You are on page 1of 5

Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi tidak lepas dari berbagai faktor yang menyebabkannya.

Faktor politis dan ekonomi sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini. Pertama, dari factor politik Sejak berlakunya UUDS tanggal 17 Agustus 1950 hingga tahun 1959 telah terjadi berkali-kali pergantian kabinet. Terjadinya pergantian kabinet ini pada umumnya disebabkan tidak adanya persesuaian faham dan pendapat antara golongan dan partai politik yang masing-masing mempunyai konsep-konsep tersendiri terhadap berbagai masalah bangsa. Akibat dari suasana pemerintahan dan kepartaian yang berkembang kuantitasnya ialah tidak terjaminnya stabilitas politik dan ekonomi karena tidak terjaminnya kontinuitas pembangunan dalam sistem pemerintahan dan kelembagaan negara kita pada waktu itu. Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa. Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatanya sebagai wakil presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan pendapat dan latar belakang walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis serta bermain api dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis. Kedua, dalam aspek ekonomi Pembangunan yang lamban dan suasana di pusat pemerintahan ini, menyebabkan pembangunan di daerah-daerah terbengkalai. Prasarana ekonomi tetap buruk, sehingga akhirnya di daerah-daerah timbul pergolakan berupa lahirnya gerakan-gerakan daerah yang pada umumnya dipimpin oleh tokoh-tokoh militer setempat. Seperti tokoh-tokoh militer waktu itu melihat merasakan bahwa golongan-golongan politik sudah terlalu jauh menyimpang dari cita-cita perjuangan dan proklamasi 45, sudah menjurus kepada ideologi sentris memperjuangkan kepentingan sendiri-sendiri, kepentingan golongan, atau partai masing-masing. (Dinsej TNI-AD,1978;113-114)

Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan berada pada titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang akomodatif terhadap modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman, dan kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama sekali ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali hanyalah sembohyan. Kabinet ini menganggap bahwa modal asing sangat merugikan bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan administratif sangat diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping pegawai dari pusat ke daerah. Partai PNI semakin nampak diperkuat. Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah. Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Salah satunya adalah golongan prajurit yang merasakan kesulitan tersebut. Tindakantindakan pemerintah dalam masalah ekonomi seperti penyalahgunaan devisa, pemberian ijin istimewa kepada anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit menghambat para pedagang. Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal oleh alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi operasi-operasi militer serta kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan ekspor/barter dilakukan tanpa disesuaikan dengan prosedur di Jakarta. Hal tersebut dilakukan di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta

panglima pasukan dari wilayah lainnya. Keterlibatan TT I dalam peristiwa barter yaitu keterlibatan mereka dalam memberikan perlindungan kepada pengusaha-pengusaha yang melakukan eksporekspor yang dianggap merugikan negara menyebabkan KASAD Nasution memberhentikan Kolonel Simbolon untuk sementara. Selain itu, beberapa perwira tinggi militer Sumatera terlibat dalam peristiwa Cikini dan merencanakan pemberontakan diberhentikan dengan tidak hormat. Di Sulawesi, situasi yang mendorong lahirnya Permesta yaitu Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda, hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.dan di pengaruhi oleh pembentukan dewan-dewan di Sumatera. (Pangi Syarwi) Landasan Perjuangan Semesta masihlah menggunakan dasar tindak lanjut dari perjuangan 1945, dan Vantje Sumual menandaskan, gerakan Permesta bukanlah gerakan separatisme. Penyelesaian yang wajar dengan pemerintah pusat, tetap tujuannya. Sepanjang sejarah Permesta, lambang-lambang kebangsaan Indonesia seperti bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang Bhineka Tunggal Ika, serta hari Proklamasi, tetap dijunjung tinggi dan bermakna seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia. Pada tanggal 23 Februari 1957 Perencanaan formal proklamasi 2 Maret mulai pada suatu pertemuan para perwira senior Sulawesi pada hari ini. Pertemuan ini diadakan di rumah

Letkol dr. O.E. Engelen, ketua Ikatan Perwira Republik Indonesia Indonesia Timur [TT-VII]. Letkol dr. O.E. Engelen, sekretaris IPRI TTVII/ Wirabuana - Indonesia Timur Kapten Bing Latumahina, Letkol Saleh Lahede, dan Mayor M. Jusuf berbicara dalam pertemuan itu. Selanjutnya pada 25 Februari 1957 Setelah mengadakan rapat komite perwira TT-VII/Wirabuana yang mengadakan rapat di kediaman Mayor Eddy Gagola untuk menyusun dan merumuskan rencana Perjuangan Semesta, kemudian Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol Ventje Sumual hari ini berangkat ke Jakarta untuk menjelaskan langkah-langkah yang akan diambilnya kepada teman-temannya di MBAD terutama Korps Perwira SSKAD, terutama mengatasi keamanan daerahnya dengan pemberlakuan SOB/darurat perang. Jumat dinihari tanggal 2 Maret 1957, sejumlah pejabat, tokoh politik dan tokoh masyarakat di kota Makassar dijemput kendaraan yang dikawal militer [sekitar 49 tokoh & 2 wartawan] untuk menandatangani piagam yang telah disusun oleh Panitia Perwira TT-VII yang lalu, untuk berkumpul di gubernuran. Mereka hendak mengadakan rapat untuk persiapan sebuah proklamasi dari suatu hasrat luhur yang sudah sangat lama menggejolak. Malam telah merambat dini hari. Pukul 3 dinihari rapat dibuka oleh Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol H.N. Ventje SUMUAL yang kemudian membaca naskah Proklamasi SOB. Sehari berikutnya pada tanggal 3 Maret 1957 Letkol Sumual sebagai Panglima TTVII/ Wirabuana & Kepala Pemerintahan Militer Indonesia Timur mengirim laporan tertulis kepada KSAD di Jakarta mengenai tindakan 2 Maret tersebut yang yang tetap mengakui Jakarta sebagai pemimpin yang sah. Ia juga melaporkan bahwa ia telah meningkatkan ketiga wilayah hukum Resimen Infanteri TTVII/ Wirabuana menjadi Komando

Daerah Militer [KDM], yaitu KDM Sulutteng dengan Mayor D.J. Somba sebagai komandan, KDM Maluku/Irian Barat dengan Mayor Herman Pieters sebagai komandan, KDM Nusa Tenggara dengan Mayor Minggu sebagai komandan; sedangkan Sulawesi Selatan dirangkap oleh Gubernur Andi Pangerang dengan pangkat Letkol Tituler. Keempat tokoh ini juga merangkap sebagai Gubernur Militer di masing daerah sesuai dengan ketentuan SOB [Staat von Oorlog en Beleg = Negara dalam Keadaan Perang & Darurat Perang].

Syarwi, Pangi. 2011. Barbara Harvey Sillar, Permesta, Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Grafiti, Bab 4. Dari Kemelut ke Pertentangan. Tersedia di [online] : http://www.pangisyarwi.com.(23 Maret 2013) Ridho, Yanuar. 2012. Gerakan Separatis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia [PRRI] Perjuangan Semesta [PERMESTA]. Tersedia di [online] : http://yanuaridho.wordpress.com/2012/01/29/prri-dan-permesta/

http://www.permesta.8m.net/relates/artikel.html
Djoened Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka Sugeng Sudarto, Et al. 1992. Patahnya Sayap Permesta. Jakarta: Pustaka Bahari

You might also like