You are on page 1of 25

BLOK STOMATOGNATHIC SYSTEM LAPORAN KELOMPOK SALIVA

Pembimbing/ Tutor: drg. Bambang Tri Hartomo Disusun oleh: Kelompok II


Tati Sri Rahmawati Shafira F. Rahayu Melisa Kezia Dita Rahmat N. Andreta Farah Dila Izza Maulida Saskia Vyatarsi Afiya Fathina S. Meilya Putri Pamungkas Yulinda Riski C. Dennis Calvianto G1G011004 G1G011009 G1G011014 G1G011019 G1G011024 G1G011029 G1G011035 G1G011040 G1G011045 G1G011050 G1G010034

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN GIGI PURWOKERTO 2013 KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dzat Yang Maha Indah dengan segala keindahan-Nya, dzat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang terlepas dari segala sifat lemah makhluk-Nya. Berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Problem Based Learning pertama tentang Saliva. Laporan ini tidak mungkin bisa diselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis menyampaikan terima kasih dan penhargaann yang setinggi-tingginya kepada: 1. drg. Bambang Tri Hartomo selaku tutor PBL-1 tentang saliva. 2. Orang tua yang telah memberi motivasi sehingga laporan ini dapat selesai. Penulis menyadari sepenuhya bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, dengan dasar itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Purwokerto,29 April 2013 Penulis

DAFTAR ISI
i

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Tujuan C. Manfaat BAB II ISI A. Skenario PBL B. Proses Tutorial 1 C. Proses Tutorial 2/ Pembahasan BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

i ii

1 2 2

4 4 8

18 18 20

BAB I PENDAHULUAN ii

A. Latar Belakang Supartinah (2003) menjelaskan bahwa kesehatan rongga mulut seseorang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan umum individu tersebut, dimana keduanya adalah suatu kesatuan. Masalah dalam rongga mulut dapat digunakan untuk pertanda kelainan tubuh lainnya. Contohnya pada kasus penderita asma, dimana ketika pasien tersebut mengonsumsi obat secara inhalansi maka 80% komponen obatnya akan tertinggal di dalam mulut yang apabila tidak dibersihkan akan meningkatkan resiko gingivitis, insidensi karies, kalkulus, dan erosi di gigi serta perubahan pada komposisi maupun volume saliva. Penjelasan diatas mencerminkan rongga mulut dapat digunakan sebagai suatu indikasi kesehatan. Sinaga (2002) menjelaskan saliva dikenal pula dengan istilah salivia maupun air ludah yang merupakan sekresi cairan dari glandula salivarius mayor dan glandula salivarius minor yang sangat penting bagi rongga mulut itu sendiri. Komposisi saliva secara garis besar terbagi menjadi komponen organik, anorganik, makromolekul dan air. Komponen - komponen saliva yang berada pada komposisi normal akan mempengaruhi keefektivitasan masing-masing fungsi saliva yang berbeda berdasar komponen penyusunnya. Fungsi saliva diantaranya membantu proses pencernaan makanan, membantu proses bicara, sebagai sistem pertahanan primer tubuh dalam bentuk antiviral, anti bakteri, dan anti fungal selain itu ia juga berfungsi sebagai mekanisme self-cleansing rongga mulut. Saliva berdasar stimulasinya dibagi menjadi saliva yang tidak terstimulasi dan saliva yang terstimulasi. Saliva yang tidak terstimulasi dapat selalu ditemukan dalam waktu 24 jam dimana ia lebih akurat dalam pengecekan terkait kondisi sistemik pasien dibanding pengecekan menggunakan saliva yang terstimulasi. Saliva yang terstimulasi sendiri dapat ditemukan melalui beberapa proses yaitu mekanis, kimiawi, neuronal, psikis, dan rasa sakit. Pembagian volume saliva yang tidak terstimulasi dengan volume saliva yang terstimulasi akan menghasilkan volume saliva yang dikenal dengan curah saliva yang 1

