumo

Hipertensi Portal pada Anak Bambang Surif*, Julius Roma** *Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Fakultas Kedokteran Univer sitas Hasanuddin, Ujung Pandang **Bagian Ilmu Kesehatan Anak (Subdivisi Gastrohe patoenterologi) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo/Fakultas Kedokte ran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang ABSTRAK Hipertensi portal terjadi jika tekanan dalam sistim vena porta meningkat diatas 10-12 mmHg yang dapat terjadi ekstrahepatik, intrahepatik dan suprahepatik. Penampakan dari ketiga jenis hiper tensi portal ini dapat mirip satu dengan yang lainnya, namun penyebab, komplikas i dan penanganan dapat sangat berbeda. Diagnosis hipertensi portal ditegakkan be rdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, endoskopi, pencitraan, bio psi hati dan pengukuran tekanan vena porta. Untuk dapat mengelola dengan baik, d iagnosis yang tepat merupakan syarat mutlak. PENDAHULUAN Hipertensi portal merup akan gabungan antara penurunan aliran darah porta dan peningkatan resistensi ven a portal (1) . Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena po rta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg (2) . Peningkatan tekanan vena porta biasanya dise babkan oleh adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke d alam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistim portal dapat terjadi ol eh karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa pengkerut an (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau postsinusoi d dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik) (3) . Diagnosis hiper tensi portal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, endoskopi, pencitraan, biopsi hati dan pengukuran tekanan vena porta. Usaha peny elamat hidup seperti tindakan pembedahan

endoskopik atau pemberian obat-obatan terus berkembang. Untuk dapat mengelola de ngan baik, diagnosis yang tepat merupakan syarat mutlak (2) . Vena-vena yang mem bentuk sistim portal adalah vena porta, vena mesenterika superior dan inferior, vena splanikus dan cabang-cabangnya. Vena porta sendiri dibentuk dari gabungan v ena splanikus dan vena mesenterika superior (gambar 1). Anatomi vena porta Gamba r 1. Anatomi vena porta (dikutip dari (2) . (a) Vena porta (h) Vena gastrika dek stra (b) Vena mesenterika superior (i) Vena gastrika sinistra (c) Vena splanikus (j) Venapankreatiko-duodenale (d) Vena mesenterika inferior (k) Vena kistika (e ) Vena gastro-epiploika dekstra (1) Cabang kanan vena porta (f) Vena gastro-epip loika sinistra (m) Cabang kici vena

Vena porta membawa darah ke hati dari lambung, usus, limpa, pankreas dan kandung empedu. Vena mesenterika superior dibentuk dari vena-vena yang berasal dari usu s halus, kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung. Vena porta tidak mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh puluh lima persen sirkulasi hati dan sisanya oleh arteri hepatika. Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena hepatika yang selanjutnya ke vena kava inferior. ETIOLOGI Seperti yang telah dijelaskan di atas, hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik dan supra hepatik. Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70% hiperten si portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui, sedangkan obstruksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak mempunyai riwayat penyakit hati sebelumnya (2,4) . Pada hipertensi portal ekstra hepatik, obstruksi terjadi pada aliran darah portal antara hilus lien dan hilus hepar at au meningkatnya aliran darah vena porta. Sumbatan ini bisa karena sisa-sisa jari ngan fibrous, trombus, tekanan dari luar, adanya web atau diafragma atau sekelom pok kolateral yang mengalami transformasi kavernous (3) . Pernah dicoba pengikat an vena porta pada binatang percobaan, tetapi tidak menimbulkan gejala-gejala se perti yang didapatkan pada manusia. Ini menunjukkan bahwa proses hipertensi port al berlangsung perlahan-lahan (3) . Penyebab-penyebab hipertensi portal ekstrahe patik diperlihatkan pada tabel 1 (2) . Tabel 1. Penyebab hipertensi portal ekstr ahepatik Obstruksi vena porta dan vena splenikus Idiopatik Septikemia Kongenital Kolangitis Kelainan struktural Trauma Omfalitis Ulkus abdomen Kateterisasi vena umbilikalis Pankreatitis Piloflebitis Keganasan Sepsis intra abdomen Pembesaran kelenjar limfe

Pembedahan dekat portahepatik Kista duktus koledokus Hipertensi portal intra hep atik dapat timbul dari kelainan hepar dengan pengkerutan dan tanpa pengkerutan s eperti fibrosis hepatik kongenital, dimana sekitar 25% kasus-kasus hipertensi po rtal anak diakibatkan oleh kelainan hepar dengan pengkerutan. Pada kelainan hati dengan pengkerutan terjadi jaringan ikat parut yang difus, pengkerutan jaringan ikat yang selanjutnya akan meningkatkan tabanan vaskuler (3,4) . Kelainan hati dengan pengkerutan merupakan penyebab terbanyak hipertensi portal di Amerika Ser ikat (6) . Faktor terpenting hipertensi portal intrahepatik adalah peningkatan r esistensi aliran darah portal pada tingkat sinusoid oleh karena penumpukan kolag en perisinusoid pada ruang Disse dan konsekuensi dari penyempitan sinusoid (4) . Penyebab lain dari hipertensi portal intrahepatik tercantum dalam tabel 2 (2) . Tabel 2. Penyebab hipertensi portal intrahepatik Presinusoid : Hepatitis akut d an kronik Sirosis Fibrosis hati kongenital Sistosomiasis Infiltrasi saluran port a Granuloma Hemangioma Intoksikasi vitamin A Sklerosis hepato-porta Idiopatik Pa rasinusoid : Sirosis Hepatitis kronik dan akut Perlemakan hati Hiperplasia nodul ar fokal Perisinusoid : Sirosis Keganasan dengan metastasis Penyakit veno oklusi f Trombosis vena hepatik

Dikutip dari Mowat (2) Hipertensi portal supra hepatik disebabkan karena kurangn ya darah vena hepatik yang masuk ke vena cava inferie misalnya pada sindroma Bud d - Chiari, gagal jantung kanan berat, perikarditis konstriktiva, trombosis vena hepatik atau vena kava inferior (3,4) . Adapun penyebab lain dari hipertensi po rtal suprahepatik diperlihatkan dalam tabel 3 (2) . Tabel 3. Penyebab hipertensi portal suprahepatik Gagal jantung kongesif Perikarditis konstriktiva Sindroma B udd-Chiari Polisitemia Neoplasma Trauma Webs vena kava inferior Dikutip dari Mow at (2) PATOLOGI Efek patologis yang utama adalah timbulnya kolaterakolateral yan g membawa darah dari sirkulasi portal ke sirkulasi sistemik yang dapat menerangk an banyak gejalagejala dan tanda-tanda dari kelainan ini. Kolateral terjadi (a) dimana epitel penyerapan bergabung dengan epitel bertingkat di esofagus alas anu s (b) pada ligamentum falsiforme (c) pada dinding perut bagian posterior yang me mbawa darah ke vena kava inferior (d) aliran ke ginjal kiri dan jarang (e) ke ve na pulmonalis (2) . Pada obstruksi ekstrahepatik sementara, bagian terbesar hati dan sel-sel hati ukurannya mengecil terutama jika terdapat sirkulasi kolateral yang luas. Fibrosis perilobular dan steatosis juga sering didapatkan. Limpa menj adi besar dengan penebalan kapsul dan peningkatan retikulum di sekitar sinusoid yang berdilatasi. Proliferasi histiosit pada sinusoid-sinusoid. Arteri dan vena splenikus, vena porta berdilatasi dan berkelok-kelok serta kadang-kadang terjadi kalsifikasi. Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000 42

GAMBARAN KLINIK Gambaran klinik pada hipertensi portal ekstra hepatik muncul pad a umumnya sebelum anak berumur 5 tahun, beberapa anak muncul sebelum usia 1 tahu n (yang termuda berumur 7 bulan), tetapi sebagian besar muncul umur 3-5 tahun (4 ) . Ada 2 kriteria klinik yang sering terdapat pada keadaan ini yaitu splenomega li dan hematemesis atau melena dari varises esofagus serta kadang-kadang diserta i asites (1,2,7) . Hipertensi portal ekstrahepatik dicurigai jika didapatkan riw ayat penyakit dan gambaran klinis sebagai berikut : anak tampak baik, pertumbuha n dan berat badan tidak terlalu terganggu, tidak ada riwayat penyakit hati atau ikterus, ada riwayat penyakit neonatus (omfalitis, sepsis, dehidrasi, riwayat ka teterisasi vena umbilikalis untuk Sindrom Distres Pernapasan atau untuk transfus i tukar), tidak ada tanda-tanda penyakit hati kronik, pembesaran perut yang inte rmitten atau asites yang sukar diterangkan, tidak ada riwayat penyakit hati atau penyakit ginjal (2,4) . Splenomegali dapat merupakan gejala awal yang paling se ring yang terjadi karena terbukanya sinus-sinus vaskuler dan hiperplasia limpa. Anamnesis yang cermat dan evaluasi klinik dapat menyingkirkan banyak penyakit-pe nyakit infeksi yang menyebabkan splenomegali seperti mononukleus infeksiosa, inf eksi traktus respiratorius atau gangguan metabolik seperti penyakit Gaucher. Pen darahan pada hipertensi portal ekstrahepatik dapat berupa hematemesis atau melen a yang dapat terjadi pada anak yang sebelumnya sehat tapi mengeluh sakit perut t iba-tiba. Keadaan ini merupakan penyebab sekitar 12% kematian pada anak dengan h ipertensi portal. Perdarahan saluran cerna biasanya berhenti spontan, tapi perda rahan ulang dapat terjadi dengan interval tidak teratur yang makin lama makin se dikit jika kolateral telah terjadi. Ensefalopati jarang merupakan komplikasi per darahan. Beberapa pasien dengan hipertensi portal tidak disertai dengan perdarah an. Asites terjadi karena penurunan sintesis albumin, retensi natrium dan efek m ekanik peninggian tekanan portal serta hiperaldosteronisme. Gambaran klinik hipe rtensi portal intrahepatik hampir sama dengan gambaran klinik bentuk ekstrahepat ik dimana splenomegali yang dihubungkan dengan hipersplenisme paling sering diju mpai. Pirau vena periumbilikal dapat terjadi. Jika terjadi perdarahan gastrointe stinal dapat diikuti dengan mem-

buruknya fungsi hepar dan gambaran ensefalopati hepatik dapat terjadi (2,3) . Be ntuk akut hipertensi portal supra hepatik biasanya dengan asites (95%), hepatome gali (70%) dan nyeri tekan daerah perut (50%) disertai dengan muntah dan ikterus ringan. Diare merupakan komplikasi yang sering timbul. Jika obstruksi vena port a komplit, kematian dapat terjadi oleh karena kegagalan hati. Pelebaran vena-ven a superfisial perut biasanya sebanding dengan derajat obstruksi. Varises esofagu s jarang terjadi kecuali bila perlangsungan penyakit yang lama, oleh sebab itu h ematemesis jarang dijumai pada awal penyakit (3) . Adanya pelebaran vena-vena pe rut membuat kita mencurigai suatu hipertensi portal. Pada daerah tersebut dapat terdengar bising (bising Cruveilhier Baumgarten) yang sering didapatkan pada hip ertensi portal intra hepatik. Hemoroid jarang pada anak tetapi bisa menjadi seri us apabila ada. Ini lebih sering ditemukan pada kelainan hati dengan pengkerutan (4) . DIAGNOSIS Diagnosis suatu hipertensi portal berdasarkan atas anamnesis, p emeriksaan fisis, pencitraan, laboratorium, endoskopi, pengukuran tekanan vena p orta dan biopsi hati (1,3) . Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya suatu hipertensi portal adalah sebagai berikut (tabel 4). Tabe l 4. Pemeriksaan pada penderita yang diduga hipertensi portal Uji fungsi hati Wa ktu protrombin Pemeriksaan darah lengkap USG hati sistim bilier Pemeriksaan radi oisotop sistim vena porta dan ginjal Endoskopi Esofagogram Mencari penyebab hepa titis kronik Biopsi hati Pemeriksaan sebelum operasi Pemeriksaan radiologik sist im vena porta dan cabang-cabangnya atau portografi umbilikal Venogram hepatik re trograd Venocavogram interior Venografi porta transhepatik perkutan Dikutip dari Mowat

(2) Pencitraan sebagai salah satu penunjang diagnostik hipertensi portal juga me megang peranan penting untuk mendeteksi secara akurat tanda-tanda klinis serta k omplikasi hipertensi portal (7) . Pemeriksaan untuk melihat kelainan anatomis si stim porta diperlukan untuk melakukan koreksi operatif maupun transplantasi hati . Untuk hal ini USG Doppler sangat menolong sedangkan angiografi dan venografi v ena splenikus berguna untuk melihat potensi vena porta dan cabang- cabangnya. CT scan tidak lebih unggul dari USG Doppler dalam melihat vena porta dan kolateral nya. Portografi umbilikus dapat melihat vena porta dan cabang-cabangnya didalam hati serta sinusoid hati sedangkan portografi transhepatik jarang digunakan kare na banyak komplikasinya (1) . Pengukuran tekanan vena hepatik dapat menentukan k elainan intrahepatik bila cara lain merupakan kontraindikasi dalam pemeriksaan p enyebab hipertensi portal, sedangkan biopsi hati dapat memberikaan informasi ten tang diagnosis dan prognosis terutama hipertensi portal intrahepatik (2) . Sebel um diagnosis pasti dibuat, beberapa keadaan yang berhubungan dengan splenomegali , lekopeni dan pansitopeni harus dapat disingkirkan seperti Gaucher disease, Nie mann Pick disease, Letterer Siwe disease dan penyakit-penyakit dengan infiltrasi pada sumsum tulang dengan leukemia dan sel neoplastik (3) . Cermin Dunia Kedokt eran No. 128, 2000 43

PENANGANAN Perdarahan dari varises esofagus yang bermanifestasi sebagai hemateme sis dan melena biasanya berhenti spontan, tapi perdarahan ulang dapat terjadi (2 ,3,5) . Jika perdarahan masih tetap berlangsung dapat dipikirkan pemberian trans fusi darah segar, vasopressin, pemasangan pipa lambung untuk pembilasan dengan N aCl dingin (4) , tetapi peneliti lain menganggap bahwa pembilasan tidak berarti banyak dalam mengurangi perdarahan (5) . Vasopressin (pitressin) diberikan denga n tujuan menyebabkan vasokonstriksi arteri splanikus dengan dosis 0,33 unit/kilo gram berat badan intraavena selama 20 menit. Jika perdarahan masih berlanjut, do sis dapat ditingkatkan tiga kali lipat. Glypressin adalah suatu prekursor pitres sin inaktif. Pada anak-anak, dapat diberikan dengan dosis 2 mg per infus selama 6 jam. Dikatakan bahwa glypressin ini lebih efektif dari vasopressin. Efek sampi ng yang dapat terjadi pada pemberian obat-obatan ini adalah kemerahan pada kulit , kolik abdomen dan diare. Apabila dengan cara di atas tidak berhasil dalam meng atasi perdarahan dapat dipikirkan pemasangan balon untuk tamponade (Sengstaken-B lackmore). Pemasangan balon ini sulit dilaksanakan pada anak dan dikuatirkan bis a menyumbat jalan napas pada waktu dikeluarkan, aritmia jantung, robeknya esofag us dan refluks darah dari esofagus sehingga terjadi aspirasi. Apabila tetap tida k berhasil maka dilakukan ligasi varises. Kebanyakan hipertensi portal ekstra he patik dapat teratasi dengan cara-cara ini (1-5) . Gambar 2. Anatomi normal pada hipertensi portal dan pirau porta (dikutip dari 2). Penanganan operasi untuk men ghentikan perdarahan masih merupakan kontroversi. Sebenarnya pembuatan pirau den gan tindakan operasi ini merugikan penderita karena dapat menurunkan aliran dara h ke hati yang akan mengurangi perfusi jaringan hati yang pada akhirnya akan men yebabkan ensefalopati porta sistemik. Pembuatan pirau mungkin berguna pada pende rita hipertensi portal ekstrahepatik dengan perdarahan yang tidak bisa diatasi. Ada dua cara yang akhir-akhir ini digunakan, yaitu penanganan secara langsung pa da varisesnya (ligasi transesofagal) dan pengalihan aliran darah dari sirkulasi portal ke sirkulasi sistemik (pintasan portokaval dekompressi dan selektif). Skl eroterapi merupakan pilihan penanganan awal, tetapi ini biasanya hanya merupakan

penanganan sementara sambil menunggu operasi. Pintasan untuk dekompressi yang te rkenal adalah end to side portocaval dan pintasan selektif adalah splenorenal di stal (gambar 2) (15,8) . Pintasan splenorenal distal dibandingkan dengan pintasa n portokaval efeknya sama dalam mencegah perdarahan ulang tetapi kemungkinan dal am terjadinya ensefalopati lebih rendah pada pintasan splenorenal distal, selain itu pintasan portokaval lebih membebani hati setelah operasi. Setelah operasi d apat terjadi komplikasi kegagalan hati, pnemoni aspirasi dan sepsis (2) . (a) An atomi normal hipertensi portal (b) pirau splenorena I distal selektif yang mempe rlihatkan (L) hati (S) limpa (K) ginjal (P) vena porta (SV) vena splenikus (R) v ena renalis (IVC) vena kava inferior (CV) vena koronaria. KEPUSTAKAAN 1. Wiharta AS. Tatalaksana Hipertensi Porta. Naskah Lengkap Simposium Konrres Nasional Ilm u Kesehatan Anak X; Bukitinggi, 1996; 1-7 2. Mowat AP. Disorders of the portal a nd hepatic venous system. In Liver disorders in childhood; 2 nd ed. London, Boston : Butterworth, 1987; 298-322. 3. Byrne WJ. The gastrointestin aal tract. In : Behrman RE, Kliegman R, Essentials of pediatrics. Philadelphia : WB Saunders Comp, 1990; 406. 4. Roy CC, Silverman A, Cozzetto FJ. Portal Hypert ension. In : Roy CC et al, Eds. Pediatric clinical gastroenterology. 2 nd ed. Saint Louis: The CV Mosby Comp, 1975; 582-604. 5. Shandling B. Portaal hyper tension and varices. In: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC, Eds. Te xtbook of Pediatrics; 14 th ed. Philadelphia: WB Saunders Comp, 1993; 1029-30. 6. Braunwald E, Isselbacher K J, Petersdorf RG et al. Principles of Internal Medicine, 11 th ed. New York, St Louis: McGraw-Hill Book Comp, 1987; 1346-7. 7. Firman K. Pencit raan sebagai sarana penunjang diagnosis portal. Naskah Lengkap Simposium Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak X; Bukittinggi, 1996; 8-19. Penanganan dietetik pa da penderita hipertensi portal tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Terut ama setelah

dilakukan operasi, pembatasan diet protein yang ketat harus dilakukan untuk meng hindari kegagalan hati Akut. Jika terdapat asites, diberikan diet rendah garam ( kurang dari 500 mg) dan hidroklortiazid (75 mg/m 2 ) (3,9) . 8. Buller HA, Rauws EAJ. Sclerotherapy for oesophageal varices. Naskah Lengkap Simposium Kongres Na sional Indonesia Ilmu Kesehatan Anak X; Bukittinggi, 1996; 8-19. 9. Davidson SS, Pasmore R, Brock JF. Diseases of the Liver, Biliary tract and Pancreas. In Huma n Nutrition And Dietetics; 1 st ed. Edinburgh, London: Churchill Livingstone, 1973; 410-21 Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Sirosis Hati dengan Nutrisi Khusus Sirosis hati merupakan kelanjutan dari penyakit hati menahun, misalnya hepatitis B atau C yang ditandai dengan perubahan anatomi sel-sel hati menjadi jaringan i kat. Di samping itu, pasien sirosis hati umumnya mengalami gangguan dalam proses metabolisme zat menjadi energi. Gejala dan penyulit yang menyertai sirosis hati di antaranya asites (busung air), anemia, protein energi malnutrisi, mudah infe ksi (gangguan sistem imun), dan ensefalopati hepatik. Penyulit ini menyebabkan k ualitas hidup penderita menurun. Salah satu komplikasi serius yang membutuhkan p erhatian khusus adalah ensefalopati hepatik. Berdasarkan data, diketahui bahwa 4 0--85% penderita sirosis hati mengidap ensefalopati hepatik secara subklinis. De mikian dikatakan Prof. Dr. Nurul Akbar, SpPD-KGEH dalam seminar awam bertema "Me ningkatkan Kualitas Hidup Penderita Sirosis Hati dengan Nutrisi Khusus", pada 6 April 2002, di Jakarta. Lebih lanjut, dikatakan bahwa deteksi ensefalopati hepat ik subklinis dapat dilakukan dengan NCT (Number Connection Test). Pada tes ini p enderita diminta menghubungkan angka 1--25, kemudian dinilai lama waktu yang dib utuhkan untuk menyelesaikan tes tersebut. Semakin lama waktu yang dibutuhkan unt uk menyelesaikan, semakin tinggi tingkat kemungkinan ensefalopati hepatik. Semen tara itu, ensefalopati hepatik klinis berdasarkan derajat keparahan dibagi menja di 4

stadium. Stadium 0 menunjukkan tidak adanya gangguan yang tampak secara klinis, stadium 1 terjadi gangguan status mental (perubahan tingkah laku dan emosi), sta dium 2 pasien cepat mengantuk yang menandai mulai terjadi gangguan saraf yang le bih lanjut, stadium 3 kesadaran pasien tambah menurun, dan akhirnya pada stadium 4 pasien kehilangan kesadaran (koma). Koma hepatik terjadi karena beberapa kond isi, terutama adanya hiperamonia akibat gangguan detoksifikasi oleh hati dan kar ena adanya gangguan keseimbangan antara asam amino rantai cabang dengan asam ami no aromatik. Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. A sam amino rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin di gunakan sebagai sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi ) dan untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai orga n hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yan g baik dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebi h banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatu h pada keadaan koma. Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (h epatotoksik) harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, mis alnya, asites perlu diet rendah protein dan rendah garam. Penentuan diet pada pe nderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu sisi, diet tinggi protei n untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan hiperamonia yang berakibat t erjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan protein rendah maka kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi malnutrisi yang akan memperburuk keada an hati. Untuk itu, diperlukan suatu solusi dengan nutrisi khusus hati, yaitu Am inoleban Oral. Aminoleban Oral mengandung AARC kadar tinggi serta diperkaya deng an asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutr isi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Pada pende rita sirosis hati yang dirawat di rumah sakit, pemberian nutrisi khusus ini terb ukti mempercepat masa perawatan dan mengurangi frekuensi perawatan. Dengan nutri si khusus ini diharapkan status nutrisi penderita akan terjaga, mencegah memburu knya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik sehingga kualit as serta harapan hidup penderita juga akan membaik. (Hidayati W.B.)

