You are on page 1of 4

KINERJA MANAJEMEN PUBLIK DALAM KEPEMERINTAHAN DAERAH (Implementasi di Indonesia ) A.

Pendahuluan Melihat perbandingan berbagai bangsa di dunia, akan diperoleh tiga klasifikasi, yaitu negara maju (developed country), negara sedang membangun (developing country) serta negara terbekalang (underdevelop country). Pertanyaan yang muncul adalah mengapa dan bagaimana negara-negara tertentu menjadi maju, negara lain mengalami kemajuan dalam waktu pendek, ada negara yang mengalami kemandegan, tetapi ada juga negara-negara tertentu tetap saja terbelakang. Jawabannya dapat disebabkan oleh faktor psikologis dari bangsa tersebut (Mc Clelland, 1987) ataupun faktor lain seperti manajemen (Peter F. Drucker,1995 ). Drucker (1995) bahkan menyatakan bahwa penyebab utama suatu negara tidak maju atau menjadi terbelakang adalah karena dikelola dengan tidak benar ( undermanaged). Artinya, kemampuan manajemen suatu bangsa menjadi causa prima bagi kemajuan bangsa tersebut. Dikaitkan dengan kepemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana dikemukakan oleh World Bank maupun UNDP, terdapat tiga domain yang berperan di dalamnya yaitu domain sektor publik (public sector), sektor swasta (private sector) dan sektor masyarakat (society). Ketiga sektor tersebut masing-masing berada pada posisi yang sejajar hanya berbeda fungsinya. Sektor publik menjalankan fungsi regulasi, fasilitasi dan pengawasan, sedangkan sektor swasta menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi. Sektor masyarakat berperan memberi kontribusi masukan dan menerima hasil. Masing- masing domain memiliki dinamika manajemennya sendiri. Di Indonesia, manajemen dari masing-masing sektor berada pada posisi yang berbeda. Manajemen sektor publik umumnya berada pada generasi ketiga (G3) dan tampak gejala-gejala mau masuk pada manajemen generasi keempat (G4). Manajemen sektor swasta rata-rata sudah memasuki generasi keempat (G4) bahkan beberapa diantaranya masuk pada generasi kelima (G5). Sedangkan sektor masyarakat umumnya berada pada generasi kedua dan generasi ketiga (G2 dan G3). Sektor swasta yang selalu dihadapkan pada iklim kompetisi keras dan mematikan, dituntut untuk senantiasa mengembangkan teknologi dan manajemennya, termasuk dalam hal manajemen kinerjanya (performance management). Motif mencari keuntungan (profit motive) mendorong adanya upaya terus-menerus untuk menjadi yang terbaik. Sebaliknya di sektor publik yang kegiatannya bersifat monopolistik, seringkali terlambat dalam mengembangkan teknologi dan manajemennya. Sektor publik lebih banyak digerakkan oleh kewenangan dengan motif mencari dukungan politik agar tetap dapat berkuasa. Sedangkan sektor masyarakat perkembangannya akan sangat tergantung oleh peranan yang dimainkan oleh kelas menengah. Sesuai dengan fokus pembahasan, makalah ini lebih banyak menyoroti manajemen kinerja sektor publik khususnya pemerintahan daerah dalam rangka mencapai kepemerintahan yang baik (good governance) sebagai prasyarat bagi kemajuan suatu bangsa. Hal ini sangat penting karena di Indonesia dewasa ini sedang terjadi revolusi desentralisasi, yakni perubahan yang mendasar dan menyeluruh serta berjalan dengan kecepatan tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Masa depan bangsa Indonesia akan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola kewenangan luas yang telah ditransfer kepada Daerah Otonom. Termasuk mengelola sumber daya keuangan, sumber daya manusia, sumber daya budaya dan lain sebagainya. 1