kemudian digunakan sebagai salah satu indikator adanya kelainan saliva. Produksi saliva oleh glandula salivarius baik mayor atau minor selain dipengaruhi ada tidaknya stimulasi, juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain seperti usia dan jenis kelamin, serta keadaan fisik seseorang yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya (Williamson, 2012). Williamson, dkk (2012) menambahkan bahwa kini saliva dapat berfungsi sebagai biomarker. Saliva sebagai biomarker disini sebagai pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit. Penggunaan saliva sebagai biomarker mulai banyak digunakan mengingat saliva lebih mudah dan lebih aman didapatkan dibanding komponen darah serta lebih cepat waktu pengambilannya karena dapat dilakukan oleh pasien sendiri. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan saliva diataranya organisme spesifik, kadar immunoglobulin, dan komponen saliva lainnya. Hal yang perlu diingat ketika pemeriksaan saliva ini adalah adanya variasi yang besar antar individu, selain itu ia bersifat multifaktor. Penjelasan diatas menjadi alasan mengapa mahasiswa kedokteran gigi perlu mengetahui saliva sebagai biomarker dan diharapkan dapat diaplikasikan dalam penetapan diagnosis ketika menjadi dokter gigi (Sinaga, 2002). B. Tujuan 1. Mahasiswa dapat mengetahui komponen saliva dan terkait dengan fungsinya. 2. Mahasiswa dapat mengetahui kondisi normal saliva. 3. Mahasiswa dapat mrngrtahui faktor-faktor yang mempengaruhi curah saliva. 4. Mahasiswa dapat mengetahui dan mengerti fungsi saliva sebagai biomarker. 5. Mahasiswa mengetahui penyakit-penyakit yang terkait dengan saliva. C. Manfaat 1. Mengetahui dan memahami komposisi, komponen-komponen penyusun saliva besera fungsi dari setiap komponen tersebut. 2. Mengetahui dan memahami kondisi normal saliva yang kemudian terkait dengan kelainannya.
3

3. Mengetahui dan memahami factor-faktor yang mempengaruhi produksi dari curah saliva. 4. Mengetahui dan memahami fungsi saliva sebagai biomarker. 5. Mampu mengetahui penyakit penyakit yang terkait dengan saliva.

BAB II ISI

A. Skenario Saliva is composed of water, organic, inorganic, and macromolecules. Salivary composition is not constant and related to the Circadian cycle. The consentration of the various components of saliva is markedly affected by variations in flow rate. It has become apparent that many systemic diseases, for example Sjgrens Syndrome, affect salivary gland function and salivary composition. Studies of the effects of systemic diseases in salivary variables have been valuable in understanding the pathogenesis of the role and the role of saliva as biomarkers. Salivary biomarker is an increasingly important. A growing number of drugs, hormones, and antibodies can be reliably monitored in saliva, which is in easily obtainable, non-invasive diagnostic medium. In addition to measuring antibody, it is possible to identify a number of viral antigens in saliva. B. Proses Tutorial 1 (Step 1- Step 5) 1. Step 1 a. Saliva: air ludah, diproduksi oleh kelenjar salivarius. b. Circardian cycle: siklus hormon harian. c. Sjogrens Syndrome: sindroma mulut terbakar, salah satu manifestasinya adalah xerostomia. d. Systemic disease: penyakit yang menyerang sistem tubuh tertentu yang dapat mempengaruhi sistem tubuh yang lain. e. Biomarker: penanda adanya sesuatu yang tidak normal pada tubuh. 2. Step 2 a. Apa saja komponen-komponen yang terdapat dalam saliva? b. Apa saja fungsi dari saliva? c. Bagaiman ciri-ciri saliva normal dan tidak normal? d. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sekresi saliva? 4 e. Apa hubungan sekresi saliva dengan irama sirkadian?
5

f. Bagaimana peran saliva sebagai biomarker? g. Apa saja penyakit sistemik lain yang berhubungan dengan sekresi saliva? 3. Step 3 a. Komponen saliva 1) Air 2) Bahan Organik: IgA
3) Bahan Anorganik: ion Ca, K, Mg, Cl, gas

