You are on page 1of 19

1

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Telah dikenal lebih dari 50.000 spesies fungi, tetapi hanya beberapa spesies yang menyebabkan penyakit pada manusia atau hewan (spesies yang lain kebanyakan menyebabkan penyakit pada tumbuhan) sedangkan sebagian besar fungi bermanfaat bagi manusia. (Mitchell, 2001) Infeksi jamur pada kulit atau mikosis banyak diderita penduduk khususnya yang tinggal di daerah tropis. Iklim panas dan lembab merupakan salah satu penyebab tingginya insiden tersebut. Selain itu mikosis pada kulit dipresdiposisi oleh higiene yang kurang, adanya sumber penularan, pemakaian antibiotika yang lama, dan penyakit kronis (Adiguna, 2001). Menurut Heffernan dan Verna (2008) infeksi jamur (mikosis) diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksinya di kulit yaitu: superfisialis dan profunda. Mikosis superfisialis dibagi lagi menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk (keratin) yang disebabkan golongan jamur dermatofita yang mencerna keratin. Sedangkan nondermatofitosis tidak mencerna keratin, salah satu contohnya adalah Pitiriasis Versikolor (Budimulja, 2010). Pitiriasis versikolor (PV) merupakan penyakit jamur superfisial yang kronik yang biasanya tidak memberikan keluhan subjektif. Keluhan penderita biasanya hanya berupa bercak berwarna putih sampai coklat yang berskuama halus, terutama dijumpai di bagian atas badan (punggung dan dada) dan meluas ke lengan atas, leher, dan perut atau tungkai atas/bawah dan dapat pula dijumpai lesi di lipatan aksila, inguinal atau di kulit muka dan kepala (Budimulja, 2010). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu iklim yang panas, faktor herediter, penderita yang sakit kronik, mendapat pengobatan steroid atau antibiotik yang lama dan malanutrisi/gizi buruk (BURKE, 1961).

Insiden PV pada daerah dengan iklim dingin sebesar 1% , sedangkan pada daerah dengan iklim tropis dan sub tropis sebesar 40-60%. Di Eropa tengah dan utara dilaporkan insiden penyakit ini hanya 0,5% - 1%. Di Indonesia diperkirakan 50% penduduknya menderita penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi pada pria dan wanita, dimana pria lebih sering terserang dibanding wanita dengan perbandingan 3:2. Penyakit ini dapat mengenai semua kelompok umur mulai dari anak-anak sampai orang tua, tetapi lebih sering mengenai dewasa muda. Diduga orang-orang dengan higiene yang jelek dan keringat yang berlebihan menjadi faktor predisposisi penting timbulnya penyakit ini (Partosuwiryo dan Danukusumo, 1992). Berdasarkan data kunjungan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS. DR. Sardjito selama tahun 2005, jumlah pasien PV sebesar 243 dan merupakan 20,8% dari seluruh kunjungan pasien dengan infeksi jamur yaitu sebesar 1168. 1.2. Rumusan Masalah Bagaimanakah hubungan antara kebersihan diri dengan kemungkinan terjadinya pitiriasis versikolor di Pesantren Modern TaDib Al-Syakirin. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara kebersihan diri dengan kemungkinan terjadinya pitiriasis versikolor. 1.3.2. Tujuan Khusus a.Untuk mengetahui gambaran kebersihan diri responden di Pesantren Modern TaDib Al-Syakirin. b.Untuk mengetahui prevalensi pitiriasis versikolor di Pesantren Modern TaDib Al-Syakirin. c.Untuk mengetahui hubungan antara kebersihan diri dengan kemungkinan terjadinya Pitiriasis Versikolor di Pesantren Modern TaDib Al-Syakirin.