HASIL PENELITIAN Sonografi Sirosis Hepatis di RSUD Dr. Moewardi Suyono, Sofiana, Heru, Novianto, Riza, Musrifah Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta PENDAHULUAN Peny akit hepar terutama hepatitis yang disebabkan oleh virus (terutama virus hepatit is B) saat ini melanda dunia baik di negara maju maupun negara berkembang. Muncu lnya virus baru yaitu virus Hepatitis E menimbulkan hepatitis akut yang sporadik terutama pada usia dewasa (60%). Sirosis hepatis sebagian besar disebabkan oleh hepatitis (1) penderitanya juga tidak pernah berkurang terutama dari pengamatan di RSDM Surakarta sejak tahun 2001-2003. SIROSIS HEPATIS Definisi Sirosis hepat is adalah penyakit hati menahun difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringa n ikat disertai nodul (2) . Etiologi Penyebab yang pasti sampai sekarang belum j elas; di antaranya (3) : Faktor kekurangan nutrisi Hepatitis virus Zat hepatotok sik Penyakit Wilson Hemokromatosis Gejala klinis Gejala dini samar dan nonspesif ik berupa kelelahan, anoreksia, dispepsia, flatulen, konstipasi atau diare, bera t badan berkurang, nyeri tumpul atau berat pada epigastrium atau kuadran kanan a tas (1) . Manifestasi utama dan lanjut sirosis merupakan akibat dari dua tipe ga ngguan fisiologis : a. Gagal sel hati -

Ikterus Edema perifer Kecenderungan perdarahan Eritema palmaris (telapak tangan merah) Angioma laba-laba Fetor hepatikum Ensefalopati hepatik b. Hipertensi port al Splenomegali Varises oesofagus dan lambung Manifestasi sirkulasi kolateral la in Sedang asites dapat dianggap sebagai manifestasi gagal hepatoseluler dan hipe rtensi portal (1) . PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium Tidak ada pem eriksaan uji biokimia hati yang dapat menjadi pegangan dalam menegakkan diagnosi s sirosis hepatis: a. Darah Anemia normokrom normositer, hipokrom normositer, hi pokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. b. Kenaikan kadar enzim transaminase (SGOT/SGPT) (2) c. Albumin dan globulin serum Perubahan fraksi protein yang pal ing sering terjadi pada penyakit hati adalah penurunan kadar albumin dan kenaika n kadar globulin akibat peningkatan globulin gamma (2) . d. Penurunan kadar CHE e. Pemeriksaan kadar elektrolit, penting pada penggunaan diuretik dan pembatasan garam dalam diet. f.

Pemanjangan masa protrombin, g. Peningkatan kadar gula darah h. Pemeriksaan mark er serologi petanda virus seperti HBsAg/HBsAb, HBeAg/HbeAb, HBv DNA penting untu k menentukan etiologi sirosis hepatis. Pemeriksaan fisik a. Hati: Biasanya membe sar pada awal sirosis, bila hati mengecil artinya prognosis kurang baik..Konsist ensi hati biasanya kenyal, tepi tumpul dan nyeri tekan. b. Splenomegali. c. Asci tes dan vena kolateral di perut dan ekstra abdomen d. Manifestasi di luar perut : Spider nevi di tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medusae ( 2) . VIRUS HEPATITIS B Struktur virus Virus hepatitis B (HBV) termasuk famili he padnaviridae dan genus hepadnavirus, virus DNA, serat ganda parsial (partially d ouble stranded), panjang genom sekitar 3200 pasangan basa, mempunyai envelope/se lubung (7) . Protein yang dibuat oleh virus yang bersifat antigenik serta member i gambaran tentang keadaan penyakit adalah : Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 20 06 22

a. Antigen permukaan/surface antigen/HbsAg.. b. Antigen core/core antigen/HbcAg. c. Antigen e/ e antigen/HbeAg (7) . Skema partikel virus hepatitis B Mekanisme hipotetik penempelan VHB pada hepatosit Mekanisme masuknya virus hepatitis B masih diperdebatkan. Dilaporkan bahwa suatu reseptor poli-HAS atau disebut poli-HAS receptor (pAR) berperan dalam fase pene mpelan (8) . Mekanisme imunologi pada infeksi virus hepatitis B Virus hepatitis B bersifat tidak sitopatik. Pada infeksi akut, terjadi infiltras i sel-sel radang antara lain limfosit T yaitu sel NK dan sel T sitotoksik. Antig en virus terutama HbcAg dan HbeAg yang diekspresikan di permukaan hepatosit bers amasama dengan glikoprotein HLA class I, mengakibatkan hepatosit yang terinfeksi menjadi target untuk lisis oleh limfosit T (2) . Selain itu sel hati yang menga lami infeksi virus hepatitis B ternyata dapat memproduksi sejenis protein Liver Specific Protein yang bersifat antigenik (9) . Perubahan-perubahan akibat interf eron akan menimbulkan suatu status antiviral pada hepatosit yang tidak terinfeks i, dan mencegah reinfeksi selama proses lisis hepatosit yang terinfeksi (2,10) . Hepatitis virus B yang berlanjut menjadi kronis menunjukkan bahwa respon imunol ogi seluler terhadap infeksi virus tidak baik (2) . Kegagalan lisis hepatosit ya ng terinfeksi virus oleh limfosit T dapat terjadi akibat berbagai mekanisme : a. Fungsi sel T supresor (Ts) yang meningkat. b. Gangguan fungsi sel T sitotoksik (Tc). c. Adanya antibodi penghambat di permukaan hepatosit. d. Kegagalan pengena lan ekspresi antigen atau HLA class I

di permukaan hepatosit (2) . USG PADA SIROSIS HEPATIS Gambarannya meliputi gamba ran spesifik pada organorgan hati, lien, dan traktus biliaris. a. Gambaran USG p ada hati Terdapat gambaran iregularitas penebalan permukaan hati, membesarnya lo bus kaudatus, rekanalisasi v.umbilikus, dan ascites. Ekhoparenkim sangat kasar m enjadi hiperekhoik karena fibrosis dan pembentukan mikronodul menjadikan permuka an hati sangat ireguler, hepatomegali; kedua lobus hati mengecil atau mengerut a tau normal. Terlihat pula tanda sekunder berupa asites, splenomegali, adanya pel ebaran dan kelokan-kelokan v. hepatika, v. lienalis dan v. porta (hipertensi por ta). Duktus biliaris intrahepatik dilatasi, ireguler dan berkelok-kelok (5,6) . b. Gambaran USG pada lien Tampak peningkatan ekhostruktur limpa karena adanya ja ringan fibrosis, pelebaran diameter v.lienalis serta tampak lesi sonolusen multi pel pada daerah hilus lienalis akibat oleh adanya kolateral (5) . c. Gambaran US G pada traktus biliaris. Sludge (lumpur empedu) terlihat sebagai material hipere khoik yang menempati bagian terendah kandung empedu dan sering bergerak perlahan -lahan sesuai dengan posisi penderita, jadi selalu membentuk lapisan permukaan d an tidak memberikan bayangan akustik di bawahnya. Pada dasarnya lumpur empedu te rsebut terdiri atas granula kalsium bilirubinat dan kristal-kristal kolesterol s ehingga mempunyai viskositas yang lebih tinggi daripada cairan empedu sendiri. D inding kandung empedu terlihat menebal. Duktus biliaris ekstrahepatik biasanya n ormal (4) . METODA PENELITIAN Data didapatkan dari penderita dengan tanda klinis , data laboratoris dan USG sebagai pemeriksaan penunjang. Data dikumpulkan secar a retrospektif dari permintaan USG hepar di bagian Radiologi RSUD Dr.Moewardi Su rakarta sejak 20012003. Data tersebut diolah dan diklasifikasikan berdasarkan um ur, jenis kelamin, keterangan klinik dan hasil USG hepar. HASIL PENELITIAN

Data diambil antara tahun 2001-2003 di bagian Radiologi RSUD Dr.Moewardi Surakar ta Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Hasil pemeriksaan kli nis Tabel 1. Distribusi berdasarkan jenis kelamin penderita Jenis kelamin Jumlah % Laki-laki Wanita 44 18 71 29 Total 62 100 Tabel 2. Distribusi berdasarkan umu r penderita Umur (th) Jumlah % 31 40 41 50 51 60 61 70 71 80 81 90 91 100 10 5 2 7 18 1 1 16 8 43 29 2 2 Total 62 100 Tabel 3. Gajala klinis (n=62) Keterangan kl inik Jumlah % Ikterik Hematemesis Ascites Hepatomegali Splenomegali Mekena

58 8 37 19 33 10 93 13 60 30 54 16 Hasil pemeriksaan USG Abdomen Tabel 4. Ascite s USG Abdomen Jumlah % Ada Tidak 54 8 87 13 SINDROMA HEPATORENAL SRI MARYANI SUTADI Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah diketahui bahwa sindroma hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terminal pada pasien sirosis hati dengan ascites. Timbulnya gagal ginjal tanpa adanya gej ala klinis dan bukti histologis yang diketahui sebagai penyebab timbulnya gagal ginjal tersebut. 1,2 . Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi tanp a ditansai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal tersebu t ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR

dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal. 3 . Selain perubahan fungsi ginjal, penderita SHR juga ditandai dengan perubahan s irkulasi arteri sistemik dan aktifitas sistim vasoactive endogen yang berperan d alam terjadinya hipoperfusi ke ginjal. Dengan alsan ini SHR merupakan kumpulan p atofisiologi yang unik untuk diketahui hubungan antara sirkulasi sistemik dan fu ngsi ginjal serta pengaruh factor vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi ginjal 4,5 . SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang masi ng-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis dengan asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histology ginjal yang nyata pada pemeri ksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek klinis fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama terminal fungtional rer nal failure. Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR tidak berhubungan dengan ker usakan struktur ginjal dan berkembangnya sindroma ini merupakan keadaan terminal dan orreversible pada sirosis dengan asites 1 . Pada tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan protein uria dan ekskresi NA + yang rendah. Defenisi Defenisi Sindroma Hepato Renal yang diusulkan oleh Interna tional Ascites Club (1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penya kit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjaldan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri da n aktifitas system vasoactive endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terd apat vasodilasi arteriol yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sis temik total dan hipotensi. Meskipun sindroma hepatorenal lebih umum terdapat pad a penderita dengan sirosis

lanjut, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau penya kit hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut3. Inside n Dagher dkk 4,6 melaporkan insiden SHR terjadi kira-kira 4% pada penderita sirosis hati dekompen sata yang dirawat, dan kemungkinan mencapai 18% pada tahun pertama dan akan meni ngkat hingga 39% pada tahun ke lima. Gines dkk 3 Page 2 2003 Digitized by USU dig ital library 2 melaporkan insiden SHR pada penderita sirosis hati dengan ascites yang dirawat m encapai 10% kasus. Patofisiologi Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokon striksi ginjal yang reversible dan hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata pada penderita SHR telah ditunjukkan dengan beberapa metode e ksplorasi termasuk arteriografi ginjal, klirens para aminohipuric acid dan yang terbaru ultrasonografi Doppler. Pemakaian beberapa teknik ini mendapatkan bebera pa perubahan dalam perfusi ginjal yang berkesinambungan pada penderita sirosis d engan ascites, dan SHR adalah akhir dari spectrum ini 2,3,7. Penyebab utama dari vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan meliba tkan banyak factor antara lain perubahan system hemodinamik, meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal (Tabel 1) 2,5 . Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari kekurangan pengisian sirkulasi arteri terhadap adanya vasodilasi pembuluh darah splanik. Pengurangan pengisian arteri ini akan menstimulasi baroreseptor mengaktifkan vasokonstriktor (seperti rennin angiotension dan system saraf simpatis)1. Tabel 1. Faktor-fakto r Vasoaktif secara potensial berperan dalam pengaturan perfusi

ke ginjal pada pendeerita sindroma hepatorenal 3 . Vasokonstriktor Angiotension II Norepineprine Neuropeptide Y Endothelin Adenos ine Cysteinyl leukotrines F2-isoprostanes Vasodilators : Prostaglandins Nitric o xide Natriuretic peptides Kallikrein kinin system Vaktor Vasokonstriktor 3,4 Sistem rennin angiotension dan system saraf simpatik, beberapa dari system utama yang mempunyai efek vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal berperan sebagai media tor utama vasokonstriksi ginjal pada sindroma hepatorenal. Aktifitas dari system vasokonstruksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan ascites, terutam a penderita dengan sindroma hepatorenal dan berkolerasi terbalik dengan aliran d arah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Kadar hormon anti diuretic atau vasopr essin meninggi pada penderita SHR karena stimulasi non osmolar, walaupun sering timbul hiponatremia. Vasopressin ini menimbulkan vasokonstriksi di ginjal. Endot helin adalah substansi vasokonstriktor lain dalam plasma meningkat pada SHR, kem ungkinan karena penambahan produksi peptide dalam hati atau dalam sirkulasi spla ndik yang hubungannya dengan vasokonstriksi ginjal masih controversial. Soper dk k melaporkan pada tiga penderita SHR memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal sete lah pemberian antagonis spesifik reseptor endhothelin A. Beberapa penelitian mela porkan peningkatan produksi cysteinyl leukotrienes sebagai vasokonstriksi ginjal yang kuat pada penderita SHR. Page 3 2003 Digitized by USU digital library 3 Substansi vasoactive lainnya seperti adenisin,F2 isoprostanes dapat juga sebagai factor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi

mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Akhir ini disebutkan endotoksin dan sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten daan SHR timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga katrena p eningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun peran en dotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan perdeba tan. Faktor Vasodilator Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau per cobaan pada binatang memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal memaikan peran yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan me elindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari factor vasokonstriktor. M ekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs). PGs membentuk sitem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sitemiknya. Bukti yang paling kuat menyoko ng peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan asci etes diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid aanti inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin ginjal. Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis hati dengan ascites menyebabkan penur unan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, yang per ubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas vasokons triktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita dengan aktifit as vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor. Vasodilator ginjal lainnya yang mungk in berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs dihambat secara tidal langsung dala m percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal 3,4. Vasodil ator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal pada sirosis adala h natriuretic peptide. Gulberg dkk menemukan peningkatan jumlah C

Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal fungsi onal, selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan eks kresi natrium urin,CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penem uan ini membuktikan aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berp eran dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas yang berlebihan da ri mekanisme vasokonstriktor ginjal 8 . Sistem saraf simpatis 4 Stimulasi system saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini telah diperliha tkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi katekolamin di pembuluh d arah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati vasokonstruksi pada arteiol affe rent ginjal menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR dan meningkatkan p enyerapan air dan natrium di tubulus. Patogenesia 3,9 Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang timbul pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal berhubungan d engan penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang berhubungan dengan ga ngguan system hemodinamik. Teori ini berdasarkan hubungan langsung hati ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang berbeda yang mana penyakit hati dapat meny ebabkan vasokonstriksi ginjal dengan Page 4 2003 Digitized by USU digital library 4 penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang dapat menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang diperlihatka n bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori kedua men erangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan patogenetik dalam system hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari pengurangan pengisian ar teri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa kekurangan pengisian sirkulas i arteri bertanggung jawab terhadap hipoperfusi yang bukan sebagai akibat penuru nan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang luar

biasa terjadi terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan aktifas i yang progresif dari mediator baroreseptor system vasokonstriktor (Gambar1), ya ng mana dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal tetap i juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek vasokonstrik tor dan vasodilasi dapat bertahan, kemingkinan karena adanya rangsangan vasodila tor local yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat t erjadi sebagai akibat aktifitas yang maksimal vasokonstriktor sistemik yang tida k dapat dihalangi oleh vasodilator, penurunan aktifitas vasodilator atau peningk atan produksi vasokonstriktor ginjal atau keduanya. Sirosis hati Vasodilatasi ar teri splanik Arterial underfilling Sintesa factor vasodilator Baroreseptor Sntes a factor vasokonstriktor Intra renal Aktifitas factor vasokonstriktor intra rena l Sistemik Vasokonstriksi renal SHR Gambar 1 : Patogenesa sindroma hepatorenal. 9 Gambaran Klinis Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secar a perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air ya ng menimbulkan ascites, edema dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh ek resi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air (oliguri anuri a ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah s istemik (Tabel 2) 3,4 . Gambaran klinis dari uremia jarang dijumpai, begitu juga dengan analisa urin

dalam keadaan normal 10. Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu 1-4,11 : 1. Sindroma Hepatorenal tipe I Page 5 2003 Digitized by USU digital library 5 Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood urea n itrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kre atinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari h ingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, Tabel 2. Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindroma h epatorenal 3 . Cardiac output meninggi Tekanan arterial menurun Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun Total volume darah meninggi Aktifasi system vasokonstriktor men inggi Tekanan portal meninggi Portosystemic shunting Tekanan pembuluh darah spla nik menurun Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi Tekanan arteri brachial dan f emoral meninggi Tahanan pembuluh darah otak meninggi retensi natrium dan hiponat remi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tet api dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR t ipe ini timbul spontan tanpa ada factor presipitasi yang diketahui, kadang-kadan g pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat dengan beberap a komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri, perdarahan gastroi ntestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis (SBP) adalah penyeba b umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35%

penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I. SHR Tipe I adalah komplikasi den gan prognostic yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas menca pai 95%. Rata-rata wktu harapan hidup penderita ini kurang dari dua minggu, lebi h buruk dari lamanya hidup disbanding dengan gagal ginjal akut dengan penyebab l ainnya. 2. Sindroma Hepatorenal Tipe II Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurun an yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl da n kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya t erjadi pada penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada pen derita dengan ascites resisten diuretic. Diduga harapan hidup penderita dengan k ondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I. Diagnosis 3,4,6 Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Kriteria diagnostik yang dianu t sekarang adalah berdasarkan International Ascites Clubs Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome (Tabel 3). Tabel 3. Kriteria Mayor diagnostik SHR berdasark an International Axcites Club 4 1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal . Page 6 2003 Digitized by USU digital library 6 2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40 ml/mn t. 3. Tidak ada syok,infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan m endapat obat nefrotoksik. 4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 ltr dan diuretic (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 m g/dl atau peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt) 5. Proteinuria < 0, 5 g/hari dan tidak dijumpai bstruktif uropati atau penyakit parenkim ginjal seca ra ultrasonografi. Kriteria tambahan : 1. Volume urin < 500 ml / hari 2. Natrium urin < 10 meg/liter 3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma 4. Eritrosit urin < 50 /lpb 5. Natrium serum <130 meg / liter

Semua kriterua mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa SHR, sedangkan cri teria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosa SHR. Beberapa paktor predictor untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites dapat dilihat pada ta ble 4. Tabel 4. factor predictor timbulnya SHR pada sirosis dengan ascites 3 Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan Ekskresi natrium urin yang rendah Hipotensi arterial Aktifitas plasma rennin meninggi Kadar norepinefrin plasma tinggi Refrakter ascites Tidak ada hepatomegali Peningkatan vascular resistive index ginjal Penatalaksanaan 1-3 Dengan mengetahui beberapa factor pencetus untuk timbulnya SHR pada penderita si rosis dengan ascites maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada pender ita ini. Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah besar, ter utama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian antibiotik untuk me ncegah SBP pada penderita sirosis hati dengan resiko tinggi untuk timbulnya komp likasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada beberapa modalitas terapi digunakan pada penderita dengan SHR dengan efek yang hanya sedikit atau tidak ada sama sek ali. Vasodilator 4 Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator, terutama PGs telah dipakai pada pender ita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberia n PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilata si renal pada penderita SHR. Infus dopamine selama 24 jam hanya Page 7 2003 Digit ized by USU digital library 7

menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa perubahan yan g berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endhothelin spesif ik segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR. Vas okonstriktor Hipoperfusi ginjal pada SHR pada sirosis dipikirkan berhubungan den gan pengurangan pengisian sirkulasi arteri , vasokonstriksi telah digunakan dala m usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian vasokonstriktor seger a ( norepinefrin, angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascit es dan SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan arte ri dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan p ada penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang singkat , hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah ginj al meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi sistemik mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada sirkulasi ginjal a tau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor 12,13 . Kombinasi pemberian vasokonstriktor (ornipressin, norepenephrine) dan vasodila tor ginjal (dopamine,prostacyclin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal 14 . Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin denga n penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi ginjal dan menormal kan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga hari pengobatan d engan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang berlebihan dari r ennin angiotension dan system saraf simpatis, peningkatan kadar natriuetik pepti de arteri dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal. Pemberian

ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat d igunakan dengan kewaspadaan yang tinggi, pada beberapa pasien hal ini tidak dila njutkan karena komplikasi iskemik 15 . Angeli dkk memberikan Midodrine dan Ocreotide pada 13 penderita SHR tipe I, se telah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin, vasopressi n dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakuka n transplantasi hati dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati 16 . Peritoneovenous shunt Peritoneovenous shunt telah digunakan secarasporadis pad a masa yang lau di dalam pelaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasanga n shunt menyebabkan aliran yang terus menerus cairan ascites dari rongga periton eum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardia c output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari peritoneove nous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas system vasokon striktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus memperbaiki aliran dar ah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR 3. Portosystemic shunt Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan terapi standar dalam pelaksanaan SH R karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dihubungkan dengan prose dur operasi ini pada sebagian pasien dengan penyakit hati lanjut. Akhir-akhir in i telah diperkenalkan suatu metode nenbedah dari kompresi portal yaitu Transjugu lar intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini disbanding de ngan operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Kompli kasi yang paling sering pada pasien yang Page 8 2003 Digitized by USU digital lib rary 8

mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cendrung memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan S HR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas m enunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Wal aupun demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat merokomendasikan 3 . Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS d apat memperbaiki fungsi ginjal,menurunkan aktifitas renin angiotension dan syste m saraf simpatis 17 . Dialisa 1,18 Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada penatalaksanaan pend erita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi g injal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas d ari sialisa pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunju kkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengo batan dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat p enelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR y ang sedang menunggu transplantasi hati. Transplantasi Hati 3,4,19,20 Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR , yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindaka n transpalntasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR d an daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Seger a setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 ja m sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai

mengalami perbaikan. Kesimpulan 1. SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak hanya gagal ginjal, tapi juga gangguan system hemodi namik dan aktifitas system vasoaktif endogen. 2. Patogenesa SHR belum diketahui pasti, tapi diduga pengurangan pengisian sirkulasi arteriol sekunder terhadap si rkulasi vasodilasi arteriol di splanik, gangguan keseimbangan antara factor vaso konstriktor dan vasodilator. 3. Diangnosa SHR berdasarkan International Ascites Clubs Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome. 4. Pilihan pengobatan yang bai k adalah transplantasi hati 5. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali normal atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transpla ntasi hati. Kepustakaan 1. Arroyo V.New Treatment for Hepatorenal Syndrome. Live r Transplantation 2000;6 (3) http://hepatology.aasldjournals.org/scripts/om.dll/ serve?article.htm 2. Platt JF,Ellis JH, Rubin JM et al. Renal Duplex Doppler Ult rasonography: A Noninvasive Predictor Of Kidney Dysfunction and Hepatorenal Fail ure in Liver Disease. Hepatology 1994;20:362-9. 3. Gines P, Arroyo V. Hepatorena l Syndrome.J Am Soc Nephrol 1999;10:1833-9 4. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737 5. Arroyo V, Gines P,Gerbes Al et al. Defenition and Diagnostic criteria of Refractory ascites and Hepatorenal Syndrome in Cirrho sis Hepatology 1996;23:164 Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, dita ndai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi k arena infeksi akut dengan virus hepatitis dimana terjadi peradangan sel hati yan g luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentu k oleh sel parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal aka n berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya ali ran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis d ini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila di tekan. Penyebab sirosis hati beragam. Selain disebabkan oleh infeksi virus hepat itis B ataupun C, juga dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, berbagai macam penyakit metabolik, adanya gangguan imunologis , dan sebagainya. Di Indonesia, sirosis hati lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempu an. Keluhan yang timbul umumnya tergantung apakah sirosisnya masih dini

atau sudah fase dekompensasi. Selain itu apakah timbul kegagalan fungsi hati aki bat proses hepatitis kronik aktif atau telah terjadi hipertensi portal. Bila mas ih dalam fase kompensasi sempurna maka sirosis kadangkala ditemukan pada waktu o rang melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh (general check-up) karena memang tidak ada keluhan sama sekali. Namun, bisa juga timbul keluhan yang tidak khas seperti merasa badan tidak sehat, kurang semangat untuk bekerja, rasa kembung, m ual, mencret kadang sembelit, tidak selera makan, berat badan menurun, otototot melemah, dan rasa cepat lelah. Banyak atau sedikitnya keluhan yang timbul tergan tung dari luasnya kerusakan parenkim hati. Bila timbul ikterus maka berhenti sed ang terjadi kerusakan sel hati. Namun, jika sudah masuk ke dalam fase dekompensa si maka gejala yang timbul bertambah dengan gejala dari kegagalan fungsi hati da n adanya hipertensi portal. Kegagalan fungsi hati menimbulkan keluhan seperti ra sa lemah, turunya barat badan, kembung, dan mual. Kulit tubuh di bagian atas, mu ka, dan lengan atas akan bisa timbul bercak mirip laba-laba (*spider nevi). Tela pak tangan bewarna merah (eritema palmaris), perut membuncit akibat penimbunan c airan secara abnormal di rongga perut (asites), rambut ketiak dan kemaluan yang jarang atau berkurang, buah zakar mengecil (atrofi testis), dan pembesaran payud ara pada laki-laki. Bisa pula timbul hipoalbuminemia, pembengkakan pada tungkai bawah sekitar tulang (edema pretibial), dan gangguan pembekuan darah yang berman ifestasi sebagai peradangan gusi, mimisan, atau gangguan siklus haid. Kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut dapat menyebabkan gangguan kesadaran akibat e ncephalopathy hepatic atau koma hepatik. Tekanan portal yang normal antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal terjadi kenaikan tekanan dalam sistem portal yang l ebih dari 15 mmHg dan bersifat menetap. Keadaan ini akan menyebabkan limpa membe sar (splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada dinding perut disekitar pusar (caput medusae), pada dinding perut yang menandakan sudah terbentuknya sis tem kolateral, wasir (hemoroid), dan penekanan pembuluh darah vena esofagus atau cardia (varices esofagus) yang dapat menimbulkan muntah darah (hematemesis), at au berak darah (melena). Kalau pendarahan yang keluar sangat banyak maka penderi ta bisa timbul syok (renjatan). Bila penyakit akan timbul asites, encephalopathy , dan perubahan ke arah kanker hati primer (hepatoma). Diagnosa yang pasti diteg askan secara mikroskopis dengan melakukan biopsi hati. Dengan pemeriksaan histip atologi dari sediaan jaringan hati dapat ditentukan keparahan dan kronisitas dar i peradangan hatinya, mengetahui penyebab dari penyakit hati kronis, dan mendiag nosis apakah penyakitnya suatu keganasan ataukah hanya penyakit sistemik yang di sertai pembesaran hati. Pemeriksaan laboraturium pada sirosis hati meliputi hal-hal berikut. 1. Kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih menurun (leukopenia), dan trombositopenia. 2. Kenaikan SGOT, SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel-sel yang rusak. Namun, tidak meningkat pada sirosis inaktif. 3. Kadar albumin rendah . Terjadi bila kemampuan sel hati menurun.

4. Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan sel hati. 5. masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi hati. 6. pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan ketidakm ampuan sel hati membentuk glikogen. 7. Pemeriksaan marker serologi petanda virus untuk menentukan penyebab sirosis hati seperti HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA, dan sebagainya. 8. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau >500-1.0 00 berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma). Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antar a lain ultrasonografi (USG), pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur barium u ntuk melihat varises esofagus, pemeriksaan esofagoskopi untuk melihat besar dan panjang varises serta sumber pendarahan, pemeriksaan sidikan hati dengan penyunt ikan zat kontras, CT scan, angografi, dan endoscopic retrograde chlangiopancreat ography (ERCP). Pengobatan tergantung dari derajat kegagalan hati dan hipertensi portal. Bila hati masih dapat mengkompensasi kerusakan yang terjadi maka pender ita dianjurkan untuk mengontrol penyakitnya secara teratur, istirahat yang cukup , dan melakukan diet sehari-hari yang tinggi kalori dan protein disertai lemak s ecukupnya. Dalam hal ini bila timbul komplikasi maka hal-hal berikut harus diper hatikan. 1. Pada ensefaopati pemasukan protein harus dikurangi. Lakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian kalium pada hipokalemia, pemberian ant ibiotik pada infeksi, dan lain-lain. 2. apabila timbul asites lanjut maka penderita perlu istirahat di tempat tidur. Konsumsi garam perlu dikurangi hingga kira-kira 0.5 g per hari den gan botol cairan yang masuk 1.5 1 per hari. Penderita diberi obat diureti distal yaitu Spronolakton 4x25 g per hari, yang dapat dinaikkan sampai dosis total 800 mg perhari. Bila perlu, penderita diberikan obat diuretik loop yaitu Furosemid dan dilakukan koreksi kadar albumin di dalam darah. 3. Pada pendarahan varises e sofagus penderita memerlukan perawatan di rumah sakit. 4. Apabila timbul sindroma hepatorenal yaitu terjadinya gagal ginjal akut yang berjalan progresif pada penderita penyakit hati kronis dan umumnya dis ertai sirosis hati dengan asites maka perlu perawatan segera di rumah sakit. Kea daan ini ditandai dengan kadar urea yang tinggi di dalam darah (azotemia) dan ai r kencing yang keluar sangat sedikit (oliguria).

Abstrak Sirosis hepatis yang merupakan suatu tahap akhir dari hepatitis kronik t ermasuk masalah kesehatan yang cukup penting saat ini. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada suatu terapi yang dapat memberikan hasil secara efektif. Transplan tasi sel menjadi alternatif baru, mengingat adanya kemungkinan sel hepatosit dap at ditransplantasikan dan berintegrasi dengan jaringan hepar resipien. Perkemban gan teknis medis saat ini menunjukkan bahwa transplantasi sel hati secara intra portal mulai dilakukan untuk mensubtitusi jaringan hepar yang telah rusak. Hanya saja, teknik trasnplantasi sel intra porta yang telah dilakukan memiliki bebera pa kelemahan, terutama terkait dengan terjadinya nekrosis di jaringan hepar resi pien karena terbentuknya oklusi di sepanjang pembuluh porta. Tingkat ketahanan h idup sel hepatosit donor di daerah barunya juga sangat minim sehingga mempengaru hi tingkat keberhasilan transplantasi intra porta. Kami berupaya untuk menyajika n suatu metode baru beserta alat bantunya untuk menyempurnakan proses transplant asi hepatosit intra porta. Metode dan alat tersebut dinamai Hepatosit Sitotranspl antator. Dengan metode ini, upaya penanganan proses transplantasi sel di kendalik an secara komprehensif dan sistematis. Bahan baku sel hepatosit yang akan diguna kan untuk transplantasi diambil dari subjek transplan (autotransplan) dengan car a biopsi terarah dengan bantuan USG. Sel sampel dibiakkan dalam media kultur CRM L-1066 (Mediatech) dan mendapat proteksi seluler dari Nafamostat Mesilate (suatu protease inhibitor). Selanjutnya, sel hasil kultur akan dikirim kembali ke hepa r resipien dengan bantuan tekanan alir yang berasal dari aliran darah resipien. Untuk mendapatkan tekanan alir Abstract Cirrhosis hepatic as an endpoint of chronic liver failure was determine as a current medical problems. Several improvement methods had conducted with u nsuccesful result. Actually liver trasnplantation has a promising result, but th eres so many technical difficulities (include how to get a donor?, compatibility, a nd surgery requirements) which inhibits wide range acceptance of this techniques . Cytotransplantation was dettermine wheter hepatocytes could transplanted and i ntegrated with liver parenchyma in portal zone. The recent focus on hepatocytes transplantation as an alternative therapy for cirrhosis hepatic has heightened i nterest in the reversal of cell transplantation using intra portal infusion. Mea nwhile a conventional teckniques had several problems like necrotic spread cause d by an occlution. Locus transplant viability rate also poor and contribute as a n important failure parameter. We try to introduce a novel methods and cyto tran splantation equipment (Hepatocyte Cytotransplantator) to cut some impairment cau sed by an old techniques. In our design hepatocytes cells will colecting, manipu lating, and sending by a comprehensive approach. Hepatocytes was collected by bi opsy surgery and grown in CRML-1066 medium. During pretransplantation process he patocytes will treated by Nafamostat Mesilate (protease inhibitor) as a cytoprot ective. To send the hepatocytes into portal area we use liquid pressure from rec ipient own blood flow. Artificial closed blood circulation has conducted by usin g inlet-outlet needle connected to silicon tubing. Blood pressure in 3.2x1.6 mm diameters silicon tubing will enhancing by peristaltic pump to conduct a higher pressure. Blood will temporary collecting in multiport ejector which acted as a

tersebut, didesain suatu sirkulasi vaskular tertutup dengan menggunakan jarum in let-outlet yang terhubung dengan silicon tubing berdiameter 3,2x1,6 mm. Untuk me mbantu meningkatkan tekanan intra tuba, ditambahkan sebuah pompa peristaltis unt uk mendorong darah memasuki multiport ejector yang sekaligus berfungsi sebagai m ixer. Sel hepatosit yang telah dipindahkan dari botol kultur ke dalam pompa syri nge akan didorong menuju multiport ejector untuk bertemu dengan darah dari sirku lasi tertutup. Sementara itu, pompa syringe II akan mengirimkan larutan anti pen ggumpalan sel (EGTA), anti koagulan (EDTA), serta faktor-faktor pertumbuhan (HGF , IGF-1, dan VEGF) ke dalam multiport ejector. Larutan yang telah bercampur ters ebut selanjutnya akan mengalami manipulasi getar resiprokal melalui micro vibrat or yang terletak di bawah multiport ejector/mixer yang dimaksudkan untuk menghom ogenisasi dan mengkondisikan sel hepatosit dalam keadaan tunggal. Selanjutnya, s uspensi sel hepatosit-darah-faktor anti penggumpalan-anti koagulanfaktor pertumb uhan akan difiltrasi melalui filter mikro dengan diameter porus 80 m. Pada tahap akhir, suspensi hepatosit akan masuk ke pembuluh darah vena porta melalui silic on tubing dan jarum outlet. Untuk menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif b agi sel hepatosit, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meregulasi suhu melalui penggunaan jaket air yang terhubung dengan waterbath sebagai penyedia air hangat dengan suhu 370C. Hasil penelitian pendahuluan pada subjek goat menunjuk kan minimalnya daerah nekrosis di hepar resipien dan tingginya tingkat kolonisas i di daerah Rappaport hepar yang ditandai dengan peningkatan ekspresi sel hepato sit yang berlabel BUDr. mixer too. Hepatocyte cells from culture flask had to move to first syringe pump and pushed to joint with transporter blood. Supporting agent like anti clumping reagent (EGTA), anti coagulant (EDTA), and growth factors (HGF, IGF-1, and VEGF ) has been enriched from second syringe pump and combine together with hepatocyt e cells in mixer chamber. After all, mix solution will facing a reciprocating vi bration conducted by a micro vibrator laid under mixer, to derive hepatocytes be come a single cell. Filtration by micro filter with 80 m porus also conducted to keep hepatocytes as a single, before it goes to portal vein through silicon tub ing and outlet needle. To keep hepatocyte cell will always in a condusive enviro nment, thermal regulation was provided in our methods using a water jacket which connected to a water bath which supply a 370C warm water. Pre-experimental rese arch has shown a promising result, that BUDr labeled transplanted hepatocytes co uld grown in rapid proliferate rate in recipient liver Rappaport zone. Keyword: hepatocyte, hepatocyte-cytotransplantator, intra portal, silicon tubing, syringe pump, multiport ejector, micro vibrator, micro filter, anti clumping, anti coag ulant, growth factors.

Pada pengecatan HE, terlihat adanya vaskularisasi baru yang mendukung pertumbuha n koloni baru sel hepatosit. Kata kunci: hepatosit, hepatositsitotransplantator, intra porta, silicon tubing, pompa syringe, multiport ejector, micro vibrator, filter mikro, anti penggumpalan, anti koagulan, faktor pertumbuhan. Pendahuluan Kerusakan hepar terminal yang termanifestasi dalam bentuk sirosis hepatis merupa kan suatu masalah kesehatan yang belum dapat terselesaikan. Pendekatan kuratif y ang telah dilakukan selama ini adalah dengan mengeradikasi faktor penyebab terja dinya hepatitis kronik. Hepatitis kronik yang dapat menimbulkan sirosis hepatis memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda. Secara epidemiologis diketahui bahwa pada ras kaukasian penyebab utamanya proses autoimun1. Sedangkan pada ras melan esia-polynesia penyebab utamanya adalah infeksi virus. Hal ini terbukti dari has il uji saring HbsAg, di mana jumlah pengidap positif di seluruh dunia adalah sek itar 300 juta orang (1995), dengan bagian terbesar (sekitar 220 juta orang) terd apat di daerah Asia2 . Sedangkan di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 11 j uta pengidap HbsAg positif (1993). Indonesiapun termasuk daerah endemik dengan t ingkat penularan yang cukup tinggi, yaitu 4 sampai 30%3. Selain hepatitis kronik B, penyebab lain sirosis hepatis adalah hepatitis kronik C, di mana prevalensi anti-HCV pada penderita sirosis hepatis di Indonesia pada 1993 berkisar antara 3 0,8-89,2%4. Terapi standar yang telah diterapkan selama ini adalah terapi untuk mengeradikasi virus hepatitis seperti penggunaan interferon dan lamivudine. Masa lah yang timbul adalah belum adanya suatu metode untuk meregenerasi dan merefung sionalisasi organ hepar yang telah mengalami perubahan morfologi dan fungsi. Sir osis hepatis ditandai dengan adanya lokus peradangan, nekrosis, daerah-daerah ya ng beregenerasi, dan penumpukan jaringan ikat yang difus, sehingga terbentuklah nodul-nodul yang akan mengganggu aspek fungsional lobulus hepar5. Asupan kuratif yang paling bermanfaat adalah dengan membuat koloni baru intra hepatik untuk me njalankan fungsi-fungsi hepar yang terganggu dengan adanya perkembangan masif pr oses sirosis. Terapi yang paling ideal untuk kerusakan hepar terminal saat ini a dalah transplantasi organ hati. Hanya saja, proses transplantasi ini memiliki ba nyak kesulitan dalam pelaksanaannya. Kesulitan utama adalah mencari donor yang m au menyumbangkan heparnya. Tentu saja proses pendonasian ini baru dapat berlangs ung pada saat donor telah meninggal dunia (berbeda dengan ginjal yang dapat dido nasikan pada saat donor masih hidup). Masalah yang tak kalah pentingnya adalah k ecocokan organ donor dengan sistem pertahanan tubuh penerima (kompatibilitas). M asalah lainnya adalah teknis pemasangan organ hepar ke tubuh penderita yang amat rumit, mengingat hepar memiliki begitu banyak pembuluh darah yang harus disambu ng. Mengingat permasalahan yang dihadapi proses transplantasi cukup berat maka p ersentasi penderita kerusakan hepar terminal yang dapat diselamatkan melalui pro ses ini terhitung masih sangat kecil. Saat ini, di Amerika Serikat mulai dikemba ngkan suatu metode baru yang disebut ELAD (Extracorporeal Liver Assist Device). Alat tersebut dirancang untuk menggantikan beberapa fungsi hepar seperti detoksi fikasi, metabolisme beberapa jenis asam amino, protein, enzim, faktor pembekuan darah, dan asam lemak. Penggunaan alat ini mirip dengan alat haemodialisis (penc uci darah) yang menggantikan fungsi ginjal secara sementara. ELAD dilengkapi den gan sistem sirkulasi darah eksternal yang akan membawa darah penderita menuju su atu ruang penyaring yang di dalamnya terdapat sekumpulan sel

hepatosit hasil pengkulturan. Sel hepatosit hasil kultur tersebut melekat di mem bran yang akan dilalui oleh darah, sehingga darah akan tersaring dan mengalami d etoksifikasi, penambahan asam amino, asam lemak, ataupun faktor pembekuan darah6 . Hanya saja, penggunaan ELAD bersifat sementara dan sekadar mensubstitusi beber apa fungsi hepar dan tidak memberikan suatu solusi yang menyeluruh. Organ hepar yang rusak tetaplah rusak dan penderita harus mendapatkan terapi ELAD secara ber kesinambungan (terus-menerus). Upaya lain yang mulai dijajaki oleh para ahli hep atologi adalah dengan melakukan pencangkokan sel hepatosit melalui pembuluh dara h vena porta, atau sering disebut transplantasi intra porta. Proses transplantas i ini dapat mereduksi masalah-masalah yang terjadi pada proses transplantasi org an. Sifat transplantasi sel hati adalah autotransplan, di mana sel-sel hepatosit yang akan dicangkok berasal dari organ hepar penderita sendiri. Masalah lain ya ng dapat diminimalisir adalah kompatibilitas, karena sistem pertahanan tubuh ten tu tidak akan menyerang warga negara-nya sendiri. Sedangkan kesulitan yang ditemui adalah pencangkokan sel melalui pembuluh darah vena ini menimbulkan oklusi (sum batan) di ujung-ujung pembuluh darah. Sumbatan tersebut akan mengakibatkan terja dinya nekrosis (pembusukan jaringan) akibat kurangnya asupan oksigen di daerah p asca sumbatan. Keadaan ini terjadi akibat proses transplantasi sel dilakukan men ggunakan jarum suntik biasa berukuran besar. Pada metode yang lebih canggih digu nakan French pediatric feeding tube no 8 yang hanya memanfaatkan gaya gravitasi untuk mendorong masuknya sel-sel hepatosit ke dalam vena porta. Turbulensi yang terjadi dan sempitnya volume ruang dalam jarum akan mengakibatkan sel-sel hati b erkelompok (clumping). Selaian itu, ikatan antar sel yang kuat dengan diprakarsa i oleh molekul cadherin akan menyebabkan gumpalan sel bertambah besar dan tersan gkut di pembuluh darah sebelum sampai di daerah sasaran. Kesulitan lain adalah g agalnya sel-sel hati bertumbuh di tempat barunya. Keadaan ini terjadi karena lem ahnya kondisi sel akibat perlakuan penanaman serta kurangnya dukungan biokimiawi dan fisis dari lingkungan sekitar. Dukungan biokimiawi yang dibutuhkan sel untu k membentuk koloni baru adalah adanya faktor-faktor pertumbuhan, sedangkan dukun gan fisis adalah adanya jaringan pembuluh darah baru (neo vascularisasi) yang da pat menjamin asupan nutrisi dan oksigen. Kesulitan lain yang tak kalah penting a dalah menjaga kekuatan hidup (viabilitas) sel-sel hati yangt akan di cangkokkan. Hepatosit Sitotransplantator Berdasar pengamatan terhadap berbagai kendala tras nplantasi sel hati di atas maka sebuah tim gabungan dari berbagai institusi dan ilmuwan independen di Bandung telah mendesain suatu alat dan metode transplantas i sel hati yang disebut Hepatosit Sitotransplantator. Setelah melalui serangkaian uji coba dan proses registrasi paten, maka cetak biru desain alat dan protokol s ementara metode transplantasi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Adapun s ecara prinsip metode transplantasi sel hati ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Proses pengambilan sel hati normal dari penderita sebagai bahan baku kultur dilakukan dengan teknik biopsi terarah dengan panduan gambar USG dan dikonfirma sikan dengan pemeriksaan sitologi. 2. Proses pengkulturan sel menggunakan media CRML-1066 (Mediatech) dengan proteksi antibiotik Gentamisin dan anti mikotik Fun gizone. Suhu eraman ideal adalah 280C. 3. Pembedahan mikro (laparotomi) untuk me masang jarum inlet di vena post hepatic dan jarum outlet di vena porta. 4. Pengi riman sel hati menuju daerah portal dengan bantuan alat Hepatosit Sitotransplanta tor. Alat Hepatosit Sitotransplantator memiliki rangkain seperti ini (lihat gambar 1 4):

