You are on page 1of 22

MAKALAH

HUKUM PERBANKAN KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT BANK

Disusun Oleh: Rinolia G. N. Mongkau Grieth C. B. Rompis

Dosen: Rietha Lontoh, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO 2013

A.

PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR KREDIT PEMBIAYAAN

(BANK) DAN

Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang dengan membayar cicilan atau angsuran di kemudian hari atau memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan cara membayar angsuran atau cicilan sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk uang atau barang. Baik kredit berbentuk uang maupun barang dalam hal pembayarannya dengan menggunakan metode angsuran atau cicilan tertentu (Kasmir, 200: 72). Kata kredit berasal dara bahasa Latin creditus yang merupakan bentuk past participle dari kata credere (lihat pula credo dan creditum, yang berarti to trust atau faith. Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan (Munir Fuady, 1996: 5 dan D. Gandaprawira, 1992: 1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiam kata kredit kata kredit antara lain diartikan: 1) 2) Pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian mengangsur, Pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang disizinkan oleh bank atau badan lain. Secara yuridis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua istilah itu, yaitu pertama, kata kredit, istilah yang digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan kedua, kata pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, istilah yang digunakan pada bank syariah. Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan


________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 1 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

pinjam-meminjam atara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu: Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Kemudian pengertian pembiayaan tersebut lebih diperjelas lagi dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang menyatakan sebagai berikut: Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan denga itu dalam: a. transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad Mudharabah dan/atau Musyarakah; b. transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Akad Ijaah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah Muntahiyah bit Tamlik); c. transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad Murabahah, Salam, dan Istishna; d. transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad Qardh; dan e. transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Kafalah. Pengertian yang sama kembali juga dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 2 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Pembiayaan

adalah

penyediaan

dana

atau

tagihan

yang

dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah atau

musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang Muraba, Salam, dan Istishna; d. e. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk Qardh; dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk transaksi multijasa. Apabila ditelusuri pengertian kredit itu lebih lanjut, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam makna kredit tersebut, yaitu: 1. kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu; 2. waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dan pelunasan kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih dahulu disetujui atau disepakati bersama antara pihak bank dan nasabah peminjam dana; 3. prestasi dan kontraprestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat persetujuan atau kesepakatan pemberian kredit yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara bank dan nasabah peminjam dana, yaitu berupa uang atau tagihan yang diukur dengan uang dan buanga atau imbalan, atau bahkan tanpa imbalan bagi bank syariah; 4. resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin akan terjadi selama jangka waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 3 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

wanprestasi dari nasabah peminjam dana, diadakanlah pengikatan jaminan (agunan).

B.

PRINSIP-PRINSIP DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK Pemberian kredit oleh bank tersebut merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, yang sebagai asset utama serta sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi dan usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Disamping menjalankan fungsi pengerahan dana masyarakat, bank juga menjalankan fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam kenyataanya, kredit yang diberikan bank tadi sebagian besar tidak dapat dikembalikan secara utuh oleh nasabah debiturnya, yang membawa resiko usaha bagi bank yang bersangkutan, akhirnya menimbulkan kredit-kredit macet (dubious). Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung suatu resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mencegah, mengurangi dan menetralisir terjadinya resiko tersebut, maka dunia perbankan diharuskan untuk melaksanakan prinsip prudential banking atau prinsip kehati-hatian bagi bank. Berdasarkan prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam memberikan kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

kewajibannya sesuai dengan yang duperjanjikan. Dengan adanya keyakinan tersebut, bank berharap banyak agar kredit yang diberikannya kepada nasabah debitur tidak menjadi kredit bermasalah, atau bahkan menjadi kredit macet dikemudian hari.
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 4 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dalam melakukan pemberian kredit, bank diwajibkan untuk memperhatikan asasasas perkreditan yang sehat dan nprinsip kehati-hatian. Ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan, bahwa: (1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan

kemampuan serta kesanggupa Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. (2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, sebelum menentukan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap unsur-unsur pokok yang menjadi tolak ukur dalam pemberian kredit, yang lazim disebut dengan the five C of credit analysis atau prisnsip 5 Cs, meliputi: 1. Penilaian watak/kepribadian (character) Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan iktikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. 2. Penilaian kemampuan (capacity) Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya. 3. Penilaian terhadap modal (capital)

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 5 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan dating, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang bersangkutan. 4. Penilaian terhadap agunan (collateral) Bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau pembiayaan yang tersisa. 5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy) Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luarnegeri, baik masa lalu maupun yang akan dating, sehingga masa depan pemasaran dari hasilo proyek atau usaha calon debitur yang dibiayainya dapat pula diketahui.

