You are on page 1of 15

1

POTENSI DAN PERMASALAHAN DALAM


KEBIJAKAN INDUSTRI PARIWISATA DAERAH
Studi Kasus Pariwisata Sumatera Barat

Oleh : E l f i t r a
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas

1. Pendahuluan

S
umatera Barat adalah sebuah propinsi yang terletak di pantai barat

bagian tengah pulau Sumatera. Sebagian besar dari penduduknya

adalah etnik Minangkabau yang dikenal sebagai penganut agama Islam yang

taat. Meskipun juga ditemukan berbagai suku bangsa lain, secara umum

daerah ini relatif homogen secara etnik. Orang Minang sejak lama memiliki

tradisi merantau (voluntary migration) yang dipengaruhi oleh alasan ekonomi

dan struktur adat istiadat lainnya. Maka dari itu tidak mengherankan kalau

orang Minangkabau akan mudah ditemukan di berbagai pusat-pusat ekonomi

dan perdagangan di berbagai kota besar di Indonesia.

Propinsi ini mempunyai luas wilayah 42.229,64 Km persegi. Penduduk

Sumatera Barat pada tahun 2000 berjumlah sekitar 4.220.318 jiwa yang terdiri

dari 2.070.602 jiwa laki-laki dan 2.149.716 jiwa perempuan. Kepadatan

penduduk Sumatera Barat rata-rata 99,94 jiwa/km2 dengan kepadatan


2

penduduk tertinggi 3.801 jiwa/km di Kota Bukittinggi dan kepadatan

penduduk terendah 50,29 jiwa/km di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung.

Khusus Kepulauan Mentawai penduduk rata-rata sebanyak 9 jiwa per km

persegi. Mata pencarian penduduk Sumatera Barat sebagian besar pada sektor

pertanian, industri rakyat/kerajinan dan perdagangan yang berskala kecil.

Data statistik tahun 2001 menunjukkan gambaran bahwa sekitar 21% dari

penduduk hidup dari sektor pertanian, 16% pada sektor industri dan sisanya

63% hidup pada sektor lainnya seperti perdagangan, pertambangan,

bangunan, listrik dan sektor jasa lainnya.

Orang Minangkabau membagi wilayah adatnya menjadi dua; luhak dan

rantau. Luhak dianggap sebagai wilayah inti secara adat dan kebudayaan,

yang sebenarnya merujuk kepada wilayah dataran tinggi yang sekarang

mencakup Kabupaten Tanah Datar, Agam dan Kabupaten 50 Kota. Sementara

di luar wilayah inti ini disebut daerah rantau yang mencakup daerah pesisir

sekaligus. Hampir keseluruhan dari wilayah propinsi ini dilintasi oleh jajaran

perbukitan (Bukit Barisan) yang memanjang dari utara ke selatan. Di bagian

dataran tinggi memiliki hawa yang sejuk dengan topografi berombak-ombak,

di antara ketiga kawasan luhak merupakan deretan gunung-gunung yang

indah menjulang, seperti Gunung Marapi (2.891 m), Sago, Singgalang (2.877

m), dan Gunung Tandikek (2.438 M). Di sebelah bagian utara, yakni
3

kabupaten Pasaman berdiri Gunung Pasaman (2.190 m) dan Talamau (2.913

m), sementara bagian selatan luhak dijumpai Gunung Talang dan Kerinci

(3.805 m).

Diantara cekukan gunung-gunung dan perbukitan tersebut dijumpai

sejumlah danau yang menawan, yakni danau Maninjau yang terletak di

daerah Agam serta sejumlah danau yang terletak di wilayah kabupaten Solok,

yakni Danau Singkarak, Talang serta Danau Diatas dan Dibawah. Dua danau

yang disebut terakhir lebih dikenal sebagai “danau kembar” terletak di daerah

Alahan Panjang yang dingin, yakni sekitar 14-16 derajat celsius.