1.4. Manfaat Penelitian a. Sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya. b. Sebagai informasi bagi pengurus dan penghuni Pesantren Modern TaDib Al-Syakirin mengenai kebersihan diri, kondisi lingkungan, dan penyakit Pitiriasis Versikolor. c. Sebagai masukan bagi petugas kesehatan di sekitar Pesantren Modern TaDib Al-Syakirin agar dapat melakukan penyuluhan mengenai kebersihan diri, kondisi lingkungan, dan penyakit Pitiriasis Versikolor.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pitiriasis Versikolor Pitiriasis versikolor adalah suatu penyakit jamur kulit yang kronik dan asimtomatik/tanpa gejala subjektif serta ditandai dengan bercak putih sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang-kadang terlihat di ketiak, sela paha, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala. Sinonimnya adalah panu, panau, tinea versikolor, dermatomikosis furfurasea, kromofitosis, tinea flava, liver spots, akromia parasitika, hodi-potsy, dan Kleineflechte (Radiono, 2001). 2.1.1. Epidemiologi Pitiriasis versikolor dijumpai di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis dan subtropis. Didaerah tropis insiden dilaporkan sebanyak 40% sampai 60%, sedangkan pada daerah yang lebih dingin angka insiden lebih rendah, hanya sekitar 3% pasien yang mengunjungi dermatologis. Di Eropa tengah dan utara, insiden dilaporkan sekitar 0,5% sampai 1% diantara penyakit kulit. Pitiriasis versikolor kebanyakan menyerang orang muda sekitar usia 20-30 tahun (Hay dan Ashbee, 2010). Berdasarkan data kunjungan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS. DR. Sardjito selama tahun 2005, jumlah pasien PV sebesar 243 dan merupakan 20,8% dari seluruh kunjungan pasien dengan infeksi jamur yaitu sebesar 1168. 2.1.2. Etiologi Pitiriasis versikolor disebabkan oleh jamur dimorfik, lipofilik (Lipophilic yeast) yaitu Malassezia furfur. Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale merupakan sinonim dari Malassezia furfur, yang hanya bisa dibiakkan pada media kaya asam lemak rantai C12-C14. Malassezia furfur merupakan flora normal pada kulit manusia dan hidup sebagai saprofit di permukaan kulit manusia. Pada kulit bayi sekitar 18% dan pada kulit orang dewasa sekitar 90-100% (Heffernan dan Janik, 2008).

Di bawah kondisi yang sesuai, M. furfur berubah dari bentuk saprofit ke bentuk miselial yang bersifat lebih patogenik. Faktor-faktor yang berperan dalam transisi miselial yaitu: lingkungan yang hangat dan lembab, higiene yang kurang, penggunaan kontrasepsi oral, faktor genetik, penggunaan kortikosteroid sistemik dan antibiotik jangka lama, penyakit Cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan keadaan kurang gizi (Heffernan dan Janik, 2008). 2.1.3. Patogenesis PV adalah infeksi oportunistik pada kulit. Pada eksperimental inokulasi Malasseszia di bawah oklusi dapat menyebabkan infeksi. Hasil dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kelembaban, suhu, dan kadar CO2 kemungkinan merupakan faktor penting yang membuat kulit rentan terhadap infeksi. Ketika oklusi dihentikan, penyembuhan terjadi, walaupun organisme ini masih dijumpai di kulit dan masih bisa dikultur dari daerah yang tidak terlibat secara klinis. Jamur ini dapat juga membentuk kolonisasi pada folikel sehingga menyebabkan angka rekurensi yang tinggi (Heffernan dan Janik, 2008). Jamur dapat menyaring sinar matahari dan mengganggu proses pewarnaan kulit yang normal. Senyawa tertentu yang disintesis oleh Malassezia yang disebut pityriacitrin bisa menyerap sinar ultraviolet. Metabolit lain Malassezia seperti asam azaleik dan asam dikarboksilat dapat menyebabkan hipopigmentasi dengan menghambat enzim tirosinase dan merusak melanosit. Kerusakan yang lama dari melanosit karena metabolit tersebut dapat menjelaskan mengapa lesi hipopigmentasi bisa bertahan selama berbulan-bulan dan beberapa bisa bertahan selama bertahun-tahun (Heffernan dan Janik, 2008). 2.1.4. Gejala Klinis Lesi PV terutama dijumpai di bagian atas badan (punggung dan dada) dan meluas ke lengan atas, leher dan perut atau tungkai atas/bawah. Dilaporkan adanya kasus-kasus yang khusus dimana lesi hanya dijumpai pada bagian tubuh yang tertutup atau mendapatkan tekanan pakaian, misalnya pada bagian yang tertutup

