You are on page 1of 5

Bab 7 Budaya dan Iklim Organisasi Tujuan dari pengembangan sumberdaya manusia (HRD) sebagai bidang penelitian dan

praktek adalah untuk meneliti bagaimana cara agar organisasi dapat bisa menjadi lebih efektif dan pekerja semakin produktif dan mendapatkan kepuasan pada pekerjaan mereka. Baik budaya organisasi maupun iklim organisasi bukanlah suatu konsepsi yang baru. Keberadaan mereka dapat dirunut kembali sejak tahun 1930-an ketika dilakukannya penelitian bidang Kelistrikan di Dunia Barat, dimana penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan gaya manajemen tertentu akan menghasilkan perasaan kebersamaan, komptensi, dan pencapaian yang tinggi dari para pekerja, sehingga menghasilkan kinerja yang lebih produktif dibandingkan sebelumnya. Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic Deskripsi Iklim secara umum didefinisikan oleh Renato Tagiuri sebagai karakteristik lingkungan secara total di sekolahan. Namun kita juga perlu memahami apa saja karakteritik tersebut, dan landasan penelitian yang digunakan dengan mendasarkan pada pengertian Tagiuri tersebut. Tagiuri menjabarkan lingkungan total di suatu organisasi, atau iklim organisasi, terdiri dari empat dimensi: 1. Ekologi Ekologi merujuk padsa faktor-faktor fisik dan material di organisasi, seperti ukuran, usia, desain, fasilitas dan kondisi bangunan, termasuk juga bangku dan meja, papan tulis, dan perlengkapan lain yang digunakan sehari-hari.

2.

Suasana

Merupakan dimensi sosial di organisasi. Hal ini meliputi segala hal yang berkaitan dengan orang-orang di organisasi tersebut. Misalnya, berapa jumlah mereka dan seperti apa mereka. Contoh konkritnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan ras dan kesukuan, level gaji guru, moral dan motivasi para siswa dan orang dewasa yang ada di sekolahan. 3. Sistem sosial Hal ini merujuk pada struktur organisasional dan struktur administratif dari organisasi tersebut. Hal ini meliputi bagaimana suatu sekolah dijalankan, bagaimana suatu keputusan diambil dan siapa saja yang dilbatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, pola-pola komunikasi diantara orang-orang yang ada. 4. Budaya Hal ini merujuk pada nilai-nilai, sistem kepercayaan, norma-norma, dan cara berpikir yang menjadi karakteristik orang-orang di dalam organisasi tersebut. Istilah budaya dan iklim keduanya merupakan abstraksi yang berkaitan dengan fakta bahwa prilaku seseorang di organisasi tidaklah dihasilkan oleh interaksi dengan peristiwa-peristiwa yang berdekatan, namun juga dipengaruhi oleh interaksi dengan kekuatan-kekuatan yang tak terlihat di lingkungan organisasi. Seperti yang telah saya sebutkan di atas bahwa budaya merujuk pada norma-norma prilaku, asumsi-asumsi, dan kepercayaan suatu organisasi, sedangkan iklim merujuk pada Budaya organisasi. persepsi orang-orang di organisasi yang banyak sekali definisi budaya merefleksikan norma-norma, asumsi-asumsi, dan kepercayaan. Meskipun organisasional yang bisa ditemukan di literatur, namun dari itu semua dapat ditarik poin-poin utamanya yang membedakan budaya organisasional dengan iklim organisasi. Budaya organisasional merupakan tubuh dari solusi bagi permasalahan-permasalahan eksternal dan internal yang telah dipakai secara konsisten oleh suatu kelompok, yang kemudian dipakai sebagai panduan oleh generasi berikutnya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang sama. Budaya organisasional berkembang dalam waktu yang lama, sebab selama masa pengembangannya ia memerlukan pemaknaan yang benar-benar menadalam.