1. Jarum inlet yang terhubung dengan silikon tubing dengan diameter 3,2x1,6 mm. 2. Pompa peristaltis yang akan memompakan darah dari saluran silikon inlet menuj u multiport ejector yang berfungsi juga sebagai mixer, melalui saluran silikon d engan diameter yang sama dengan saluran inlet. 3. Multiport ejector yang berpera n sebagai ruang penampung sebelum sel hati dikirim melalui vena porta. 4. Pompa syringe yang akan memompakan kultur sel untuk bergerak menuju multiport ejector. 5. Pompa syringe II yang akan memompakan larutan pendukung yang terdiri dari an ti clumping (Ethyl-Eneglycoltetraacetic/EGTA), faktor pertumbuhan (HGF, IGF-1, d an VEGF), serta antikoagulan (EDTA). 6. Micro vibrator dengan burst firing mode yang berfungsi untuk menciptakan getaran pengocok agar larutan penunjang dapat b ercampur dengan baik dengan kultur sel dan darah, serta membantu proses separasi sel menjadi unit tunggal. Vibrator ini bekerja secara reciprocating sekitar 1 m m, dan dikendalikan dengan modus burst firing mode sehingga getaran yang ditimbu lkan tidak kontinyu, melainkan secara periodik waktu delay (msec) dan frekuensi (<1 kHz) yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. 7. Filter mikro dengan porus berdiameter 80 mikron untuk menyaring sel hati agar terlarut dalam bentuk solit er (per unit). 8. Silikon tubing outlet berdiameter 3,2x1,6 mm yang terhubung de ngan jarum outlet. 9. Waterbath yang disetel dengan suhu 370C untuk mensuplai air hangat ke seluruh water jacket dalam suatu sirkulasi tertutup. 10. Water jacket yangt berfungsi untuk menjaga suhu kultur sel, larutan penunjang, dan darah yang terdapat di dalam pompa syringe dan multiport ejector untuk tetap berada pada s uhu optimal 370C. 11. Controller box, yang berfungsi sebagai alat kendali utama dalam pengoperasian Hepatosit sitotransplantator. 12. Saat ini sedang dikembangk an pressure sensors berbentuk tubing dari bahan karet silikon yang dilengkapi de ngan panel digital untuk mengetahui fluktuasi volume cairan darah intratube. Pro sedur Isolasi Sel Hepatosit Pengambilan sampel untuk bahan baku kultur dilakukan dengan metode biopsi terarah yang dibantu panduan USG. Penggunaan USG, selain m emberikan arahan yang tepat dalam pengambilan jaringan, juga dimaksudkan untuk m emberikan gambaran awal (morfologis) daerah hepar normal. Sebagian sampel disisi hkan untuk uji sitologi, sementara sebagian lagi mendapatkan perlakuan pencucian dengan menggunakan Liberase HI (0,47 mg/ml) (Roche, Indianapolis, IN) (suhu kam ar/250C) yang dilarutkan dalam Hanks Balanced Salt Solution (HBSS) yang mengandun g 1U/ml DNAase I (Sigma). Tujuan pencucian ini untuk menghapus kemungkinan adany a sel-sel lain seperti fibroblast turut serta dalam kelompok kultur hepatosit. S etelah itu, sel hepatosit dicuci dengan larutan RPMI 1640 yang mengandung FBS 10 %. Lalu, sel hepatosit dipindah ke larutan Eurocollins (Mediatech, Indianapolis, IN) yang mengandung FBS 20%. Sel hepatosit akan diisolasi dalam prosesor darah COBE (COBE laboratories, Lakewood, CO) dan disentrifugasi dalam discontinuous Eu roficoll gradient (Mediatech). Sel hepatosit hasil isolasi dieramkan dalam mediu m kultur CRML-1066 (Mediatech) yang mengandung FBS 10% dan CO2 5%, dengan

suhu eraman 280C. Setelah 24 jam dilakukan panen dan uji viabilitas dengan mengg unakan ethidium bromide7. Pada penelitian pendahuluan, sel hepatosit kambing (Go at) mencapai persentasi viabilitas mendekati 90% pada hari pertama. Kultur dilan jutkan sampai tercapai persediaan garis sel hepatosit (cell line hepatocytes) ya ng mencukupi untuk proses transplantasi. Prosedur Pra-transplantasi Meskipun sel hepatosit berasal dari calon resipien (autotransplantasi), perlu dilakukan upay a preventif untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan oleh sistem komplemen. Un tuk itu, sebelum ditransplantasikan sel hepatosit yang telah dipanen dieramkan b ersama cairan plasma dari darah resipien yang telah mengandung Nafamostat Mesila te dengan konsentrasi 3,8 x 10-5 M selama 6 jam dengan suhu 280C. Setelah itu, s el hepatosit dicuci dengan larutan RPMI 1640 yang mengandung 25 m mol/l HEPES8. Sel hepatosit siap dipindahkan ke tabung pompa syringe secara steril (di dalam l aminar flow). Pembahasan Teknis Secara teknis, alat dan metode hepatosit sitotra nsplantator didesain untuk mengatasi berbagai kendala dalam proses transplantasi hepatosit. a. Anti penggumpalan Kendala utama dalam proses transplantasi sel in tra-porta adalah terjadinya penggumpalan yang berakibat munculnya sumbatan di pe mbuluh darah (venulae). Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya aktifitas c ell junction yang diperankan oleh matrik ekstra-seluler yang didominasi oleh cad herin. Untuk mencegah terjadinya penggumpalan dan pengelompokan sel maka pada me tode ini dikembangkan pendekatan multi aspek dengan bertumpu pada pendekatan bio kimiawi, biofisik, dan struktural. Secara mekanis, terjadinya pengelompokan sel dapat disimpulkan karena adanya akumulasi sejumlah besar sel dalam waktu dan rua ng yang bersamaan. Hal ini dihindari dengan perancangan sirkulasi eksternal tert utup yang konstituen fasa cair transporternya berasal dari darah vena post hepat ic. Dengan adanya sistem sirkulasi mirip hemodialisis ini, jumlah sel hepatosit terlarut dapat dimanipulasi dan diatur pelepasannya dari pompa syringe dengan fr ekuensi ritmis dalam jumlah terbatas. Upaya lain yang dilakukan secara biokimiaw i adalah dengan pemberian ethyl eneglycoltetraacetic (EGTA). EGTA akan mengkelas i ion Ca2+ ekstraselular dan menghambat asupan intraselular. Dengan demikian, ak an terjadi defisiensi kalsium yang berakibat gagalnya adherens junction yang dip erankan oleh cadherin9. Secara biokimiawi juga telah dipertimbangkan penggunaan antikoagulan EDTA/heparin untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada saat darah dari resipien bertemu dengan kultur sel hepatosit di multiport mixer. Pen dekatan secara fisis ditunjukkan dengan penggunaan micro vibrator yang dimaksudk an untuk menstimulasi energi kinetik sel yang akan berakibat pada teraktifasinya suatu gerakan acak yang mengacu kepada gerak Brown. Pendekatan fisis terakhir a dalah dengan menggunakan micro filter dengan diameter porus 80 m sesuai dengan u kuran sel hepatosit primata secara individual (tidak berkelompok), sehingga sel hepatosit yang akan lolos dari proses filtrasi adalah sel hepatosit tunggal. b. Viabilitas di lokus transplan Sel hepatosit yang telah terperangkap di daerah po rta hepar memiliki kemungkinan untuk mati dan bertahan hidup sama besarnya. Untu k dapat bertahan hidup dan mengembangkan koloni sel baru maka sel hepatosit hasi l transplan haruslah didukung oleh adanya faktor-faktor pemicu pertumbuhan dan f aktor pemicu pembentukan jaringan vaskular baru (untuk asupan nutrisi dan oksige n). Untuk menunjang viabilitas sel hepatosit di tempat barunya maka pada metode ini digunakan pengayaan faktor pertumbuhan dengan pemberian Hepatocytes Growth

Factor (HGF) untuk menstimulasi pertumbuhan sel hepatosit baru, dan Insulin like Growth Factor-1 (IGF-1) yang juga memiliki aktivitas stimulasi proliferasi sel hepatosit. Sedangkan untuk menunjang terjadinya proses neovascularisasi dilakuka n pemberian Vascular Endothelial Growth factor (VEGF). c. Perlindungan Sel Perli ndungan terhadap sel hepatosit yang telah dikultur dilakukan dengan menyediakan suasana lingkungan yang kondusif di alat transplantator, terutama yang terkait d engan faktor fisis suhu. Suhu di semua bagian alat transplantator (baik saluran maupun ruangan) disetarakan pada suhu 370C dengan bantuan water jacket yang terh ubung dengan waterbath. Secara biokimiawi, sel hepatosit dilindungi dengan mengg unakan Nafamostat Mesilate yang dieramkan selama 6 jam sebelum sel ditransplanta sikan. Nafamostat Mesilate adalah suatu protease inhibitor yang memiliki efek si toprotektif dan dapat menghambat aktivitas faktor komplemen. Meskipun kultur sel hepatosit berasal dari hepar resipien, tetap perlu diperhatikan adanya kemungki nan-kemungkinan perubahan struktur antigen permukaannya yang diakibatkan berbaga i proses dalam perlakuan. Pemberian Nafamostat Mesilate diharapkan dapat mengura ngi kemungkinan sel hepatosit tidak dikenali oleh sistem pertahanan tubuh resipi en. Capaian Sementara Hasil uji coba pra-eksperimental dengan menggunakan goat s ebagai subjek penelitian menunjukkan bahwa penggunaan metode dan prototipe Hepato sit Sitotransplantator telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hasil autopsi go at 7 hari setelah mendapatkan transplantasi sel hepatosit memperlihatkan tidak a danya daerah porta yang mengalami nekrosis akibat penyumbatan. Pemeriksaan histo patologi dari beberapa zona Rappaport memperlihatkan bahwa sel hepatosit yang te lah dilabel BUDr (Merck) telah membentuk neokolonisasi dengan tingkat proliferas i yang cukup tinggi. Sedangkan hasil pengecatan HE memperlihatkan adanya beberap a pembuluh darah baru di sekitar koloni sel hepatosit hasil transplantasi. Kesim pulan 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas metode dan alat Hepatosit Sitotransplantator. 2. Perlu dilakukan amatan jangka panjang untuk mengevaluasi efek samping metode ini. 3. Perlu dilakukan penelitian bertingkat dari skala laboratoris sampai dengan uji klinis. 4. Perlu dipertimbangkan bebera pa kriteria faktor fisis yang lebih sesuai untuk penggunaan pada manusia (misal diameter porus pada filter). 5. Perlu dipertimbangkan penggunaan beberapa faktor penunjang lain yang dapat membantu meningkatkan viabilitas sel hepatosit dan me mperbesar peluangnya untuk bertahan hidup di lokus transplan. 6. Perlu dipertimb angkan penyempurnaan beberapa teknik dasar yang menyangkut pengambilan sampel un tuk bahan kultur (sebaiknya dapat meminimalisasi jejas). 7. Perlu dipertimbangka n penggunaan sel hepatosit dari donor lain (alotransplan atau bahkan xenotranspl an). 8. Perlu dipertimbangkan penggunaan selubung mikrokapsul Small Alginate Pol y-L-Lysine bila sel hepatosit donor berasal dari individu lain (alotransplan ata u xenotransplan).

9. Perlu dipertimbangkan untuk mengintrodusir perlakuan pra-transplantasi pada r esipien (mungkin imunosupresi bila bukan autotransplan). 10. Perlu dikembangkan protokol baku beserta requirement parameter bagi calon donor dan resipien. Dafta r Pustaka Sirosis Hepatis PENDAHULUAN Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai den gan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan ada nya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat da n usaha regenerasi nodul.Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sir kulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. PATOGENESIS Mekanisme terjadinya sirosis hepatis bisa secara : - mekanik - imunologis - campuran Dalam hal mekanisme terjadinya sirosis secara mekanik dimulai dari kejadian hepatitis viral akut, timbul peradangan luas, nekr osis luas dan pembentukan jaringan ikat yang luas disertai pembentukan nodul reg enerasi oleh sel parenkim hati yang masih baik. Jadi fibrosis pasca nekrotik ada lah dasar timbulnya sirosis hepatis. Pada mekanisme terjadinya sirosis secara im unologis dimulai dengan kejadian hepatitis viral akut yang menimbulkan peradanga n sel hati.nekrosis/nekrosis bridging dengan melalui hepatitis kronik agresif di ikuti timbulnya sirosis hati. Perkembangan sirosis dengan cara ini memerlukan wa ktu sekitar 4 tahun, sel yang mengandung virus ini merupakan sumber rangsangan t erjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati. KLASIFIKASI 1. Klasifikasi Etiologi

- Etiologi yang diketahui penyebabnya a. Hepatitis Virus Tipe B dan C b. Alkohol c. Metabolik ;Hemakromatosis idiopatik, penyakit Wilson,defisiensi alpha 1, ant i tripsin, galaktosemia, tirosinemia kongenital, DM, penyakit penimbunan glikoge n. d. Kolestasis kronik/sirosis biliar sekunder intra dan ekstrahepatik. e. Obst ruksi aliran vena hepatik ; Penyakit vena oklusif, sindrom Budd Chiari, perikard itis konstriktiva, payah jantung kanan. f. Gangguan Imunologis ; Hepatitis lupoi d, hepatitis kronik aktif. g. Toksik dan Obat ; MTX, INH, Metildopa h. Operasi p intas usus halus pada obesitas i. Malnutrisi, infeksi seperti malaria, sistosomi asis - Etiologi tanpa diketahui penyebabnya. 2. Klasifikasi Morfologi Secara mak roskopik sirosis dibagi atas : 1. Sirosis mikronodular 2. Sirosis makronodular 3 . Sirosis campuran 3. Klasifikasi Fungsional Secara fungsi sirosis hati dibagi a tas : 1. Kompensasi baik (laten, sirosis dini) 2. Dekompensasi (aktif, disertai kegagalan hati dan hipertensi portal) * Kegagalan hati/hepatoselular Dapat timbu l keluhan sistemik subjektif berupa lemah, berat badan menurun, gembung, mual, d ll. Spider nevi/angiomata pada kulit tubuh bagian atas. Muka dan lengan atas.Eri tema palmaris, asites, pertumbuhan rambut berkurang, atrofi testis dan ginekomas tia pada pria. Sebagai tambahan dapat timbul : ikterus/ jaundice, subfebris, sir kulasi hiperkinetik dan factor hepatic.Ensefalopati hepatic, bicara gagok/slurre d speech,gangguan koagulasi darah/defisiensi protrombin.

Hipertensi Portal Terjadi akibat meningkatnya resistensi portal dan splanknik ka rena mengurangnya sirkulasi akibat fibrosis. Atau meningkatnya aliran portal kar ena transmisi dari tekanan arteri hepatic ke system portal akibat distorsi arsit ektur hati. Biasanya yang dominant adalah peningkatan resistensi, lokasi peningk atan resistensi biasa : - Pre hepatik, biasa congenital, trombosis vena porta wa ktu lahir. - Intra hepatik : Pre sinusoidal (fibrosis da parasit) Sinusoidal (Si rosis hati) Post sinusoidal(vena oklusif) Biasa terdapat lokasi obstruksi campur an - Post hepatik karena perikarditis konstriktiva, insufisiensi trikuspidal. DI AGNOSIS 1. Gejala Klinis - Fase kompensasi sempurna Pasien merasa tidak bugar/fi t, merasa kurang kemampuan kerja, selera makan berkurang, perasaan perut kembung , mual, kadang mencret atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan perasaan cepat lelah, pengurangan masa otot terutama daerah pektoralis mayor, ka dang kala pasin ditemukan menderita sirosis sewaktu pemeriksaan rutin medis. - F ase dekompensasi Dapat ditegakkan diagnosisnya dengan bantuan pemeriksaan klinis , laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ditemukannya eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral pada dinding perut, ikterus,edema pretibial, spleno megalli dan asites. Bisa juga pasien datang dengan gangguan pembekuan darah sepe rti perdarahan gusi, epistaksis, gangguan haid atau haid berhenti. Sebagian pasi en dating dengan gejala hematemesis,hematemesis dan melena atau melena saja akib at perdarahan varises sofagus. Kadang terjadi gangguan kesadaran berupa ensefalo pati hepatis atau koma hepatik. Suharyono Soebandri memformulasikan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah ini sudah dapat menegakkan diagnosis sirosi hepatis dekompensas i yaitu :

1. Asites 2. Splenomegali 3. Perdarahan varises(hematemesis) 4. Albumin yang mer endah 5. Spider nevi 6. Eritema palmaris 7. Vena kolateral 2. Laboratorium 1. Hb menurun, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrosi ter. 2. Protombin time (PT), bilirubin, SGOT/SGPT meningkat 3. Albumin menurun, globulin meningkat. 3. Penunjang 1. USG abdomen 2. Pemeriksaan marker serologi p ertanda virus seperti HbsAg/HbsAb, HbeAg/HbeAb,HBV DNA, HCV RNA untuk menentukan etiologi. 3. Endoskopi. KOMPLIKASI 1. Kegagalan hati 2. Hipertensi portal 3. As ites 4. Ensefalopati 5. Peritonitis bacterial spontan 6. Sindrom hepatorenal 7. Hepatoma PENATALAKSANAAN 1. Tindakan segera Jika perdarahan diyakini dari pecahn ya varises, dapat dilakukan pemasangan SB-tube (balon tamponade, dengan tiga pip a dan dua balon lambung dan esophagus) dengan syarat tidak boleh lebih dari 24 j am karena dapat menyebabkan nekrosis,laresari dan atau perforasi esophagus sampa i obstruksi jalan nafas akibat migrasi balon ke hipofaring. Jika tidak yakin dar imana sumber perdarahan, dapat dipakai NG-tube, karena cukup aman,dapat juga men ghentikan perdarahan di esophagus serta dapat memonitor kecepatan perdarahan. 2. Tindakan lanjutan Upaya mempertahankan agar perdarahan tetap berhenti atau meng usahakan berhenti sesegera mungkin,menjelan tindakan diagnostik dan pengobatan s pesifik-definitif dikerjakan. Pada situasi ini dapat diberikan terapi empirik me dikamentosa untuk memperbaiki

keadaan umum dengan alas an yang jelas seperti : - Pertimbangkan memberikan FFP (plasma segar beku) pada sirosis hati yang umumnya telah terjadi defisiensi fakt or pembekuan, tetapi tidak perlu jika perdarahan bukan oleh sirosis hati - Untuk memperbaiki faal hemostasis dapat diberikan injeksi vitamin K dan asam traneksa mat, terutama pada pasien dengan sirosis hati. - Untuk memperbaiki sirkulasi spl anikus(vasodilatasi) sekaligus menurunkan PP(Portal Pressure)dengan tujuan mengh entikan perdarahan, dapat diberikan obat-obat vasoaktif seperti somatostatin ata u octreotid. Obat vasoaktif dapat diberikan tanpa mempertimbangkan etiologi hipe rtensi portal. - Pemberian obat-obat yang dapat menekan sekresi asam, seperti an tasida p.o, sukralfat p.o, penyekat H2 p.o/.i.v atau penghambat pompa proton (PP I) p.o atau i.v, diharapkan dapat memfasilitasi kinerja faktor pembekuan darah. - Pemberian obat-obat sterilisasi usus, seperti preparat neomisin dan laktulosa serta tindakan klisma tinggi biasanya bermanfaat mencegah kemungkinan ensefalopa ti hepatika. PROGNOSIS Tergantung pada penyebab dan keparahan. Untuk sirosis alk oholik, mortalitas pada orang yang terus minum alcohol adalah 65 % setelah 5 tah un dibandingkan dengan 30 % pada orang yang berhenti minum alkohol.Penilaian kep arahan didapat dinilai dari kelas Child. Tabel Klasifikasi Child Angka 1 2 3 Ens efalopati Bilirubin ( mol/l) Albumin (g/l) PT (dalam detik)

Asites Tidak ada <34 >35 <4 Tidak ada Ringan 34-50 28-35 4-6 Ringan Jelas >50 <2 8 >6 Jelas Bilirubin (dalam PBC dan kolangitis sklerosans) <68 68-170 >170 Tamba hkan masing-masing <7 9 =" Child">9 = Child C. Kelangsungan hidup untuk Child C, yang merupakan kelompok dengan prognostik terburuk, adalah kurang dari 12 bulan .

