You are on page 1of 29

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Filsafat adalah metode berfikir, yaitu berfikir kritis analitis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan proses berfikir dan bukan sekedar produk pemikiran. Dalam hal ini Fazlur Rahman (Fazlur Rahman, Islam and Modernity : 1982) menegaskan bahwa filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Ia harus berkembang secara alamiah, baik untuk filsafat itu sendiri maupun disiplin ilmu yang lain. Hal ini dapat difahami karena filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting bagi ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu agama dan teologi, oleh karena itu orang yang menjauhi filsafat telah melakukan bunuh diri intelektual. Dalam pandangan filsafat, etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral, etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang di anggap sebagai nilai relatif. Etika ingin menjawab pertanyaan Bagaimana hidup yang baik? Jadi etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan memuncak kepada kebijakan. Etika dalam bahasa Inggris ethics artinya tata susila. Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak

kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk (akhlak), moral adalah (ajaran) baik buruk yang diterima umumnya mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb, Akhlak adalah budi pekerti. Pada umumnya etika diidentikkan dengan moral. Meskipun keduanya terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Etika (etics atau ilm al-akhlaq) adalah ilmu yamg mempelajari tentang baik buruk, Moral (akhlaq) lebih condong kepada nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia. Jadi dapat dikatakan etika sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk, moral sebagai praktiknya. Islam memahamkan bahwa antara etika dan akhlak itu berbeda, bahwa etika hanya berhubungan dengan sopan santun antara sesama manusia, berupa tingkah laku lahiriyah, maka akhlah akhlak mencakup hal-hal lahiriyah dan batiniyah serta pikiran manusia.

1.2. Permasalahan Pokok permasalahan dalam makalah ini berjudul Filsafat Etika Islam antara paradigma Mistikis dan Teologi ini antara lain :

1. Apa yang dimaksud dengan motivasi iman ? 2. Bagaimana hubungan antara roh dan jiwa ? 3. Bagaimana hubungan pertautan antara akal dan hati ? 4. Apa yang dimaksud dengan mistimisme islam sebagai olahan rohani ?

5. Apa yang dimaksud dengan mistimisme teoritis dan praktis ? 6. Apa yang dimaksud dengan istilah Syariat dan Hakikat ? 7. Bagaimana prinsip-prinsip dalam tasawuf ? 8. Apa yang dimaksud dengan Etika dalam Islam ? 9. Apa yang dimaksud dengan sifat konstan eksistensi ? 10. Apa yang dimaksud paradigm teologi modern ? 11. Bagaimana rekonstruksi pemahaman Teologi Islam ?

1.3.Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut : 1. Mengerti dan memahami pengertian motivasi iman 2. Mengerti dan memahami hubungan antara roh dan jiwa 3. Mengerti dan memahami pertautan antara akal dan hati 4. Memahami hubungan pertautan akal dan hati 5. Mengerti dan memahami mistimisme islam sebagai olahan rohani 6. Mengerti dan memahami mistimisme teoritis dan praktis 7. Mampu menguraikan catatan singkat tentang mistimisme 8. Mengerti dan memahami Istilah syariat dan hakikat 9. Mampu mendiskribsikan prinsip-prinsip dalam tasawuf 10. Mengerti dan memahami Etika dalam Islam 11. Mengerti dan memahami Sifat konstan Eksistensi 12. Mengerti dan memahami paradigm teologi modern 13. Mampu merekonstruksi pemahaman Teologi Islam

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Motivasi Iman

Motivasi adalah konsep yang dapat menggerakkan seseorang agar mampu mencapai tujuan sesuai dengan kebutuhan atau dorongan (motif). Penegrtian motivasi menurut para ahli Menurut Abraham Sperling Motivasi sebagai kecenderungan untuk beraktifitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Menurut Filimore R. Stanford Motivasi adalah suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu Motif dalam bahasa Arab disebut sedangkan motivasi , Sedangakan niat dalam bahasa Arab adalah . Miftah Faridl berpendapat bahwa niat bisa diartikan dengan motif , karena pengertian niat ada dua pengertian yaitu getaran batin untuk menentukan jenis perbuatan ibadah seperti sholat subuh , tahiyatul masjid dan lain-lain. Niat yang kedua dalam arti tujuan adalah maksud dari sesuatu perbuatan (motif).