pakaian dalam. Dapat pula dijumpai lesi pada lipatan aksila, inguinal atau pada kulit muka dan kepala (Radiono, 2001). Menurut Heffernan dan Janik (2008) Pitiriasis versikolor dapat dijumpai dalam 3 bentuk: a. Papulosquamous Kelainan kulit yang paling umum pada bentuk ini adalah bercak/makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi yang berskuama halus dan bisa disertai dengan rasa gatal yang ringan. Skuama bisa digambarkan sebagai dust-like atau furfuraceous. Untuk menunjukan adanya skuama bisa dilakukan dengan menggesekkan pisau bedah secara perlahan atau kuku di atas kulit (finger nail sign). Lesi bisa ditemukan di daerah badan, termasuk dada, punggung, perut, dan ekstremitas proksimal. Bagaian tubuh yang kurang umum dijumpai lesi adalah wajah, kulit kepala, dan alat kelamin. Gambar 2.1. Pitiriasis versikolor A. Gambaran makula eritematosa pada pitiriasis versikolor. B. Gambaran hipopigmentasi pada pitiriasis versikolor. Sumber: Heffrenan MP, 2008.

b. Follicular Pada bentuk ini adalah makula eritematosa atau hipopigmentasi berbentuk perifolikular dengan diameter 2 - 3 mm. Lesi biasanya muncul di punggung, dada, dan kadang-kadang di ekstremitas pada remaja. Sering disertai dengan rasa gatal. c. Inverse Pityriasis versicolor Berbeda dari pitiriasis versikolor pada umumnya, lesi dari Inverse Pityriasis versicolor ditemui terutama di daerah flexural, wajah atau area tertentu pada ekstremitas. Bentuk ini lebih sering terlihat pada pasien yang mengalami gangguan imunodefisiensi.

Gambar 2.2. Folikular A. Gambaran PV tipe folikular. B. Gambaran histologi PV tipe folikular. Sumber: Heffrenan MP, 2008.

2.1.5 Diagnosis Diagnosis PV ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang seperti kerokan kulit KOH 10% dan lampu Wood. Pada pemeriksaan klinis dijjumpai berupa makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, atau kemerahan yang berbatas tegas, tertutup skuama halus. Pada pemerikasaan dengan lampu Wood akan menunjukkan adanya pendaran (fluoresensi) berwarna kuning keemasan pada lesi yang bersisik. Pemeriksaan mikroskopis sediaan skuama dengan KOH 10% memperlihatkan kelompok sel ragi bulat berdinding tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek), yang akan lebih mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta Parker blue-black atau biru laktofenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering dilukiskan sebagai meat ball and spaghetti atau bananas and grapes. Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan kerokan menggunakan scalpel tumpul atau menggunakan selotip (cellotape) yang

dilekatkan pada lesi. Pembuktian dengan biakan M. furfur tidak menjadi alat diagnostik oleh karena M.furfur merupakan flora normal kulit (Hay dan Ashbee, 2010). 2.1.6. Diagnosis Banding Diagnosis banding meliputi ruam-ruam bercak putih atau coklat pada kulit seperti vitiligo, pitiriasis alba, morbus Hansen, kloasma, sifilis sekunder, pinta, tinea korporis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea (Partogi, 2008 & Djuanda 2010 & Radiono, 2001). Morbus Hansen dapat dibedakan dari PV dengan ciri-ciri khas seperti makula hipopigmentasi yang hipestesi atau anestesi, alopesia, anhidrosis, dan atrofi.

Vitiligo mempunyai tempat predileksi yang khas yaitu di sekitar

wajah, aksila, lipat paha, dorsum manus, dan rektum, serta tidak dijumpai skuama pada lesi hipopigmentasinya. Pada pemeriksaan lampu Wood vitiligo tampak putih berkilau. Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak-anak (3-16 tahun), didahului dengan eritema. Lokasi predileksi biasanya di sekitar mulut, dagu, pipi, serta dahi.

