You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Daging merupakan salah satu produk ternak yang menjadi penyuplai protein hewani terbesar bagi masyarakat Indonesia. Daging sapi, kerbau, domba, kambing, ayam dan bebek adalah beberapa jenis daging yang lazim dikonsumsi dan diolah menjadi aneka makanan oleh masyarakat Indonesia. Indonesia yang kaya akan kebudayaan menyebabkan jenis olahan dari daging tersebut berbeda antara satu daaerah dengan daerah lainnya. Pada umumnya masyarakat Indonesia menghendaki daging yang empuk yang berasal dari hewan ternak yang memiliki umur potong yang muda. Disamping hal tersebut, beberapa jenis olahan makanan dari daging juga mempertimbangkan serat daging, tingkat kekenyalan dan kandungan air dari daging tersebut. Hal ini terkait dengan cara pengolahan dari berbagai olahan makanan tersebut seperti perebusan, penggilingan, pembakaran dan

penggorengan. Daging yang beredar di pasar setiap harinya tentunya memiliki kualitas yang sangat bervariatif. Beragamnya kondisi ternak, cara pemeliharaan dan umur potong dari ternak tersebut menyebabkan kualitas dari daging yang dihasilkan menjadi beragam. Dengan beragam kondisi tersebut, pelanggan harus teliti dalam memillih daging yang akan dikonsumsi. Beberapa hal yang menjadi patokan kualitas daging diantaranya daya mengikat air, tingkat keempukan, besarnya susut masak dan pH dari daging tersebut. Hal-hal tersebut menjadi indikator akan mutu daging yang dikonsumsi. Hal lain yang bisa diaplikasikan dalam memilih daging adalah dengan memperhatikan warna daging dan bau dari daging tersebut agar terhindar dari tindakan penipuan seperti pengoplosan daging b. Tujuan Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab variasi daya ikat air.

BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian Daya Ikat Air Oleh Protein (DIA) Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai Water Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (water absorption). Protein miofibriler merupakan penanggung jawab utama pada pengikatan air dalam otot, demikian juga diketahui bahwa terdapat beberapa jenis pengikatan air dalam otot (Hamm, 1986). Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4 5% sebagai lapisan monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga dalah adalah lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kira-kira 10%. Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi (WismerPedersen, 1971). Otot-otot dengan proporsi ekstrem tinggi dalam mengikat air adalah firm (keras), mempunyai struktur ketat, dan mempunyai tekstur kering atau lengket. Sebaliknya jaringan dengan kemampuan mengikat air yang rendah adalah lunak (soft) mempunyai struktur yang terbuka (renggang), dan teksturnya basah atau berbiji/berurat. Pemerataan air intraseluler pada kasus yang pertama dan air ekstraseluler pada kasus yang terakhir menjelaskan perbedaan-perbedaan ini yang berhubungan dengan kemampuan mengikat air. Faktor-Faktor Penyebab Variasi Daya Ikat Air Oleh Protein Daging Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air

oleh daging diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur ternak. Demikian pula faktor pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak

intramuskuler. Penurunan daya mengikat air dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Dimana eksudasi tersebut berasal dari cairan dan lemak daging (Soeparno, 2005). b. Cara Pengukuran Daya Ikat Air Ada beberapa cara pengukuran daya ikat air oleh protein (DIA) antara lain: 1. Metode Hamm (1972); sampel daging seberat 0,3 g diletakkan diatas kertas saring diantara dua plat baja tahan karat, kemudian dibebani seberat 35 kg selama 5 menit. Pada kertas saring akan terlihat suatu area yang tertutup oleh sampel daging yang telah menjadi pipih, dan luas area basah disekelilingnya. Kedua area tersebut ditandai atua digambar pada kertas grafik atau kertas kalkir untuk memudahkan dalam menghitung luas kedua area tersebut. Area basah diperoleh dengan dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Kandungan air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: mg H2O = area basah (cm2) 8,0 0,0948 DIA juga dapat dihitung berdasarkan persentase antara area basah dari area total. 2. Bouton dkk (1971) menghitung DIA dengan menggunakan modifikasi metoda sentrifugasi Akroyd pada kecepatan tinggi. Sampel daging mentah atau masak seberat 1,5 2,5 g disentrifugasi pada kecepatan 100.000 x G (36.000 rpm) selama 60 menit pada suhu 0C. Sampel dimasukkan kedalam tabung sentrifuge polipropilena atau nitrit selulosa yang ditambahkan air suling agar tabung tidak pecah. Setelah sentrifugasi, jus