4) Macromolecules: protein b. Fungsi saliva 1) Self cleansing 2) Menetralisir asam 3) Membantu menghancurkan makanan 4) Membantu pengecapan 5) Sebagai antibodi, antibakteri, antiviral, antifungal 6) Untuk lubrikasi c. Ciri-ciri saliva 1) Normal a) pH netral b) Warna jernih c) Sekresinya 500-600 ml/hari d) Tidak berbau e) Tidak berasa 2) Tidak Normal a) pH terlalu asam / terlalu basa b) Berwarna keruh c) Sekresi kurang/berlebih d) Berbau e) Terasa pahit f) Lebih kental/pekat
6

d. Faktor yang berpengaruh pada sekresi saliva 1) Rangsang lapar dan makan 2) Adanya kelainan pada kelenjar salivarius 3) Adanya penyakit sistemik 4) Obat-obatan 5) Suhu 6) Cahaya 7) Posisi tubuh 8) Aktivitas 9) Irama sirkadian 10) Kondisi rongga mulut 11) Usia 12) Jenis kelamin e. Hubungan sekresi saliva dengan irama sirkadian Sekresi saliva bergantung pada irama sirkadian, dimana pada saat pagi hari sekresinya akan lebih banyak dibanding dengan malam hari, ini dapat dikarenakan posisi serta aktivitas tubuh di malam hari lebih rendah dibandingkan di pagi dan siang hari. f. Saliva sebagai biomarker Saliva dapat menjadi penanda adanya kerusakan pada kelenjar salivarius dan adanya virus atau bakteri, serta dapat membantu memperkuat diagnosis penyakit-penyakit yang berkaitan dengan sekresi dan komponen yang ada pada saliva. g. Penyakit sistemik terkait sekresi saliva 1) HIV/AIDS 2) Diabetes Melitus 3) Diabetes Insipidus 4) Hepatitis 5) Stroke 6) Parkinsons Disease
7

7) Parotitis 4. Step 4 a. Dijadikan LO b. Fungsi saliva 1) Self cleansing 2) Menetralisir asam 3) Membantu menghancurkan makanan 4) Membantu pengecapan 5) Sebagai antibodi, antibakteri, antiviral, antifungal 6) Untuk lubrikasi (Sherwood, 2011) c. Dijadikan LO d. Faktor yang mempengaruhi sekresi saliva 1) Rangsang lapar dan makan 2) Adanya kelainan pada kelenjar salivarius 3) Adanya penyakit sistemik 4) Obat-obatan 5) Suhu 6) Cahaya 7) Posisi tubuh 8) Aktivitas 9) Irama sirkadian 10) Kondisi rongga mulut 11) Usia 12) Jenis kelamin (Kidd, 1991)
8

e. Hubungan sekresi saliva dengan irama sirkadian

Sekresi saliva bergantung pada irama sirkadian, dimana pada saat pagi hari sekresinya akan lebih banyak dibanding dengan malam hari, ini dikarenakan posisi serta aktivitas tubuh di malam hari lebih rendah dibandingkan di pagi dan siang hari (Brooker, 2008). f. Dijadikan LO g. Dijadikan LO 5. Step 5 a. Komposisi dan komponen yang terdapat dalam saliva (terkait fungsi saliva). b. Ciri-ciri saliva normal dan tidak normal. c. Hubungan rangsang lapar dan makan dengan sekresi saliva. d. Peran saliva sebagai biomarker. e. Siklus yang berpengaruh pada sekresi saliva selain siklus sirkadian. f. Penyakit-penyakit sistemik lain yang berkaitan dengan sekresi saliva. C. Proses Tutorial 2 (Pembahasan/Step 7) 1. Komposisi dan Komponen yang Terdapat Dalam Saliva (Terkait Fungsi Saliva). Saliva merupakan sekresi dari kelenjar salivarius mayor dan kelenjar salivarius minor yang keluar melelui duktus pendek dalam rongga mulut. Kelenjar salivarius mayor ini terdiri dari tiga kelenjar utama, yaitu kelenjar parotis yang mensekresi serous, kelenjar submandibular yang mensekresi serous dan mukus, serta kelenjar sublingualis yang mensekresi mukus (Sherwood, 2011). Sekresi dari kelenjar tersebut memiliki kandungan tertentu, antara lain : a. Air Air merupakan komponen terbesar pada saliva. Presentase kandungan air pada saliva ini ialah 99,5% dan 0,5% kandungannya berasal dari elektrolit dan protein (Hashim, 2010). b. Komponen anorganik
9

