You are on page 1of 43

LAPORAN PBL IV BLOK REPRODUKSI

Tutor: dr. Lantip Rujito, Msi.Med. Disusun oleh Kelompok III Adhitya Yudha Maulana Agustina Hartuti Ulfah Kartikasari Ersa Masruroh Hendra Hermawan Danar Jovian L. Ading Saka Buana Oki Kristanti Manggala Sariputri Sesia Pradestine Aristi Intan Soraya G1A007018 G1A007019 G1A007048 G1A007049 G1A007050 G1A007085 G1A007086 G1A007087 G1A007095 G1A007096 G1A007097

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2009

BAB I PENDAHULUAN

Proses belajar memiliki berbagai metode pembelajaran dalam rangka mencapai sasaran belajar dan kompetensi yang diharapkan untuk mahasiswa yang bersangkutan. Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah dengan metode Problem Based Learning, yakni suatu metode belajar dengan model diskusi pembelajaran bersama terhadap skenario kasus tertentu yang menuntut mahasiswa berperan aktif secara individu dalam memahami dan mendalami permasalahan yang telah tersedia melalui penerapan seven jumps, yaitu: 1. Klarifikasi istilah 2. Batasan masalah 3. Analisa masalah 4. Pembahasan masalah 5. Sasaran belajar 6. Pembahasan sasaran belajar 7. Kesimpulan Pada kasus PBL (Problem Based Learning) terakhir blok reproduksi ini, kami membahas mengenai keganasan pada organ genital feminina, yaitu kanker leher rahim. Kanker leher rahim harus benar-benar dipahami mulai dari penyebab, fakor predisposisi, patogenesis, patofisiologi, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, pencegahan serta pencegahannya. Hal ini dikarenakan angka kejadian kanker leher rahim di Indonesia masih sangat tinggi.

BAB II PEMBAHASAN Informasi 1 Seorang wanita usia 48 tahun, nama Ny Suranti datang ke poliklinik Obgin RS. Margono dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak 6 bulan ini. Perdarahan disertai dengan keputihan yang berbau tidak sedap. Ibu Suranti juga mengeluh acapkali berhubungan badan dengan suami selalu takut karena seringkali mengeluarkan darah sedikit setelah selesai berhubungan. Sebagai informasi tambahan, mereka sudah berumah tangga sejak 21 tahun yang lalu dan telah memiliki anak 4 hidup. Informasi 2 1. Anamnesis Pasien menikah pertama kali usia 16 tahun. Kemudian cerai, menikah dengan suami sekarang saat usia 19 tahun dan memiliki 4 orang anak. Riwayat kontrasepsi Riwayat persalinan 2. Pemeriksaan fisik Keadaan umum Vital sign Berat badan Status internus Abdomen : komposmentis, agak pucat, anemis, tidak sesak naafas : dalam batas normal : 55 kg; tinggi badan : 160 cm : dalam batas normal : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Pemeriksaan dalam : Inspekulo : Tampak vulva tidak ada kelainan, lesi, papul(-) Uretra : karankula (-), dinding mukosa vagina teraba infiltrat pada 1/3 proksimal vagina : perut datar, tidak ada tumor, jaringan parut : perabaan supel, lemes, nyeri tekan (-), massa tumor (-) : pekak sisi alih (-), test undulasi (-) : bising usus (+) normal : dalam 6 bulan terakhir tidak KB : P5A1, bersalin selalu ditolong oleh dukung, spontan

Status ginekologis :

Serviks tampak ukuran sejempol kaki orang dewasa, terdapat lesi ulseratif di dinding mukosa serviks porsionis vagina, ukuram 2x1 cm, mudah rapuh dan berdarah, OUE berbentuk linier tampak keluar discharge keputihan dari OUE. Pemeriksaan bimanual : Uterus agak membesar, sebesar telur bebek antefleksi Massa tumor di parametrium kanan dan kiri tidak ada, infiltrate di dinding pelvis kanan kiri tidak ada, nyeri tekan parametrium (-), teraba infiltrat di dinding mukosa vagina pada 1/3 proksimal Informasi 3 Hasil Paps Smear : Terdapat sel-sel epitel superficial dan intermediet yang kurang matur, dengan tampak diskariotik pada inti dan sitoplasmiknya. Kesan terdapat gambaran metaplasia moderat pada sel-sel parabasal dan superficial. Juga terdapat infiltrasi sel-sel inflamasi berupa sel leukosit dan makrofag bergerombol. Kesimpulan : infeksi serviks kronis Hasil Histo-Patologi serviks : Karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi sedang tanpa keratinisasi Informasi 4 Pasien tersebut dikirim ke RS Margono dn ditegakkan diagnosis : kanker serviks stadium II A Terapi : Histerektomi radikal Radioterapi Kemoterapi

1. Klarifikasi Istilah Keputihan/leucorrhea : cairan berlebih yang keluar dari vagina, bukan darah, dan patologis jika terdapat perubahan warna dan bau. 2. Batasan Masalah Identitas Keluhan utama Onset Gejala penyerta RPSOS 3. Analisis Masalah 1) Perdarahan jalan lahir 2) Keputihan 3) Contact bleeding 4. Pembahasan 1) Perdarahan a. Reanamnesis : menopause, menarche b. Disfungsi perdarahan uterin Perdarahan bukan haid ialah perdarahan yang terjadi dalam masa antara dua haid. Perdarahan itu tampak terpisah dan dapat dibedakan dari haid atau dua jenis perdarahan ini menjadi satu, yang pertama disebut metroragia, yang kedua disebut menometroragia. Metroragia atau menometroragia dapat disebabkan oleh kelainan organik pada alat genital atau oleh kelainan fungsional (Simanjuntak, 2007). a. Sebab-sebab organik Perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium disebabkan oleh kelainan pada: 1) Serviks uteri, seperti polipus servisis uteri, erosio porsionis uteri, ulkus pada porsio uteri, karsinoma servisis uteri 2) Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus imminens, abortus sedang berlangsung, abortus inkompletus, mola hidatidosa, koriokarsinoma, subinvolusio uteri, karsinoma korporis uteri, sarkoma uteri, mioma uteri. 3) Tuba fallopii, seperti kehamilan ektopik terganggu, radang tuba, tumor tuba. 4) Ovarium, seperti radang ovarium, tumor ovarium (Simanjuntak, 2007). : Ny. Suranti (48 tahun) : perdarahan jalan lahir : 6 bulan : keputihan dengan bau yang tidak sedap, perdarahan setelah koitus : menikah usia 21 tahun, memiliki 4 orang anak