daging dipisahkan dari residu daging. Residu daging dikeluarkan dari tabung sentrifuge dan dikeringkan permukaannya dengan kertas isap tanpa tekanan dan kemudian ditimbang kembali. Dengan demikian, cairan yang keluar dari daging selama sentrifugasi dapat ditentukan. Total kadar cairan daging mentah ditentukan dengan menghitung kehilangan berat setelah pemanasan dalam oven pada suhu 100 105C sampai berat konstan (selama 18 24 jam). Kadar lemak juga ditentukan dengan metoda AOAC (1980). Berat yang hilang dari daging mentah atau daging masak setelah sentrifugasi disebut sebagai expressed juice atau kenyataan jus daging (KJ), dan dinyatakan sebagai persentase berat awal daging mentah. Total jus daging yang hilang (TJH) dinyatakan sebagai persentase, yaitu jumlah KJ dan persentase cairan daging yang hilang selama pemasakan sebagai susut masak (SM). Daya ikat air oleh protein daging (DIA) adalah fraksi total kadar air daging (KA) yang tinggal setelah dikurangi dengan TJ, jadi DIA: DIA = (KA TJH)/KA (TJ/KA) Jika tidak terdapat susut masak (drip), DIA daging mentah dapat dinyatakan sebagai: DIA = 1 (KJ/KA) Koreksi terhadap lemak dapat dibuat, sehingga total kadar air dan total jus yang hilang dinyatakan bebas lemak. DIA dapat pula dinyatakan sebagai persentase kenyataan jus (KJ) daging, yaitu: % KJ = 100 berat residu daging setelah sentrifugasi x 100 berat sampel daging awal Penurunan DIA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak. Dimana eksudasi tersebut berasal dari cairan dan lemak daging (Soeparno, 2005). 3. Metode Isap (Suction method)

Metode lain yang dapat digunakan dalam mengukur water holding capacity (WHC) adalah metode berdasarkan atas penerapan tekanan kapiler pada otot, yang dikembangkan oleh Hofmann tahun 1975 (Hamm, 1986). Plate gypsum ditempatkan pada permukaan sampel daging utuh dengan tekanan yang relatif rendah (beban 800 g) selama waktu yang telah ditentukan (30-120 detik). Air yang keluar akan diisap kedalam material berpori-pori melalui pengaruh dari tekanan kapiler. Udara di dalam kapiler akan dipindahkan oleh jus daging ke dalam pipa kaca bentuk U yang sudah terkalibrasi mengandung cairan berwarna (Gambar5.2). volume udara yang terpindahkan dapat dibaca melalui pergantian cairan yang sama dengan volume air terikat yang hilang, dimana secara proporsional terbalik, (inversily proportional) dengan WHC sampel daging. Pada setiap pengukuran selalu digunakan cakram gypsum yang baru. Ketebalan sampel daging tidak berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Namun demikian volume air terikat yang keluar kedalam material yang berpori-pori tergantung pada tekanan yang digunakan. Volume ini meningkat dengan bertambahnya tekanan sampai pada 300 g kemudian plat (datar), dan ketika tekanan lebih dari 1000 g , volume akan meningkat lagi dengan bertambahnya tekanan beban yang diberikan. Pada interval tekanan yang rendah, daya (kekuatan) gipsum kemungkinan dominan; diantara 300-1000 g, daya kapiler terlihat kurang lebih sama dengan WHC, dan beban diatas 1000 g, jus daging dipres keluar melalui tekanan tinggi (Fischer, 1976 dalam Hamm, 1986). 4. Penentuan Susut Masak Susut masak biasanya digunakan sebagai salah satu teknik pengukuran Daya Ikat Air (WHC). Jumlah air yang dilepaskan oleh daging utuh atau daging cincang pada saat pemasakan dapat ditentukan tanpa harus melalui sentrifugasi. Sampel daging dengan berat 5 g (atau daging homogen) dimasukkan ke dalam tabung sentrifugal yang telah ditimbang, setelah tabung ditutup kemudian diletakkan kedalam penangas air (water bath) yang mendidih selama 20 menit. Tabung bersama isinya kemudian didinginkan sampai jus daging yang dilepaskan oleh pemasakan keluar. Sampel daging masak

diletakkan diantara dua kertas saring agar supaya tidak ada lagi cairan daging yang tertinggal, kemudian dimasukkan kembali ke dalam tabung, lalu ditimbang kembali untuk menentukan persentase cairan yang hilang selama pemasakan Penurunan DIA dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada

daging mentah beku yang segarkan kembali atau kerut pada daging masak. Dimana eksudasi tersebut berasal dari cairan dan lemak daging (Soeparno, 2005). c. Faktor-faktor penyebab variasi daya ikat air oleh protein daging Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air oleh daging daintaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur ternak. Demikian pula faktor pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. 1. Pengaruh pH Bouton dkk (1971) dan Wismer-Pedersen (1971) menyatakan bahwa daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh pH. DIA menurun dari pH tinggi sekitar 7 10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negative yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul air. Pada saat pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging akan terjadi kelebihan muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan akan memberi ruang yang lebih banyak bagi molekul-molekul air. Dengan demikian pada saat pH daging diatas atau dibawah titik isolektrik protein-protein daging maka DIA akan meningkat. Keterangan: a = kelebihan muatan positif pada miofilamen