Bank dalam memberikan kredit, selain menerapkan prinsip 5 C, juga hendaknya menerapkan prinsip lainnya yang dinamakan dengan prinsip 5P yang terdiri atas: 1. Party (Para Pihak) Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakter, kemampuan, dan sebagainya 2. Purpose (Tujuan) Harus apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal positif yang benarbenar dapat menaikan income perusahaan dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit. 3. Payment (Pembayaran)

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 6 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti, debitur punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya. 4. Prifitability (Perolehan Laba) Kreditor harus beratisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kredit, cash flow, dan sebagainya. 5. Protection (Perlindungan) Perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding, atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan. Terutama untuk berjaga-jaga sekiranya hal-hal di luar scenario atau di luar prediksi semula (Munir Fuady, 1996: 24-26).

Selain menggunakan prinsip pemberian kredit di atas, bank dalam memberikan kredit juga menggunakan prinsip 3 R, yaitu: 1. Returns (Hasil yang Diperoleh) Hasil yang diperoleh debitur, dalam hal ini ketika kredit telah dimanfaatkan dan dapat diantisipasi oleh calon kreditor. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, di samping membayar keperluan perusahaan yang lain sepertu untuk cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya. 2. Repayment (Pembayaran Kembali) Harus dipertimbangkan apakah kemampuan bayar debitur bisa match dengan schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan bank. Ini juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Risk Bearing Ability (Kemampuan Menanggung Resiko) Hal lain yang perlu diperhatikan juga sejauh mana terdapatnya kemampuan debitur untuk menanggung resiko. Misalnya dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu, harus diperhitungkan apakah misalnya jaminan dan/atau asuransi barang
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 7 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

3.

atau kredit sudah cukup aman untuk menutupi resiko tersebut (Munir Fuady, 1996: 25-27).

Disamping prinsip-prinsip di atas, beberapa prinsip lain dalam hal pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang mesti diperhatikan oleh suatu bank, yaitu: 1. Prinsip Matching Dalam hal ini harus match antara pinjaman dengan asset perseroan, jangan sekali-kali memberikan suatu pinjaman berjangka waktu pendek untuk kepentingan pembiayaan/investasi yang berjangka panjang. Karena hal tersebut mengakibatkan terjadi mismatch. 2. Prinsip Kesamaan Valuta Penggunaan dana yang di dapatkan dari suatu kredit sedapat-dapatnya haruslah digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama, sehingga resiko nilai valuta dapat dihindari. 3. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Modal Harus ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dan

besarnya modal. Jika pinjaman terlalu besar disebut high gearing, sebaliknya jika pinjaman kecil disebut low gearing. Post permodalan earning yang akan didapat oleh perusahaan tidak fixed, sedangkan cost terhadap suatu pinjaman relative tetap. Oleh karena itu, kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable. 4. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Aset Alternative lain untuk menekan resiko adalah dengan

memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan aset, yang juga dikenal dengan gearing ratio.

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 8 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Ada pula prinsip penilaian kredit yang disebut dengan istilah studi kelayakan. Studi kelayakan digunakan terutama untuk kredit dalam jumlah relative besar. Penilaian ini meliputi: 1. Aspek Hukum Menilai keabsahan dan keaslian dokumen-dokumen atau surat-surat yang dimiliki oleh calon debitur, seperti akta notaris, izin usaha atau sertifikat tanah dan dokumen atau surat lainnya. 2. Aspek Pasar dan Pemasaran Menilai prospek usaha nasabah sekarang dan yang akan dating. 3. Aspek Keuangan Menilai kemampuan calon nasabahnya dalam membiayai dan mengelola usahanya. 4. Aspek Operasi/Teknis Menilai tata letak ruangan, lokasi usaha dan kapasitas produksi usaha yang tercermin dari sarana dan prasarana yang dimilikinya. 5. Aspek Manajemen Menilai sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan, baik dari segi kuantitas maupun segi kualitas. 6. Aspek Ekonomi/Sosial Menilai dampak ekonomi dan social yang ditimbulkan dengan adanya usaha terutama terhadap masyarakat, apakah lebih benefit atau cost atau sebaliknya. 7. Aspek AMDAL Menilai dampak lingkungan yang akan timbul dengan adanya suatu usaha, kemudian cara-cara pencegahan terhadap dampak tersebut (Kasmir, 2000: 94-95).