Dua hal utama yang terdapat dalam definisi budaya organisasional adalah norma-norma dan asumsi-asumsi. Kedua hal ini merupakan komponen kunci dari budaya organisasional. Norma-norma. Suatu cara yang paling ampuh bagi budaya organisasional dalam mempengaruhi prilaku adalah melalui norma-norma atau standar-standar yang diinstitusionalisasikan dan memiliki daya paksa dalam sistem sosial. Dengan kata lain, hal ini merupakan aturan prilaku baku yang telah diterima dan dilegitimasi oleh semua anggota kelompok. Hal ini termasuk norma-norma tak tertulis tentang apa yang harus dilakukan untuk menjadi anggota kelompok yang baik. Asumsi-asumsi. Di bawah norma bihavioral ini terdapat asumsi-asumsi yang membentuk landasan bagi pembangunan norma-norma dan semua aspekaspek budaya lainnya. Asumsi-asumsi ini berkaitan dengan apa yang diterima oleh orang-orang di organisasi sebagai suatu hal yang benar dan salah di dunia ini, apa yang nyata dan apa yang kabur, dan tentang apa yang mungkin dan tidak mungkin. Asumsi-asumsi ini diterima dan diresap secara diam-diam, tanpa disadari, jarang dibahas dan dibicarakan, dan diterima sebagai suatu hal yang benar dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Norma-norma kultural di organisasi yang bersifat non formal, tak tertulis, namun memiliki daya yang kuat dalam mempengaruhi prilaku muncul secara langsung dari asumsi-asumsi ini. Edgar Schein menjabarkan budaya organisasional sebagai suatu hal yang terbentuk dari tiga konsep yang berbeda namun saling berhubungan. Dengan demikian, budaya organisasional dapat didefinisikan sebagai: 1. Merupakan tubuh dari solusi bagi permasalahan-permasalahan eksternal dan internal yang telah dipakai secara konsisten oleh suatu kelompok, yang kemudian dipakai sebagai panduan oleh generasi berikutnya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang sama. 2. Hal ini lama kelamaan akan menjadi asumsi-asumsi tentang bentuk realitas, kebenaran, waktu, ruang, sifat manusia, aktifitas manusia, dan hubungan manusia. 3. Pada akhirnya, asumsi-asumsi ini akan dipergunakan dan diambil secara tidak sadar. Sehingga pada dasarnya, kekuatan pada budaya adalah terletak pada

fakta bahwa ia bekerja secara tidak sadar dan tanpa penelaahan dalam pengambilan asumsi-asumsi yang ada. Karena ia memerlukan waktu yang lama untuk pemaknaan yang lebih mendalam, sehingga budaya dapat didefinisikan sebagai filosofi, ideologi, nilai-nilai, asumsiasumsi, kepercayaan, ekspektasi, sikap, dan norma-norma bersama yang mengikat suatu komunitas menjadi satu. Dan sekolah dianggap memenuhi semua aspek tersebut di atas, dimana terdapat jalinan antara para guru, kepala sekolah, dan partisipan lainnya dalam memecahkan suatu permasalahan dan mengambil keputusan. Iklim Organisasi. Iklim organisasi merupakan studi terhadap persepsi yang dimiliki oleh suatu individu terhadap berbagai aspek lingkungan di organisasi. Misalnya studi yang dilakukan Andrew Halpin dan Don Croft terhadap iklim organisasi di sekolahan yang mengkaji tentang ciri-ciri kepemimpinan dan prilaku kelompok yang terdapat di sekolah dasar. Studi terhadap iklim organisasi sangat bergantung pada pengetahuan kita terhadap persepsi semua partisipan yang ada. Metode yang paling sering digunakan dalam penelitian ini adalah melalui kuesioner, meskipun metode wawancara langsung juga dimungkinkan dalam mengumpulkan data informasi yang diperlukan. Pada masa yang lampau, studi ini lebih banyak difokuskan pada ekspektasi para guru dan kepala sekolah, namun tren yang berkembang saat ini adalah justru difokuskan pada hal-hal apa saja yang diinginkan oleh para siswa. Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois,

mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan William D. McInerney

adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity. Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalahmasalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

You might also like