b. Sebab-sebab fungsional Perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan kelainan organik dinamakan perdarahan disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan menopause. Akan tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium (Simanjuntak, 2007). 1) Perdarahan ovulator Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk menegakkan diagnosis perdarahan ovulator, perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dapat dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologinya: a) Korpus luteum persistens, dalam hal ini dijumpai perdarahan kadangkadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering menunjukkan banyak persamaan antara keduanya. Korpus luteum persistens dapat pula menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur (irreguler shedding). Diagnosis irreguler shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya, yakni menurut Mc Lennon pada hari ke-4 mulainya perdarahan. Pada waktu ini dijumpai endometrium dalam tipe sekresi di samping tipe nonsekresi. b) Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh gangguan LH releasing factor. c) Apopleksia uteri, pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah dalam uterus. d) Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam mekanisme pembekuan darah (Simanjuntak, 2007).

2) Perdarahan anovulator Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan menurunnya kadar estrogen di bawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut pautnya dengan jumlah folikel yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia dan kemudian diganti oleh folikel-folikel baru. Endometrium di bawah pengaruh estrogen tumbuh terus dan dari dari endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium bersifat hiperplasia kistik. Jika gambaran itu dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulator (Simanjuntak, 2007). Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam kehidupan menstrual seorang wanita, tetapi hal ini paling sering terdapat pada masa pubertas dan pada masa premenopause. Pada masa pubertas sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya proses pematangan pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan releasing factor dan hormon gonadrotopin tidak sempurna. Pada wanita dalam masa premenopause, proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan lancar (Simanjuntak, 2007). Bila pada masa pubertas, kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi ovulator, pada seorang wanita dewasan dan terutama dalam masa pramenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak perlu diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas. Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang menahun, tumor-tumor ovarium, dan sebagainya. Di samping itu, terdapat banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa adanya penakitpenyakit tersebut. Dalam hal ini, stres yang dihadapi dalam kehidupan seharihari, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Kejadian-kejadian yang

mengganggu keseimbangan emosional seperti kecelakaan, kematian dalam keluarga, pemberian obat penenang terlalu lama dapat menyebabkan perdarahan anovulator. Biasanya kelainan dalam perdarahan ini hanya untuk sementara waktu (Simanjuntak, 2007). 2) Keputihan Keputihan disebut juga leukorea, white discharge, atau flour albus adalah keluarnya cairan dari organ reproduksi yang bukan darah. Keputihan patologis jika telah berubah warna, bertambah banyak, terasa gatal dan nyeri, kemudian tercium bau amis hingga busuk. (Febiliawanti, 2009) Ciri - ciri keputihan abnormal ini : a. Keputihan berwarna coklat atau ada sedikit darah Ini merupakan keputihan yang seringkali terjadi jika Anda mempunyai siklus menstruasi yang tidak teratur. Waspadai jika keputihan ini disertai perdarahan dari vagina yang sering terjadi dan juga nyeri panggul, karena situasi ini bisa pada penderita kanker serviks maupun kanker endometrium b. Keputihan berwarna kuning atau keruh Jika keputihan ini disertai dengan perdarahan dari vagina di luar siklus menstruasi dan nyeri saat berkemih, bisa jadi ini merupakan tanda infeksi gonorea. c. Keputihan berwarna kuning atau hijau, berbusa dan berbau busuk Biasanya keputihan seperti ini disertai dengan nyeri dan gatal saat berkemih. Ada kemungkinan erkena infeksi trikomoniasis d. Keputihan berwarna pink Biasanya keputihan ini terjadi setelah melahirkan e. Keputihan berwarna putih kekuningan dan agak kental seperti susu Keputihan seperti susu ini bila disertai bengkak dan nyeri sekitar bibir vagina, gatalgatal hingga nyeri saat berhubungan seks biasanya merupakan pertanda adanya infeksi jamur f. Keputihan yang berwarna abu - abu, atau kuning dengan bau amis seperti ikan Biasanya keputihan ini disertai oleh rasa panas seperti terbakar, gatal, kemerahan dan bengkak di bibir vagina atau vulva. Ini merupakan pertanda adanya infeksi vagina karena bakteri. (Febiliawanti, 2009)

3) Post Coital Bleeding a. Perdarahan paska senggama (post coital bleeding/PCB) PCB pada umumnya disebabkan oleh dua hal, masalah pada serviks (leher rahim) dan perdarahan pada lapisan dalam rahim (endometrium). 1. Masalah pada Serviks Leher rahim merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama. Panjang leher rahim kira-kira 1/3 dari panjang rahim secara keseluruhan, dan mempunyai saluran di dalamnya yang menghubungkan rongga di dalam badan rahim dan liang senggama. Perdarahan yang berasal dari servis bisa terjadi karena adanya lesi pada serviks. Menurut studi, 49 persen dokter ginekolog di Inggris akan melakukan tes PAP Smear ulangan bila pasien mengeluhkan PCB. Beberapa penelitian berdasarkan pemeriksaan colposcopy menemukan wanita yang hasil tes PAP nya normal namun mengalami PCB biasanya memiliki sel serviks yang tidak normal. Terjadinya infeksi pada serviks yang disebabkan gonorhea (kencing nanah) dan chlamydia juga menyebabkan serviks lebih mudah berdarah. Hampir 80 persen dokter ginekolog di Inggris melaporkan ditemukannya chlamydia pada pasien PCB. Pada sebagian wanita, perdarahan setelah berhubungan seks juga disebabkan karena adanya kehamilan ektopik (ovum yang dibuahi menempel di luar uterus). Penempelan itu bisa terjadi pada tuba falopi, ovarium, atau serviks. Masalah lain yang kerap terjadi pada serviks adalah adanya polip. Bila polip ini tersentuh oleh penis, jari, atau alat seks (sex toys), maka akan menyebabkan darah keluar (Airlina, 2004) 2. Lapisan dinding rahim Bila lapisan dinding rahim kurang stabil, maka munculnya spot atau vlek darah paska hubungan intim lebih mudah terjadi. Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal juga bisa menyebabkan lapisan dinding rahim kurang stabil. Infeksi gonorhea, chlamydia atau jamur juga bisa menyerang dinding rahim dan menyebabkan ketidakstabilan sehingga mudah terjadi perdarahan setelah berhubungan intim. Perdarahan setelah berhubungan seks juga bisa terjadi pada wanita hamil dan wanita yang baru pertama kali berhubungan karena terjadinya