Niat dalam pengertian motif mempunyai dua fungsi : 1. Menentukan nilai hukum (wajib, sunat , makruh dan haram) , yaitu untuk sesuatu amal yang tidak ditentukan secara tegas hukumnya dalam Al-Quran dan as-Sunah. 2. Menentukan kualitas pahala dari sesuatu perbuatan-perbuatan yang tertinggi ikhlas dan perbuatan terendah riya. Ketika motivasi dikaitkan dengan niat dan niat dikaitkan dengan keikhlasan maka hal ini sangat sulit diukur, namun yang perlu digaris bawahi terlepas dari keikhlasan dan riya ketika motivasi itu dibahas dan dibicarakan maka ada persamaannya yaitu samasama sulit diklaim secara mutlak namun hanya bisa diprediksi kemungkinannya. Menurut Asep Ridrid Karana kata niat jika disejajarkan lebih tinggi daripada motivasi karena motivasi seorang muslim harus timbul karena niat pada Allah. Pada prakteknya kata motivasi dan niat hampir sama sama dipakai dengan arti yang sama, yaitu bisa kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish), dorongan (drive) atau kekuatan . Walaupun dalam bahasa Inggris intention diartikan niat dan motivation dengan motivasi namun dalam berbagai penelitianpun kata motivasi yang digunakan. Manusia diciptakan tidak lain hanyalah untuk beribadah pada Allah Semua aspek kehidupan bisa bernilai ibadah ketika diniatkan karena Allah. Hal ini dikuatkan dengan sebuah hadits dari Umar radhiyallahu anha, Memurnikan niat karena Allah semata merupakan landasan amal yang ikhlas. Maksud niat disini adalah pendorong kehendak manusia untuk

mewujudkan suatu tujuan yang dituntutnya. Maksud pendorong adalah penggerak kehendak manusia yang mengarah pada amal. Sedangkan tujuan pendorongnya banyak sekali dan sangat beragam. Motivasi merupakan dorongan hati agar sesorang melakukan sesuatu tindakan yang baik atau tidak baik. Pengertian hati ada dua macam yakni dilihat dari sudut anatomi dan sudut rohani. Dari sudut anatomi, hati merupakan bagian dari isi perut yang warnanya merah kehitaman terletak disebelah kanan perut. Sedangkan dari sudut rohain hati adalah qalb, sesuatu yang menjadi sumber dan menentukan tingkah laku manusia yang mendatangkan nikmat dan celaka. Dalam pandangan Islam yang menjadi pendorong paling kuat dan paling dalam untuk bebuat kebaikan adalah iman yang berpatri dalam hati. Iman itulah sebagai motivasi dan kekuatan penggerak yang paling ampuh dalam pribadinya yang membuat dia melakukan kegiatan kebajikan dan amal saleh Apabila turbin penggerak iman bekerja lahirlah amal saleh dan akhlaqul karimah.

2.2. Antara Roh dan Jiwa

Jiwa, dalam bahasa Arab disebut Nafs, dan dalam bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris. Sedangkan Roh biasanya diterjemahkan dengan Nyawa atau Spirit. Jadi, sebenarnya, sejak manusia mengalami proses kejadian Sampai sempurna menjadi janin dan dilahirkan ke atas dunia, telah ada unsur lain yang bukan fisik material yang ikut menyusun semua peristiwa penciptaan itu. Justru adanya unsur nonfisik inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya sebagai satu

kelebihan. Kelebihan ini akhirnya tampak nyata pada norma-norma nafsiyah (psikologis) dengan segala kegiatannya. Ibnu Qayyim al Jauzy menyatakan pendapatnya, bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Kalau tubuh sehat dan menerima bekas-bekas dari jisim halus ini, maka ia akan tetap kekal berjalin dengan tubuh dan menghasilkan beberapa daya atau kemampuan rohaniah. Sebaliknya kalau tubuh itu rusak, maka ia melepaskan diri dan berpisah menuju alam arwah. Akan tetapi ia tidak musnah. Yang mati itu adalah nafs. Jadi, perbedaan antara nafs dan roh adalah perbedaan dalam sifatnya. Imam Al Gazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian; Roh Jasmaniah dan Roh Rohaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat di ruangan hati (jantung)serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut,- ke seluruh tubuh. Karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatankegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghoib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal cirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain, (berkepribadian, ber-Ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah-lakunya. Roh inilah yang memegang komando dalam seluruh hidup dan kehidupannya, karena roh ini yang menerima perintah dari Allah dan larangan-Nya. Tetapi ia bukan jisim, bukan nafs, dan bukan sesuatu yang melekat pada lainnya. Ia merupakan