Demikian juga halnya sepanjang pesisir barat, laut ombak Samudera

Indonesia biru terbentang menjadikan pantai-pantainya memiliki panorama

yang indah. Di depan pesisir tersebut berjejer sejumlah pulau-pulau, terutama

kepulauan Mentawai yang didiami oleh orang Mentawai yang memiliki

budaya dan tradisi yang eksotik. Suku ini dikenal sebagai salah satu kelompok

suku terasing di Nusantara yang hidup dengan cara-cara tradisional serta

masih kuatnya ketergantungan mereka terhadap ekologi hutan.

Kondisi alam yang demikian tentu saja menjadi sebuah potensi besar

bagi pengembangan industri pariwisata di masa datang. Dalam era otonomi

daerah saat ini melirik ekonomi ini menjadi momentum yang tepat sekaligus

tantangan bagi Sumatera Barat yang memang minus dari segi sumber daya
4

alam. Nampaknya sektor pariwisata menjadi sektor yang paling

memungkinkan untuk peningkatan PAD, bila dibandingkan alternatif

ekonomi lainnya. Sejumlah program pembangunan dalam rangka mendukung

pariwisata sebagai langkah awal memang telah terwujud, setidaknya dengan

telah dibangunnya bandar udara kelas internasional (MIA) di Ketaping dan

pembenahan sejumlah objek wisata, seperti Pantai Padang.

2. Prasarana dan Sarana dalam Industri Pariwisata

Sebelum berbicara lebih jauh tentang pembangunan pariwisata di

Sumatera Barat, sebaiknya tulisan ini diawali dengan uraian pengantar

tentang konsep dan teoretisasi sederhana tentang industri pariwisata itu

sendiri. Terutama yang menyangkut konsep pariwisata, wisatawan dan

sejumlah infrastruktur dan sarana yang terkait dengan itu.

Menurut Schulalard, yang dimaksud dengan pariwisata adalah

sejumlah kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan keluar masuk

dan berdiamnya orang-orang asing dalam suatu kota, daerah atau negara.

Definisi ini memang berbau ekonomi-sentris sehingga mengabaikan aspek-

aspek non-ekonomi dalam kegiatan kepariwisataan. Pengertian teknis tentang

pariwisata dimaksudkan sebagai keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkan

oleh perjalanan dan berdiamnya orang-orang asing serta pelayanan tempat


5

tinggal sementara, dengan pengertian berdiam bukan untuk menetap tinggal

dan tidak memperoleh penghasilan dari kegiatannya tersebut.

Batasan pengertian pariwisata menurut Salah Wahab (1975) hendaknya

memperlihatkan anatomi dari tiga unsur, yaitu; manusia (man), orang yang

melakukan perjalanan wisata; ruang (space), daerah atau ruang lingkup tempat

melakukan perjalanan; dan waktu (time), yakni waktu yang digunakan selama

dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan. Untuk itu dia merumuskan

pengertian pariwisata sebagai berikut :

“A proposeful human activity that serves as a link between people either within
one same country or beyond the geographical limits or states. It involves the
temporary displacement of people to another region, country or continent for
the satisfaction of varied needs other than exercising a renumerated function.
For the concerned tourism is an industry who “product” are consumed on the
spot forming “invisible-exports”. The benefit accuring there from can be
withnessed in the economic, cultural and social life of its community”.

Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan untuk sementara

waktu ke tempat atau daerah yang sama sekali masih asing baginya (Yoeti,

1996). Karena jauh dari tempat tinggalnya, maka ia memerlukan pelayanan

sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, yakni semenjak ia berangkat

sampai di tempat tujuan hingga kembali pulang. Sebelum seseorang

memutuskan untuk melakukan perjalanan wisata, tentu saja dia ingin

mengetahui terlebih dahulu tentang sejumlah hal seperti : fasilitas transportasi

yang akan digunakan, akomodasi penginapan dan ketersediaan makanan dan


6

minuman di tempat tujuan wisata nanti. Selanjutnya tentang seluk beluk objek

dan atraksi wisata yang ada, aktivitas yang dapat dilakukan oleh wisatawan

selama berkunjung dan sarana belanja dan souvenir (buah tangan) untuk

dibawa pulang.