erosi di vagina, terutama bila si wanita belum terangsang penuh sehingga menyebabkan luka gesekan saat penetrasi (Airlina, 2004) Post Coital Bleeding (PCB) adalah perdarahan yang terjadi setelah coitus sama dengan perdarahan pasca senggama. Berikut ini merupakan 7 penyebab terbanyak PCB :
1. Displasia serviks : merupakan perubahan pra-kanker pada leher rahim. Dalam

teorinya dikatakan disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV). Cara deteksi displasia dilakukan dengan pemeriksaan Pap Smear. 2. Infeksi di vagina atau serviks : yang disebabkan oleh Chlamidia, Gonorea (kencing nanah), Trikomonas, dan infeksi jamur. 3. Polip serviks, massa bertangkai pada serviks. 4. Kanker leher rahim (Carcinoma Cervix) 5. Endometriosis terutama adenomiosis yaitu adanya pertumbuhan endometrium (lapisan dalam rahim yang keluar waktu haid) yang masuk/infiltrasi ke otot2 rahim. 6. Polip rahim, mirip dengan polip serviks, cuma yang ini tumbuhnya didalam rongga rahim 7. Mioma uteri yaitu tumor jinak yang berasal dari dinding otot rahim. (Airlina, 2004) Hipotesis : 1) Ca Serviks 2) Infeksi mikroorganisme 3) Ca Vagina 5. Sasaran Belajar 1) Penegakkan diagnosis Tabel 1. Perbedaan Ca Cerviks, Infeksi Mikroiologi, dan Ca Vagina Pemeriksaan fisik Ca Serviks a. Gestasi 5 kali b. Sering pasangan c. Higienis kurang c. berganti Infeksi mikrobiologi a. Fluor albus b. Contact bleeding Pelvic pain Ca Vagina a. Ditemukan pada organ (metastasis) b. Terdiagnosis lain

d. Wanita perokok e. Contact bleeding f. Leucorrhea

d. e.

Belum menikah (lajang) Terdiagnosis pada yang pasangan sering

setelah dari 5

lebih tahun

tidak adanya Ca Serviks (0,6/100000 wanita) 0,3-2 % 45-65 tahun

berganti pasangan dalam 6 bulan Prevalensi Usia Predileksi 68 % 35-45 tahun bagian belakang vagina 2) Diagnosis : Ca Serviks 3) Etiologi Ca Serviks < 25 tahun atas

Penyebab terjadinya kelainan pada sel-sel serviks tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks : a. HPV (human papillomavirus). HPV adalah virus penyebab kutil genitalis (kondiloma akuminata) yang ditularkan melalui hubungan seksual. Varian yang sangat berbahaya adalah HPV tipe 16, 18, 45 dan 56 b. Merokok. Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks c. Hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini (<16 tahun) d. Berganti-ganti pasangan seksual e. Suami/pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual pertama pada usia di bawah 18 tahun, berganti-ganti pasangan dan pernah menikah dengan wanita yang menderita kanker serviks f. Pemakaian DES (dietilstilbestrol) pada wanita hamil untuk mencegah keguguran (banyak digunakan pada tahun 1940-1970) g. Gangguan sistem kekebalan h. Pemakaian pil KB i. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun j. Golongan ekonomi lemah (karena tidak mampu melakukan Pap smear secara rutin)

k. Insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apalagi bila jarak persalinan terlampau dekat l. Suami yang tidak sirkumsisi m. Perubahan taut epitel skuamocolumnar junction pada saat anak-anak, dewasa muda, dewasa tua (Abidin, 2007) 4) Manifestasi klinis 1. Stadium dini tanpa gejala 2. Gejala awal : a) Vaginal discharge yang berbau b) Perdarahan vagina abnormal c) Perdarahan postcoital jarang 3. Tahap lanjut: a) Nyeri pelvik b) Iskialgia c) Nyeri tulang belakang hidronefrosis d) Hematuria e) Hematokezia (Anonim, 2009) 5) Stadium klinis Stadium 0 Stadium I a. IA b. IA1 c. IA2 d. IB e. IB1 f. IB2 Stadium II a. IIA : karsinoma in situ : terbatas di serviks : lesi mikroskopik : invasi ke stroma 3 mm & lebar 7 mm : invasi ke stroma > 3 mm tetapi < 5 & lebar 7mm : lesi makroskopik, > std IA : lesi < 4 cm : lesi >4 cm : proses keluar dari serviks, mencapai 2/3 proksimal vagina, dinding panggul (-) : parametrium (-)

b. IIB Stadium III a. IIIA b. IIIB Stadium IV a. IVA b. IVB

: parametrium (+) : 1/3 distal vagina, mencapai dinding panggul. RT tidak ditemukan space antara tumor & dinding panggul. Hidronefrosis atau gangguan ginjal : dinding panggul (-) : dinding panggul (+) : meluas ke luar dinding panggul atau secara klinik mencapai mukosa bulibuli atau rektum : ke organ sekitar : organ jauh

(Anonim, 2009)

Gambar 1. Stadium Ca Serviks 1A (Anonim, 2009)

Gambar 2. Ca Serviks Stadium 1B (Anonim, 2009)

Gambar 3. Ca Serviks Stadium 2A (Anonim, 2009)

Gambar 4. Ca Serviks Stadium 2B (Anonim, 2009)

Gambar 5. Ca Serviks Stadium 3A (Anonim, 2009)

Gambar 6. Ca Serviks Stadium 3B (Anonim, 2009)

Gambar 7. Ca Serviks Stadium 4A (Anonim, 2009)