C.

PENGERTIAN, KEGUNAAN, DAN FUNGSI JAMINAN KREDIT (BANK) DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK 1. Pengertian Jaminan Kredit (Bank) dan Perbedaan dengan Agunan (Bank)

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 9 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Pengertian kata jaminan (kredit) dalam perspektif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimanan telah diubah dengan undangUndang Nomor 10 Tahun 1998 berbeda dengan makna kata jaminan (kredit) dalam perpektif Hukum Jaminan. Makna jaminan dalam perpektif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 lebih luas dibandingkan dengan makna jaminan yang selama ini keta kenal. Disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa: Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasrkan analisis yang mendalam atas iktikad dan untuk

kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur

melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Sementara itu dalam penjelasan atas Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain dinyatakan: Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah diperoleh keuakinan, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dihubungkan dengan Penjelasannya, diketahui bahwa makna kata jaminan tidak sama dengan makna kata agunan, karena agunan hanyalah salah satu unsur dari pemberian kredit. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan istilah jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 10 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Syariah, yang dimaknai atau berwujud keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Padahal selama ini yang dimaksud dengan jaminan (pemberian) kredit atau pembiayaan dengan Prinsip Syariah adalah agunan, yang dalam hal ini umumnya berwujud benda tertentu yang bernilai ekonomis duna dipakai sebagai pelunasan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah jika nasabah debiturnya wanprestasi (badingkan Rachmadi Usaman, 2001: 281-282). Sutan Remy Sjahdeini tidak sependapat dengan dipakainay istilah jaminan pemberian kredit tersebut oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998). Dengan diberikannya pengertian jaminan (pemberian) kredit sama dengan keyakinan bank kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan

diperjanjikan, maka arti dari jaminan (pemberian) kredit itu telah bergeser, sehingga tidak sesuai lagi dengan pengertiannya yang lazim dikenal selama ini (Sutan Remy Sjahdeini, 1993a: 20). Demikian pula dari Penjelasa atas Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah membedakan antara pengertian agunan dan jaminan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tidak dikenal istilah agunan, yang ada istilah jaminan. Ini berarti, bahwa jaminan (pemberian) kredit yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) bukanlah jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral sebagai bagian daripada 5 Cs. Istilah colletereal oleh UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) diartikan dengan agunan (bandingkan Sutan Remy Sjahdeini, 1993a: 20).
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 11 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

2.

Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit (Bank) dalam Pemberian Kredit (Bank) Adapun kegunaan jaminan kredit tersebut, yaitu: a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian; b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk

meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurangkurangnya diperkecil. c. Memberikan dorangan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syaratsyarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan ayng telah dijaminkan kepada bank (Bank Indonesia, 1994: 3 dan Thomas Suyatno, et.al, 1995: 88). kemungkinan untuk berbuat demikian dapat

D.

PEMBATASAN DAN LARANGAN DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK Pemberian yang hanya terkonsentrasikan pada hanya beberaba nasabah mengandung resiko tinggi, karena kehidupan bank hanya akan bergantung pada beberapa nasabah tersebut. Resiko ini lebih besar lagi kalau kredit tersebut diberikan pada perusahaan-perusahaan orang dalam, karena pada umumnya kredit yang demikian ini diberikan secara kurang wajar, artinya penilaian kreditnya dilakukan kurang objektif, persyaratan biasanya lebih longgar dibandingkan kredit lainnya, dan pada saat perusahaan grup orang dalam tersebut mengalami kesulitan, bank tidak mampu bertindak secara

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 12 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

tegas. Untuk mencegah pemberian kredit yang berlebihan tersebut di beberapa negara diatur secara tegas, bahkan dalam undang-undang. Mengingat terdapat hubungan yang signifikan antara kegagalan usha bank dengan konsentrasi penyediaan dana, maka bank dilarang untuk memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK ini merupakan sarana pengawasan penyaluran kredit bank. BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan oleh modal bank, yang diberikan kepada peminjam atau sekelompok peminjam tertentu. Bank Indonesia (BI) diberikan wewenang untuk menetapkan BMPK untuk masing-masing peminjam atau sekelompok peminjam, termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama sesuai dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, maka ketentuan BMPK dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu: 1. Jenis BMPK 30% (tiga puluh oersen) BI dapat menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 30% dari modal bank, tetapi tidak boleh melebihi 30% dari modal bank yang bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepad apeminjam, sekelompok peminjam, termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. 2. Jenis BMPK 10% (sepuluh persen) BI dapat menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 10% dari modal bank, tetapi tidak boleh melebihi 10% dari modal bank yang bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepada: a. b. c. Pemegang saham yang bersangkutan; Anggota dewan Komisaris; Anggota Direksi;

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 13 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

d.