substansi yang wujud, berdiri sendiri, diciptakan, oleh karenanya hanya menjadi urusan Penciptanya saja. Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa Roh itu memang sesuatu yang ghoib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia. Akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghoib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang m'enutup kemungkinannya. Selanjutnya dia menegaskan bahwa Roh merupakan sesuatu kekuatan ghoib yang menyebabkan -kehidupan pada makhluk hidup. Roh (faktor X) inilah yang berfungsi sebagai penegak nafs. Dalam Alkuran' (Quran) ada 19 ayat tentang roh dengan konteks pembicaraan yang berbeda-beda. Para ulama pun tidak sampai dengan tegas menyatakan pendapatnya apakah roh itu sama dengan nafs, sesuku dengan tubuh, suatu sifat, substansi atau atom yang terlepas samasekali dengan lainnya. Sedangkan ayat yang menyatakan bahwa setelah penciptaan tubuh fisik ini sempurna kemudian Allah meniupkan roh-Nya (Al Hijr: 29), menurut pendapat yang lebih bersifat psikis adalah, terwujudnya pengaruh roh itu pada jasad sehingga jasad kasar ini berfungsi dan melakukan perannya, baik yang berhubungan dengan aspek kejiwaan maupun aspek ketubuhan. Mempersoalkan tentang sesuatu yang sifatnya ghaib seperti jiwa itu terasa agak ganjil bagi sementara orang, karena, orang hanya akan mengirangirakan kepada sesuatu yang tidak dapat dipegang, diraba, dilihat, ditimbang, diukur bahkan abstrak secara total. Dugaan itu ada benarnya, tetapi, banyak salahnya. Jiwa sebagai sesuatu yang abstrak, bersifat subjektif, bebas dan pribadi, dapat menimbulkan kesadaran, tapi memerlukan hubungan dengan fisik (tubuh).

Karenanya ia dapat dipelajari bagaimananya dan tidak dapat diketahui apanya, kebalikan dari wujud Tuhan yang dapat dipelajari apa (wujud)-nya tetapi tidak bisa diketahui bagaimananya. Dalam kehidupannya, jiwa ini selalu bekerja mencari ilmu, karena ilmu adalah perhiasannya di akherat. 1. Jasad, perangkat tubuh manusia yang kasar dan empiris. Allah menyusun jasad ini dari saripati tanah dan disusun dan dibangun dari sari-sari makanan. Ia terdiri dari bagian-bagian keras dan kuat serta melaksanakan tugas-tugas berjalan, gerakan, penginderaan yang diperintahkan oleh ruh hewani (sebagai pelayan ruh hewani). 2. Ruh Hewani sering pula disebut sebagai nafsu. Ruh hewani ini merupakan penggerak syahwat dan emosi. Lebih jauh lagi Ia pula yang melahirkan keinginan-keinginan untuk melakukan kekerasan, amarah, berbuat sadis menguasai segala sesuatu dan lain sebagainya.[24] Ruh hewani dapat digambarkan sebagai jasad lembut yang bertempat di dalam kalbu. Ia bagaikan lampu menyala di dalam kaca kalbu. Kehidupan adalah cahaya lampu itu dan darah adalah minyaknya . emosi adalah panasnya, sedangkan kekuatan yang menggerakkan jasad adalah ajudannya. 3. Ruh kehidupan. Ruh ini tidak menunjukkan pada ilmu serta tidak menegtahui jalan makhluk dan kebenaran pencipta. Ia merupakan kehidupan di saat jasad hidup, dan ia akan mati seiring jasad mati. Dari berbagai hal yang dimiliki manusia tersebut, maka Ghazali kemudian membaginya dalam tiga dimensi, yakni: Jasad, Aradh, serta jawhar.

Jasad sebagaimana diterangkan diatas merupakan bagian kasar. Sementara aradh (aksiden) adalah ditentukan oleh jasad dan ruh. Ia tidak kekal setelah substansi yakni nafs nthiqoh kembali kepada sang pencipta. Sedangkan jawhar (substansi) ialah jiwa yang tak pernah mati, jiwa yang hanya kembali kepada Tuhan, nafs al-muthmainnah.

2.3 Pertautan Akal dan hati

Akal berasal dari kata nous (B. Yunani) atau intellect ( B. Inggris ) adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak. Akal secara bahasa dari mashdar Yaqilu, Aqala, Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu. Syaikh Al Albani berkata, Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf. Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata, akal ada dua macam yaitu : thabii dan diusahakan. Yang thabii adalah yang datang bersamaan

10

dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bila senang, dan menangis bila tidak senang. Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang diusahakan. Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya.Hal ini menunjukan bahwa akal lebih lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya agama tidak bisa dijangkau dengan akal, tetapi agama dijangkau dengan ilmu. Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah : 1. Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.

2. Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur (memikirkan) dan merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan syariat -syariatnya

sebagaimana dalam firmanNya.

Meskipun islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan

11

mungkin bisa menggapai hakekat segala sesuatu. Maka Islam memerintahkan akal agar tunduk dan melaksanakan perintah syari walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah itu. Kemaksiatan yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena lebih mengutamakan akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah perintah Allah tersebut dengan membandingkan penciptaannya dengan penciptaan Adam, Iblis berkata: Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.. (QS.Shaad ; 76). Karena inilah islam melarang akal menggeluti bidang-bidang yang diluar jangkauannya seperti pembicaraan tentang Dzat Allah, hakekat ruh, dan yang semacamnya, Rasulullah bersabda, Pikirkanlah nikmat -nikmat Allah, janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.