Gambar 8. Ca Serviks Stadium 4B (Anonim, 2009) 6) Patogenesis Studi epidemiologik mengisyaratkan bahwa karsinoma serviks disebabkan oleh agen yang ditularkan melalui hubungan seks, dan HPV dilaporkan berkaitan erat dengan kanker ini. Sekuensi DNA HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 75 % sampai 100 % kanker sel skuamosa invasive dan prekusornya (misal, displasia berat dan karsinoma insitu). Berbeda dengan kanker serviks, kutil genital dengan potensi keganasan rendah dilaporkan disebabkan oleh tipe HPV tertentu, terutama HPV-6 dan HPV-11. (Robbins, 2007) Potensial onkogenik HPV dapat dikaitkan dengan produk dua gen awal virus, E6 dan E7. Secara bersama sama, keduanya berinteraksi dengan berbagai protein pengendali pertumbuhan yang dikode oleh onkogen dan penekan tumor. Protein E6 mengikat dan menginaktifkan protein TP53; protein ini memerantai penguraian BAX, suatu anggota proapoptotik famili BCL2; dan protein ini mengaktifkan telomerase. Protein E7 berikatan dengan protein retinoblastoma dan menggeser factor trakripsi E2F yang secara normal

disingkirkan oleh RB. Protein ini juga menginaktifkan CDK1 CDK1NA/ p21 dan p27. Protein E7 dari tipe HPV resiko tinggi (tipe 16, 18, dll) mengikat dan mungkin mengaktifkan siklin E dan A. (Robbins, 2007)

Gambar 9. HPV E6 dan E7 (Robbins, 2007) Secara singkat, infeksi oleh HPV jenis resiko tinggi menyebabkan hilangnya gen penekan tumor, mengaktifkan siklin, menghambat apoptosis, dan melawan penuaan sel. Oleh karena itu, jelaslah bahwa banyak tanda utama kanker digerakkan oleh HPV. Namun, infeksi oleh HPV itu saja kurang memadai untuk karsinogenesis. Sebagai contoh, apabila keratinosit manusia mengalami transfeksi oleh DNA dari HPV 16, 18, atau 31 in vitro, sel ini mengalami imortalisasi (keabadian), tetapi tidak membentuk tumor pada hewan percobaan. Kotrasfeksi dengan suatu agen RAS yang sudah bermutasi menyebabkan tranformasi keganasan lengkap. Data ini mengisyaratkan dengan kuat bahwa HPV kemungkinan besar bekerja sama dengan factor lingkungan lainnya. (Robbins, 2007)

Gambar 10. Skema patogenesis karsinoma serviks (Robbins, 2007)

Salah satu faktor predisposisi yang dapat dijelaskan adalah wanita menikah usia muda atau telah melakukan hubungan seksual di usia muda (kurang dari sama dengan 16 tahun). Hal ini sangat berkaitan dengan perubahan / transformasi dari epitel pada taut skuamokolumnar di serviks uterus.

Gambar 11. Skema perkembangan zona transformasi serviks (Robbins, 2007) Ektropion yang terdapat pada usia dewasa muda meningkatkan risiko pajanan kontak HPV terhadap epitel taut yang diperantarai oleh aktivitas seksual. Ektropion ini kemudian menghilang setelah dewasa. Namun, untuk bermanifestasi sebagai neoplasia membutuhkan waktu tahunan atau puluhan tahun. (Robbins, 2007; Huether, 2000) Perlu ditekankan bahwa sebagian besar karsinoma sel gepeng serviks invasive berasal dari kelainan epitel prekusor yang disebut CIN. Namun, tidak semua kasus CIN berkembang menjadi kanker invasive, dan memang banyak yang menetap tanpa berubah atau bahkan mengecil. (Robbins, 2007; Huether, 2000) Pemeriksaan sitologik dapat mendeteksi CIN (SIL) jauh sebelum tampak kelainan makroskopik. Tindak lanjut terhadap perempuan tersebut membuktikan bahwa kelainan epitel prakanker mungkin mendahului terbentuknya kanker nyata selama bertahun tahun, mungkin sampai 20 tahun. Namun, seperti telah disinggung, hanya sebagian kasus CIN yang berkembang menjadi karsinoma invasive. Kelainan prakanker yang disebut sebagai CIN mungkin berawal sebagai CIN derajat ringan (low grade) dan berkembang menjadi CIN derajat berat (high grade), atau berawal sudah sebagai CIN derajat berat, bergantung pada lokasi infeksi HPV di zona transformasi, tipe infeksi HPV (resiko tinggi versus rendah), dan factor kontribusi lainnya pada pejamu. (Robbins, 2007; Huether, 2000) Berdasarkan gambaran histology, kelainan prakanker dapat diperingkatkan sebagai berikut : a. CIN I : displasia ringan b. CIN II : displasia sedang c. CIN III : displasia berat dan karsinoma insitu. Gambaran histopatologi derajat CIN terlihat pada Gambar 4.

Gambar 12. Histopatologi epitel serviks (upper) normal dan CIN (Robbins, 2007) Perkembangan dari derajat yang lebih rendah ke yang lebih tinggi tidak selalu terjadi. Meskipun berbagai penelitian memberikan hasil berbeda, kemungkinan CIN I mengalami regresi adalah 50 60 %, menetap 30 %, dan berkambang menjadi CIN III, 20 %. Hanya 1 5 % menjadi invasive. Pada CIN III kemungkinan regresi hanya 33 % dan berkembang 6 % hingga 74 % (di berbagai penelitian). Jelaslah bahwa semakin berat / tinggi derajat CIN, semakin besar kemungkinannya berkembang, tetapi perlu dicatat bahwa banyak kasus lesi derajat berat tidak berkembang menjadi kanker. (Robbins, 2007)

Gambar 13. Siklus Hidup HPV pada Epitelium Skuamus (Kahn, 2009) 7) Patofisiologi Keputihan yang berubah warna dan bau (patologis) berawal dari infeksi yang menyebabkan suplai darah berkurang sehingga terjadi nekrosis jaringan dan terbawa keluar bersama sekret. Anemia sering terjadi karena adanya perdarahan. Nyeri pada bagian tulang belakang dan pelvis juga dapat terjadi. Mekanisme nyeri secara umum dapat digambarkan :