Sumber : Hayes, Peter, Thomas w. Mackay. Buku Saku Diagnosis dan Terapi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.1997. Kirim Teman | Print Artikel Berita Terkait: Hepatitis C, Bisa Ditularkan Lewat Sisir & Koin Kerokan Konsulta si: Infeksi pada Sirosis Hati Cak Nur dan Transplantasi Hati Jakarta, Kompas Transplantasi, dalam rangkaian pengobatan penyakit yang menyeran g hati (umumnya diawali hepatitis B dan C) merupakan upaya terakhir untuk mengem balikan kualitas hidup pasien. Cara ini ditempuh setelah tidak mungkin lagi meng obati pasien dengan terapi konvensional, seperti minum obat, suntikan, operasi p embedahan atau kemoterapi. Artinya, bila pemasangan organ hati dari orang lain k e tubuh pasien tidak dilakukan, maka tidak ada jaminan kualitas hidup pasien di masa depan. Harus ada bukti medis yang kuat, sebelum pasien dengan gangguan fung si hati mendapat rekomendasi transplantasi. Di antaranya, memastikan tingkat ker usakan fungsi hati akibat serangan virus melalui uji laboratorium, pemeriksaan C T Scan, dan ultrasonografi (USG). Menurut Konsultan Gastroentero-Hepatologi di D ivisi Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indo nesia (FKUI) Prof dr Ali Sulaiman PhD FACG, sebelum kerusakan fungsi hati mencap ai tahap tertentu, transplantasi hati umumnya tidak direkomendasi dokter, sekali pun pasien menghendakinya. Kalau tidak perlu kenapa mesti ditransplantasi? kata di a ketika ditemui di Divisi Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Jaka rta, Senin (29/8).

Tahap sirosis Pasien dengan kerusakan fungsi hati yang harus ditransplantasi adalah mereka yan g berada di tahap sirosis (pengerasan hati). Pada tahap tersebut, peran hati yang berfungsi menggerakkan metabolisme tubuh, m engolah asupan makanan menjadi energi, dan membuang racun hasil penghancuran pro tein terganggu. Tanda-tanda fisik yang menonjol pada orang dengan sirosis hati p arah adalah perut membuncit, kesadaran menurun, dan mata menguning. Mereka cepat letih dan sering muntah darah. Operasi transplantasi hati dilakukan cepat. Pasa lnya, hati hanya boleh berada di luar tubuh kira-kira kurang dari enam jam. Umum nya, operasi pengambilan hati dari tubuh donor yang telah meninggal (kadaver) at au donor orang yang masih hidup (ortho living transplantation/OLT) dilakukan ber samaan dengan pemindahannya. Beberapa dokter harus terlibat langsung, seperti pa kar kardiovaskuler, anestesi, penyakit dalam, dan hepatolog yang memahami strukt ur hati, serta pakar peredam penolakan tubuh (imunologis). Keterbatasan jumlah p endonor serta rumitnya transplantasi amat membatasi akses. Biayanya Rp 800.000 j uta hingga Rp 2,5 miliar. Itu pun antrenya sangat panjang, kata Ali, yang pasienny a pernah antre setahun di Amerika tanpa hasil. Pasien dengan organ hati baru dap at bertahan hidup puluhan tahun (ada juga yang menyatakan sekitar lima tahun). A kan tetapi, sepanjang hidupnya mereka bergantung penuh pada obat-obatan. Selain itu, pantangan beberapa jenis makanan dan minuman. Hingga kini, transplantasi ha ti tidak dapat dilakukan di Indonesia karena tidak ada peraturan perundang-undan gan yang mendukungnya. Padahal, tahun 2005 jumlah penduduk yang terpapar virus h epatitis B dan C diperkirakan 15 juta. Menurut Ali, meskipun transplantasi hati banyak dilakukan di negara-negara maju, transplantasi tetap saja berisiko sepert i terjadinya penolakan atau berkembangnya kembali virus hepatitis di dalam tubuh pasien pascatransplantasi. Kini, untuk menghindari penolakan dari dalam tubuh p asien sudah ada jenis obat sistem imun yang memiliki keberhasilan tinggi. Yang m engkhawatirkan adalah kekambuhan penyakit yang sama. Untuk mengatasinya, dokter akan menegatifkan virus di dalam tubuh pasien sebelum menerima organ hati baru a gar hati baru tetap sehat dan berfungsi normal. Bagi pasien transplantasi hati d engan latar belakang sirosis hati karena serangan virus hepatitis B, dokter akan memberi tablet atau suntikan interveron. Alternatif penggantinya, tablet nuclea sid analog. Bagi pasien berlatar belakang hepatitis C akan diberi suntikan inter veron

dikombinasi minum tablet ribavirin. Ini gold standard untuk membunuh virus. Yang ini tidak ada alternatif obat lain, kata dia. Sayangnya, meski berkategori gold s tandard, jaminan menegatifkan virus hanya 50-80 persen. Artinya, virus tetap berpo tensi kembali menyerang. Sebelum terlambat Sirosis hati parah yang sering kali berujung pada transplantasi, sebenarnya dapa t dicegah sejak dini. Umumnya, sirosis hati berawal dari hepatitis B dan C. Pada istilah kedokteran, dimulai dari hepatitis akut, kronis, baru kemudian sirosis. Hepatitis B atau C akut umumnya ditandai demam, rasa mual, kurang bersemangat, s usah tidur, mudah letih, dan perut sering kembung. Pada tingkatan kronis, pender ita didera rasa kantuk dan lemas. Gejala khas yang kadang muncul adalah mata dan air kencing yang kekuning-kuningan. Namun, umumnya gejala awal tidak khas dan me nyesatkan. Bisa berbahaya bila tidak segera ditindaklanjuti dengan cek ke dokter , kata Ali. Untuk memastikan perkembangan virus ke organ hati, dokter akan memeri ksa kadar SGOT/SGPT dalam darah. Kadar keduanya yang meninggi merupakan tanda-ta nda awal yang mencurigakan. Ada dua pilihan pengobatan dalam tahap ini, yakni me mberi obat pembunuh virus atau memperkuat organ hati. Untuk memastikan tahap kro nis ke tahap sirosis, ditempuh penelitian jaringan sel tubuh di laboratorium (bi opsi). Tanda sirosis hati ditunjukkan munculnya jaringan serat di sana. Berdasar kan pengalaman, dari hepatitis kronis ke tahap sirosis parah membutuhkan waktu p erkembangan sekitar 10-20 tahun tanpa intervensi pengobatan berarti. Dalam hal i ni, siapa pun perlu berhati-hati karena gejala hepatitis akut dan kronis sering kali tidak khas, sehingga tidak jarang penderita datang setelah menuju sirosis. (GESIT ARIYANTO) Terapi Albumin pada Asites Refraktori GERAI - Edisi September 2006 (Vol.6 No.2), oleh andra Pemberian albumin pada tin dakan paracentesis meningkatkan respon terhadap pemberian diuretika pada pasien asites refraktori. Asites adalah satu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan b erlebih yang

mengisi rongga peritoneal. Diperkirakan sekitar 85 % pasien asitesadalah pasien sirosis hati atau karena penyakit hati lainnya yang parah. Hampir 60 % pasien sir osis hati akan menjadi asitesdalam masa 10 tahun, jelas Prof. Dr. H.M. Sjaifoella h Noer SpPD-KGEH dari divisi Hepatologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI, Jakarta dalam Liver Up Date 2006 di Hotel Borobudur Jakarta, 28-30 Juli lalu. Namun, se kitar 15 % pasien asitestidak disebabkan oleh gangguan fungsi hati retensi caira n. Asitesyang terjadi dapat berupa asitestransudatif atau eksudatif. Asites pada sirosis merupakan prognosis yang buruk karena menyebabkan kematian sebesar 50 % dalam waktu tiga tahun jika tanpa transplantasi liver. Dari prevalensi ascites, 10 % nya adalah asites refraktori yang umumnya diterapi dengan pemberian diuret ika. Asitesdikategorikan refraktori bila tidak bisa dimobilisasi atau dicegah den gan terapi medis. Gejala umum pada asites refraktori adalah asites mengalami kek ambuhan sesudah tindakan paracentesis, meningkatnya risiko sindroma hepatorenal, dan prognosis yang buruk, tambahnya lagi. Dalam melakukan terapi pada asites ref raktori perlu diperhatikan mengenai durasi pengobatan, respon yang lambat, kekam buhan asitesyang cepat, serta komplikasi yang dipicu oleh pemberian diuretika. P ilihan terapi untuk asites refraktoriadalah, terapi paracentesis, TIPS (transjug ular intrahepatic portosystemic shunting), peritoneovenus shunts, dan transplant asi hati. Terapi paracentesis merupakan pengobatan lini pertama untuk asites ref raktori karena penerimaannya yang luas di kalangan medis. Prosedur ini merupakan pengulangan pemberian large volume paracentesis (LVP) ditambah albumin. Pemberi an LVP 5 L/hari dengan infus albumin (6-8 g/l ascites yang dibuang) lebih efetif mengeliminasi asites dan menghasilkan komplikasi yang minimal jika dibandingkan dengan terapi diuretika. Kombinasi paracentesis dengan infus albumin ini juga m enyingkat masa perawatan di rumah sakit. Tindakan paracentesis dapat dilakukan t iap 2 hingga 4 pekan tanpa keharusan opname. Namun tindakan ini tidak berarti me nghilangkan kebutuhan akan diuretic (spironolakton atau furosemida), karena keka mbuhan asites bisa ditunda pada pasien yang menerima diuretik pascaparacentesis. Hipovolemia pascaparacentesis efektif bisa dicegah dengan pemberian albumin dib andingkan pemberian plasma sintetik ekspander. Sesudah paracentesis, pasien haru s melakukan diet sodium rendah (70-90 mmol/hari). Pasien yang menerima diuretika dosis tinggi harus mengecek kadar sodium pada urine, jika kurang dari 30 mEq/ha ri maka pemberian diuretika harus dihentikan. Komplikasi pada asites refraktori yang tidak diintervensi dengan pengobatan akan berkembang menjadi infeksi SBP (s pontaneous bacterial peritonitis), sindrom hepatorenal, hepatic encephalopathy, dan kerusakan fungsi sirkulasi. Kondisi hipoalbuminemia kerap dijumpai pada siros is hati. Hal ini

disebabkan oleh penurunan mekanisme sintesa karena disfungsi liver atau diet pro tein rendah, peningkatan katabolisme albumin, serta adanya asites. Albumin sendi ri disintesa secara lengkap pada organ hati,lanjut Prof. H.M Sjaifoellah. Indikas i terapi albumin pada sirosis hati adalah adanya asites, sindrom hepatorenal, ad anya SBP, dan kadar albumin di bawah 2,5 g%. Penggunaan albumin dimaksudkan untu k memelihara colloid oncotic pressure (COP), mengikat dan menyalurkan obat, dan sebagai penangkap radikal bebas. Albumin juga memiliki efek antikoagulan, efek p rokoagulatori, efek permeabilitas vaskular, serta ekspansi volume plasma Nutrisi dan Penyakit Hati Organ hati merupakan salah satu organ yang mempunyai kemampuan pemulihan yang be sar. Tapi untuk melakukan pemulihan tersebut, ia memerlukan dukungan asupan nutr isi yang baik. Oleh karena itu, asupan nutrisi yang baik merupakan pondasi tata laksana penderita pada sebagian kasus penyakit hati. Nutrisi dan sirosis hati Nu trisi yang seimbang baik dari segi kalori, karbohidrat, protein dan lemak, akan membawa pengaruh yang baik untuk memperbaiki kerusakan sel hati. Pada tingkat te rtentu, kerusakan sel hati masih bisa diperbaiki dengan cara memproduksi sel hat i baru yang sehat. Istilah sirosis hati merujuk pada keadaan dimana sel-sel hati yang sehat telah digantikan oleh jaringan parut. Akibatnya, fungsi hati tentu s aja terganggu. Gangguan hati kronik ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor se perti radang hati (hepatitis), sumbatan kandung empedu dan juga akibat paparan s ubstansi berbahaya termasuk alkohol. Pada jaman dahulu, diet rendah protein dibe rikan pada penderita sirosis hati dengan maksud untuk menghindarkan risiko terja dinya peninggian kadar amonia darah yang berbahaya. Padahal, penderita sirosis h ati seringkali mengalami penurunan nafsu makan, mual dan muntah. Akibatnya, pend erita mengalami penurunan berat badan dan kekurangan protein. Pemberian protein pada penderita sirosis memang cukup memusingkan. Kelebihan protein dapat mengaki batkan peningkatan amonia darah yang berbahaya, sedangkan kekurangan protein aka n menghambat penyembuhan sel hati. Saat ini para dokter lebih memilih untuk memb erikan diet tinggi kalori tinggi protein dengan maksud agar sel-sel hati dapat b eregenerasi. Sedangkan untuk mengontrol tingkat amonia darah digunakan laktulosa dan/atau suatu jenis antibiotik yang bernama neomisin. Selain hal-hal di atas, ada beberapa hal lagi yang perlu diperhatikan oleh

penderita sirosis hati, misalnya pengurangan konsumsi garam. Untuk itu tingkatka n konsumsi makanan segar dan hindari makanan awetan seperti makanan kaleng. Pend erita sirosis juga bisa mengalami penyumbatan saluran empedu di dalam hati. Akib atnya, empedu tidak bisa keluar dan lemak tidak bisa diserap. Pada keadaan ini, penderita akan mengalami perubahan defekasi (buang air besar) yang disebut steat ore. Bila hal ini terjadi, lemak sebaiknya diganti dengan lemak trigliserida ran tai sedang (medium chain triglycerides/MCT). MCT sangat baik digunakan karena un tuk penyerapannya jenis lemak ini tidak terlalu tergantung pada keberadaan asam empedu. Saat ini telah tersedia produk nutrisi khusus yang diformulasikan untuk para penderita gangguan hati. Salah satunya adalah Hepatosol yang juga mengandun g Trigliserida Rantai Sedang (MCT). PEMERIKSAAN ENDOSKOPI SALURAN PENCERNAAN Fasilitas pemeriksaan endoskopi saluran pencernaan di RS Medistra telah dilengkapi dengan berbagai peralatan yang mampu memeriksa seluruh saluran pencernaan dengan menggunakan kamera serat optic flek sibel (flexible videoscope). RS Medistra memiliki reputasi yang sangat baik seba gai ahli endoskopi saluran pencernaan, sehingga sering menjadi rujukan dari ruma h sakit lain di Indonesia. Pelayanan endoskopi saluran pencernaan di RS Medistra meliputi seluruh pemeriksaan mulai dari kerongkongan (esophagus) sampai pangkal dubur. Pada umumnya pemeriksaan endoskopi dibagi atas dua jenis, yaitu endoskop i saluran pencernaan bagian atas yang meliputi saluran esophagus, lambung, usus 12 jari, saluran empedu dan saluran pancreas dan endoskopi saluran pencernaan ba wah meliputi pemeriksaan usus halus, usus besar dan rectum Indikasi Pemeriksaan Endoskopi Pemeriksaan endoskopi merupakan prosedur pilih utama untuk mendiagnosa dan menghentikan pendarahan pada saluran pencernaan. Selain itu endoskopi sanga t diperlukan untuk beberapa keadaan antara lain mengangkat batu dalam saluran em pedu, mendeteksi keadaan usus besar, mengangkat polip pada usus, memasang cincin penyanggah saluran empedu dan mengevaluasi gejala gangguan pencernaan seperti m ual, muntah, sulit menelan atau terasa terbakar di dada. Endoskopi pada saluran pencernaan Pendarahan pada saluran pencernaan seringkali membahayakan nyawa pasi en, karena shock hemoraghik. Dengan endoskopi, upaya menghentikan pendarahan dap at segera dilakukan dengan cara mencari

sumber pendarahan, kemudian mengikat pembuluh darah yang pecah (ligasi) atau dis untik dengan bahan kimia yang membuat pembuluh darah mengeras (skleroterapi endo skopi). Sebelum teknologi ini ada, pendarahan dalam saluran pencernaan biasa dih entikan dengan cara operasi yang risikonya lebih besar atau dilakukan pemasangan balon yang berfungsi menahan pendarahan (SB Tube) Mengangkat Polip Usus (Polipe ktomi) Metode endoskopi dapat juga dipergunakan untuk mengeluarkan polip yang se ring tumbuh di saluran pencernaan terutama usus besar dan lambung. Walaupun demi kian pada polip yang besar, biasanya diangkat dengan cara operatif, karena risik o pendarahan yang cukup besar. Mengeluarkan batu pada saluran empedu Dengan Endo skopi, adanya batu yang menyumbat saluran empedu (biasanya menyebabkan pasien me njadi kuning) dapat diketahui dengan langsung dan saat itu dapat dikeluarkan (ek strasi) menggunakan alat tambahan, misalnya kawat penjepit atau memakai kateter berbentuk basket. Memasang Cincin Penyanggah Saluran Empedu. Dengan peralatan du odenovideoskope, saluran empedu yang menutup akibat tumor/keganasan dapat dibuka kembali dengan memasang cincin penahan di dalam saluran empedu (stent) agar tid ak menutup lagi. Mendeteksi kanker Usus Besar Secara Dini. Dengan kolonoskopi da pat dilakukan pemeriksaan saluran dinding usus besar dengan teliti untuk mendete ksi adanya tumor ataupun polip yang bila dibiarkan dengan berjalannya waktu bisa berubah menjadi tumor ganas (kanker). Di Negara-neara maju pemeriksaan kolonosk opi ini sangat dianjurkan sebagai bagian dari uji kesehatan (check up) untuk ora ng berusia di atas 40 tahun dan terutama yang berusia lebih dari 50 tahun untuk dilakukan setiap 3-5 tahun sekali. Dengan dapat terdeteksi secara dini, dapat di ambil tindakan sebelum tumor ganas tersebut menyebar dan dapat membahayakan kehi dupan seseorang (kematian). Apa Keunggulan Pemeriksaan Endoskopi? Pemeriksaan in i lebih akurat daripada pemeriksaan sinar X dalam deteksi peradangan, ulkus atau tumor di saluran pencernaan. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kanker dini atau membedakan antara lensi kanker dengan bukan kanker dengan melalui biopsy pada te mpat yang dicurigai. Apakah Tindakan Endoskopi Aman? Pemeriksaan pada dasarnya m erupakan prosedur yang sangat aman. Komplikasi biasanya jarang terjadi, kecuali setelah biopsy atau pengangkatan polip yang mungkin mengakibatkan pendarahan rin gan yang bisa berhenti dengan sendirinya tanpa harus dilakukan transfuse. Paling penting adalah pasien mengenal adanya suatu komplikasi dan menyampaikannya pada dokter, misalnya: sulit menelan, sakit tenggorokan yang menetap, nyeri dada, ny eri perut hebat, menggigil, atau pendarahan dari usus yang lebih dari setengah g elas. JENIS PELAYANAN ENDOSKOPI YANG DAPAT DILAKUKAN DI RS

Medistra Endoskopi Diagnosis Pemeriksaan Saluran Kerongkongan (Esofagoskopi) Pem eriksaan Lambung dan Usus 12 Jari (Gatros-Duodenoskopi) Pemeriksaan Saluran Empe du dan Pankreas (Endoskopic Retrograde Cholangio Pancreatography) Pemeriksaan Sa luruan Usus Besar (Kolonoskopi) Pemeriksaan Muara Usus Besar sampai Pangkal Dubu r (Rektosigmoidoskopi) Pengambilan contoh jaringan saluran pencernaan (biopsi) E ndoskopi Terapeutik Pengikatan Pembuluh darah pecah (Ligasi Varises Esofagus/Lam bung) Pembuntuan Pembuluh darah yang pecah (Skleroterpi Endoskopi) Melebarkan Sa luran Menelan (Dilatasi Esofagus) Mengeluarkan Batu Saluran Empedu (Ekstrasi Bat u Empedu) Memasang cincin penyanggah saluran empedu (Stening Saluran Empedu) Men gangkat Polip di saluran pencernaan (Polipoktomi Endoskopi) Mengikat Pembuluh da rah yang pecah pada wasir (Ligasi Hermoroid) MEMPERSIAPKAN PASIEN YANG AKAN MENJ ALANI OPERASI Endoskopi Saluran Pencernaan Lambung harus benar-benar kosong. And a tidak boleh makan atau minum selama 8 jam sebelum pemeriksaan. Dokter akan men ginstruksikan kapan harus mulai puasa tergantung jadwal pemeriksaan dilakukan. O bat-obat yang dimakan perlu disesuaikan, beberapa jenis obat harus dihindari. An da disarankan agar menginformasikan obat-obat yang diminum pada dokter termasuk riwayat alergi obat. Konsultasikan ke dokter apabila anda mempunyai riwayat peny akin jantung dan paru-paru, karena kemungkinan memerlukan perhatian khusus selam a tindakan. Jangan mengemudikan kendaraan setelah tindakan. Harus diupayakan aga r keluarga yang mendampingi pada saat pulang karena biasanya diberikan obat pene nang pada saat tindakan. Endoskopi Saluran Pencernaan Bawah Untuk mendapatkan ha sil yang akurat, maka usus besar harus dibersihkan dari sisa makanan sebelum tin dakan. Dokter akan melakukan instruksi mengenai jenis dan sumber makanan yang ha rus dikonsumsi agar dapat membantu membersihkan saluran usus besar, anda akan di instruksikan untuk minum larutan pencuci perut sebelum pemeriksaan. Patuhi instr uksi tersebut secara cermat karena prosedur akan ditunda atau harus diulang apab ila usus besar tidak bersih. Perdarahan Varises Gastroesofageal pada Hipertensi Portal Myrna Justina