Dermatitis seboroik mempunyai lesi yang khas yaitu skuama yang Sifilis sekunder dan pinta umumnya menunjukkan adanya tingkat

berminyak dan kekuningan inflamasi yg lebih hebat, lesi depigmentasi seperti vitiligo dengan batas yang tidak teratur dan berukuran bervariasi.

Pitiriasis rosea biasanya didahului dengan eritema dengan skuama pohon cemara

halus (herald patch) kemudian diikuti lesi-lesi kecil berikutnya yang susunannya mengikuti garis kosta sehingga menyerupai

terbalik dan pada pemeriksaan KOH akan menunjukkan hasil negatif. Eritrasma umumnya menyerupai PV dalam bentuk hiperpigmentasi. Pada pemeriksaan lampu Wood eritrasma memberikan fluoresensi kemerahan (coral red).

Kloasma atau melasma dapat dibedakan dari PV dengan lesi

hiperpigmentasi tanpa dijumpainya skuama halus. Lokasi predileksi kloasma adalah di pipi dan hidung (pola malar), dagu (pola mandibular), dahi, hidung, pelipis, dan bibir atas (pola sentro-fasial). 2.1.7. Pengobatan Pengobatan PV dapat dilakukan dengan cara topikal atau sistemik. Pengobatan topikal, terutama ditujukan untuk penderita dengan lesi yang minimal. Obat topikal yang paling sering digunakan adalah selenium sulfide 2,5% dan obat topikal golongan senyawa azol (antara lain ketokonazol 2%, bifonazol, tiokonazol) dalam bentuk sampo yang dipakai di seluruh badan setelah mandi selama 5-15 menit dan kemudian dibilas, dipakai 2-3 kali seminggu selama 2 minggu. Obat krim terbinafine 1% juga efektif untuk pengobatan PV, dipakai 2 kali sehari setelah selama seminggu dengan angka kesembuhan 80% (Heffernan dan Janik, 2008). Bisa juga menggunakan solusio sodium tiosulfas 20% yang dioleskan 2 kali sehari setelah mandi selama 2 minggu. Sampo selenium sulfide dan sodium tiosulfas 20% menyebabkan bau yang kurang sedap serta kadang bersifat iritatif, sehingga sering menyebabkan pasien kurang taat menjalani pengobatan (Hay dan Ashbee, 2010 & Heffernan dan Janik, 2008). Pengobatan sistemik menggunakan ketokonazol atau itrakonazol juga sangat efektif untuk PV yang luas. Dosis untuk ketokonazol bervariasi antara 200mg perhari selama 7-10 hari atau 400mg dosis tunggal (Radiono, 2001). Itrakonazol disarankan untuk kasus yang kambuhan atau tidak responsive dengan cara pengobatan lain, dengan dosis 200mg sampai 400mg perhari selama 3-7 hari. Fluconazole juga efektif bila diberikan 400mg dosis tunggal. (Heffernan dan Janik, 2008 & Partogi, 2008). 2.1.8. Pencegahan Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung untuk mencegah terjadinya PV, namun dapat disarankan pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan. Pada daerah endemik dapat disarankan pemakaian

10

ketokonazol 200mg/hari selama 3 hari setiap bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan untuk pencegahan kekambuhan penyakit atau pemakaian sampo selenium sulfide sekali seminggu (Radiono, 2001 & Partogi, 2008). 2.1.9. Prognosis Prognosis PV dalam hal kesembuhan baik tetapi persoalan utama adalah kekambuhan yang sangat tinggi. Menghadapi persoalan ini, lebih baik dilakukan pengobatan ulang setiap kali kambuh atau pencegahan dari pada memperpanjang satu periode pengobatan (Radiono dan Partosuwiryo, 2001). Masalah lain adalah menetapnya hipopigmentasi dan diperlukan waktu yang cukup lama untuk repigmentasi. Namun hal ini bukan akibat kegagalan terapi, sehingga penting untuk memberikan informasi kepada pasien bahwa bercak putih tersebut akan menetap beberapa bulan setelah terapi dan akan menghilang secara perlahan (Hay dan Ashbee, 2010 & Partogi, 2008).