Gambar 18. Mekanisme Nyeri (Sherwood, 2001) 8) Dasar diagnosis dan pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan fisik : lesi endofitik, eksofitik, serviks teraba kaku dan membesar pembesaran inguinal, supraklavikula, & hepar 2. Sitologi (Paps Smear) 3. Kolposkopi + biopsi 4. IVA 5. Petanda tumor : SCC tidak spesifik, untuk semua jenis kanker tipe skuamosa a) Meningkat sesuai stadium b) Berhubungan dengan bentuk tumor primer, diferensiasi & survival pasien c) Terutama untuk memantau terapi (Anonim, 2009) 9) Diferensiasi Diferensiasi tumor ganas sering merupakan petunjuk yang berguna akan derajat keganasan dan kecepatan tumbuh tumor tersebut. Bila diferensiasinya lebih baik, maka tumor itu tumbuh lebih lambat, dan sebaliknya makin anaplastik suatu tumor, semakin cepat tumbuhnya. Secara kasar untuk membedakan derajat keganasan suatu tumor adalah dengan melihat gambaran makroskopik; apakah tumor tumbuh eksofitik atau infiltratif. Tumor yang tumbuh eksofitik kurang keganasannya bila dibandingkan dengan tumor yang tumbuh infiltratif yang biasanya lebih ganas. Tentang mitosis makin banyak jumlah mitosis yang ditemukan makin ganas tumor itu. Berdasarkan ini maka BRODERS membagi tumor ganas atas 4 tingkat (grade) : a. Tingkat 1 : bila lebih dari 75 % sel-selnya berdiferensiasi baik b. Tingkat 2 : bila 50-75 % sel-selnya berdiferensiasi baik c. Tingkat 3 : bila 25-50 % sel-selnya berdiferensiasi baik d. Tingkat 4 : bila 0-25 % sel-selnya berdiferensiasi baik (Achmad, 1973) 10) Komplikasi 1. Perdarahan Perdarahan profuse dapat terjadi langsung atau sesudah mendapat pengobatan radium, eksternal radiasi, serta setelah kemoterapi. Pengobatan yang diberikan 1) Infuse

Transfusi darah 2) Substitusi cairan a. Plasma expander b. Macrodex c. Plasmagel. 3) Hemostatik a. Transmin b. Adona c. Dicynon. 4) Local : dilakukan tamponade padat untuk beberapa hari 5) Operatif a. Pengikatan arteri iliaka interna b. Aplikasi radium kembali Bila dijumpai di puskesmas dilakukan referral. (Manuaba, 2004) 2. Uremia Terjadi karena metastase pada ureter sehingga terjadi gangguan pengeluaran urine. (Manuaba, 2004) 3. Kematian Penyebab : a. Perdarahan profuse b. Metastase jauh dengan komplikasi dan manifestasi klinik fistula dengan organ sekitarnya c. Uremia d. Kakeksia (Manuaba, 2004) 11) Tata laksana Jenis penatalaksanaan yang dapat dilakukan (Manuaba, 2004) : 1. Operasi a. Cryosurgery

Benda metal yang telah didinginkan oleh nitrogen cair dimasukkan langsung ke dalam serviks. Hal ini membunuh sel abnormal dengan membekukannya. Digunakan pada kanker serviks pre-invasif, tidak untuk kanker yang invasif. b. Laser surgery Sinar laser yang difokuskan langsung pada vagina, digunakan untuk menguapkan (membakar) sel abnormal atau untuk mengambil jaringan untuk diteliti. Digunakan pada kanker serviks pre-invasif, tidak untuk kanker invasif. c. Konisasi Sepenggal jaringan berbentuk kerucut diambil dari serviks dengan menggunakan pisau bedah atau pisau laser (cold knife biopsy), atau menggunakan kawat tipis yang dipanaskan listrik [prosedur Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)]. Dapat digunakan untuk mendiagnosis kanker sebelum terapi dengan operasi atau radiasi. Digunakan juga pada wanita dengan kanker serviks stadium awal (IA1) yang masih ingin mempunyai anak. Namun bila jaringan di luar kerucut tersebut masih mengandung sel kanker, diperlukan terapi selanjutnya untuk mengangkat seluruh sel kanker. d. Histerektomi Operasi ini dilakukan dengan mengangkat uterus (corpus dan serviks), tapi tidak termasuk jaringan di sekitarnya (parametria dan ligamen uterus). Vagina dan limfe nodi pelvis tidak diangkat. Ovarium dan tuba fallopii biasanya tidak diangkat, kecuali ada indikasi untuk mengangkatnya. Bila uterus diangkat melalui insisi di abdomen, hal ini disebut abdominal histerektomi. Bila melalui vagina, hal ini disebut vaginal histerektomi, dan bila menggunakan laparoskopi, disebut laparoscopic histerektomi. Semua jenis histerektomi menyebabkan infertilitas. e. Radikal histerektomi dengan diseksi limfe nodi pelvis Pada operasi ini, dokter bedah mengangkat bukan hanya uterus, tapi juga jaringan di sekitarnya (parametria dan ligamen uterus), bagian atas vagina di dekat serviks, dan beberapa limfe nodi. Operasi dilakukan dengan insisi abdomen. Operasi ini tidak mengganggu fungsi seksual wanita, karena klitoris dan vagina tetap sensitif seperti biasa.

f. Trachelectomy Operasi ini hampir seperti histerektomi, tapi bagian atas vagina ikut diangkat. Selain itu, pada operasi ini dipasang bukaan serviks internal artifisial. Setelah operasi, beberapa wanita tetap dapat hamil cukup bulan dan melahirkan bayi yang sehat lewat caesarean section. Pada suatu penelitian, tingkat kehamilan setelah 5 tahun mencapai 50%, namun risiko mati dalam kandungan lebih tinggi daripada wanita normal. g. Pelvic exenteration Ini adalah metode untuk menangani kanker serviks rekuren. Pada operasi ini, semua organ dan jaringan diangkat seperti radikal histerektomi dengan diseksi limfe nodi pelvis. Selain itu, operasi ini juga mengangkat vesica urinaria, vagina, rektum dan bagian kolon, tergantung tempat penyebarannya. 2. Radiasi a. Radioterapi eksternal Membutuhkan waktu 6-7 ulan, dan biasanya dikombinasikan dengan kemoterapi (cisplatin) dosis rendah. b. Brachytherapy atau radioterapi internal Bahan radioaktif dimasukkan dalam tabung di dalam vagina. Pada beberapa kanker, bahan radioaktif dimasukkan dalam jarum tipis yang dimasukkan ke dalam tumor. Brachytherapy dosis rendah dapat dipenuhi dalam beberapa hari, dimana pasien dirawat inap di rumah sakit dengan alat-alat radioterapi. Sementara itu pada brachytherapy dosis tinggi, bahan radioaktif dimasukkan selama beberapa menit, lalu dikeluarkan. Keuntungannya, dosis yang tinggi ini memungkinkan pasien berobat jalan. 3. Kemoterapi Kemoterapi menggunakan obat anti kanker secara injeksi maupun oral. Obat yang sering digunakan termasuk cisplatin, paclitaxel, topotecan, ifosfamide dan fluorouracil. Biasanya kemoterapi menggunakan kombinasi beberapa obat. Syarat kemoterapi: a. Hbs >10gr% b. Leukosit >6000/cc