Oleh karena itu sebelum kita mempromosikan daerah tujuan wisata,

semua hal yang menyangkut prasarana dan sarana wisata sudah harus

disediakan. Prasarana adalah semua fasilitas yang dapat memungkinkan

proses perekonomian (industri wisata) berjalan sedemikian rupa, sehingga

memudahkan manusia (wisatawan) untuk memenuhi kebutuhannya. Pakar

pariwisata L.A. Kreck (dalam Yoeti, 1996) membagi prasarana menjadi dua

bagian, yaitu; prasarana ekonomi (economic infrastructure) dan prasarana sosial

(social infrastructure). Prasarana ekonomi mencakup; transportasi, komunikasi,

utilities (air, listrik serta sumber-sumber energi lain) dan sistem perbankan.

Sementara yang dimaksud dengan prasarana sosial adalah semua faktor yang

menunjang dan menjamin kelangsungan industri wisata itu sendiri, seperti;

lembaga pendidikan pendukung (school system), layanan kesehatan (health

service facilities), keamanan (safety), dan aparat dan petugas (government

apparatus).

Salah Wahab dalam bukunya Tourist Management (1975) membagi

prasarana menjadi tiga bagian penting, yakni; prasarana umum (general


7

infrastructures), kebutuhan masyarakat banyak (basic needs of civilized life) dan

prasarana kepariwisataan (tourist infrastructures). Yang dimaksud dengan

prasarana umum adalah prasarana yang menyangkut kebutuhan orang

banyak (publik) yang pengadaannya bertujuan untuk membantu kelancaran

roda perekonomian, seperti listrik, air bersih, jaringan jalan dan transportasi,

irigasi dan telekomunikasi. Untuk ketersediaan basic needs of civilized life

adalah seperti; rumah sakit, apotek, bank, kantor pos, SPBU dan administrasi

kepemerintahan. Yang dimaksud dengan prasarana kepariwisataan

diantaranya, receptive tourist plant; segala bentuk organisasi yang kegiatannya

khusus untuk mempersiapkan kedatangan wisatawan pada daerah tujuan

wisata, residental tourist plant; semua fasilitas yang dapat menampung

kedatangan wisatawan untuk menginap dan tinggal, dan recreative and sportive

plant; semua fasilitas yang dapat digunakan untuk tujuan rekreasi dan olah

raga di tempat tujuan wisata.

3. Realitas Faktual dan Persoalan Pariwisata

Ketersediaan prasarana dan sarana untuk itu jelas memegang peranan

yang penting, dengan demikian diharapkan adanya usaha yang aktif bagi

pemerintah daerah di Sumatera Barat untuk menjamin keberlangsungan

faktor-faktor pembangunan pariwisata tersebut. Dengan menggunakan


8

indikator seperti yang sudah dijelaskan di atas, masih terlihat sejumlah

kelemahan mendasar dalam pengelolaan pariwisata selama ini. Ini dengan

dengan mudah dapat kita saksikan di sejumlah objek wisata yang ada, dimana

objek-objek tersebut kebanyakan tidak diurus secara baik, malah kadang

terkesan dibiarkan terbengkalai begitu saja. Belum lagi kurangnya perhatian

akan masalah kebersihan di sejumlah pantai-pantai yang menjadi objek

wisata.

Keamanan dan kenyamanan (kepuasan) merupakan salah satu faktor

penting bagi wisatawan selama berkunjung. Karena tujuan dan motivasi

utama berwisata itu sendiri untuk bersenang-senang (leisure), relaksasi, dan

memperoleh kenyamanan setelah penat menjalani rutinitas (bekerja) dan

alieanasi dalam jangka waktu tertentu di lingkungan kerja. Akan tetapi faktor

ini sering terabaikan dalam realitas kepariwisataan di Sumatera Barat. Banyak

wisatawan yang memperoleh perlakukan yang tidak mengenakkan di

terminal bus, bandar udara oleh para calo ataupun para petugas lainnya. Di

kota Padang sebagian besar sopir taksi tidak menggunakan tarif resmi dalam

menetapkan ongkos kepada penumpang. Belum lagi kasus-kasus kecopetan

uang dan kamera yang sering dialami oleh turis asing di berbagai objek wisata

atau tempat penginapan.