2.4. Mistimisme Islam Sebagai Olahan Rohani

Al-Quran memuat berbagai firman yang merujuk pada pengalaman spritual Nabi. Misalnya pegalaman beliau ketika menerima wahyu pertama di Gua Hira dan yang kedua adalah pengalam beliau dengan perjalanan ( Isra ) dan naik ke langit (miraj ). Bagi kaum sufi, pengalamn Nabi dalam Isra Miraj itu adalah sebuah contoh puncak pengalam rohani. Kaum sufi berusaha meniru dan

12

mengulanginya bagi dir mereka sendiri dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dalam kemampuan mereka.

2.5. Mistimisme Teoritis dan Praktis

Teori fitrah yang dirumuskan dari Al Quran surat Ar Ruum ayat 30 yang artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.

Fitrah terdiri dari tiga daya utama yaitu:

1. Akal, berfungsi untuk mengenal, mengesakan dan mencintai Tuhan 2. Syahwat, berfungsi untuk menginduksi segala yang menyenagkan 3. Ghadab, berfungsi untuk mempertahankan diri. Istilah mistisisme teoretis (irfn nazhar) digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran mistis yang objek-objeknya berporos di seputar Esensi (Dzt) Al-Haqq Swt. dan semua manifestasinya yakni nama-nama, sifat-sifat

13

dan aktivitas-aktivitas-Nya. Dengan kata lain, Dzt sebagai salah satu determinasi (tayyun). Sementara itu, Al-Qaishari mendefisikan mistisisme (irfn)teoretis dan praktisdengan menganggapnya sebagai ilmu yang mengandung suatu objek, masalah, dan faedah, dengan definisi berikut: Pengetahuan tentang Allah Swt. berkenaan dengan nama-nama, sifatsifat, aktivitas-aktivitas, dan manifestasi-manifestasi-Nya, keadaan-keadaan mabda (tempat bermula) dan mad (tempat kembali), hakikat -hakikat alam semesta dan metode kembalinya ke satu hakikat yakni Esensi Ketunggalan (Dzt Ahadiyyah), serta mengetahui sulk dan mujhadah untuk membebaskan diri dari belenggu parsial dan hubungannya dengan tempat bermulanya serta memiliki sifat kemutlakan dan keuniversalan. Berdasarkan asas ini, kita dapat mendeskripsikan masalah-masalah mistisisme sebagai berikut.

1. Sifat keberadaan kemajemukan (katsrah) (hubungan alam semesta ini dengan Al-Haqq dan perjalanan turunnya).

2. Penjelasan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat. 3. Penjelasan metode kembalinya kemajemukan (katsrah) ke kesatuan (wahdah) (perjalanan naik alam semesta). 4. Metode kembali (sulk), dimana yang terakhir ini berkaitan dengan mistisisme praktis (irfn amal).

14

Atas dasar hal ini, masalah-masalah tersebut berarti manifestasimanifestasi dan hukum-hukum khusus bagi Al-Haqq Swt. dan juga nama-nama, sifat-sifat, dan aktivitas-aktivitas-Nya. Dengan kata lain, yang terpenting dari dua masalah yang dikemukakan dalam mistisisme adalah: 1. Apakah tauhid itu? (Kajian-kajian tentang kesatuan eksistensi dan turunan-turunannya). 2. Siapakah yang diesakan itu? (Meliputi kajian-kajian tentang manusia paripurnaatau insan kamil dan hal-hal yang berkaitan dengannya). Bagian pertama mencakup dua kajian; (1) penegasan keesaan (wahdah) dan (2) penjelasan tentang kemajemukan (katsrah). Tujuannya adalah mengetahui Al-Haqq dan menyandarkan metodenya pada penyingkapan-batin oleh para arif (urafa), teks-teks wahyu Ilahi, dan hadis-hadis dari orang-orang maksum, di samping dalil-dalil akal untuk membuktikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui pengetahuan yang muncul dalam hati (wijdniyyah) dan penyingkapan-batin (kasyfiyyah). Kemudian, penjelasan tentang pandangan mistis yang komprehensif dan jawaban terhadap hal-hal yang meragukan yang berkaitan dengannya. Objek-objek mistisisme teoretis atau pandangan mistis yang komprehensif dan masalah-malahnya bisa meliputi lima bagian pokok, yaitu sebagai berikut. 1. Teori pengetahuan mistis (kajian-kajian pendahuluan). 2. Ilmu tentang eksistensi mistis. 3. Ilmu tentang pengetahuan mistis tentang Allah. 4. Ilmu tentang pengetahuan mistis tentang alam.