c. Hepar dan ginjal dalam kondisi baik d. Tidak ada gangguan pembekuan darah 4. Terapi alternatif Hal ini termasuk meditasi untuk mengurangi stress, akupunktur untuk membantu menghilangkan nyeri maupun teh peppermint untuk mengurangi mual. Penatalaksanaan berdasarkan stadium: 1. Lesi prakanker (Stadium 0) a. Konisasi b. Histerektomi 2. Stadium I IIA a. Radikal histerektomi b. Radiasi eksternal (kemoterapi) 3. Stadium IIB III Radium dan radioterapi eksternal 4. Stadium IV Radiasi eksternal dan terapi paliatif (Manuaba, 2004) 12) Prognosis 1. Ditentukan oleh : a) Umur penderita b) Keadaan umum c) Stadium d) Gambaran histologik sel tumor e) Kemampuan ahli dalam pengobatan f) Sarana pengobatan yang ada 2. Rekurensi setelah pengobatan primer : a) 1 tahun : sekitar 50% b) 2 tahun : lebih dari 80% 3. Rekurensi > 70% mempunyai pemeriksaan sitologi serviks dan vagina yang abnormal (Anonim, 2009) Angka harapan hidup setelah pengobatan :

1. Karsinoma in situ 100% 2. Stadium mikroinvasif 98% 3. Karsinoma invasif : a) Stadium I 75 - 90% b) Stadium II 40 - 60% c) Stadium III 20 - 25% d) Stadium IV 5 - 10% (Anonim, 2009) 13) Pencegahan Ada 2 cara untuk mencegah kanker serviks : 1. Mencegah terjadinya infeksi HPV 2. Melakukan pemeriksaan Pap smear secara teratur (Abidin, 2007) Pap smear (tes Papanicolau) adalah suatu pemeriksaan mikroskopik terhadap sel-sel yang diperoleh dari apusan serviks. Pada pemeriksaan Pap smear, contoh sel serviks diperoleh dengan bantuan sebuah spatula yang terbuat dari kayu atau plastik (yang dioleskan bagian luar serviks) dan sebuah sikat kecil (yang dimasukkan ke dalam saluran servikal). Sel-sel serviks lalu dioleskan pada kaca obyek lalu diberi pengawet dan dikirimkan ke laboratorium untuk diperiksa. 24 jam sebelum menjalani Pap smear, sebaiknya tidak melakukan pencucian atau pembilasan vagina, tidak melakukan hubungan seksual, tidak berendam dan tidak menggunakan tampon. Pap smear sangat efektif dalam mendeteksi perubahan prekanker pada serviks. Jika hasil Pap smear menunjukkan displasia atau serviks tampak abnormal, biasanya dilakukan kolposkopi dan biopsy (Abidin, 2007) Anjuran untuk melakukan Pap smear secara teratur: a. Setiap tahun untuk wanita yang berusia diatas 35 tahun. b. Setiap tahun untuk wanita yang berganti-ganti pasangan seksual atau pernah menderita infeksi HPV atau kutil kelamin. c. Setiap tahun untuk wanita yang memakai pil KB. d. Setiap 2-3 tahun untuk wanita yang berusia diatas 35 tahun jika 3 kali Pap smear berturut-turut menunjukkan hasil negatif atau untuk wanita yang telah menjalani histerektomi bukan karena kanker.

e. Sesering mungkin jika hasil Pap smear menunjukkan abnormal. f. Sesering mungkin setelah penilaian dan pengobatan prekanker maupun kanker serviks (Abidin, 2007) Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kanker serviks sebaiknya: a. Anak perempuan yang berusia dibawah 18 tahun tidak melakukan hubungan seksual. b. Jangan melakukan hubungan seksual dengan penderita kutil kelamin atau gunakan kondom untuk mencegah penularan kutil kelamin. c. Jangan berganti-ganti pasangan seksual. d. Berhenti merokok. e. Pemeriksaan panggul setiap tahun (termasuk Pap smear) harus dimulai ketika seorang wanita mulai aktif melakukan hubungan seksual atau pada usia 20 tahun. Setiap hasil yang abnormal harus diikuti dengan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi. f. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa vitamin A berperan dalam menghentikan atau mencegah perubahan keganasan pada sel-sel, seperti yang terjadi pada permukaan serviks. (Abidin, 2007) 14) Vaksin HPV Pengembangan vaksin profilaksis HPV menawarkan harapan baru untuk pencegahan primer dari kanker servik. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin, satu untuk HPV 16 dan 18 sedang yang lainnya untuk tipe 16,18,6, dan 11, telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi persisten. Bahkan dengan decisionscience modeling diperkirakan, vaksin HPV 16/18 efektif mencegah infeksi HPV sekitar 98 persen yang akan mengurangi beban total kanker servik sekitar 51 persen selama beberapa dekade (Arnita, 2006). Menurut Anna Lissa B.Hamada, M.D, Medical Affairs Manager Vaksin HPV GlaxoSmithKline Indonesia, efikasi yang tinggi dalam mencegah abnormalitas sitologiHPV 16/18 tersebut, tentu juga akan mengurangi jumlah wanita yang menerima sitologi dan kolkospi tambahan. Selain bisa mengurangi biaya pengobatan medis yang terkait dengan program skrining servik, vaksin bisa mengurangi ansietas dan ketidaknyamanan wanita selama mengobati lesi abnormal. Penggunaan vaksin juga sesuai dengan konsep kesehatan umum, mencegah lebih baik dari mengobati. Setelah