Keluarga dari pihak pemegang saham yang bersangkutan. Anggota dewan Komisaris, dan anggota dewan Direksi;

e. f.

Pejabat bank lainnya; dan Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak pemegang saham yang bersangkutan, anggota dewan Komisaris, anggota Direksi, keluarga pemegang saham yang bersangkutan, dan pejabat bank lainnya.

Disebutkan dalam ketentuan pasal 11 ayat (4A) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit (BMPK) atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Bang dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan BMPK apabila pada saatnya pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan Bank Indonesia (BI). Pelanggaran terhadak ketentuan BMPK tersebut selain dapat dikenakan sanksi, juga dapat diperhitungkan dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Ketentuan mengenai BMPK ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2006. 1. Ketentuan BMPK bagi Bank Umum Ketentuan BMPK bagi Bank Umum diatur lebih lanjut: a. BMPK kepada Pihak Terkait Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank ditetapkan paling tinggi 10% dari modal bank. b. BMPK kepada Pihak Tidak Terkait BMPK ditetapkan paling tinggi 20% dari modal bank. Sedangkan penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam yang bukan merupakan pihak terkait ditetapkan paling tinggi 25% dari modal bank.
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 14 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

c.

Penyediaan dana oleh bank dikategorikan seabgai Pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh hal-hal dikarenakan penurunan modal bank, penurunan nilai tukar, perubahan nilai wajar, penggabungan usaha dan/atau perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan/atau kelompok peminjam; dan perubahan ketentuan.

d.

Terhadap Pelampauan BMPK dan Pelanggaram BMPK, bank diwajibkan menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada BI. Action plan dimaksud wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian pelanggaran BMPK dan/atau pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian.

2.

Ketentuan BMPK bagi BPR Ketentuan BMPK bagi BPR diatur lebih lanjut: a. BMPK kepada Pihak Terkait BMPK ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10% dari modal bank. b. BMPK kepada Pihak Tidak Terkait BMPK ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 20% dari modal bank. c. Terhadap pelampuan BMPK,bank diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia, dan selain itu juga dikenakan sangsi dalam penilaian tingkat kesehatan. d. Terhadap pelanggaran BMPK, dapat dikenakan sanksi dalam penilaian tingkat kesehatan dan diancam dengan sanksi pidana. Selain pembatasan dalam BMPK, diatur pula pembatasan dalam

pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/3/UKU masing-masing tanggal 28 Pebruari 1991 telah mengatur pembatasan pemberian kredit untuk
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 15 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

pembelian dan pemilikan saham oleh bank. Disebutkan, bahwa bank tidak diperkenankan atau dilarang: a. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pembelian kredit investasi, untuk pembiayaan barang modal (aktiva

tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan di pasar modal; b. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi dalam rangka pengawasa dan pembinaan bank oleh Bank Indonesai (BI). Ketentuan tersebut disempurnakan lagi dengan SK Direksi BI Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran BI Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit pada perusahaan sekuritas dan kredit dengan agunan saham. Disebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan pembatasan dalam pemberian kredit Bank untuk jual beli saham, yaitu: a. Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan tambahan berupa saham perusahaan lain; b. Bank dilarang memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan yang bukan perusahaan sekuritas untuk jual beli saham, kecuali pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pemberian saham bank yang bersangkutan.

E.