B. Memahami Konsep Manajemen Kinerja Konsep manajemen kinerja sebenarnya bukanlah sesuai yang baru. G.R. Terry dalam bukunya yang melegenda berjudul : Principles of Management (1960) telah mengemukakan mengenai manajemen kinerja. Terry menekankan perlunya standar di dalam mengukur kinerja individual maupun organisasional. Sejalan dengan pandangan di atas, Williams (1998 : 9) mengemukakan pendapatnya bahwa manajemen kinerja adalah sebuah sistem untuk mengelola kinerja organisasional, kinerja pegawai serta kinerja gabungan antara kinerja organisasional dan kinerja pegawai. Pada sisi lain, Bacal (2001 : 4) lebih menekankan pengertian manajemen kinerja sebagai : proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Bacal (2001 : 30- 44) mengemukakan bahwa sistem manajemen kinerja terdiri dari komponen-komponen : 1) perencanaan kinerja; 2) komunikasi kinerja; 3) pengumpulan data, pengamatan, dan dokumentasi; 4) evaluasi kinerja. Bacal (2001: 48) di dalam bukunya memberi catatan penting bahwa manajemen kinerja berhubungan dengan perencanaan strategis, anggaran keuangan, pengembangan karyawan, dan program peningkatan kualitas . Pada sisi lain, Williams (1998 : 2-8) mengemukakan adanya enam faktor yang mempengaruhi pemahaman mengenai manajemen kinerja yaitu : 1) kondisi pasar; 2) teori manajemen dan gerakan-gerakan; 3) pengembangan teknologikal; 4) restrukturisasi organisasional dan perubahan; 5) kebijakan pemerintah; 6) pengukuran kinerja yang tidak memadai. Apabila di sektor swasta manajemen kinerja sudah merupakan suatu keharusan untuk diterapkan, tidak demikian keadaannya di sektor pemerintah. Pada sektor pemerintah di Indonesia khususnya, konsep manajemen kinerja secara faktual baru digunakan sejak ditetapkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Keterlambatan tersebut disebabkan oleh dua hal, pertama, sektor pemerintah menjalankan kegiatannya secara monopolistik sehingga tidak terbiasa dengan iklim kompetisi. Kedua, belum adanya kemauan politik dan tindakan politik yang nyata dan berkesinambungan untuk membuat sektor pemerintah menjadi lebih efektif dan efisien karena masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tidak menuntutnya secara keras. Terlebih lagi pemerintah pada waktu itu merasa memiliki banyak sumber dana baik yang berasal dari pengurasan sumber kekayaan alam maupun hutang dari luar negeri. Keadaan kemudian berubah setelah terjadinya krisis multidimensional, yang lebih banyak disebabkan oleh salah urus di sektor pemerintah yang kemudian meluas diberbagai sektor. Kesadaran menggunakan manajemen kinerja di sector pemerintah muncul seiring dengan hadirnya paradigma Reinventing Government sebagaimana dikemukakan oleh Osborne & Gaebler ( 1992 ). Melalui paradigma tersebut, Osborne & Gaebler ingin mendekatkan sector pemerintah dengan sektor swasta melalui transformasi semangat kewirausahaan ke dalam tubuh birokrasi. Semangat kewirausahaan meliputi 2

antara lain kompetisi, inovasi dan transparansi. Paradigma Regom ini tidak muncul secara tiba-tiba melainkan merupakan akumulasi dari berbagai pendapat yang senada, misalnya pendapat dari Bensman & Lilienfeld (1979 ) yang mengatakan bahwa batasbatas antara sektor pemerintah dan sektor swasta makin-lama menjadi makin kabur. Sektor pemerintah dituntut untuk mengadopsi manajemen dan teknologi yang digunakan di sektor swasta agar mampu bersaing baik secara internal maupun eksternal. Pandangan yang menyatakan bahwa organisasi pemerintah tidak dapat bangkrut, nampaknya perlu dibuang jauh-jauh, karena berbagai fakta telah menunjukkan hal sebaliknya misalnya di Argentina, Mexico maupun Indonesia sendiri. Artinya, sector pemerintahpun dituntut untuk lebih efektif dan efisien karena mereka menggunakan dana milik publik yang dikumpulkan melalui pajak dan retribusi serta penggalian sumber kekayaan alam. Pandangan lain yang sejalan misalnya dari E.S. Savas (1987) yang menekankan perlu privatisasi sebagai kunci menuju pemerintahan yang lebih baik. Melalui privatisasi, dilakukan pemilahan dan pemilihan mengenai kegiatan apa yang karena sifatnya harus tetap dijalankan oleh sektor pemerintah dan kegiatan apa yang dapat diserahkan pada sektor swasta dan atau masyarakat. Pandangan yang cukup aktual mengenai hal di atas misalnya dari Ingraham dan Romzek (1994) mengenai perlunya pembenahan sektor pemerintah melalui cara-cara : 1) melihat sektor swasta yang sukses sebagai model untuk pembenahan sektor pemerintah; 2) organisasi publik yang berorientasi pada manajemen lingkungan; 3) berubah kea rah organisasi pembelajaran, dengan karakteristik : terbatasnya hierarkhi; penggunaan ahli-ahli dari luas; menguatnya rasa percaya pada ilmu, serta desentralisasi pengetahuan. Seiring dengan perubahan berbagai konsep maupun paradigma mengenai peranan sektor publik, terjadi pula pergeseran nilai yang dimaksimukan. Semula sektor pemerintah hanya memaksimukan nilai-nilai EFEKTIVITAS ( 1E ), karena merasa sektor ini merasa memiliki berbagai sumber daya dan dana yang dapat dikatakan tidak terbatas. Kemudian setelah terjadinya berbagai kelangkaan sumber daya maupun ketimpangan kemajuan antarnegara, dimaksimumkan nilai-nilai EFEKTIVITAS dan EFISIENSI ( 2E). Hal inipun dikemudian hari dianggap tidak cukup, karena untuk mengejar efektivitas dan efisiensi, sektor pemerintah seringkali mengorbankan kelompok marginal yang tidak memiliki akses maupun daya. Melalui pandangan administrasi negara baru (The New Public Administration) sebagaimana dikemukakan Frederickson ( ), maka nilai yang perlu dimaksimumkan oleh sektor pemerintah meliputi : EFEKTIVITAS, EFISIENSI serta EQUITY (Keadilan) ( 3E ). Dalam perjalanan waktu, ketiga nilai yang dimaksimukan untuk sector pemerintah sebagaimana dikemukakan di atas dianggap masih belum cukup. Fakta menunjukkan bahwa sektor pemerintah memiliki kewenangan serta potensi sumber daya dan sumber dana yang besar, tetapi belum digunakan dengan baik. Berbagai aktivitas pemerintah seringkali dijalankan tanpa memperhitungkan aspek ekonomiknya. Oleh karena itu, Savas (1987) mengemukakan pendapatnya bahwa nilai yang dimaksimumkan pada sektor pemerintah seharusnya meliputi : EFEKTIVITAS, EFISIENSI, EQUITY (keadilan) serta EKONOMIK ( 4 E ). Untuk mencapai berbagai nilai yang dimaksimumkan, sector pemerintah perlu mengubah semua model manajemen yang digunakannya mulai dari manajemen perencanaan sampai pada manajemen kolaborasi dan konflik, termasuk manajemen kinerjanya. 3