9

Malah harus diakui, dalam hal pelayanan di berbagai hotel dan

restoran sekalipun masih sering dijumpai sejumlah kelemahan terutama yang

menyangkut lambannya pelayanan kepada konsumen. Ini menunjukkan

bahwa nilai-nilai profesionalisme dalam manajemen pengelolaan industri jasa

ini harus lebih ditingkatkan, misalnya melalui pelatihan-pelatihan yang

bersifat reguler dan berkelanjutan.


10

Merujuk kepada konsep yang dikemukakan oleh Wahab tentang

ketersediaan general infrastructures dan basic needs of civilized life untuk wilayah

propinsi Sumatera Barat secara umum sebenarnya sudah lumayan memadai.

Jaringan jalan sudah menjangkau seluruh objek wisata sekalipun yang berada

di pelosok pedesaan dengan kondisi yang baik. Demikian juga halnya dengan

sistem telekomunikasi yang sudah semakin lancar, baik yang disediakan oleh

pemerintah maupun swasta. Akan tetapi yang perlu menjadi catatan adalah

pelayanan birokrasi pemerintah yang diberikan masih jauh dari standar

memadai dan memuaskan. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain,

petugas imigrasi, bea dan cukai, petugas kesehatan, polisi dan pejabat-pejabat

pemerintah lain yang berkaitan dengan pelayanan kepada wisatawan.

Layanan yang diberikan petugas dan aparat pemerintah setempat merupakan

cerminan bagi wisatawan akan “citra” daerah itu sendiri setelah mereka

pulang.

Tingkat kepuasan yang diperoleh wisatawan selama kunjungan tentu

saja akan mempengaruhi keputusan mereka berikutnya untuk melancong di

masa-masa akan datang. Ini tentu saja akan mengakibatkan menurunnya

tingkat kunjungan yang selanjutnya berkurangnya devisa dan pemasukan

bagi negara. Sebaliknya imej yang terbentuk bersifat positif bagi wisatawan

tersebut, dengan sendirinya akan menjadi promosi bagi keluarga dan kerabat
11

untuk ikut berkunjung di masa-masa datang. Berdasarkan hasil beberapa riset

pariwisata yang dilakukan terhadap wisatawan (turis asing) membuktikan,

bahwa sumber utama informasi tentang daerah (negara) yang akan mereka

kunjungi justru diperoleh dari teman-teman dan keluarga. Sumber informasi

lain yang persentasenya lebih rendah adalah lewat biro-biro perjalanan (tour

agency), buku pemandu wisata serta TV dan internet.

Merujuk ke persoalan di atas sudah saatnya pemerintah daerah

Sumatera Barat, melalui pejabat yang bertanggung jawab, melakukan berbagai

pembenahan dalam sebuah kerangka berpikir penuh kesadaran dan

tanggungjawab untuk memajukan dunia pariwisata Sumatera Barat.

Berdasarkan data statistik tingkat kunjungan wisatawan asing ke

Indonesia mencapai angka 5,2 juta (tahun 2003). Dari angka tersebut propinsi

Sumatera Barat hanya memperoleh bagian kunjungan wisatawan asing sekitar

20-30 ribu setahunnya atau hanya 0,5 % dari angka nasional. Padahal daerah

ini memiliki kondisi alam yang potensial (marketable) dengan dukungan

infrastruktur memadai serta aksesibilitas yang memungkinkan. Hal ini

mengindikasikan bahwa perlu usaha serius dalam merumuskan berbagai

kebijakan yang nantinya untuk diimplementasikan dalam sejumlah program

pariwisata yang realistis dan available.


12

4. Beberapa Aspek Penting Untuk Merumuskan Kebijakan Pariwisata

Pembangunan industri pariwisata bukan hanya bukan hanya semata-

mata menyangkut kegiatan dan soal ekonomi. Pariwisata adalah suatu

aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai suatu sistem yang

besar, yang memiliki sejumlah komponen, seperti ekonomi, ekologi, politik,

sosial, budaya dan seterusnya (Pitana dan Gayatri, 2005). Melihat pariwisata

sebagai sebuah sistem, berarti analisis mengenai berbagai aspek

kepariwisataan tidak bisa dilepaskan dari sub-sistem yang lain dalam

hubungan yang saling ketergantungan dan terkait (interconnectedness). Dalam

merumuskan persoalan dan kebijakan harusnya melibatkan banyak pihak dari

berbagai kalangan serta analisis akademisnya mestilah menggunakan

pendekatan multi-disiplin, untuk kemudian melahirkan kebijakan yang juga

bersifat integral. Dengan demikian untuk pengembangan pariwisata ke depan

di Sumatera Barat harus sudah mengacu kebijakan yang jelas dan terarah yang

dituang dalam bentuk blueprint yang applicable dan relevan.