2.2. Kebersihan Diri Kebersihan diri atau personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan (Potter, 2005). Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri baik apabila, orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, tangan dan kuku,dan kebersihan genitalia (Frenki, 2011). Usaha kesehatan pribadi adalah daya upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri (Entjang, 2000). Usaha-usaha itu adalah :

11

a. Kebersihan Kulit Kebersihan individu yang buruk atau bermasalah akan mengakibatkan berbagai dampak, baik fisik maupun psikososial. Dampak fisik yang sering dialami seseorang yang tidak menjaga dengan baik kebersihan dirinya adalah gangguan integritas kulit (Wartonah, 2003). Kulit berfungsi untuk melindungi permukaan tubuh, memelihara suhu tubuh, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dan menerima ransangan dari luar tubuh. Kulit juga penting dalam pembentukkan vitamin D oleh tubuh yang berasal dari 7-dehidrokolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet. Mengingat pentingnya fungsi-fungsi kulit tersebut maka kulit perlu dijaga kesehatannya (Djuanda, 2010). Sabun dan air adalah hal yang penting untuk mempertahankan kebersihan kulit. Mandi yang baik adalah : 1). Mandi satu sampai dua kali sehari, khususnya di daerah tropis. 2). Bagi yang terlibat dalam kegiatan olah raga atau pekerjaan lain yang mengeluarkan banyak keringat dianjurkan untuk segera mandi setelah selesai kegiatan tersebut. 3). Gunakan sabun yang lembut. Germisidal atau sabun antiseptik tidak dianjurkan untuk mandi sehari-hari. 4). Bersihkan anus dan genitalia dengan baik karena pada kondisi tidak bersih, sekresi normal dari anus dan genitalia akan menyebabkan iritasi dan infeksi. 5). Bersihkan badan dari sabun dengan air lalu keringkan dengan handuk yang kering dan tidak dipakai oleh orang lain (Web Health Center, 2012). b. Kebersihan tangan dan kuku Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya menggunakan tangan untuk makan, mempersiapkan makanan, bekerja dan lain sebagainya. Oleh karena itu, butuh perhatian ekstra untuk kebersihan tangan dan kuku sebelum dan sesudah beraktivitas. 1). Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah ke kamar mandi dengan menggunakan sabun. Mencuci dengan menggunakan sabun harus meliputi area antara jari tangan, kuku dan punggung tangan. 2). Handuk yang digunakan untuk mengeringkan tangan sebaiknya dicuci dan diganti setiap hari. 3). Pelihara kuku agar tetap pendek, jangan memotong kuku terlalu pendek sehingga bisa mengenai kulit (Web Health Center, 2012).

12

c. Kebersihan Genitalia Area genitalia merupakan tempat yang lembab yang berpotensi mengalami infeksi. Karena minimnya pengetahuan tentang kebersihan genitalia, banyak kaum remaja putri maupun putra mengalami infeksi di alat reproduksinya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjaga kebersihan genital yaitu: Membersihkan genitalia dengan benar (dari depan kebelakang). Pemakaian celana dalam yang kering dan harus diganti setiap hari.

Kebersihan diri merupakan faktor penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan, agar kita selalu dapat hidup sehat. Menjaga kebersihan diri berarti juga menjaga kesehatan umum. Menurut Wolf (2000) dalam Frenki (2011) cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan sebagai berikut : Mandi setiap hari minimal 2 kali sehari secara teratur dengan menggunakan sabun, muka harus bersih, telinga juga harus dibersihkan serta bagian genitalia. Tangan harus dicuci sebelum menyiapkan makanan dan minuman, Kuku digunting pendek dan bersih, agar tak melukai kulit atau Pakaian perlu diganti sehabis mandi dengan pakaian yang habis sebelum makan, sesudah buang air besar atau buang air kecil. menjadi sumber infeksi. dicuci bersih dengan sabun/ detergen, dijemur di bawah sinar matahari dan di setrika. 2.3. Hubungan Kebersihan Diri dengan Pitiriasis Versikolor Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kurangnya kebersihan diri merupakan salah satu faktor predisposisi timbulnya penyakit seperti pitiriasis versikolor ( Tarwoto & Wartonah, 2003).