PEMBERIAN

KREDIT

BANK

BERDASARKAN

PEDOMAN

PERKREDITAN BANK Dalam kaitan dengan kegiatan usaha memberikan kredit, nak diwajibkan untuk memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prisnsip Syariah. Kewajiban ini disebutkan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa bnk umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 16 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Berdasarkan ketentuan dalam pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dihubungkan dengan Penjelasannya, maka hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan oleh bank dalam pemberian kredit, yaitu: a. Pemberian kredit atau pembiayaan syariah harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis; b. Bank harus mempunyai keyakinan atas kemampuan serta

kesanggupan nasabh debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur; c. Bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang telah disusunya sendiri; d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan pemberian kredit atau pembiayaan syariah; e. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan syariah dengan persyaratan berbeda kepada nasabah debitur dan/atau pihak-pihak terafiliasi. Selain itu bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prisnsip Syariah juga harus pula memperhatikan hasil AMDAL bagi perusahaan berskala besar dan/atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelesterian lingkungan. Sebelumnya Bank Indonesia pernah mengeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/127/KEP/DIR tangal 31 Maret 1995 perihal Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa bank umum wajib memiliki Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB) secara tertulis dan wajib disetujui oleh dewan Komisaris bank, yang minimal harus memuat semua aspek yang telah ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank.
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 17 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

KPB dimaksud minimal meuat dan mengatur hal-hal pokok sebagaimana ditetaokan dalam PPKPB, sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. Prinsip kehati-hatian dalam pekreditan; Organisasi dan manajemen perkreditan; Kebijaksanaan persetujuan kredit; Dokumentasi dan administrasi kredit; Pengawasan kredit; Penyelesaian kredit bermasalah. Adapun tujuan dari KPB ini untuk mengoptimalkanpendapatan dan mengendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas-asas perkredtian yang sehat. Selain itu, dengan penerapan dan pelaksanaan KPB secara konsekuen dan konsisten, diharapkan bank dapat terhindar dari

kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam pemberian kredit.

F.

PENGGOLONGAN KREDIT BANK BERDASARKAN KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF BANK Dalam rangka mengelola resiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian, bank wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib membentuk penyisihan dan penghapusan aktiva. Oleh karena itu, aset yang dinilai kualitasnya mencakup aktiva produktif dan aktiva nonproduktif. Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan sejumlah Peraturan Bank Indonesia berkenaan dengan penilaian kualitas aktiva produktif perbankan, yaitu: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah berturut-turut dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007; 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Penyisihan Penghapusan Aktifa Produktif Bank Perkreditan Rakyat.

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 18 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

3.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007.

4.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Dalam penetapan kualitas kredit, Bank Umum wajib memperhatikan

factor-faktor penilaian sebagai berikut: 1. Prospek usaha, yang meliputi penilaian terhadap komponenkomponen: a. b. c. d. e. Potensi pertumbuhan usaha; Kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan; Kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; Dukungan dari grup atau afiliasi; dan Upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. 2. Kinerja (Performance) debitur, meliputi penilaian terhadap

komponen-komponen a. b. c. d. 3. Perolehan laba; Struktur permodalan; Arus kas; dan Sensitivitas terhadap risiko pasar. membayar debitur, meliputi penilaian terhadap

Kemampuan

komponen-komponen: a. b. c. d. e. f. Ketetapan pembayaran pokok dan bunga; Ketersediaan keakuratan informasi keuangan debitur; Kelengkapan dokumentasi kredit; Kepatuhan terhadap perjanjian kredit; Kesesuaian penggunaan dana; dan Kewajaran sumber pembayaran kewajiban.

Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap factor-faktor penilaian sebagaimana dimaksud di atas dengan
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 19 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

mempertimbangkan komponen-komponen yang terdapat dalam masingmasing faktor penilaian dan mempertimbangkan pula: 1. Signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen, serta 2. Relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian sebagaimana di sebutkan di atas, maka kualitas kredit dapat ditetapkan menjadi: 1. 2. 3. 4. 5. Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet. Menurut ketentuan Bank Indonesia di atas, bahwa kualitas suatu surat berharga yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan memiliki kualitas lancar sepanjang memenuhi persyaratan: 1. 2. 3. Aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia; Terdapat informasi nilai pasar secara transparan; Kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan 4. Belum jatuh tempo. Terhadap surat berharga yang tidak memenuhi persyaratan sebagai surat berharga yang aktif diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia dan/atau terdapat informasi nilai pasar surat berharga yang bersangkutan secara transparan atau surat berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan sebagai berikut: 1. Lancar, apabila: a. b. Memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi; Kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan c. Belum jatuh tempo.

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 20 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

2.

Kurang Lancar, apabila: a. b. Memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi; Terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan c. atau a. Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah peringkat investasi. b. Tidak terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan c. Belum jatuh tempo. Belum jatuh tempo.

3.

Macet, apabila surat berharga tidak memenuhi kriteria di atas.

________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT HUKUM PERBANKAN 21 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

You might also like