Dokter Umum Rumah Sakit Mitra Keluarga BekasiBarat, Jawa Barat PENDAHULUAN Perda rahan varises gastroesofageal adalah sebuah komplikasi mayor hipertensi portal a kibat sirosis dengan angka kejadian 10-30% dari seluruh perdarahan saluran cerna bagian atas (1) . Perdarahan varises berhubungan dengan kesakitan dan kematian yang lebih substansial daripada penyebab perdarahan lain dengan biaya RS yang le bih tinggi. Lebih dari 30% episode perdarahan awal bersifat fatal dan 70% yang s elamat akan mengalami perdarahan ulang. Selain itu angka keselamatan setahun set elah perdarahan varises dapat buruk (32-80%) (2) . LAPORAN KASUS Riwayat penyaki t Seorang pasien laki-laki datang ke rumah sakit (RS) dengan keluhan utama munta h 3 gelas yang disertai buang air besar (bab) berdarah yang disertai rasa lemas. Riwayat perdarahan saluran cerna dan sakit kuning sebelumnya disangkal. Riwayat alkoholisme juga disangkal. Pasien mempunyai riwayat asam urat tinggi dengan ko nsumsi obat piroksikam, natrium diklofenak, dan alopurinol. Pemeriksaan fisik Ke adaan umum sakit sedang, tekanban darah 120/80 mmHg, nadi 88 kali permenit, napa s 18 kali permenit, suhu afebris. Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak i kterik. Paru : Perkusi sonor, Suara napas vesikuler, tanpa ronki. Jantung : Buny i Jantung I dan II normal, tanpa bising. Abdomen : Lemas, Hati dan Limpa tidak t eraba, pekak berpindah (+) Ekstremitas : Akral hangat, tanpa edema tungkai. Stig mata sirosis : Palmar eritema, hemoroid. Pemeriksaan laboratorium dasar Hemoglob in 9,1; Eritrosit 2,9 juta; Hematokrit 27; Trombosit 60.000; Gula Darah 272 Fung si Hati Nilai Normal Bilirubin Total 5,2 <1,5 Bilirubin Direk 1,8

<0,3 Bilirubin Indirek 3,4 Alanin Transaminase 43 <40 Aspartat Transaminase 93 < 35 Fosfatase Alkali 65 <165 Protein Total 7,3 6-8,5 Albumin 3,0 3,5-5,5 Globulin 4,6 2,5-3,5 Ultrasonografi abdomen Hati : Lobus kiri membesar, lobus kanan meng ecil, tepi irreguler, Kaudal menumpul, tampak nodul berukuran 1,5-1,9 cm di lobu s kanan sisi kaudal Limpa : Membesar. Ginjal : Kiri dan Kanan normal. Asites : P ositif. Esofago-gastro-duodenoskopi Esofagus : Varises esofagus grade II-III, ta npa tanda merah endoskopik. Gaster : Kongesti seluruh mukosa, dan lesi erosi di antrum. Duodenum : Bulbus dan pars sekundum tidak ada perdarahan baru. Saran : L igasi Masalah pada pasien ini adalah 1. Hematemesis melena akibat pecahnya varis es esofagus. 2. Gastropati akibat obat. 3. Nodul hati lobus kanan sisi kaudal. P asien ditatalaksana dengan kumbah lambung, obat-obat hemostatik, dan obat-obat l ain sesuai indikasi. DISKUSI KASUS Sirosis hati menahun merupakan penyebab terba nyak hipertensi portal. Hipertensi portal ini terjadi akibat peningkatan tahanan intrahepatik (pre-sinusoid, sinusoid, dan pasca-sinusoid) yang sering terjadi b ersama dengan peningkatan aliran di dalam splanknik yang hiperdinamik. Studi ter akhir menyebutkan bahwa ketidakseimbangan antara endotelin-1 dan oksida nitrik d apat merupakan penyebab terpenting peningkatan tahanan intrahepatik yang merupak an komponen kritis dari sebagian besar hipertensi portal

(2) . Penentu utama perdarahan adalah tekanan dinding varises (T) yang sesuai de ngan modifikasi Franks dari Hukum Laplace: T = TP X r X w -1 - TP = Tekanan tra nsmural, r = jarijari, dan w = ketebalan dinding pembuluh. Kombinasi penemuan kl inis, endoskopik, kelas Child-Pugh yang lanjut (Tabel 1), fungsi hati yang buruk , dan varises yang besar dengan tanda merah endoskopik sangat berhubungan dengan risiko perdarahan awal pada pasien sirosis (2) . Tabel 1: Klasifikasi Child-Pug h beratnya sirosis Skor Variabel 123 Ensefalopati Tidak ada Ringan Sedang Berat Koma Asites Tidak ada Sedikit Sedang Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3 Albumin (g/l) > 3.5 2.8 - 3.5 <2.8 Waktu protrombin 1- 4 4-6 >6 Jika jumlah skor 5-6, sirosis di klasifikasikan kelas A; jika jumlah skor 7-9, kelas B; dan jika jumlah skor 10 a tau lebih, diklasifikasikan kelas C. Prognosis secara langsung dikaitkan dengan skor (2) . Panduan tatalaksana pasien dengan varises gastroesofageal meliputi pe ncegahan episode perdarahan awal (profilaksis primer), pengendalian perdarahan a ktif, dan pencegahan ulang setelah perdarahan awal (profilaksis sekunder) (2) . Panduan ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2: Panduan tatalaksana varises gastroesofageal Tujuan Terapi Lini Pertama Lini Alternatif Profilaksis Primer Penghambat atau dengan kombinasi isosorbid mo nonitrat Ligasi Perdarahan varises akut Octreotide (atau terlipressin) dan terap i endoskopik Tamponade balon,TIPS Profilaksis sekunder Ligasi atau dengan kombin asi dengan penghambat beta dengan atau tanpa isosorbid mononitrat TIPS, terapi s hunt Keterangan. 1. TIPS = Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt. 2. Pen ghambat beta propanolol dengan dosis yang dititrasi sampai maksimum 320 mg perha ri. Dosis awal penghambat beta nadolol 20 mg perhari yang dinaikkan sampai 80 mg perhari. 3. Octreotide biasanya diberikan sebagai infusi 25-50 ug perjam (denga n atau tanpa bolus). Dosis terlipressin adalah 3 mg setiap 4 jam untuk 24 jam pe rtama, kemudian 1 mg setiap 4 jam. Bahan-bahan somatostatin ini menyebabkan kons triksi arteriolar splanknik dan menghambat pelepasan peptida-peptida yang menyeb abkan sindrom sirkulasi hiperdinamik pada hipertensi portal. Penggunaan jangka p anjang octreotide 2 x 50 ug subkutan selama 6 bulan terbukti bermanfaat sebagai ajuvan skleroterapi pada perdarahan varises akut akibat hipertensi portal siroti k. 4. Perdarahan terjadi sekitar dua pertiga pasien dalam satu tahun pertama set elah perdarahan awal (2,3) . KEPUSTAKAAN 1. Laine L. Upper gastrointestinal trac t hemorrhage. West J Med 1991; 166: 274-9. 2. Sharara AL, Rockey DC. Gastroesoph ageal Variceal Hemorrhage. N Engl J Med 2001; 345: 669-81. 3. Jenkins SA, Baxter JN, Kingsnorth AN, Makin CA, Ellenbogen S, Grime JS, et al. Randomised trial of octreotide for long term management of

cirrhosis after variceal hemorrhage. BMJ 1997; 315; 1338-41. Cermin Dunia Kedokt eran No. 150, 2006 29 Hematemesis dan Melena Dr. Oey Tjeng Sien Hematemesis adalah muntah darah dan me lena adalah buang air besar berdarah seperti aspal, umumnya disebabkan perdaraha n saluran makan bagian atas (SMBA) mulai dari esofagus sampai duodenum. Penyehab -penyebab dari perdarahan saluran makan bagian alas antara lain : - Kelainan pad a esofagus: varises, esofagitis, ulkus, sindroma Mallory-Weiss, keganasan. - Kel ainan pada lambung dan doudenum: gastritis hemoragika, ulkus peptikum ventrikuli dan duodeni, keganasan, polip. - Penyakit darah: leukemia, DIC, trombositopeni. - Penyakit sistemik: uremia. Penyehab perdarahan SMBA yang terbanyak dijumpai d i Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 40 - 55%, kemudian menyusul gastritis hemoragika dengan 20 - 25%. ulkus peptikum dengan 15 - 20%, sisanya oleh keganasan, uremia dan sebagainya. Unnunnya perdarahan SMBA termasuk penyakit gawat darurat yang memerlukan tindakan medik intensif yang segera di r umah-sakit/puskesmas karena angka kematiannya yang tinggi, terutama pada perdara han varises esofagus yang dahulu berkisar antara 40 - 85%. Tingginya angka kemat ian pada perdarahan varises esofagus tergantung dari beberapa faktor, antara lai n : - Sifat dan lamanya perdarahan telah berlangsung. - Beratnya penyakit sirosi s hati yang mendasarinya. Ketrampilan tenaga medik dan paramedik yang menangani penderita tersebut. - Tersedia tidaknya sarana diagnostik dan terapi di rumahsak it/puskesmas tersebut. Dengan bertambah majunya teknologi kedokteran. terutatna di bidang Endoskopi gastrointestinal. akhir-akhir ini telah dikenal metoda-metod a baru dalam diagnostik dan terapi yang memberi harapan dapat mengurangi angka k ematian yang tinggi, terutama pada perdarahan varises esofagus. 26 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 Data-data dari publikasi terakhir penulis-penulis Indone sia sendiri juga menunjukkan penurunan angka kematian yang bermakna di rumah-sak it tipe A/B sejak diikutinya protokol penanggulangan seperti di luar negeri.

Berikut ini akan dibicarakan diagnosis dan penanganan dari penderita-penderita d engan perdarahan saluran makan bagian atas. DIAGNOSIS HEMATEMESIS DAN MELENA Dia gnosis pada gejala muntah darah dan buang air berdarah bertujuan mencari tahu te ntang -- kemungkinan penyebab utama dari perdarahan SMBA tersebut -- lokasi yang tepat dari sumber perdarahannya -- sifat perdarahannya.(sedang atau telah berla ngsung, banyak atau sedikit) -- derajat gangguan yang ditimbulkan perdarahan SMB A pada organ lain seperti syok. koma, anenti. kegagalan fungsi hati/jantung/ginj al Diagnosa perdarahan SMBA ditegakkan melalui A. Anamnesis B. Pemeriksaan fisik C. Pemeriksaan penunjang diagnostik seperti I . Pemeriksaan laboratorium 2. Pem eriksaan radiologik 3. Pemeriksaan endoskopik 4. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning han Ana mnesis Perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan bila keadaan p enderita lemah atau kesadarannya menurun dapat diambil allo anamnesa dari pengan tarnya. Beberapa hal yang perlu ditanyakan antara lain : -- Apakah penderita per nah menderita atau sedang dalam perawatan karena penyakit hati seperti hepatitis kronis, sirosis

hati, penyakit lambung atau penyakit lain? -- Apakah perdarahan ini yang pertama kali atau sudah pernah mengalami sebelumnya? -- Apakah penderita minum obat-oba t analgetik antipiretik atau kortison? Apakah minum alkohol atau jamu-jamuan? -Apakah ada rasa nyeri di ulu hati sebelumnya, mual-mual atau muntah? -- Apakah timbulnya perdarahan mendadak dan berapa banyaknya atau terjadi terus menerus te tapi sedikit-sedikit? --Apakah timbul hematemesis dahulu baru diikuti melena ata u hanya melena saja? Pemeriksaan fisik Setibanya di rumah-sakit atau puskesmas, penderita perlu segera diperiksa keadaan umumnya yaitu derajat kesadaran, tekana n darah, nadi, pernapasan, suhu badan dan apakah ada tanda-tanda syok, anemi, pa yah jantung, kegagalan ginjal atau kegagalan fungsi hati berupa koma. Penderita dalam keadaan umum yang buruk atau syok perlu segera ditolong dan diatasi dahulu syoknya, sedangkan pemeriksaan penunjang diagnosis ditunda dahulu sampai keadaa n umum membaik. Bila dugaan penyebab perdarahan SMBA adalah pecahnya varises eso fagus, perlu dicari tanda-tanda sirosis hati dengan hipertensi portal seperti: h epatosplenomegali, ikterus, asites, edema tungkai dan sakral, spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti, venektasi dinding perut. Bila pada palpasi ditemu kan massa yang padat di daerah epigastrium, perlu dipikirkan kemungkinan keganas an lambung atau keganasan hati lobus kiri. Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan laboratorik Pemeriksaan laboratorik dianjurkan dilakukan sedini mung kin, tergantung dari lengkap tidaknya sarana yang tersedia. Disarankan pemeriksa an-pemeriksaan seperti berikut: golongan darah, Hb, hematokrit, jumlah eritrosit , lekosit, trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, morfologi darah tepi da n fibrinogen. Pemeriksaan tes faal hati bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, gama GTkolinesterase, protein total, albumin, globulin, HBSAg, AntiHB S. Pemeriksaan yang diperlukan pada komplikasi kegagalan fungsi ginjal, koma atau s yok adalah: kreatinin, ureum, elek-

trolit, analisa gas darah, gula darah sewaktu, amoniak. Pemeriksaan radiologik P emeriksaan radiologik dilakukan sedini mungkin bila perdarahan telah berhenti. M ula-mula dilakukan pemeriksaan esofagus dengan menelan bubur barium, diikuti den gan pemeriksaan lambung dan doudenum, sebaiknya dengan kontras ganda. Pemeriksaa n dilakukan dalam berbagai posisi dan diteliti ada tidaknya varises di daerah 1/ 3 distal esofagus, atau apakah terdapat ulkus, polip atau tumor di esofagus, lam bung, doudenum. Pemeriksaan endoskopik Pemeriksaan endoskopik dengan fiberpanend oskop dewasa ini juga sudah dapat dilakukan di beberapa rumah-sakit besar di Ind onsia. Dari publikasi pengarang-pengarang luar negeri dan juga ahli-ahli di Indo nsia terbukti pemeriksaan endoskopik ini sangat penting untuk menentukan dengan tepat sumber perdarahan SMBA. Tergantung ketrampilan dokternya, endos kopi dapat dilakukan sebagai pemeriksaan darurat sewaktu perdarahan atau segera setelah he matemesis berhenti. Pada endoskopik darurat dapat ditentukan sifat dari perdarah an yang sedang berlangsung. Beberapa ahli langsung melakukan terapi sklerosis pa da varises esofagus yang pecah, sedangkan ahli-ahli lain melakukan terapi dengan laser endoskopik pada perdarahan lambung dan esofagus. Keuntungan lain dari pem eriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto slide, film atau vid eo untuk dokumentasi, juga dapat dilakukan aspirasi serta biopsi untuk pemeriksa an sitologi. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati Pemeriksaan ultrasonog rafi dapat menunjang diagnosa hematemesis/melena bila diduga penyebabnya adalah pecahnya varises esofagus, karena secara tidak langsung memberi informasi tentan g ada tidaknya hepatitis kronik, sirosis hati dengan hipertensi portal, keganasa n hati dengan cara yang non invasif dan tak memerlukan persiapan sesudah perdara han akut berhenti. Dengan alat endoskop ultrasonografi, suatu alat endoskop muta khir dengan transducer ultrasonografi yang berputar di ujung endoskop, maka kega nasan pada lambung dan pankreas juga dapat dideteksi. Pemeriksaan scanning hati hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar yang mempunyai bagian kedokteran nukl ir. Dengan pemeriksaan ini diagnosa sirosis hati dengan hipertensi portal

atau suatu keganasan di hati dapat ditegakkan. PENANGANAN PERDARAHAN SMBA Tindak an umum 1. Resusitasi 2. Lavas lambung 3. Hemostatika 4. Antasida dan simetidin Tindakan khusus Medik intensif 1. Lavas air es dan vasopresor/trombin intragastr ik 2. Sterilisasi dan lavement usus 3. Beta bloker 4. Infus vasopresin 5. Balont amponade 6. Sklerosis varises endoskopik 7. Koagulasi laser endoskopik 8. Emboli sasi varises transhepatik Tindakan bedah 1. Tindakan bedah darurat 2. Tindakan b edah elektif Tindakan Umum RESUSITASI Infus/Transfusi darah Penderita dengan perdarahan 500 -- 1000cc perlu diberi inf us Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9%. Pada penderita sirosis hati dengan asites/edema tungkai sebaiknya diberi infus Dextrose 5%. Penderita dengan perda rahan yang masif lebih dari 1000 cc dengan Hb kurang dari 8g%, perlu segera ditr ansfusi. Pada hipovolemik ringan diberi transfusi sebesar 25% dari volume normal , sebaiknya dalam bentuk Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 27

darah segar. Pada hipovolemik berat/syok, kadangkala diperlukan transfusi sampai 40 -- 50% dari volume normal. Kecepatan transfusi berkisar pada 80 -- 100 tetes atau dapat lebi h cepat bila perdarahan masih terus berlangsung, sebaiknya di bawah pengawasan t ekanan vena sentral. Pada perdarahan yang tidak berhenti perlu dipikirkan adanya DIC, defisiensi faktor pembekuan path sirosis hati yang lanjut atau fibrinolisi s primer. Bilamana darah belum tersedia, dapat diberi infus plasma ekspander mak simal 1000 cc, selang seling dengan Dextrose 5%, karena plasma ekspander dapat m empengaruhi agregasi trombosit. Setiap pemberian 1000 cc darah perlu diberi 10 c c kalsium glukonas i.v. untuk mencegah terjadinya keracunan asam sitrat. LAVAS LAMBUNG DENGAN AIR ES Setelah keadaan umum penderita stabil, dipasang pipa nasogastrik untuk aspirasi isi lambung dan lavas air es, mulamula setiap 30 menit 1 jam. Bila air kurasan l ambung tetap merah, penderita terus dipuasakan. Sesudah air kurasan menjadi mera h muda atau jernih, maka disarankan dilakukan pemeriksaan endoskopi yang dapat m enentukan lokasi perdarahannya. Pada perdarahan varises esofagus yang tidak berh enti setelah lavas air es, diperlukan tindakan medik intensif yang akan dibicara kan kemudian. Sedangkan pada perdarahan ulkus peptikum, gastritis hemoragika dan lainnya, setelah perdarahan berhenti dapat mulai diberi susu + aqua calcis 50 -- 100 cc/jam, dan secara bertahap ditingkatkan pada diit makanan lunak/bubur saring dalam porsi kecil setiap 1 -- 2 jam. HEMOSTATIKA Yang dianjurkan adalah pemberian Vitamin K dalam dosis 10 -- 40 mg sehari parent eral, karena bermanfaat untuk memperbaiki- defisiensi kompleks protrombin. Pembe rian asam traneksamat dan karbazokrom dapat pula diberikan. ANTASIDA DAN SIMETIDIN Pemberian antasida secara intensif 10 -- 15 cc setiap jam disertai simetidin 200 mg tiap 4 -- 6 jam i.v. berguna untuk menetralkan dan menekan sekresi asam lamb ung yang berlebihan, terutama pada penderita dengan ulkus peptikum dan

gastritis hemoragika. Bila perdarahan berhenti, antasida diberikan dalam dosis l ebih rendah setiap 3 -- 4 jam 10 cc, demikian juga simetidin dapat diberi per or al 200 mg tiap 4 -- 6 jam. Sebagai pengganti simetidin dapat diberikan : -- sucr alfate sebanyak 1 -- 2 gram tiap 6 jam melalui pipa nasogastrik, kemudian per or al. -- pirenzepin 20 mg tiap 8 jam i.v. atau 50 mg tablet tiap 12 jam. -- somato statin dilarutkan dalam infus NaCl 0,9% dengan dosis 250 ug/jam. Tindakan khusus MEDIK INTENSIF Lavas air es dan vasopresor/trombin intragastrik Bila perdarahan tetap berlangsung, dicoba la vas lambung dengan air es ditambah 2 ampul Noradrenalin atau Aramine 2 -- 4 mg d alam 50 cc air. Dapat pula diberikan bubuk trom28 Cermin Dunia Kedokteran No. 40 , 1985 bin (Topostasin) misalnya 1 bungkus tiap 2 jam melalui pipa nasogastrik. Ada ahl i yang menyemprotkan larutan trombin melalui saluran endoskop tepat di daerah pe rdarahan di lambung, sehingga di bawah pengawasan endoskopik dapat mengikuti lan gsung apakah perdarahannya berhenti dan apakah terbentuk gumpalan darah yang aga k besar yang perlu aspirasi dengan endoskop. Sterilisasi usus dan lavement usus Terutama pada penderita sirosis hati dengan perdarahan varises esofagus perlu di lakukan tindakan pencegahan terjadinya koma hepatikum/ensefalopati hepatik yang disebabkan antara lain oleh peningkatan produksi amoniak pada pemecahan protein darah oleh bakteri usus. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan : -- Sterilisasi u sus dengan antibiotika yang tidak dapat diserap misalnya Neomisin 4 x 1 gram ata u Kanamycin 4 x 1 gram/ hari, sehingga pembuatan amoniak oleh bakteri usus berku rang. -- Dapat diberikan pula laktulosa atau sorbitol 200 gram/hari dalam bentuk larutan 400 cc yang bersifat laksansia ringan atau magnesiumsulfat 15g/400cc me lalui pipa nasogastrik. Selain itu perlu dilakukan lavement usus dengan air bias a setiap 12 -- 24 jam. Untuk pencegahan ensefalopati hepatik dapat diberi infus Aminofusin Hepar 1000 -- 1500 cc per hari.