15

5. Ilmu tentang pengetahuan mistis tentang manusia.

Adapun mistisisme praktis adalah perjalanan melewati fase-fase kesempurnaan manusia yang sesuai dengan metode khusus dengan harapan untuk mendapatkan kedekatan dengan Allah Swt. dan mencapai makrifat Ilahi, lalu tingkatan kewalian (wilyah) tertinggi (tingkatan haqq al-yaqn dan kesatuan dari kesatuan [jam al-jam]). Mistisisme Islam pada dua abad permulaan kemunculan Islam terbatas pada mistisisme teoretis dan jalan-jalan kehidupan mistis (dan hal itu melalui dua cara, yaitu kezuhudan dan cinta [hubb] atau isyq). Kemudiansetelah menggabungkan antara tindakan-tindakan mulia para arif dalam makrifat dalam lingkup sekumpulan pemikiran mereka yang tertulis dan buku-buku mereka dapat tersebar. Pada saat urafa pengamal (amaliyyn)jika boleh dikatakan begitu hanya memiliki hati yang bersih dan niat yang tulus dalam amal-amal mereka yang memulai dua unsur asasi ini merupakan modal satu-satunya bagi mereka selama mereka menempuh fase-fase spiritual. Sebab, bangunan mistisisme teoretis berkenaan dengan pengajaran dan pembelajaran, berdiri di atas sejumlah ilmu; mulanya adalah logika (manthiq), filsafat, dan teologi (kalm), dan selanjutnya adalah keakraban dengan ucapan-ucapan para arif, penyingkapan-batin mereka, dan tindakan mulia mereka. Berdasarkan hal ini, mistisisme teoretis menyerupai filsafat pertama, walaupun ada perbedaan esensial di antara keduanya.

16

2.6. Catatan Singkat Tentang Mistimisme 2.7. Istilah Syariat dan Hakikat Dikalangan ahli ahli hukum islam, syariat diartikan sebagai seluruh ketentuan yang ada di dalam Al-Quran dan as-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, ahlak maupun aktivitas manusia. Syariat meliputi seluruh aspek kehidupan, baik akidah, ibadah maupun muamalah dan juga ahlak. Dikalangan para sufi, syariat berarti amal ibada lahiriah ( eksoterik ). Hakikat dalam pandangan tasawuf adalah inti atau rahasia yang paling dalam dari syariat dan akhir dari perjalanan yang ditemouh oleh seorang sufi. Syariat Islam (Arab: Syariat Islamiyyah) adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Eksistensi hakikat menurut orang-orang sufi adalah takwil-takwil yang mereka reka-reka dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian mereka simpulkan bahwa takwil-takwil tersebut hanya bisa diketahui oleh orang-orang khusus atau mereka sebut ulama khosh (khusus) di atas tingkatan ini ada lagi tingkat yang lebih tinggi yaitu ulama khoshul-khosh (amat leb-ih khusus) atau mereka sebut ulama hakikat. Adapun syariat menurut mereka adalah lafazh-la-fazh dan makna yang zhohir (tersurat) dari nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Hal inilah yang

17

dipahami oleh orang-orang awam (biasa), maka mereka me-nyebut ulama yang berpegang dengan pemahaman ini dalam menghayati ayat al-Quran dan haditsha-dits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan nama ulama am (umum) atau ulama syariat. Dari sini mereka membagi ulama menjadi dua bagian: ulama hakikat dan ulama syari-at, atau ulama batin dan ulama zhohir. Menurut mereka ulama hakikat atau ulama batin lebih tinggi kedudukannya daripada ulama syariat atau ulama zhohir. Karena menurut pengakuan me-reka ulama hakikat dapat menyelami rahasia-rahasia ghoib yang tersembunyi dalam nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut mereka memiliki rute-rute yang mesti dile-wati. Di samping itu, mereka memiliki trik-trik dalam memengaruhi orang-orang di luar mereka dengan berbagai cerita-cerita bohong.

2.8. Prinsip-prinsip Islam dalam Tasawuf Irfn (mistisisme) secara etimologis berart i sejenis pengetahuan (makrifat), konsepsi (tashawwur), dan pengetahuan yang dalam (bashrah). Sementara itu, secara terminologis, irfn dapat dikatakan sebagai sejenis pengetahuan langsung yang berada di luar indera dan akal. Tidak mudah mencapai pengetahuan itu, kecuali bagi orang yang secara amaliah bersungguhsungguh menghilangkan berbagai rintangan dan tabir-tabir hati melalui sejenis perjalanan spiritual (sulk) atau tarikan Ilahi (jadzb). Dengan cara itu, seorang arif dapat mencapai batin, kegaiban, dan kesatuan sejati yang tersembunyi di balik hal-hal yang tampak dan kemajemukan (katsrah). Dalam sulk ini terdapat

18

perjalanan ruh yang mendatangkan kesempurnaan jiwa serta diperoleh pengenalan diri dan pencerahan batin.