1) Klorida Ion klorida merupakan salah satu kandungan anorganik saliva yang memiliki fungsi untuk mengaktivasi enzimatik -amilase. 2) Kalsium dan fosfat Fungsi dari kalsium dan fosfat pada saliva adalah untuk melakukan demineralisasi remineralisasi email dari email, sehingga bakteri ketika tersebut terjadi dapat perlekatan

digagalkan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kalsium dan fosfat memiliki salah satu fungsi saliva sebagai self cleansing. 3) Rodanida dan Thiosinat Rodanida dan thiosinat berperan sebagai agen antibakterial yang sistem kerjanya bekerja sama dengan sistem laktoperosidase. 4) Bikarbonat Bikarbonat memiliki fungsi dan peranan sebagai buffer terpenting. Peran buffer tersebut ialah dapat mengembalikan pH saliva kembali mendekati normal saat keadaan terlalu asam maupun terlalu basa. (Hashim, 2010) c. Komponen organik Komponen organik penyusun saliva ini secara umum terdiri dari protein, lipid, glukosa, asam lemak, asam amino, amoniak, dan vitamin. Komponen organik utamanya ialah protein yang memiliki kuantitaf pentingnya yaitu enzim -amilase. Protein yang terkandung tersebut merupakan protein yang kaya prolin, musin, dan imunoglobulin. Protein juga mampu untuk meningkatkan ketebalan acquired pellicle, sehingga mampu untuk menghambat pengeluaran ion fosfat dan kalsium dari enamel. Produksi dari protein ini berasal dari lapisan luar epitel glandula salivarius (Hashim, 2010). Macam-macam komponen organik pada saliva terkait fungsi, antara lain :
10

1) -amilase Enzim -amilase ini merupakan penggerak awal mula terjadinya pencernaan karbohidrat di dalam mulut. Enzim tersebut merupakan kesatuan karbohidrat kecil yang dapat memecahkan polisakarida menjadi monosakarida, sehingga lebih mudah dicerna (Hashim, 2010). 2) Lisozim Lisozim memiliki peranan penting sebagai agen antibakterial yang dapat melisiskan bakteri dengan cara merusak dinding selnya dan membilas bahan makanan yang berperan sebagai pertumbuhan bakteri (Hashim, 2010). 3) Kalikren Kalikren merupakan protein tertentu didalam saliva yang merupakan faktor pembekuan darah XII, VII, IX, dan platelet (Hashim, 2010). 4) Laktoperosidase Latoperosidase berfungsi untuk mengkatalis oksidasi CNS (thiosinat) 2010). 5) Mucin Kandungan mucin didalam rongga mulut memiliki peranan dan fungsi penting dalam mencegah terjadinya kekeringan didalam rongga mulut, membentuk makanan menjadi bolus, dan sebagai agen antibakteri serta antivirus. Terlibatnya mucin sebagai agen antibakteri dan antivirus tersebut disebabkan oleh kandungan IgA di dalam saliva (Hashim, 2010). 6) Gustin
11