Karena produk utama yang dihasilkan oleh pariwisata adalah

pelayanan, service dan jasa-jasa, maka sudah waktunya dalam pengelolaan

pariwisata didukung oleh manajemen serta tenaga-tenaga profesional dan

handal. Hal ini bukan hanya diberlakukan bagi mereka yang bergerak di

serangkaian usaha industri pariwisata (tour agency, jasa angkutan, akomodasi


13

dan hotel, restoran dan bar, tourist operator, kerajinan dan souvenir, dan usaha

jasa terkait) melainkan juga yang tidak kalah penting adalah bagi petugas dan

aparat pemerintah yang terkait dengan bidangnya.

Kebijakan pariwisata yang relevan lahir dari kajian bagi pengembangan

program berlandaskan kepada potensi wisata yang dimiliki oleh daerah

bersangkutan. Berdasarkan pada potensi alam, ekologi dan kebudayaan

masyarakat Minangkabau yang unik (matrilineal), berbagai ragam bentuk dan

paket wisata sangat dimungkinkan untuk dikemas “dijual” kepada para

wisatawan, baik asing maupun domestik. Wisata Kepulauan Mentawai

dengan tradisi penduduknya eksotiknya, bila dikelola dengan manajemen

yang baik serta dukungan prasarana dan aksesibilitas akan mampu menjadi

ikon wisata tersendiri bagi promosi wisata Sumatera Barat.

Disamping menarik wisatawan asing, potensi kunjungan wisata

domestik sesungguhnya juga sangat potensial, dalam hal ini menarik untuk

menyimak gagasan seorang tokoh perantau Minang, dr. Fasli Jalal, Phd., agar

pengelola wisata melirik pasar perantau yang jumlahnya sekitar 7 juta orang.

Memang, selama ini hampir tak pernah ada tawaran paket-paket wisata yang

menarik oleh biro-biro perjalanan, misalnya paket wisata satu minggu di

Sumbar, selain menikmati keindahan alam mereka juga bisa belajar kesenian

tradisional, mengetahui adat istiadat, dan sebagainya.


14

5. Penutup

Potensi dan keindahan alam serta keunikan budaya Minangkabau

merupakan potensi dan modal untuk dapat dikembangkan dalam industri

pariwisata Sumatera Barat. Realitas dan kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa masih ditemukan sejumlah kelemahan dan persoalan mendasar

pengelolaan pariwisata, yang faktor-faktor penyebabnya berhulu dari tidak

terarahnya kebijakan kepariwisataan itu sendiri. Untuk itu perlu dirumuskan

kebijakan yang jelas dalam pengembangan pariwisata dengan pendekatan

multi-disiplin guna melahirkan blueprint program yang relevan dan efektif.

Kebijakan-kebijakan tersebut akan bisa diimplementasikan seandainya ada

jaminan (garansi) dalam regulasi dan pengawasan, serta sosialisasi yang

matang kepada segenap pihak terkait dalam industri pariwisata, tanpa

mengabaikan kepentingan masyarakat banyak. 

DAFTAR PUSTAKA

Benford, Robert D (ed). Social Issues; Encyclopedia of Sociology. New York :


MacMillan Library Reference USA.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta :
Penerbit Andi.
15

Ross, Glenn F. 1998. Psikologi Pariwisata. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.


Sedarmayanti. 2005. Membangun Kebudayaan dan Pariwisata. Bandung : Penerbit
Mandar Maju.
Soekanto, Soerjono.1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Wahab, Salah. 1975. Tourist Management. London : Tourist International Press.
Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung : Penerbit Angkasa.

You might also like