13

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penellitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: Variabel Independen Kebersihan Diri Variable Dependen Pitiriasis Versikolor

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 3.2. Definisi Operasional No Variable Definisi Alat Ukur dan Cara Hasil Ukur Skala

14

1.

Kebersihan Diri

Suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.

Ukur Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 36 pertanyaan dengan kriteria: Ya = 1 atau 5 Tidak = 0 Pemeriksaan Fisik:
Adanya makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi disertai adanya skuama yang halus.

Ukur
Dari total Ordinal 6 item dengan nilai : Skor tertingginya 72 dan skor terendahnya 0 Dikategori kan: Baik >36 Kurang 36

2.

Pitiriasis Versikolor

Suatu penyakit jamur kulit yang kronik dan asimtomatik serta ditandai dengan bercak putih sampai coklat yang bersisik yang disebabkan oleh Malassezia furfur.

Ya dan tidak.

Nominal

Pemeriksaan Penunjang: Pada pemerikasaan dengan lampu wood akan menunjukkan adanya pendaran (fluoresensi) berwarna kuning keemasan pada lesi yang bersisik
Pemeriksaan mikroskopis sediaan skuama dengan KOH memperlihatkan kelompok sel ragi bulat berdinding tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendekpendek), yang akan lebih

15

mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta Parker blue-black atau biru laktofenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering dilukiskan sebagai meat ball and spaghetti atau bananas and grapes.

3.3. Hipotesis Ada hubungan antara kebersihan diri dengan kemungkinan terjadinya penyakit pitiriasis versikolor.

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat survei analitik dengan desain potong lintang (cross sectional), dimana penelitian ini menggambarkan hubungan kebersihan diri dengan kejadian Pitiriasis versikolor di Pondok Pesantren Modern Tadib Al-Syakirin Titi Kuning Kecamatan Medan Johor. 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus - Oktober 2012. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Modern Tadib Al-Syakirin, Jalan Brigjend Zein Hamid kilometer 7,5, Titi Kuning Kecamatan Medan Johor, Sumatera Utara, Indonesia. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Modern Tadib Al-Syakirin Titi Kuning Kecamatan Medan Johor karena ditemukannya beberapa suspek yang menderita Pitiriasis versikolor, kondisi cuaca yang panas dan lembab disekitar pesantren, dan belum pernah dilakukan penelitian yang sama di pesantren ini tentang Pitiriasis versikolor. 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

16

4.3.1. Populasi Dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh santri kelas 2 dan 3 SMP Pesantren Modern Tadib Al-Syakirin yaitu sebanyak 45 santri. 4.3.2. Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, yaitu seluruh populasi yang memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan teori dan pertimbangan para ahli dijadikan sebagai sampel penelitian (Wahyuni, 2007). 4.3.3. Kriteria Inklusi Semua santri kelas 2 dan 3 SMP di Pondok Pesantren Modern Tadib Al-Syakirin Titi Kuning Kecamatan Medan Johor. Bersedia mengikuti penelitian.

4.3.4. Kriteria Eksklusi Semua santri yang sedang menjalani pengobatan obat antijamur. 4.4. Teknik Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer Data yang diperoleh dengan menggunakan observasi langsung untuk menegakkan diagnosis oleh peneliti, dimana 45 orang sampel diperiksa secara fisik ada tidaknya makula hipopigmentasi/hiperpigmentasi disertai adanya skauma halus; diperiksa dengan lampu wood ada tidaknya pendaran warna kuning keemasan; dilakukan pemeriksaan mikroskop dengan KOH 10%, positif bila memperlihatkan kelompok sel ragi bulat berdinding tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek) atau gambaran seperti meat ball and spaghetti dan melalui kuesioner untuk menilai kebersihan diri. 4.4.2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari pengelola pondok pesantren (administrasi). 4.5. Pengolahan dan Analisa Data

17

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program computer SPSS dengan proses sebagai berikut (Wahyuni, 2007): Editing Coding Entry Cleaning Data Saving Analysis Data : memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. : pemberian kode dan penomoran. : memasukkan data ke dalam computer. : memeriksa semua data yang telah dimasukkan ke : penyimpanan data : menggunakan mendekripsikan masing-masing variabel

dalam komputer untuk menghindari kesalahan dalam pemasukkan data.

yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Kemudian dianalisa untuk mengetahui hubungan variable independent dengan variabel dependen menggunakan uji Chi-square dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisa data dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas dengan (0,05).