Untuk menjelaskan makna irfn secara lebih dalam dan penjelasan berbagai dimensi dan aspeknya, kita harus membagi bangunan irfn ini ke dalam beberapa bagian. Bagian-bagian itu sebagai berikut. 1. Irfn bisa berarti idrk (persepsi), yakni makrifat langsung tanpa melalui perantaraan dari akar ilmu hudhr (ilmu pemberian Ilahi) dan yang dimasuki seorang arif ketika berhadapan langsung dengan jiwa hakiki dan ilmu kesatuan (wahdah). Demikian pula batin atau kegaiban alam. 2. Irfn bisa berarti sejenis pandangan (nazhrah) atau penglihatan (ruyah). Berdasarkan hal ini, irfn membahas bentuk kajian yang diformulasi dan batiniah yang didasarkan pada penakwilan terhadap nash-nash agama atau pengaruh-pengaruh etika di dalam tema al-qirah al-irfniyyah (kajian mistisisme). Ketika itu, irfn dapat digunakan dalam berbagai kajian lain, seperti kajian-kajian filsafat, fiqih, dan kalam. 3. Irfn bisa berarti uslb (metode). Dalam hal ini, irfn terbatas dalam lingkup alamiah, yang berarti sejenis sulk dan jalan kehidupan yang membawa satu individu cenderung untuk keluar dari kemapanan secara ilmiah, amaliah, dan etis. Tindakan itu berbeda dengan kebiasaan seharihari, keinginan hawa nafsu, dan kecenderungan diri karena keinginan untuk sampai pada hakikat kegaiban yang tersembunyi di balik tabir-tabir lahiriah.

19

4. Irfn bisa berarti kumpulan berbagai ajaran yang termuat di dalam buku buku dan ucapan-ucapan khusus para arif (dalam dimensi teoretis dan praktisnya), karena tujuannya adalah menjelaskan jalan sulk. 5. Irfn bisa berarti institusi sejarah. Eks istensi dan manifestasi eksternal dan sosial kelompok ini dalam Islam direpresentasikan dalam kelompok sufi yang memiliki banyak hubungan dan interaksi dengan kelompokkelompok sosial dan keagamaan yang lain. Dari aspek sejarah, istilah irfn sudah dikena l sejak permulaan dalam kata yang lain, seperti ahli makrifat dan ahli tasawuf yang berporos pada makna ketiga (yang telah disebutkan di atas). Setelah itu, kata tersebut mengambil makna kedua, keempat, dan kelima, lalu kembali pada makna pertama. Adapun yang dijadikan sandaran buku kami ini adalah dimensi teoretis dari makna keempat, yakni irfn dalam arti kumpulan berbagai ajaran. Kajiannya telah dilakukan berdasarkan asumsi bahwa hal itu merupakan warisan ruhaniah dari kebudayaan Islam dengan nama khusu s yaitu irfn nazhar (mistisisme teoretis) menurut berbagai pandangan dan didasarkan pada seni prosa dan puisi dalam cakupan istilah-istilah seni atau kata-kata dan makna-makna simbolik

Setelah mendalami mistisisme dan berbagai dimensinya, untuk memahami makrifat atau cabangnya dalam bentuk mistis harus didasarkan pada beberapa pilar berikut.

20

1.

Keyakinan terhadap adanya tingkatan-tingkatan alam eksistensi. Para peneliti mistisisme mengatakan bahwa mereka telah melewati aspek-aspek lahiriah, penglihatan biasa terhadap alam ini, dan masuk ke dalam aspekaspek batiniah.

2.

Keyakinan terhadap adanya tingkatan-tingkatan persepsi dan pemahaman seseorang, padahal tidak mungkin menganggap pengetahuan inderawi lahiriah, bahkan pengetahuan rasional, sebagai pengetahuan mistisisme. Tetapi pengetahuan itu termasuk sejumlah pengetahuan superfisial (disebabkan ketidakmampuan akal untuk mengetahui berbagai hakikat tertinggi dari alam ini). Jalan satu-satunya untuk mencapai hakikat-hakikat teologis dari alam ini adalah ilmu hudhr dan syuhd, dan yang terdiri dari berbagai tingkatan dan fase.

3.

Keyakinan terhadap adanya tingkatan-tingkatan manusia, karena biasanya seorang arif mempercayai adanya persamaan antara manusia dan alam ini, dan kaitan pengetahuan manusia dengan alam sebagai perantaraan di antara kedua unsur tersebut. Berdasarkan hal ini, seseorang juga dapat memiliki tingkatan-tingkatan yang terdapat di alam ini, dimana ia dapat naik dan berkembang melalui perjalanannya di jalan mistis, di samping mencapai pengetahuan-pengetahuan mistis berkenaan dengan keutamaan dan tingkatan karakter mistis (maqmt).

4.