b = keseimbangan mauatan positif dan negative c = kelebihan mauatan negative pada miofilamen pH otot pascamerta akan menurun pada saat pembentukan asam laktat akan menurunkan DIA dan akan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot yang bebas meninggalkan searbut otot. Pada titik isolektrik protein myofibril, filamen myosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen menjadi kecil. DIA akan menurun pada saat pemecahan dan habisnya ATP serta pada saat terbentuknya rigormortis. Menurut Hamm (1956) bahwa dua pertiga dari penurunan DIA otot sapi terjadi pada saat pembentukan aktomiosin dan habisnya ATP pada saar rigor, sedang sepertiga lainnya karena penurunan pH. Penurunan pH yang cepat, seperti pada saat pemecahan ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA protein (Bendall, 1960). Demikian pulu suhu yang tinggi akan mempercepat penurunan pH otot pascamerta, dan akan meningkatkan penurunan DIA sebagai akibat dari meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air keruang ekstraselular (Penny, 1977). 2. Pengaruh Maturasi (aging) Maturasi akan meningkatkan DIA daging pada berbagai macam pH karena terjadinya perubahan hubungan air protein, yaitu peningkatan muatan melalui absorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++, atau melemahnya myofibril karena perubahan struktur jalur Z dan ban I . Namun, demikian maturasi yang terlalu lama akan menurunkan DIA dan terjadinya perubahan struktur protein daging. Abustam (1995) mengutarakan bahwa semakin lama maturasi maka DIA semakin meningkat, dimana maturasi pada hari ke 12 memberikan pengaruh yang sangat nyata dibanding dengan pada hari ke 3 dan hari ke 6 dan nyata jika dibandingkan dengan pada hari ke 0 (kontrol). 3. Pengaruh Pemasakan Pemasakan daging akan mengakibatkan solubilitas protein dan berdampak terhadap perubahan DIA. Suhu yang tinggi akan meningkatkan denaturasi protein dan menurunkan DIA. Perubahan besar pada DIA terjadi pada saat suhu

pemanasan 60C (Hamm dan Deatherage, 1960) dan juga akan menghasilkan kenyataan jus daging yang lebih kecil dibanding pada suhu 50C (Bouton dan Harris, 1972). Pemanasan udara kering juga mempengaruhi DIA. DIA menurun dengan meningkatnya sushu pemanasan. Penurunan DIA pada pemanasan mencapai suhu 80C berhubungan dengan berkurangnya grup asidik. Hilangnya grup asidik akan meningkatkan pH daging, sehingga titik isoelektrik daging berubah dan berada pada pH yang lebih tinggi (Hamm, 1960). Penggaraman daging prarigor yang mempunyai DIA tinggi, kemudian dilakukan penegeringan beku dapat mempertahankan DIA (Honikel dan Hamm, 1978). 4. Pengaruh Faktor Biologi 1. Daging babi mempunyai DIA yang lebih besar dari daging sapi. Umur tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap DIA pada daging babi, tetapi pada sapi, daging pedet mempunyai DIA yang lebih tinggi daripada daging dari sapi dewasa. Penagruh umur ini, sebagian disebabkan karena laju dan besarnya penurunan pH. Misalnya, pada daging anak sapi dan babi cenderung mempunyai pH ultimat yang lebih tinggi daripada daging sapi dewasa (Lawrie dkk., 1963). 2. Terdapat perbedaan DIA pada otot yang sama dan diantara otot, ini disebabkan antara lain karena perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH didalam dan diantara otot berbeda. Fungsi atau aktivitas otot yang berbeda juga mempengaruhi perbedaan DIA, sebagai akibat dari perbedaan jumlah glikogen yang berperan terhadap tingkat pembentukan asam laktat dan penurunan pH bisa bervariasi. Sebagai contoh, otot Semitendinosus (ST) domba mempunyai DIA yang lebih tinggi daripada otot Semimembranosus (SM) dan Biceps femoris (BF). Demikian pula otot Psoas major (PM) sapi dan babi mempunyai DIA yang lebih besar daripada otot Longissimus dorsi (LD). 3. Lemak intramuskuler juga mempunyai pengaruh terhadap perbedaan DIA. Otot dengan kandungan lemak intramuskuler tinggi, cenderung memperlihatkan DIA yang tinggi. Hubungan antara lemak intramuskuler dengan DIA adalah kompleks. Lemak intramuskuler mungkin melonggarkan mikrostruktur daging,

sehingga membei lebih banyak kesempatan kepada protein daging untuk mengikat air (Hamm, 1960).

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

You might also like