Daftar Pustaka Adiguna, M.S. 2001. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam: Budimulja Unandar, dkk., ed. Dermatomikosis Superficial: Pedoman untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. American Academy of Dermatology. 2012. Tinea versicolor. http://www.aad.org/skin-conditions/dermatology-a-to-z/tinea-versicolor. [Accessed 2 Mei 2012]. Budimulja Unandar. 2010. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S., ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Entjang Indan. 2000. Hubungan usaha kerja kesehatan pribadi dengan kesehatan masyarakat. Dalam: Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Frenki. 2011. Hubungan personal hygiene santri dengan kejadian penyakit kulit infeksi skabies dan tinjauan sanitasi lingkungan pesantren darel hikmah kota pekanbaru tahun 2011. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/30846. [Accessed 2 Mei 2012]. Hay RJ, Ashbee HR. 2010. Mycology. Dalam : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C., ed. Rooks Textbook of Dermatology 8th edition. USA: Blackwell Publishing Ltd.

18

Heffrenan MP, Janik MP. 2008. Yeast Infection: Candidiasis and Tinea (Pityriasis) Versikolor. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ., ed. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th edition. USA: The McGraw-Hill Companies, inc. Heffrenan MP, Verna S. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ., ed. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th edition. USA: The McGraw-Hill Companies, inc. James WD, Berger TG, Elston DM.2006. Diseases resulting from fungi and yeasts. Dalam: Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology 10th edition. Kanada: Elsevier inc. Madani F. 2000. Infeksi jamur kulit. Dalam: Harahap M., ed. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. Mitchell, Thomas G. 2001. Medical Mycology. Dalam: Brooks GF, Butel JS, Morse SA., ed. Jawetzs Meddical Microbiology 22nd edition. USA: Appleton & Lange. Partogi Donna. 2008. Pityriasis versikolor dan diagnosis bandingnya (Ruam-ruam bercak putih pada kulit). Medan: FK USU. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3417. [Accessed 2 Mei 2012]. Partosuwiryo S; Danukusumo, H.A.J. 1992. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Budimulja Unandar, dkk., ed. Diagnosis dan Penatalaksaan Dermatomikosis. Jakarta: FKUI. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. 2006. Superficial mycoses and dermatophytes. Dalam: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR., ed. Tropical Dermatology. USA: Elsevier Inc. Radiono Sunardi. 2001. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Budimulja Unandar, dkk., ed. Dermatomikosis Superficial: Pedoman untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Rangkuti, A.F. 2012. Gambaran perilaku penghuni tentang personal hygiene sanitasi dasar perumahan sehat serta keluhan kesehatan kulit di asrama putra usu medan. Medan: FKM USU. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31579. [Accessed 2 Mei 2012]. Silalahi, D.K. 2010. Hubungan kebersihan perorangan dan pemakaian alat pelindung diri dengan keluhan gangguan kulit pada petugas pengelola sampah di tempat pembuangan akhir (tpa) namo bintang kecamatan pancur batu kabupaten deli serdang tahun 2010. Medan: FKM USU. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20777. [Accessed 2 Mei 2012].

19

Siregar, R.S. 2005. Mikosis superfisialis. Dalam: Penyakit Jamur Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC. Tarwoto, Wartonah. 2010. Kebutuhan personal hygiene. Dalam: Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika. Wahyuni, Arlinda Sari. 2007. Tehnik penarikan sampel. Dalam: Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS). Jakarta: Bamboedoea Communication. Webhealthcenter. 2012. Personal hygiene. http://www.webhealthcentre.com/HealthyLiving/personal_hygiene_routine. aspx. [Accessed 2 Mei 2012].

You might also like