Bila penderita telah berada dalam keadaan prekoma atau koma hepatikum, dianjurka n pemberian infus Comafusin Hepar 1000 -- 1500 cc per hari. Beta Bloker Pemberian obat-obat golongan beta bloker non selektif seperti propanolol, oksprenolol, alprenolol ternyata dapat menurunkan tekanan vena porta pada pende rita sirosis hati, akibat penurunan curah jantung sehingga aliran darah ke hati dan gastrointestinal akan berkurang. Obat golongan beta bloker ini tidak dapat d iberikan pada penderita syok atau payah jantung, juga pada penderita asma dan pe nderita gangguan irama jantung seperti bradikardi/AV Blok. Infus Vasopresin Vaso presin mempunyai efek kontraksi pada otot polos seluruh sistem baskuler sehingga terjadi penurunan aliran darah di daerah splanknik, yang selanjutnya menyebabka n penurunan tekanan portal. Karena pembuluh darah arteri gastrika dan mesenterik a ikut mengalami kontraksi, maka selain di esofagus, perdarahan dalam lambung da n doudenum juga ikut berhenti. Vasopresin terutama diberikan pada penderita perd arahan varises esofagus yang perdarahannya tetap berlangsung setelah lavas lambu ng dengan air es. Cara pemberian vasopresin ialah 20 unit dilartkan dalam 100 -200 cc Dextrose 5%, diberikan dalam 10 -- 20 menit intravena. Efek samping pada pemberian secara cepat ini yang pernah dilaporkan adalah angina pektoris, infar k miokard, fibrilasi ventrikel dan kardiak arest pada penderita penderita jantung koroner dan usia lanjut, karena efek vaso kontriksi dari vasopresin pada arteri koroner. Selain itu juga ada penderita yang mengeluh tent ang kolik abdomen, rasa mual, diare. Beberapa ahli lain menganjurkan pemberian i nfus vasopresin dengan dosis rendah, yaitu 0,2 unit vasopresin per menit untuk 1 6

jam pertama dan bila perdarahan berhenti setelah itu, dosis diturunkan 0,1 unit per menit untuk 8 jam berikutnya. Pada cara pemberian infus vasopresin dosis ren dah lebih sedikit efek sampingyang ditemukan. Efek vasopresin dalam menghentikan perdarahan SMBA berkisar antara 35 - 100%, perdarahan ulang timbul pada 21 - 10 0% dan mortalitas berkisar pada 21 - 80%. Balontamponade Tamponade dengan balon jenis Sengstaken Blakemore Tube atau Linton Nachlas Tube diperlukan pada penderi ta -penderita varises esofagusyang perdarahannya tetap berlangsung setelah lavas lambung dan pemberian infus vasopresin. Tindakan pemasangan balon ini merupakan pilihan pertama pada penderita jantung koroner dan usia lanjut, yang tidak dapa t diberikan infus vasopresin. Prinsip bekerjanya SB atau LN Tube adalah mengemba ngkan balon di daerah kardia dan esofagus yang akan menekan, dan dengan demikian menghentikan perdarahan di esofagus dan kardia. SB Tube terdiri dari 2 balon, m asing-masing untuk lambung dan esofagus, sedangkan LN Tube terdiri hanya dari 1 balon yang mengkompresi daerah distal esofagus dan kardia. Protokol pemasangan S B Tube : -- Penderita secara klinis menderita perdarahan varises esofagus, bila mungkin telah diendoskopi. -- Keadaan umum cukup baik, tidak koma/syok/gelisah d an kooperatif. -- Pemasangan dilakukan sedini mungkin, kurang dari 12 jam setela h dirawat. -- Sebelumnya dilakukan lavas lambung untuk mengeluarkan isi lambung terutama gumpalan darah. -- Pemasangan dilakukan oleh dokter atau perawat yang b erpengalaman. -- Balon SB sebelum dipasang harus dites tidak bocor dan kemudian diolesi dengan salep zylocain atau parafin. --SB Tube dimasukkan secara perlahan -lahan melalui lubang hidung, sambil penderita disuruh menelan sampai SB Tube ma suk ke lambung, hingga garis ukuran pipa bagian luar menunjukkan 50 cm dekat lub ang hidung. -- Balon lambung dikembangkan dengan 30 - 50 cc udara dan SB Tube di tarik perlahan-lahan ke luar sampai balon lambung mencapai kardia dan terasa ada nya tahanan

pada penarikan lebih lanjut. Angka pada garis ukuran SB Tube di lubang hidung be rkisar antara 40 - 45 cm. -- SB Tube difiksasi dengan plester, balon esofagus ke mudian dikembangkan dengan 100 - 200 cc udara tergantung ukuran SB Tube. -- Pend erita dipuasakan selama SB Tube terpasang. Lavas lambung dan pemberian obat -oba tan dapat dilakukan me lalui pipa sentral. Sekret di hipofaring perlu diaspirasi secara berkala. -- Pem asangan SB Tube berkisar antara 12 - 24 jam, kemudian dicoba dikempeskan dari di kontrol tiap-tiap jam dengan lava lambung apakah terjadi perdarahan ulang. Bila terjadi perdarahan ulang, balon SB Tube yang belum ditarik keluar itu dapat sege ra dikembangkan kembali. SB Tube dipasang maksimal48 jam. Menurut laporan peneli ti -peneliti, pemasangan SB Tube dapat menghentikan 55 - 92% perdarahan varises esofagus, tetapi 25 - 60% penderita kemudian mengalami perdarahan ulang, sedangk an mortalitas berkisar antara 20 - 60%. Komplikasi pemasangan SB Tube adalah obs truksi laring serta asfiksi akibat migrasi balonke hipofaring dan ulserasi esofa gus, karena pemasangan terlalu lama. Sklerosis varises endoskopik Sejak 1970 ahl i-ahli mencoba menghentikan perdarahan varises esofagus dengan penyuntikan bahan -bahan sklerotik seperti etanolamin, polidokanol, sodium morrhuate melalui esofa goskop kaku atau serat optik. Karena pemakaian esofagoskop kaku membutuhkan anes tesi umum, dan sebagai komplikasi dapat terjadi ruptur esofagus, maka metoda ini telah ditinggalkan. Sekarang lebih banyak digunakan endoskop serat optik baik y ang umum maupun yang khusus dengan 2

saluran, sehingga sewaktu penyuntikan dilakukan melalui saluran pertama, penghis apan perdarahan yang mungkin terjadi dapat dilakukan melalui saluran kedua. Tekn ik penyuntikan dapat paravasal atau intravasal. Terapi ini dapat dilakukan seger a setelah hematemesis berhenti, tetapi tergantung dari keahlian dokternya dapat dilakukan juga pada penderita yang sedang mengalami perdarahan akut, bila tindak an medik intensif lainnya tidak berhasil. Di sini perdarahan dapat dihentikan pa da 80 - 100%, perdarahan ulang terjadi pada 10 - 40% sedangkan mortalitas selama dirawat mencapai 30%. Bila perdarahan dapat dihentikan dengan SB Tube atau infu s vasopresin, terapi sklerosis ini dilakukan beberapa hari kemudian. Varises yan g luas umumnya membutuhkan 2 - 3 x terapi dengan jangka waktu 7 - 10 hari. Morta litas penderita yang diterapi dalam stadium interval ini lebih rendah 4 - 14%. K omplikasi metoda ini yang pernah dilaporkan adalah nyeri retrosternal, ulserasi, nekrosis, striktur dan stenosis dari esofagus, effusi pleura, mediastinitis. Koagulasi laser e ndoskopik Bila pemberian vasopresin, pemasangan SB Tube dan sklerosis varises en diskopik gagal dalam menghentikan perdarahan varises esofagus, mungkin dapat dit erapkan terapi koagulasi dengan Argon/Neodym Yag Laser secara endoskopik. Ada ah li yang melaporkan keberhasilan sampai 91,3% (116 dari Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 29

127 penderita). Hanya alat ini sangat mahal. Demikian juga perdarahan SMBA lainn ya seperti pada ulkus peptikum dan keganasan ternyata dapat dihentikan dengan ko agulasi laser endoskopik. Embolisasi varises transhepatik Caranya, dengan tuntunan ultrasonografi dimasukkan jarum ke dalam hati sampai me ncapai vena porta yang melebar, kemudian disorong kateter melalui mandrin terseb ut sepanjang vena porta sampai mencapai vena koronaria gastrika dan disuntikkan kontras angiografin. Pada transhepatik portalvenografi ini akan terlihat vena-ve na kolateral utama termasuk varises esofagus. Selanjutnya sebanyak 30 -- 50 cc D extrose 50% disuntikkan melalui kateter diikuti dengan suntikan trombin, ditamba h gel foam atau otolein. Perdarahan varises esofagus umumnya segera berhenti. Metoda ini be lum banyak laporannya dalam kepustakaan, karena tekniknya sukar dan sering menga lami kegagalan yang disebabkan trombosis vena porta atau adanya asites. Komplika si yang membahayakan adalah perdarahan intraperitoneal dari bekas tusukan jarum tersebut. Seorang peneliti melaporkan bahwa 5 bulan sesudah embolisasi timbul va rises esofagus yang baru. TINDAKAN BEDAH Setelah usaha-usaha medik intensif di atas mengalami kegagalan dan perdarahan ma sih berlangsung, maka perlu dilakukan tindakan bedah darurat, seperti pintasan p ortosistemik atau transeksi esofagus untuk perdarahan varises esofagus. Perdarah an dari ulkus peptikum ventrikuli atau duodeni serta keganasan SMBA yang tidak b erhenti dalam 48 jam juga memerlukan tindakan bedah. Bila tidak diperlukan tinda kan bedah darurat, setelah keadaan umum penderita membaik dan pemeriksaan diagno stik telah selesai dilakukan, dapat dilakukan tindakan bedah elektif setelah 6 m inggu. KEPUSTAKAAN 1. Abdurachman SA, Hematemesis dan Melena. Tinjauan kasus di Bagian Ilmu Penyaki t Dalam RS Hasan Sadikin Bandung, selama

1970 - 1974. Proceeding KOPAPDI III di Bandung, 1975. 2. Gross R. Die akute Mage n-Darmblutung in Der internistische Notfall, F.K. Sehattauer Verlag Stuttgart 19 73, haL 545 - 576. 3. Fruhmorgen P. Neue Verfahren zur Blutstillung dalam Operat ive Endoskopie. Acron Verlag 1979, haL 83 - 90. 4. Hadi S. Hematemesis Melena da lam Gastroenterologi. Alumni Bandung 1981, hal 161- 191. 5. Hadi S. Langkah pend ekatan penatalaksanaan perdarahan saluran makan bagian atas. Makalah pada pertem uan Ilmiah PPHI ke 3. Kongres PGI/PEGI Palembang 1 -- 3 Agustus 1985. 6. Hernomo K. Terapi medik perdarahan hipertensi portal. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, th. 1984 hal 795 - 807. 7. Kiefhaber P. Endoskopische Blutstillung blutender Os ophagus und Magenvarizen mit Neodym-Yag-Laser dalam

Operative Endoskopie haL 19 - 26. 8. Paquet KJ. Wandsklerosierung bei Osophagusv arizen dalam Operative Endoskopie. Acron Verlag, Berlin, hal 33 - 46. 9. Soehend ra N. Sclerotherapy of Oesophageal Varices by Means of Fibreendoscopy in Clinica l Hepatology. Springer Verlag Berlin 1983. 10. Tondobala TH. Hematemesis dan Mel ena. Buku Ilmu Penyakit Dalam 1984, haL 737 - 743. 11. Westaby D, Macdougall B, Williams R. New Approaches to the Management of Portal Hypertension and Variceal Haemorrhage in Clinical Hepatology. Springer. Verlag Berlin 1983. Dibawakan pad a Simposium Penyakit Hati Kalimantan Timur, Samarinda 20 Oktober 1985

Page 11 2003 Digitized by USU digital library 11 Kardel dan Nielsen melaporkan bahwa pada 34 pasien penyakit hati kronik yang ber at dijumpai adanya kelainan saraf perifer baik secara klinis maupun secara elekt rofisiologis ataupun keduanya pada 31 orang pasien. Dilaporkan bahwa gangguan me tabolik yang menyebabkan terganggunya fungsi membran akson. Penelitian lain mend apatkan bahwa kejadian portosistemik shunt merupakan penyebab terjadinya kelaina n saraf. Seneviratne dan Peiris meneliti fungsi saraf perifer secara elektrofisi ologis pada 50 pasien penyakit hati kronik. Dijumpai sebanyak 34 pasien menunjuk kan adanya peningkatan keadaan laten atau pengurangan amplitudo evoked sensory p otential of the median nerve. Secara kinis gejala neuropati hanya terdeteksi pad a 4 pasien . Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi auto nomik dengan penyakit hati menahun. Dimana juga didapatkan disfungsi autonomik b aik pada penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Chaudry dkk melapor kan disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati merupakan bagia n dari generalized sensory-motor polineuropathy. Dimana sebagian besar penderita disfungsi autonomik juga terbukti memiliki neuropati perifer. Trevisani dkk mel aporkan 30 penderita sirosis hati, 80% menunjukkan adanya disfungsi autonomik, d imana disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati (berdasar kan kriteria Child-Pugh) dan tidak berhubungan dengan etiologi penyakit hati. Da ri uraian di atas penulis ingin meneliti apakah ada hubungan beratnya penyakit h ati dengan disfungsi autonomik dan neuropati perifer pada penderita sirosis hati , sepengetahuan kami belum pernah dilakukan di Medan. 3.2. PERUMUSAN MASALAH 3. 2.1. Apakah ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis

hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) 3.2.2. Apakah ada hubungan neuropati peri fer (sensorimotor) dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh ) 3.2.3. Apakah ada korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer (sensorimotor) pada penderita sirosis hati. 3.3. HIPOTESA 3.3.1. Ada hubungan b eratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria C hild-Pugh) 3.3.2. Ada hubungan neuropati perifer (sensorimotor) dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) 3.3.3. Ada korelasi antara disfun gsi autonomik dengan neuropati perifer (sensorimotor) pada penderita sirosis hat i. 3.4. TUJUAN PENELITIAN 3.4.1. Menilai adanya hubungan disfungsi autonomik pad a penderita sirosis hati 3.4.2. Menilai adanya hubungan neuropati perifer (senso rimotor) pada penderita sirosis hati 3.4.3. Mencari korelasi antara disfungsi au tonomik dan neuropati perifer pada penderita sirosis hati. Page 12 2003 Digitized by USU digital library 12 3.5. MANFAAT PENELITIAN Dengan ditemukannya disfungsi autonomik sebagai faktor r esiko yang penting terhadap mortalitas pada penderita sirosis hati. Hasil ini da pat digunakan untuk menentukan prognosa penyakit yang jelek. 3.6. BAHAN DAN CARA PENELITIAN 3.6.1. Disain Penelitian Penelitian ini bersifat studi cross section al. 3.6.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2001 sampai April 2002. Tempat penelitian Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. 3. 6.3. Subjek Kelompok kasus adalah penderita sirosis hati yang berobat jalan dan rawat inap, dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, KGD N/2PP, SGOT, SG PT, alkalin fosfatase, gamma GT, bilirubin total, bilirubin direk, serum protein

elektroforesis, protrombin time, viral marker, USG hati, endoskopi, elektrokardi ografi, dan EMG (elektromiografi). 3.6.4. Kriteria yang Diikutkan dalam Peneliti an Penderita sirosis hati yang ditegakkan berdasarkan klinis, laboratorium, dan USG. 3.6.5. Kriteria yang Dikeluarkan Penderita sirosis hati dengan diabetes mel litus, ensefalopati, anemia berat (Hb < 6 gr/dl), riwayat perdarahan 2 bulan seb elumnya, sedang diterapi dengan beta bloker. 3.6.6. Jumlah Sampel Sampel yang di ikutkan dalam penelitian adalah semua penderita sirosis hati yang berobat jalan maupun yang opname di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria p enelitian dan sesuai waktu penelitian. Prevalensi disfungsi autonomik pada pende rita sirosis hati 80%. n = 27,31 30 orang Dimana: Z =1,96; P: proporsi (80% atau 0,8); Q=(1-P)= 0,2 dan d : presisi atau besar penyimpangan pengukuran yang masih dapat ditolerir = 15%. a : taraf signifikansi sebesar 5%. Za 2 PQ d 2 1,96 2 X 0,8 X 0,2 0,15 2 Besar sample 53 :n= = Page 13 2003 Digitized by USU digital library 13 3.6.7. Analisa Data Uji Signifikansi dengan Chi-square test. Uji korelasi dengan Spearman Rank correlation. 3.7. Persiapan Penderita Tidak ada persiapan khusus untuk penderita. Hanya diperlukan penerangan yang baik kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan saraf perifer dan

ototnya. Untuk memproleh hasil yang sempurna diperlukan kerjasama yang baik anta ra pasien dengan pemeriksa untuk melakukan kontraksi otot yang akan diperiksa. P erlu diberitahukan bahwa pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan stimulasi list rik dan kadangkadang dengan jarum. Diterangkan bahwa pemeriksaan EMG tidak berba haya sehingga tidak perlu takut untuk diperiksa. 3.8. PEMERIKSAN DISFUNGSI AUTON OMIK Merupakan pemeriksaan test khusus yang sederhana dan tidak invasif yang dip akai untuk mendeteksi adanya disfungsi autonomik. 3.8.1. Test Menguji Kerusakan Saraf Parasimpatis 3.8.1.1.Respon denyut jantung terhadap manuver valsava Pasien meniup melalui manometer aneroid atau spigmomanometer yang dimodifikasi hingga tekanan 40 mmHg, dan dipertahankan selama 15 detik. Denyut jantung diukur dengan rekaman EKG. Hasil ditunjukkan dengan rasio valsava yaitu perbandingan R-R terp anjang setelah manuver dengan RR terpendek selama manuver. Hasil normal jika ras io valsava > 1,21, border line 1,11 1,20, abnormal < 1,10. 3.8.1.2. Variasi deny ut jantung (R-R interval) selama bernafas dalam( R6) Cara pemeriksaan: Penderita duduk atau berbaring dengan tenang dan bernafas dalam sebanyak 6 kali per menit (5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi). Bersamaan dengan itu dilakukan EKG. D ihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut jantung minimal. Interpret asi hasil: normal, selisih > 14 x/menit; border line, selisih 11 14 x/menit; abn ormal, selisih < 11 x per menit. 3.8.1.3. Respon denyut jantung setelah penderit a berdiri (RR 30/15) Cara pemeriksaan: Penderita berbaring dengan tenang lebih k urang tiga menit, kemudian berdiri tanpa bantuan. Pantauan denyut jantung dengan EKG dilakukan sampai 15 denyut , kemudian tanpa berhenti dilanjutkan sampai den gan 30 denyut setelah berdiri. Dihitung panjang R-R antara denyut 30 dan 15, lal u bandingkan. Perbandingan antara denyut 30 dan 15 disebut dengan rasio 30/15. I nterpretasi hasil:

normal, rasio 30/15 : > 1.03; border line, rasio 30/ 15: 1.01 1.03; abnormal, ra sio 30/15: < 1.01. Page 14 2003 Digitized by USU digital library 14 3.9. Test Menguji Kerusakan Saraf Simpatis 3.9.1. Respon tekanan darah dari berb aring lalu berdiri Perubahan posisi dari posisi berbaring ke berdiri akan menyeb abkan terjadinya akumulasi sebagian besar darah di ekstremitas bawah dan daerah splangnikus, sehingga terjadi penurunan curah jantung dan penurunan tekan darah. Pada orang normal keadaan ini akan menyebabkan terjadinya kompensasi sistim sar af simpatis melalui refleks baroreseptor . Adanya kegagalan sistim simpatis oleh karena neuropati akan menyebabkan menurunnya tekanan darah sistolik maupun dias tolik. Cara pemeriksaan: Pasien berbaring tenang dan diukur tekanan darah sistol ik. Kemudian pasien disuruh berdiri tanpa bantuan dan diukur tekanan darahnya. T entukan penurunan tekanan sistolik dari berbaring ke berdiri. Normal < 10 mmHg, border line 11 29 mmHg, abnormal > 30 mmHg. Uji ini disebut dengan Schelong test . 3.9.2. Respon tekanan darah terhadap Handgrip Tes ini menggunakan alat Handgri p dinamometer dengan membuat tegangan sampai 30% dari maksimal selama 5 menit, t ekanan darah diukur 3 kali yaitu sebelum interval 1 menit selama beban handgrip. Hasilnya berupa perbedaan di antara tingginya tekanan diastolik selama beban ha ndgrip dengan rata-rata tekanan diastolik sebelum dimulai handgrip. Respon norma l jika dijumpai peningkatan tekanan darah diastolik > 16 mmHg. border line: 11 1 5 mmHg, abnormal < 10 mmHg. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan handgrip dinamo meter untuk membuat pergerakan tangan dan dipertahankan dengan tekanan 30% dari tekanan maksimal. 4. Alat Pemeriksaan/ Pengukuran 4.1 Pemeriksaan Disfungsi Auto nom :EKG Logos serie 8821 Early disfungsi autonom : Ditemukan 1 dari uji diatas ha sil abnormal atau 2 borderline Definite disfungsi autonom: Ditemukan 1 abnormal dengan 2 borderline atau 2 uji abnormal.