C. Implementasi Manajemen Kinerja pada Pemerintahan Daerah di Indonesia Pada waktu revolusi desentralisasi di Indonesia dicanangkan, pemerintah Daerah umumnya menghadapi berbagai masalah mendasar antara lain keterbatasan kualitas sumber daya aparatur, kelemahan manajemen di semua sektor dan lini, ketertinggalan teknologi, kelangkaan sumber dana. Salah satu strategi penting untuk memperkuat pemerintah daerah adalah dengan meningkatkan kualitas manajemennya termasuk manajemen kinerjanya. Berbagai langkah kongkret pada tataran kebijakan yang telah diambil antara lain: 1) Dikeluarkannya Inpres Nomor 7 Tahun 1999 sebagai langkah awal menuju manajemen kinerja. Melalui Inpres ini setiap instansi pemerintah dituntut untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya tidak hanya pada tahap keluaran (output) seperti selama ini terjadi, melainkan sampai kepada nilaiguna, dampak serta manfaat dari penggunaan dana publik. 2) Di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, khususnya pasal 37 ayat (2) dikemukakan perlunya bakal calon Kepala Daerah menyampaikan visi, misi dan rencana strategisnya. Visi Kepala Daerah tersebut menjadi agenda kerja yang akan dijalankan selama masa jabatannya. Perpaduan antara visi Kepala Daerah dan visi Perangkat Daerah menjadi visi pemerintah daerah. 3) Dikeluarkannya Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, mendorong Pemerintah Daerah mulai menggunakan anggaran berbasis kinerja, yang berbeda dengan anggaran daerah konvensional. Melalui anggaran berbasis kinerja, dituntut adanya transparansi penggunaan dana-dana publik, yang seharusnya memang kembali lagi kepada kepentingan publik. Meskipun secara kebijakan telah ada ketentuan yang mengharuskan pemerintah daerah secara bertahap mulai menggunakan manajemen kinerja, akan tetapi karena kemampuan sumber daya aparatur maupun pembiayaan masing-masing daerah bervariasi, maka keecepatan perubahan juga tidak merata. Hambatan umumnya datang dari birokrasi yang secara kultural banyak yang belum siap untuk berubah. Dalam hal ini memang diperlukan kepemimpinan visioner dari Kepala Daerah yang tidak jemujemunya menawarkan perubahan. Tetapi hambatan yang terbesar adalah apabila Kepala Daerah tidak tahu apa yang akan dikerjakan atau bahkan tidak mau tahu dengan adanya perubahan, karena inisiatif penggunaan manajemen kinerja memang harus datang dari Kepala Daerah

You might also like