Tingkatan-tingkatan, keadaan-keadaan, dan pengetahuan-pengetahuan itu seluruhnya faktual, dimana tindakan-tindakan mulia dari semua kelompok mistis dianggap sebagai penegasan dan perincian tentang hakikat alam,

21

bukan semata-mata simbol-simbol intelektual atau hal-hal yang bersifat imajinatif, di samping adanya prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas pada kelompok-kelompok mistis (baik yang bersifat keagamaan maupun yang tidak bersifat keagamaan). Namun, ada prinsip lain yang dapat ditemukan dalam mistisisme agama, misalnya: 5. Kesakralan dan kesucian pemikiran. Sebab, tingkatan-tingkatan dan keadaan-keadaan mistis berarti hubungannya dengan Allah Swt. (karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang berkaitan dengan makrifat, cinta [mahabbah], takut [khauf], dan harapan [raj]). Bisa juga ditambahkan dua prinsip ke dalam prinsip-prinsip tersebut dalam mistisisme Islam. Kedua prinsip itu adalah: 1. Penyandaran pada ilmu tentang nama-nama sebagai landasan. Setelah ini, akan kami kemukakan permulaan dan perkembangan mistisisme Islam yang didasarkan pada nama-nama Ilahi, baik yang berkaitan dengan ontologi (ilm al-wujd) atau epistemologi (ilm al-marifah) maupun yang berkaitan dengan aspek praktis (dalam hal khusus pada aspek peniruan akhlak Allah Swt.). 2. Penyandaran pada tingkatan-tingkatan Al-Quran. Sebab, dapat dikatakan bahwa mistisisme Islam merepresentasikan makna-makna batiniah ayat-ayat Al-Quran dan tingkatan-tingkatan internalnya. Untuk mengetahui makna-makna batiniah itu diharuskan menempuh tingkatan-tingkatan eksistensi dan manusia yang analog dengan batiniah Al-Quran. Tidak diragukan, bahwa kesamaan tingkatan-

22

tingkatan kitab tadwn (Al-Quran) dengan kitab takwn (alam eksistensi), dan juga dengan kitab anfus (eksistensi) manusia merupakan bagian dari kesitimewaan-keistimewaan mistisisme Islam.

Jalan menuju mistisisme Islam yang di dalamnya terkandung perjalanan menempuh tingkatan-tingkatan tersebut dan kesampaian ke tingkatan-tingkatan (maqmt) dan setasiun-setasiun (manzil) mistis yang tinggi dinamakan wilyah yangmelalui kendaraan mahabbah dan isyq atau riydhah dan penguasan nafsudi dalamnya terkandung perjalanan-perjalanan seorang arif (wali) dalam nama-nama Ilahi dan kefanaannya di dalam nama-nama Allah terindah (al-asm al-husn). Selanjutnya, adalah hubungan dan keabadiannya dalam hakikat-hakikat nama-nama tersebut.

2.9. Mata Rantai Etikad dalam Islam

Dengan didasari oleh motivasi iman, seorang mukmin akan terdorong untuk mengerjakan kebaikan sebayak banyaknya menurut kemamuan tenaganya. Dalam memanifestasikan iman tersebut, terdapat mata rantai yang berkaitan dengan realisasinya. Dengan motivasi iman, terdoronglah seorang mukmin mengerjakan kebaikan sebanyak-banyaknya menurut kemampuan tenaganya. Dalam

memanivestasikan iman tersebut terdapat mata rantai yang berkaitan dalam realisasinya, yakni : niat (keikhlasan) dalam hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan yang dilaksanakan oleh anggota tubuh. Sebelum melakukan suatu

23

tindakan, harus didahului dengan niat untuk apa pekerjaan itu dilakukan. Dalam hubungan ini, Islam menggariskan pemantapan niat yang perbuatan itu dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah SWT. Rasulullah SAW menggariskan sebagai berikut : Hanya sanya amal itu menurut niat, dan hanya sanya bagi setiap manusia (akan memperoleh sesuatu) menurut apa yang diniatkannya. (Muttafaq Alaih). Setelah niat itu terpasang baik dalam hati, bergeraklah anggota tubuh (jasmani) mengerjakan kebaikan memprodusir kebajikan sesuai dengan yang diniatkan itu . Dengan perkataan lain bahwa hanyalah perbuatan yang disertai niat, yang dapat diterima dan dipertanggung jawabkan. Amal tanpa niat tidak mendapatkan penilaian dalam pandangan etika Islam.

2.10. Sifat Konsistensi Eksistensi

Apakah eksistensi itu statis atau dinamis? Jika dinamis, bagaimana ia bisa konstan dan berkelanjutan? Jika eksistensi itu konstan, apa pengaruhnya bagi pikiran? Para filosof Islam klasik percaya bahwa jika suatu wujud ciptaan dan penyebab eksistensinya itu ada, maka wujud itu akan terus ada, tak terpengaruh oleh berlalunya waktu. Sebenarnya, mereka berpikir bahwa alih-alih berlalunya waktu, wujud tetap mempertahankan identitasnya ( huwiyyah).