4.2. Pemeriksaan Elektroneurografi : EMG Medelec / TECA Sapphire II Dilakukan peme riksaan untuk menilai neuropati perifer secara objektif. Pemeriksaan dilakukan d i Instalasi Diagnostik Terpadu RS. H.Adam Malik Medan, oleh dokter ahli saraf. K HS motorik n. Median, abn < 48, n. Peroneus, abn < 40, n. Tibialis < 40 KHS sens orik n. Median abn < 40, n. Peroneus < 35, n. Suralis < 36 m/detik. 4.8.HASIL PE NELITIAN Dari 30 orang penderita sirosis hati yang masuk penelitian terdiri dari 27 orang laki laki dan 3 orang perempuan dengan umur rata rata 49,1 19,9 tahun, dimana umur termuda 23 tahun dan tertua 70 tahun. Dari 30 orang penderita siros is hati, dimana 8 (26,6%) termasuk dalam klasifikasi Child -Pugh A, 12 (40 %) Ch ild- Pugh B dan 10 (33,3%) ChildPugh C. Dari 30 penderita 17 ( 56,6 %) dengan as ites dan 13 (40,3 %) tanpa asites. Page 15 2003 Digitized by USU digital library 15 4.8.1. Hasil Pemeriksaan Fungsi Autonom Tabel.2 Uji fungsi autonom pada penderit a sirosis hati Uji Fungsi autonom Normal Borderline Abnormal Total ? R6 15 11 4 30 RR 30/15 13 15 2 30 TD Berbaring-berdiri 24 5 1 30 Dari tabel diatas tampak 1 3,3 % pemeriksaan fungsi autonom ? R6 abnormal , 6,7 % RR 30/15 dan hanya 3,3 % TD Berbaring-berdiri. Kerusakan lebih sering pada saraf parasimpatis daripada si mpatis. Tabel 3. Hubungan Beratnya Disfungsi Autonom dengan Beratnya Sirosis Hat i Child -Pugh

Disfungsi Autonom A B C Total Normal 8 6 4 18 Early 0 6 4 10 Definite 0 0 2 2 To tal 8 12 10 30 Chi-Square . X 2 = 10.8 df 4 p= 0.029 Dari tabel diatas tampak 12 (40%) yang didapatkan disfungsi autonomik , dimana 10 early (6 Child B dan 4 Child C) dan 2 definite Child C. D engan uji statistik didapat p< 0.05. Ada hubungan beratnya disfungsi autonomik d engan beratnya sirosis hati 4.8.2. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf Ta bel 4. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf pada Penderita Sirosis Hati Ne uropati Perifer (Sensorimotor) Abnormal Motorik n. Median 16,7% Motorik n. Peron eus 23,3% Motorik n. Tibialis 23,3 % Sensorik n. Median 56,7% Sensorik n. Surali s

66,7% Sensorik n. Ulnaris 33,3% Dari tabel diatas pada penderita sirosis yang te rbanyak neuropati perifer sebanyak 66,7% mengenai saraf sensorik Suralis, 56,7% mengenai sensorik Median dan 33,3% sensorik Ulnaris, 23,3% masing masing saraf m otorik Tibia dan Peroneus , hanya 16,7% mengenai motorik Media. Page 16 2003 Digi tized by USU digital library 16 Tabel 5.Hub.Neuropati Perifer (motorik n. Median ) dengan Beratnya Sirosis Hati Child Pugh A B C Total Motorik n. Median: Normal 6 10 9 25 Abnormal 2 2 1 5 Tota l 8 12 10 30 Chi-Square . X 2 =13,3 df 2 p=0.004 Dari tabel diatas ada 5 (16,5 %) yang mendapatkan neuropati p erifer pada saraf motorik Median dan dengan uji statistik didapat p<0,05. Didapa t ada hubungan neuropati perifer ( motorik n.Median ) dengan beratnya sirosis ha ti. Tabel 6. Hub.Neuropati Perifer ( Motorik n.Peroneus) dgn Beratnya Sirosis Ha ti Child -Pugh A B

C Total Motorik n.Peroneus Normal 6 8 9 23 Abnormal 2 4 1 7 Total 8 12 10 30 Chi -Square . X 2 =8,53 df 2 p=0,03 Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n. Peroneus ) dan dengan uji statistik didapat p<0,05 . Ada hubungan neuropati peri fer ( motorik n.Peroneus ) dengan beratnya beratnya hati. Tabel 7. Hub.Neuropati Perifer (Motorik n.Tibialis) dengan Beratnya Sirosis Hati Child -Pugh A B C Tot al Motorik n. Tibialis: Normal 5 9 9 23 Abnormal 3 3 1 7 Total 8 12 10 30 Chi-Sq uare . X 2 =8,53 df 2 p=0,03 Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n. Tibialis ) dan

dengan uji statistik didapat p <0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik n.Tibialis ) dengan beratnya sirosis hati. Tabel 8.Hub.Neuropati Perifer ( Senso ris n. Median ) dgn Beratnya Sirosis Hati Child- Pugh A B C Total Sensorik n.Med ian: Normal 3 5 5 13 Abnormal 5 7 5 17 Total 8 12 10 30 Chi-Square . X 2 = 0,53 df 2 p= 0,465 Page 17 2003 Digitized by USU digital library 17 Dari tabel diatas didapat 17 (56,7%) neuropati perifer( sensorik n. Median ) dan dengan uji statistik diadapat p >0,05. Tidak ada hubungan antara neuropati peri fer (sensorik n. Median ) dengan beratnya sirosis hati. Tabel 9. Hub.Neuropati P erifer(Sensorik n. Suralis) dengan Beratnya Sirosis Hati Child- Pugh A B C Total Sensorik n.Suralis : Normal 2 5 3 10 Abnormal

6 7 7 20 Total 8 12 10 30 Chi-Square . X 2 =3,33 df 2 p=0,680 Dari tabel diatas didapat 20 (66,7%) neuropati perifer (senso rik n.Suralis ) dan dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neur opati perifer ( sensorik n.Suralis) dengan beratnya sirosis hati. Tabel 10.Hub.N europati Perifer (Sensorik n. Ulnaris) dgn Beratnya Sirosis Hati Child- Pugh A B C Total Sensorik n. Ulnaris : Normal 4 9 7 20 Abnormal 4 3 3 10 Total 8 12 10 3 0 Chi-Square . X 2 = 3,33 df 2 p=0,680 Dari tabel diatas didapat 10 ( 33 %) neuropati perifer ( sen sorik n. Ulnaris ) dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuro pati perifer ( sensorik n.Ulnaris ) dengan beratnya sirosis hati. 4.8.3. Korelas i Antara Disfungsi Autonomik dengan Neuropati Perifer

(Sensorimotor) pada Penderita Sirosis Hati Neuropati autonomik yang merupakan ba gian dari generalized sensori-motor polineuropathy, penderita dengan disfungsi a utonomik juga mengalami neuropati perifer ( sensorimotor ). Pada penelitian ini dari 12 penderita yang didapati disfungsi autonomik, 11 diantaranya juga didapat i neuropati perifer ( sensorimotor ). Pada pemeriksaan uji fungsi autonom , vari asi denyut jantung selama bernafas dalam ( R6 ) dengan neuropati perifer ( senso rik n. Suralis ) pada uji korelasi Spearman dengan r = 0,527 p= 0,003 . Ini meny atakan adanya korelasi yang kuat antara variasi denyut jantung bernafas dalam ( R 6 ) dengan neuropati perifer. Begitu juga dengan respon denyut jantung dari berb aring ke berdiri ( RR 30/15 ) dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ) , r = 0,456 p = 0,010. Ini menyatakan ada korelasi antara RR 30/15 dengan neuropa ti perifer ( sensorik n. Suralis ). Respon tekanan darah dari berbaring ke berdi ri dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ), r= 0,275 p= 0,142. Tidak di dapat korelasi antara respon TD Berbaring-berdiri dengan neuropati perifer ( sen sorik n. Suralis ). Juga tidak didapat adanya korelasi antara disfungsi autonomi k dengan neuropati perifer ( sensorik n Suralis ) , r = 0.253 p= 0,505. Page 18 2 003 Digitized by USU digital library 18 BAB IV PEMBAHASAN Pada tahun 1967 Dayan dan Williams melaporkan ditemukan demiel inisasi dan remielinisasi segmental pada 10 bahan biopsi nervus suralis pada pas ien dengan berbagai penyakit hati kronik. Beberapa peneliti mendapatkan adanya h ubungan antara disfungsi autonomik dengan penyakit hati menahun, baik pada penya kit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Trevisani dkk melaporkan 80% dari 30 penderita sirosis hati menunjukkan adanya disfungsi autonomik, dimana disfun gsi autonomik berhubungan

dengan berat sirosis hati ( berdasarkan kriteria Child-Pugh ) dan tidak berhubun gan dengan etiologi penyakit hati. Chaudry dkk dengan pemeriksaan elektrofisiolo gi pada penderita sirosis hati mendapatkan hasil yang sesuai dengan length-depen dent axonal neuropathy atau dying back neuropathy. Dimana sebagian besar penderita sirosis hati dengan disfungsi autonomik juga terbukti mengalami neuropati perif er. Neuropati yang terjadi tidak tergantung kepada etiologi penyakit hati, ada h ubungan yang bermakna antara beratnya neuropati terhadap beratnya penyakit hati. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa disfungsi metabolik oleh karena kegagal an fungsi hati menyebabkan terjadinya neuropati. Pada penelitian ini pemeriksaan fungsi autonom variasi denyut jantung selama bernafas dalam ( R6 ) sebanyak 17, 3%, respon segera denyut jantung setelah penderita berdiri ( RR 30/15 ) 6,7% dan respon tekanan darah dari berbaring ke berdiri ( TD Berbaring-berdiri ) 3,3%. H endrickse 11 mendapatkan 45% R6, 5% TD Berbaring berdiri, Oliver mendapatkan 36,6% R6 dan 3,3 % RR 30/15 yang abnormal. Penelitian ini mendapatkan uji fungsi parasimpatis le bih sering dari pada simpatis ( tabel.5 ), menggambarkan kerusakan lebih awal pa da vagal kemungkinan besar lebih mudahnya kerusakan serabut parasimpatis kemudia n berikutnya simpatis. Urutan kerusakan menunjukkan uji disfungsi parasimpatis l ebih sensitif dari pada uji simpatis. Keresztes dkk, didapat perbaikan yang sign ifikan disfungsi autonomik setelah transplantasi hati, dimana perbaikan terjadi lebih awal pada fungsi parasimpatis, kemudian perbaikan simpatis. Disfungsi auto nomik yang didapat pada penelitian ini sebanyak 12 (40%) dimana 10 early ( 6 Chi ld B dan 4 Child C ) dan 2 definite( 2 Child C) ( tabel. 6 ). Trevisani mendapat kan 80% disfungsi autonomik , definite sebanyak 40 %,. Chaudry mendapatkan disfu ngsi autonomik 48%, Fleckenstein 67 %, early 31 % , definite 36% Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara beratnya disfungsi

autonomik dengan beratnya keparahan penyakit hati ( Child-Pugh ) p< 0.05 ( tabel .6 ) , sesuai dengan yang dilaporkan Trevisani, Oliver, Hendrickse, Chaudry, Thu luvath, Kempler. Pada pemeriksaan kecepatan hantaran saraf untuk menilai neuropa ti perifer(sensorimotor), pada penelitian ini didapatkan motorik n.median yang a bnormal 16,7%, n. peroneus 23,3% dan n. tibialis 23,3% sedangkan sensorik n. sur alis 66,7%, Page 19 2003 Digitized by USU digital library 19 n. ulnaris 33,3% dan n. median 56,7%. ( tabel.7 ) Saraf sensori neuropati lebih banyak dijumpai daripada saraf motorik neuropati. Oliver pada motorik n. median 13,3%, sensorik n. suralis 16,6 %, sensorik n. median 6,6%., Chaudry mendapatkan neuropati perifer sebanyak 24% pada motorik n. peroneus, Kardel 67,6%, Knill- J ones 14,2%, dan Hakim 73,9%. Penelitian ini mendapatkan adanya hubungan antara n europati perifer dengan beratnya penyakit hati, motorik n. median, peroneus dan tibialis p<0,05 (tabel.8,9,10 ), Sama yang didapatkan Trevisani, Oliver dan Haki m, sedangkan dengan sensorik n. median, suralis dan ulnaris tidak didapat adanya hubungan, p > 0,05 (tabel.11,12,13 ) Pada kepustakaan terdapat variasi prevalen si neuropati perifer berkisar antara 0-90%. Perbedaan ini disebabkan karena bera gamnya kriteria yang digunakan dalam mendeteksi neuropati dan beratnya neuropati yang digunakan untuk menentukan neuropati perifer. Neuropati autonomik yang mer upakan bagian dari generalized sensori-motor polineuropathy , penderita dengan d isfungsi autonomik juga mengalami neuropati perifer ( sensorimotor ). Pada penel itian ini dari 12 penderita disfungsi autonomik, 11 diantaranya juga dijumpai ne uropati perifer , 84%. Chaudry mendapatkan 91%. Pada penelitian ini didapatkan a danya korelasi antara variasi denyut jantung selama bernafas dalam ( R6 ) dengan sensorik n. suralis ; r= 0,057; p < 0,05, RR 30/15 r=

0,456 ; p < 0,05 sedangkan dengan respon tekanan darah berbaring ke berdiri, r= 0,275 ; p > 0,05. Oliver 10 mendapatkan korelasi antara R6 dengan sensorik n. median r =0,35 ; p < 0,05, RR 30/15 dengan motorik n. peroneus r= 0,50; p < 0,01. Pada penelitian ini tidak di dapat adanya korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer sensor ik n. suralis r =0,253 ; p> 0,05 . BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN 5.1 .1. Pada penderita sirosis hati dijumpai adanya disfungsi autonomik dan beratnya disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati. 5.1.2. Pada p enderita sirosis hati dijumpai prevalensi yang tinggi untuk terjadinya neuropati perifer ( sensorimotor ) dan berhubungan dengan beratnya sirosis hati, terutama saraf motorik. 5.1.3 Tidak dijumpai adanya korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer ( sensorimotor ) pada penderita sirosis hati. Page 20 20 03 Digitized by USU digital library 20 5.2 SARAN Perlu penelitian lanjutan dengan cara kohort dengan penderita yang leb ih banyak agar disfungsi autonomik dapat dipakai sebagai prediktor prognostik mo rtalitas pada penderita sirosis hati. BAB VI KEPUSTAKAAN Abergel A, Braillon A, Gaudin C, Kleber G, Lebrec D. Persistence of a hyperdynamic circulation in cirrh otic rats following removal of the sympathetic nervous system. Am J Gastroentero logy 1992; 102:616-60. Asbury AK. Hepatic neuropathy. In: Dick PJ, Thomas PK, La mbert EH, Bunge R. Peripheral neuropathy. 2 th Ed. WB Saunders company, Philadelphia, 1984; 1826-1831. Chari VR, Katiyar BC, Ra stogi BL, Bhattacharya SK. Neuropathy in hepatic disorders: a clinical, electrop hysiological and histopathological appraisal. Journal of the Neurological Scienc es,1977,31:93-111. Chaudhry V, Corse AM, OBrien R, Cornblath DR, Klein AS, Thuluv ath PJ.

Autonomic and peripheral (sensorimotor) neuropathy in chronic liver disease: a c linical and electrophysiology study. Hepatology 1999; 29:1689-1703. Chopra JS, S amantha AK, Murthy JM et al. Role of porta systemic shunt and hepatocellular dam aged in the genesis of hepatic neuropathy. Cin Neurol Neurosurg 1980;82;37-44. a bstrak Consensus statement. Standarized measures in diabetic neuropathy. Diabete s Care. Suppl 1995;18: 59-82 Darmansjah I, Setiawati A, Gan S. Susunan saraf oto nom dan transmisi neurohumoral. Dalam: Gan S. Ed, Farmakologi Terapi, Ed. IV. Ja karta,Balai Penerbit FKUI, 1995; 25 Daube JR. Electrophysiologik testing in diab etic neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PKI, Asbury A, Winergrad A, Porte D (eds). Diabetic Neuropathy, Philadelphia: WB Saunders, 1987; 162-76. Dayan AD, Williams R. Demyelinating peripheral neuropathy and liver disease. Lancet 1967: 15; 133 -4. Decaux G, Gauchie P, Soupart A, Kruger M, Delwiche F. Role of vagal neuropat hy in the hyponatraemia of alcoholic cirrosis, Br Med J 1986; 293:1534-36 Page 2 1 2003 Digitized by USU digital library 21 Ewing DJ, Clarke BF. Diagnisis and management of diabetic autonomic neuropathy. BMJ 1982; 285:916-8 Ewing DJ, Martyn CN, Young RJ, Clarke BF. The value of cardi ovascular autonomic function test: 10 years experience in diabetes. Diabetes Car e 1985; 8:491-8. Fleckenstein JF, Frank SM, Thuluvath PJ, Pre sence of autonomic neuropathy is a poor prognostic indicator in patients with advanced liver disea se. Hepatology 1996; 23:471-5. . Frieling T. Autonomic dysfunction and liver dis ease. In: Liver and nervous system. Disampaikan pada: Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no. 103, Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997. Griffi n J. Disorder of the peripheralnervous system. Johns Hopkins School of Medicine Lecture Notes, The Johns Hopkins University 1997. Groszmann RJ. de Francis R, Po rtal hypertension. In: Schiff ER, Sorell MF, Madrey

WC.Eds .Schiff disease of the liver. Lippincot Raven Publisher. Philadelphia 199 9:1:387-93 Groszmann RJ. Hyperdynamic circulation of liver disease 40 years late r: Pathophysiology and clinical consequences. Hepatology 1994; 20:1359-63. Hadi S. Sirosis Hati. Dalam : Gastroenterologi. Edisi I, Bandung. Alumni , 1991:49452 9. Hadi S. Prevalensi hepatitis B dan C pada penderita penyakit hati kronis. Act a Medica Indonesiana 1994, XXVI; 111-119. Hakim M, Wibowo BS, Purba JS, Husodo U B. Peripheral neuropathy in cirrhosis patient: Correlation between the severity of liver dysfunction and the degree of peripheral neuropathy. ASNA ,Kuala Lumpur 22-24 Maret 2001.abstrak Hendrickse MT, Thuluvath PJ, Triger DR. Natural histor y of autonomic neuropathy in chronic liver disease. Lancet 1992; 332:1462-4 Hend rickse MT, Triger DR. autonomic dysfunction in chronic liver disease.. Clin Auto n Res 1993;3:227-31.abstrak Henriksen JH, Moller S, Larsen HR, Christensen NJ. S ympathetic nervous system in liver disease. Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no 103, Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997. abstrak Kempler P , Varadi A, Szalay F. Autonomic neuropathy in liver disease. Lancet 1989; 2:1332 . Kennet RP. Nerve conduction and electromyography.Medicine 1996;10:26-28 Keresz tes K, Marton A, Hermanyi ZS, et al. Improvement of cardiovascular autonomic and peripheral sensori nerve function after orthotopic liver transplantation. In: P age 22 2003 Digitized by USU digital library 22 Liver and nervous system. Disampaikan pada: Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no. 103, Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997. abstrak Knill-Jo nes RP, Goodwill CJ, Dayan AD, Williams R. Peripheral neuropathy in chronic live r disease: clinical, electrodiagnostic, and nerve biopsy findings. J Neurol Neur osurg Psych 1972; 35:22-30. Madiyono B, Moeslichan D, Budiman I, Purwanto SH. Pe rkiraan besar sample. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S (eds). Dasar-dasar metodol ogi penelitian klinis. Jakarta, Binarupa Aksara, 1995; 187-212. Meh D, Denislic M. Complex rehabilitation, Peripheral neuropathy: neurology and

psychiatry hand in hand. In: Invited Symposium. 6 th Internet world congress for biomedical sciences. Merican I. Complication of Chir rosis. In: Guam R, Kang JY, Ng HS. (Eds). Management of Common Gastroenterologic al problems a Malaysia and Singapore perspective 2 nd Ed, Singapore Medimedia Asia, 1995:166-82. Murti B. Memilih uji statistik yang s esuai. Dalam Murti B Ed. Penerapan metode statistik non parametrik dalam ilmu ke sehatan.Jakarta,Gramedia, 1996:20-2 Noback CR, Demarest RJ. Anatomi mikroskopik dasar. In: Anatomi susunan saraf manusia: Prinsip-prinsip dasar neurobiologi. 2 th Ed.Jakarta, EGC; 35-64. O Brien IA, OHare P, Corrall RJM. Heart rate variability in health subjects: effect of age and variation of normal ranges for test of au tonomic function. Br Heart J 1986;55:348-54 Oliver MI, Miralles R, Rubies-Part J , Navarro X, Espadaler JM, Sola R, Andreu M. Autonomic dysfunction in patients w ith non alcoholic chronic liver disease. J Hepatol 1997; 26:1242-8. Pagan JCG, S antos C, Barbera JA. Physical exercise increases portal pressure in patients wit h cirrhosis and portal hypertension. J Gastroenterol 1996; 111:1300-6 Perdossi. Neuropati. Dalam: Harsono Ed. Buku ajar neurologi klinis. Yogjakarta, Gajah Mada Univesity Press. 1999.303-6 Poncelet AN. An algorithm for the evaluation of per ipheral neuropathy.American Family Physician. 15 Feb. 1998 Pugh RN, Murray-Lyon IM, Dawson JL, Pietroni MC, Williams R. Transection of the oesophagus for bleedi ng oesophageal varices. Br J Surg 1973; 60:646-9. Puthumana L, Chaudry V, Thuluv ath PJ. Prolong QTc interval and its relationship to autonomic cardiovascular re flexes in patients with cirrhosis. Journal of Hepatology 2001;3:733-738 Senevira tne KN, Peiris OA. Peripheral nerve function

You might also like