menjadi

OSCN

(hypothiosinat),

sehingga

dapat

menghambat pertukaran dan pertumbuhan zat bakteri (Hashim,

Komponen gustin dalam saliva memiliki pernanan dalam proses pengecapan, karena gustin tersebut mampu untuk memaksimalkan fungsi dari kuncup kecap (Hashim, 2010). 7) Immunoglobulin Immunoglobulin terlibat pada sistem penolakan fisik dan agen antibakteri. Immunoglobulin terdiri dari sebagian besar IgA sekretorik (SIgA) dan sebagian kecil IgM dan IgG. Aktivitas antibakteri SIgA yang terdapat dalam mukosa mulut bersifat mukus dan bersifat melekat dengan kuat, sehingga antigen dalam bentuk bakteri dan virus akan melekat erat dalam mukosa mulut yang kemudian dilumpuhkan oleh SIgA. Bakteri mulut yang diselubungi oleh SIgA lebih mudah difagositosis oleh leukosit (Amerongen, 1991 dan Rensburg, 1995). 8) Protein Kaya Prolin Protein kaya prolin membentuk suatu kelas protein dengan berbagai fungsi penting yaitu mempertahankan konsentrasi kalsium di dalam saliva agar tetap konstan yang menghambat demineralisasi dan meningkatkan remineralisasi (Amerongen, 1991). 9) Sistem Peroksidase Peroksida berperan sebagai sistem antibakteri yang banyak hadir pada kelenjar parotis, terdiri dari hidrogen peroksida, tiosanat dan laktoproksidase (Rensburg, 1995). Sistem ini menghambat produksi asam dan pertumbuhan bakteri streptokokus dan laktobasilus yang ikut menjaga pH rongga mulut sekaligus mengurangi terjadinya karies akibat asam yang dihasilkan oleh bakteri (Grant, 1988). 10) Laktoferin Laktoferin merupakan hasil produksi sel epitel kelenjar dan leukosit PMN yang mempunyai efek bakterisid yang merupakan salah satu fungsi proteksi terhadap infeksi mikroorganisme ke dalam

12

tubuh manusia (Roth, 1981). Laktoferin juga mengikat ion ion Fe+, yang diperlukan bagi pertumbuhann bakteri (Amerongen, 1991). 2. Ciri-Ciri Saliva Normal dan Tidak Normal a. Ciri saliva normal 1) Rata-rata laju sekresi: Unstimulated 0,3-0,4 ml/menit Stimulated 1-3 ml/menit (Tenevuo, 1994) 2) Tidak berwarna, tidak berbuih, dan jernih (Amerogen, 1991). 3) pH berkisar 6,0 7,4, dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi, tanpa stimulasi (Hofman, 2001). 4) Terdiri dari air (90%), komponen organik (0,2%), dan komponen anorganik (0,3%) ( Talwar, 2006). 5) Komposisi dari komponen anorganik: a) Bikarbonat: 5,7 2,7 mmol/L b) Sodium: 8,5 24 mmol/L c) Potasium: 12,5 16 mmol/L d) Kalsium: 2,3 2,5 mmol/L e) Clorida: 2,5 17,5 mmol/L f) Fosfor: 7,5 21 mmol/L (Talwar, 2006) 6) Rata-rata laju sekresi pada keadaan tertentu: a) Tidur: 0,1 ml/menit b) Terjaga: 0,3 ml/menit c) Mengunyah: 4 ml/menit (Hofman, 2001) b. Ciri saliva tidak normal 1) Hiposalivasi atau xerostomia adalah suatu keadaan dimana rata-rata laju sekresi saliva dibawah dari kadar normal. Terkadang menimbulkan gejala mulut terbakar (Hashim, 2010 dan Bradley, 2010).