Mistisisme tidak sepakat dengan pemikiran ini. Dalam irfan, tidak ada keberlangsungan seperti itu, dan eksistensi diperbarui secara konstan. Mereka memiliki identitas baru seiring dengan berjalannya waktu. Imajinasi kitalah yang

24

berusaha untuk mengabaikan transformasi fundamental ini. Karenanya, eksistensi itu adalah sebuah proses untuk menjadi process of becoming.

Ketidakcocokan antara pendekatan filosofis dan mistis ini diselesaikan oleh Mulla Shadra melalui teori gerak substansial ( harakah jawhariyyah). Dia berpendapat bahwa walaupun eksistensi cair menjalani perubahan yang konstan, ada satu faktor yang selalu menyertai eksistensi yang mengalir jauh ini di sepanjang waktu. Ia adalah eksistensi itu sendiri, yang senantiasa hadir pada setiap detik dari segala perubahan. Sekali lagi, aspek statis dan dinamis yang dimiliki eksistensi bisa dipertemukan.

2.11. Melacak Akar Teologi Islam

Nurcholis Madjid pernah menuliskan bahwa ada kesenjangan intelektual antara tradisi pemikiran dalam peradaban Indonesia dengan dunia Islam lainnya. Dalam buku Tradisi Islam,1 Nurcholis menulis bahwa kesenjangan itu ditandai misalnya pada kasus ketika di wilayah Timur Tengah pada abad ke-12 M muncul satu polemik filsafat dengan al-Ghazali sebagai tokoh utamanya, maka di Nusantara pada saat yang sama tampil tokoh Jayabaya, raja Kediri yang menulis buku Jangka Jayabaya. Kalau yang pertama mewariskan suatu rangkaian karya renungan filosofis yang amat mendalam, maka yang terakhir ini mewariskan suatu karya yang oleh kebanyakan orang di era modern ini dianggap sebagai hasil kreativitas imajinatif, jika tidak dikatakan sebagai hasil khayalan dan reka-reka belaka. Namun analisa Nurcholis ini tidak bisa

25

menerangkan kenapa setelah Islam masuk pun, dengan segala keterlambatannya, pertumbuhan intelektual Islam Nusantara masih mandeg. Moehammad Arkoun pada kutipanya mengemukakan bahwa suatu pikirandari suatu daerah ketika memasuki daerah yang berbeda tidak akan mewujud sebagai mana mestinya. Apa yang dikekmukaan Moehammad Arkoun lebih tegas dikemukakan Michel Faucoult mengenai bagaimana rezim wacana dan kebenaran menentukan pengetahuan serta disiplin berpikir manusia. Istilah nalar sebenarnya lebih dekat dengan matra kebudayaan, bukan dengan peradaban, namun jika tinjauan holistik dikenakan terhadap peradaban maka apa yang terdapat di dalam kebudayaan memiliki kait kelindan yang erat. Misalnya, jika kebudayaan (culture) dimaknai sebagai satuan budaya (kreasi manusia dalam hal cara ber-ada di dunia) yang dihasilkan suatu kaum dan peradaban (civilization) sebagai hasil konkret yang dihasilkan dari kreasi, maka membicarakan peradaban tidak bisa lepas dari kebudayaan. Samuel P.

Huntington, menuliskan keterkaitan ini sebagai berikut: Peradaban dan kebudayaan sama-sama menunjukpada seluruh pandangan hidup manusia, dan suatu peradaban adalah bentuk yang lebih luas dari kebudayaan. Keduanya mencakup nilai-nilai,norma-norma, institusi-institusi, dan pola-pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari satu generasi ke genarasi. Kebudayaan merupakan tema umum dalam kaitan dengan setiap rumusan peradaban

2.12. Paradigma Islam Modern

26

Paradigma yang dimaksud sebagaimana yang dikemukakan Thomas Kuhn yaitu mode of though ( kerangka bagaiamana) yang akan melahirkan mode of knowing ( kerangka pengetahuan atau cara mengetahui). Istilah paradigma

pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.

Paradigma Islam mengajarkan pembebasan. Menurut Islam, aktualisasi diri seperti agama agama lain. Menurut Islam, aktualisasi diri manusia hanya terwujud dengan sempurna dalam pengabdian kepada penciptanya. Hal ini merupakan pembebasan sejati.

2.13. Merekonstruksi pemahaman Teologi Islam

Persoalan teologi yang berkembang hingga masalah iman dan kufur terjadi pasca sepeninggal Rasulullah. Hal tersebut terus berlanjut sampai beberapa abad. Problematika teologi tersebut berkisar tentag dosa besar yang lahir dari konflik

27

politik saat itu. Problematika politik muncul berdasarkan cara pandang teologi yang berbeda-beda pada beberapa kelompok yang berseteru.

28

BAB III PENUTUP

29

You might also like