melewati riset yang cukup panjang, akhirnya pada 29 Juni 2006, U .S Food and Drug Administration (FDA) mengesahkan vaksin pertama dalam mencegah kanker servik dan penyakit lain yang terkait dengan HPV. Vaksin ini dikenal dengan sebutan quadrivalent vaccine, efektif melawan 4 tipe HPV(6,11,16, 18), tipe yang menyebabkan 70 % kanker servik dan 90% genital wart (Arnita, 2006). Pemberian vaksin yang dibuat dari non-infectious HPV-like particles (VLP) ini, direkomendasikan pada gadis usia 11-12 tahun, diberikan paling muda usia 9 tahun. Pemberian vaksin juga dianjurkan untuk wanita usia 13-26 tahun yang belum menerima atau menyelesaikan seri vaksinasi. Idealnya, vaksin diberikan sebelum debut seksual pertama. Kendati vaksin ini cukup menjanjikan, tapi bukan berarti program skrining sama sekali dihentikan. Pasalnya, belum semua tipe HPV berhasil dihalangi, hanya pada 4 tipe. Selain itu, seorang perempuan belum tentu memperoleh manfaat penuh jika tidak menyelesaikan seri vaksinasi. Di samping itu, vaksin juga tidak akan memberi manfaat penuh bila si wanita pernah terinfeksi salah satu dari 4 tipe HPV tersebut sebelumnya. Namun yang jelas kehadiran vaksin ini merupakan suatu terobosan dalm pencegahan kanker servik (Arnita, 2006). Vaksin HPV kuadrivalen yang diproduksi oleh Merck dan telah mendapat lisensi dari FDA dapat melindungi wanita dari infeksi empat jenis HPV (6,11,16,18). Vaksin ini telah diujikan kepada lebih dari 11.000 wanita usia 9-26 tahun (Kahn, 2009). Vaksin ini bersifat profilaksis dan dibuat dari non-infectious HPV-like particles (VLP), yang terdiri dari protein kapsid mayor L1. Pada vaksin ini tidak terdapat kandungan zat berbahaya seperti thimerosal ataupun merkuri. Vaksin ini diberikan secara intramuskular sebanyak tiga kali dalam periode enam bulan (0, 2, dan 6 bulan). Uji klinik pada wanita usia 16-26 tahun memperlihatkan efikasi sebesar 100% dalam mencegah kanker serviks yang disebabkan oleh empat tipe HPV tadi. Vaksin tersebut juga mampu memberikan efek preventif terhadap lesi prekanker vulva dan vagina serta kutil genital, dengan efisiensi yang hampir mencapai 100%. Namun karena efeknya yang hanya bersifat preventif, vaksin tersebut tidak memiliki efek terapeutik terhadap penyakit yang berkaitan dengan infeksi HPV, juga tidak dapat mencegah terjadinya penyakit pada seseorang telah terinfeksi sebelumnya oleh HPV. Studi efikasi pada pria usia 9-15 tahun sedang berjalan, dan diperkirakan data tersebut akan dapat diperoleh beberapa tahun mendatang.Vaksin

tersebut

juga

aman

dan

tidak

memiliki

efek

samping

yang

serius.

Namun durasi efek proteksi dari vaksin tersebut belum jelas. Studi terakhir menyebutkan bahwa vaksin tersebut dapat efektif selama lima tahun. Selama jangka waktu tersebut tidak didapati bukti adanya penurunan imunitas terhadap HPV. CDC Advisory Committee on Immunization Practises (ACIP) telah menimbang tentang pemberian rekomendasi pemberian vaksin kuadrivalen pada wanita. Rekomendasi itu rencananya akan diberikan untuk wanita usia 12-26 tahun. Idealnya, vaksin tersebut seyogyanya diberikan sebelum wanita melakukan hubungan seksual pertama kalinya. Namun demikian, wanita yang telah aktif secara seksual juga mendapat keuntungan dari vaksin tersebut. Mereka yang belum terinfeksi HPV akan menerima keuntungan penuh jika divaksinasi (Permata Cibubur Rumah Sakit Ibu Anak dan Klinik Spesialis. n.d.). Mereka yang pernah terinfeksi oleh satu atau lebih jenis HPV juga mendapatkan efek proteksi terhadap tipe HPV yang belum didapat. Ketika vaksin HPV dapat dilakukan terhadap pria, hal tersebut akan memberikan keuntungan baik bagi pria itu sendiri maupun pasangannya. Namun belum ada data yang mendukung diberikannya vaksin tersebut kepada pria. Harga eceran vaksin perdosis adalah $120, sementara vaksin lengkapnya berharga $360. Meskipun vaksin menunjukkan efek protektif yang jelas terhadap HPV, namun hal tersebut tidak dapat menggantikan strategi preventif lain, karena vaksin tidak menyediakan perlindungan terhadap semua jenis HPV. Wanita yang telah divaksinasi juga harus menjalani skrining rutin untuk kanker serviks karena alasan yang sama, dan juga untuk mengantisipasi kemungkinan jika wanita tersebut tidak mendapatkan vaksin lengkap atau secara lengkap namun tidak dengan interval yang tepat. Mereka juga harus tetap menerapkan perilaku seksual yang aman seperti abstinens, monogami, membatasi jumlah pasangan seksual, dan menggunakan kondom. Sementara itu vaksin HPV bivalen yang diproduksi oleh GlaxoSmithKline telah menjalani tahap akhir dalam pengujian kepada wanita, dan akan tersedia dalam waktu dekat. Vaksin tersebut memberikan perlindungan terhadap dua jenis HPV (16,18) yang menyebabkan 70% dari kanker serviks (Permata Cibubur Rumah Sakit Ibu Anak dan Klinik Spesialis. n.d.).

15) Algoritma Penatalaksanaan

Gambar 19. Algoritma Diagnosis Ca Serviks (American Cancer Society, 2009) Sistem Terbuka Pencegahan Kanker Serviks Di Indonesia Pencegahan dan pengobatan prakanker serviks masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di antara perempuan dewasa di Indonesia. Kanker serviks merupakan kanker nomor dua tersering diderita oleh perempuan dan penyebab kematian akibat kanker yang paling utama. Menurut ketua umum YKI diperkirakan 15.000 penderita baru per tahun, dan 8.000 penderita meninggal tiap tahun. Karena itu deteksi dini dan pengobatan prakanker serviks perlu menjadi perioritas. Beberapa usaha sudah pernah dilakukan oleh dinas kesehatan maupun beberapa organisasi masyarakat juga fakultas kedokter pada beberapa perguruan tinggi terkenal di dalam negeri secara mandiri maupun bekerjasama dengan WHO dan organisasi yang peduli kesehatan masyarakat di luar negeri. Namun menurut laporan pada akhir program biasanya terkendala pada dana, saat dana ada, program bisa berjalan dengan baik, tetapi saat dana habis, program juga tersendat, semua ini terbukti dari pernyataan ketua umum YKI (Moerdijat, Soeparno, dan Bahtera, 2008). Berkenaan dengan hal tersebut Rotary Club Purwokerto dan Rotary Club yang ada disekitar Jawa Tengah melakukan bakti sosial yang terus menerus secara rutin dengan tujuan yang kecil, yaitu mengurangi jumlah perempuan yang terkena kanker serviks, namun pada perkembangannya ternyata diluar dugaan, semangat bakti sosial di masyarakat sangat tinggi dan di tunjang kesadaran tentang kesehatan ibu yang semakin baik, sehingga jumlah peserta IVA semakin meningkat (Moerdijat, Soeparno, dan Bahtera, 2008). Dengan semakin besarnya peserta pemeriksaan dan pengobatan prakanker serviks, maka dibentuk tim terdiri beberapa orang dan dari beberapa disiplin ilmu serta koordinasi dengan berbagai pihak, sehingga tercipta satu sistem terbuka yang sudah bisa bergulir dengan baik. Dasar pemilihan metode IVA adalah terkait dengan kesediaan fasilitas dalam pemeriksaan sitologinya. Wright, Jr, TC dkk. menjelaskan secara rinci, bahwa program pencegahan kanker serviks di daerah yang masih kekurangan laboratorium sitologi dan sumber daya patologi anatomik dan skriner sitologi lebih tepat jika menggunakan metode Inspeksi Visual Asam asetat ( IVA ). Pada awal menggulirkan sistem terbuka di Purwokerto, keterlibatan Rotary Club, PMI, dinas kesehatan, pemerintah daerah, media masa, LSM, PKK dan masyarakat serta peran aktif dokter dan

Bidan sangat diperlukan dalam program pencegahan kanker serviks, dengan metode Inspeksi Visual dengan aplikasi Asam Asetat ( IVA ) dan terapi IVA positif atau prakanker leher rahim dengan koagulasi (Moerdijat, Soeparno, dan Bahtera, 2008).

Gambar 20. Mekanisme Sistem Terbuka (Moerdijat, Soeparno, dan Bahtera, 2008) Tabel 2. Data Hasil Pelayanan Sementara Tahun 2003 Peserta 146 Positif 2 Presentase (%) 1,37

2004 2005 2006 2007 2008 Total

806 827 1.712 2.804 1.183 7.478

18 2,23 34 4,11 64 3,74 47 1,68 55 4,65 220 2,96 (Moerdijat, Soeparno, dan Bahtera, 2008)

BAB III SIMPULAN 1. Ca Serviks merupakan suatu penyakit keganasan pada serviks yang dapat didiagnosis dari anamnesis, pemeriksaan Paps Smear dan kolposkopi.

2. Penyebab utama Ca Serviks adalah HPV. 3. Secara kasar keganasan Ca Serviks dapat dibedakan menjadi 4 stadium. 4. Gejala klinis utama pasien karsinoma serviks adalah perdarahan jalan lahir, keputihan, dan keluar darah setelah coitus. Namun, pada stadium awal, gejala klinis ini sulit dikenali, sehingga pasien datang ke pelayanan kesehatan pada stadium yang sudah lanjut. Oleh karena itu, pencegahan dan screening pada kasus ini perlu diberikan perhatian khusus. 5. Penatalaksanaan Ca Serviks dapat disesuaikan dengan stadiumnya.

DAFTAR PUSTAKA Abidin, Taufik. 2007. Kanker Serviks. Available from URL :

http://images.pixopix.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/RxhwxQoKCscAAAJ6 lOU1/KANKER%20CERVIKS.pdf?nmid=62565539 Diakses tanggal 24 November 2009

American Anonim.

Cancer 2009.

Society. Kanker

2009.

Cancer Serviks.

Cervix.

Available from

from

URL URL

: :

http://documents.cancer.org/115.00/115.00.pdf. Diakses 25 November 2009. Available http://digilib.unsri.ac.id/download/TUMOR%20MARKER%20PADA %20KEGANASAN%20SERVIKS%20UTERI.pdf. Diakses pada tanggal 24 November 2009 Arnita. 2006. Lindungi Leher Rahim dari Kanker: Simposia 6(3). [cited 2009 November 25th] Available IDNews=327 Febiliawanti, Intan Airlina, 2009. Kenali Ciri Keputihan Vagina Abnormal. Available from : http://spesialis-torch.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=245. Diakses pada tanggal 23 November 2009 Huether, Sue. 2000. Understanding Pathophysiology Second Edition. St. Louis : Mosby Inc. Kahn, J.A. 2009. HPV Vaccination for the Prevention of Cervical Intraepithelial Neoplasia: The New England Journal of Medicine, 361(3). Manuaba, I. B. G. 2004. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi. Edisi 2. Jakarta : EGC Moerdijat, T.S., Soeparno, A., dan Bahtera, I. 2008. Menggulirkan Sistem Terbuka Pencegahan Kanker Serviks Di Indonesia [cited 2009 November 25th] Available from URL: http://www.rotaryd3400.org/campur/Pencegahan%20Kanker%20Serviks%20di %20Indonesia.pdf Permata Cibubur Rumah Sakit Ibu Anak dan Klinik Spesialis. n.d. HPV dan Vaksin HPV. [cited 2009 November 25th] Available from URL: http://www.permatacibubur.com/en/see.php? id=:D&lang=id Robbins., Kumar., Cotran. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC. Sherwood, Lauralee. 2001. Sistem Saraf Perifer. Dalam : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC Simanjuntak, P. 2007. Gangguan Haid dan Siklusnya: Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Tjarta, Achmad. 1973. Neoplasma. Dalam : Patologi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. from URL: http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?

You might also like