13

2) Hipersalivasi atau disebut juga dengan sialorrhea merupakan suatu keadaan dimana rata-rata laju sekresi salisi melibihi dari kadar normal. Hipersalivasi minor akan menyebabkan iritasi lokal. Sedangkan hipersalivasi mayor akan mengakibatkan angular cheilitis (Neil, 2004). 3) Rata-rata laju sekresi: a) Unstimulated dibawah 0,1 ml/menit termasuk hiposalivasi dan dikatakan rendah bila berkisar 0,1-0,25 ml/menit. b) Stimulated dibawah 0,7 ml/menit termasuk hiposalivasi dan dikatakan rendah bila berkisar 0,7-1 ml/menit. (Tenovuo, 1994) 3. Hubungan Rangsang Lapar dan Makan dengan Sekresi Saliva. Menurut Amerongen (1991), pada proses sekresi saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa rangsang diantaranya : a. Rangsang kimiawi: berupa rasa pedas, asam, manis, dan sebagainya. b. Rangsang mekanis: berupa rangsang pengunyahan c. Rangsang sakit d. Rangsang psikis parasimpatis. Menurut Talwar (2006), sekresi saliva sebagian besar berada dibawah kontrol sistem saraf otonom yaitu rangsang saraf simpatis dan parasimpatis. Rangsang saraf simpatis menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sehingga sekresi saliva menjadi sedikit, sedangkan rangsang saraf parasimpatis yang disertai vasodilatasi pada kelenjar menyebabkan sekresi saliva dengan jumlah banyak dan encer. Mekanisme sekresi saliva pada saat makan dan lapar adalah sebagai berikut : a. Mekanisme sekresi saat makan Mula-mula makanan masuk ke dalam mulut, pada kondisi ini mulut dan lidah berperan sebagai reseptor. Kemudian rangsang dihantarkan menuju medula yang merupakan pusat dari sekresi saliva, rangsang dari : gingivitits, protesa, dan adanya inflamasi : kondisi stress dan marah.

e. Rangsang neurologis : berasal dari saraf otonom baik simpatis maupun

14

medula kemudian dihantarkan ke neuron parasimpatik. Oleh neuron parasimpatik rangsang dihantarkan menuju nukleus salivarius, dimana nukleus salivarius superior mempersrafi kelenjar sublingualis dan kelenjar submandibularis. Nukleus salivarius inferior mempersarafi kelenjar parotis, sedangkan kelenjar saliva minor akan dipersarafi oleh serabut jaringan parasimpatis dari saraf fasial. Pada keadaan ini saluran kelenjar mengalami vasodilatasi, sehingga saliva yang disekresikan dalam jumlah banyak dan encer (Amerongen, 1991). b. Mekanisme sekresi saliva saat lapar Mekanisme sekresi saliva dalam kondisi lapar merupakan refleks yang terkondisi, dimana rangsangan dapat berupa melihat makanan, membayangkan makanan maupun mencium makanan. Rangsang diterima oleh korteks serebri, kemudian ke hipotalamus anterior dan medula yang merupakan pusat kontrol saliva. Rangsang dihantarkan oleh neuron parasimpatik menuju nukleus salivarius. Nukleus salivarius superior mempersrafi glandula submandibularis dan glandula sublingualis, sedangkan nukleus salivarius inferior mempersarafi glandula parotis. Glandula salivarius minor dipersrafi oleh serabut jaringan parasimpatis dari saraf fasial (Talwar, 2006). 4. Peran Saliva sebagai Biomarker. Cairan saliva memiliki sifat seperti darah dan urine yang ternyata dapat juga digunakan untuk mendeteksi dan mengukur berbagai jenis komponen-komponen didalam tubuh. Saliva dapat dengan mudah diperoleh secara cepat tanpa rasa sakit dan berguna untuk diagnosis, cairan ini sangat potensial menggantikan tes darah untuk mendapatkan diagnosis dari beberapa penyakit, seperti Diabetes Melitus, penyakit Parkinson, Sjogrens Syndrome dan beberapa penyakit infeksi lainnya (Hashim, 2010). Prinsip penggunaan saliva sebagai biomarker adalah dilihat dari keadaan normal saliva itu sendiri yaitu:

15

a. Dilihat dari komposisi normal saliva 1) Saliva normal memiliki komponen-komponen tertentu dengan jumlah tertentu, apabila terdapat komponen lain pada saliva seperti GCF, atau leukosit tertentu maka dapat diasumsikan terdapat suatu kelainan pada rongga mulut tersebut yang mungkin juga merupakan pengaruh dari suatu penyakit sistemik (Hashim, 2010). 2) Menurut penelitian, dalam keaadaan normal saliva memiliki komponen sitokin yang juga terdapat pada darah, yaitu IL-6, IFNgamma, dan MIP-1beta. Ketiga sitokin tersebut dapat digunakan dalam evaluasi penyakit sistemik tanpa mengambil sampel darah. Namun karena hanya terdapat sedikit sitokin yang berada pada saliva maka ia hanya dapat digunakan sebagai biomarker penyakit tertentu saja. Cara untuk mengetahui adanya kelainan adalah dengan membandingkan nilai normal ketiga sitokin tersebut dengan nilai setelah dilakukan pemeriksaan (Williamson, 2012). 3) Selain itu kadar obat-obatan serta hormon di dalam saliva menunjukkan kadar yang sama dengan yang terdapat pada darah dan dapat diukur dari sampel pada beberapa keadaan klinis. Seperti pemeriksaan progesterone, kortisol, aldosteron, estrogen dan testoteron untuk melihat level dari berbagai obat-obatan seperti lithium, phenobarbital dan theophylin yang digunakan untuk perawatn depresi, epilepsy serta asma (Hashim, 2010). b. Dilihat dari volume normal saliva 1) Saliva sebagai media diagnosa atau biomarker dapat dilihat pada beberapa keadaan seperti pada saat berkurangnya sekresi saliva. Berkurangnya sekresi pada saliva akibat dari gangguan dalam pengaturan air serta elektrolit, kesehatan umum yang menurun, defisiensi vitamin, perubahan hormonal (contohnya pada ibu hamil), penyakit atau keadaan abnormal kelenjar saliva, selain itu

16

berkurangnya produksi sekresi saliva juga karena pengaruh obatobatan (Hashim, 2010). Terdapat beberapa teknik atau metode yang digunakan dalam pemeriksaan saliva sebagai media diagnose seperti: a. Untuk menentukan jumlah organisme spesifik dapat dilakukan dengan cara mengusap sejumlah saliva pada media perbenihan selektif. Kemudian media dimasukkan ke dalam inkubator selama 16-18 jam maka setelah itu akan terlihat pertumbuhan koloni. Selanjutnya koloni yang tumbuh satu-satu diambil dan dilakukan pewarnaan gram, kemudian dilihat di bawah mikroskop (Tanjung M, 2000). b. c. Untuk mendeteksi immunoglobulin di dalam saliva, digunakan metode Imunopresipitasi Ouchterlony (Hashim, 2010). Pemeriksaan saliva secara serologis dengan metode ELISA ( Enzyme Linked Immunosorbent Assay), dapat digunakan untuk mendiagnosa virus yang ada di dalam saliva seperti virus Hepatitis B yaitu dengan terdeteksinya HbsAg dan HbeAg dalam saliva (Williamson, 2012). d. Teknik terbaru dalam penggunaan saliva sebagai media diagnosis yaitu dengan penggunaan microchip. John T. McDevitt, seorang profesor kimia di Rice Research Bioscience Collaborative telah mengembangkan sebuah sensor microchip Nano-Bio-Chip yang menggunakan saliva (Hashim, 2010). 5. Siklus yang Berpengaruh pada Sekresi Saliva Selain Siklus Sirkadian. Siklus yang terkait saliva selain siklus sirkadian yaitu salah satunya adalah siklus sirkanual. Siklus sirkanual ini merupakan siklus tahunan yang dipengaruhi oleh musim. Pada musim panas sekresi saliva berkurang, yang dapat mengakibatkan haus atau dehidrasi, sedangkan pada musim dingin kondisi salivanya meningkat (Rantonen, 2003). 6. Penyakit-Penyakit Sistemik yang Berkaitan dengan Saliva a. Lupus Eritematosus Sistemik (LES). LES ini dapat menyebabkan berkurangnya produksi saliva atau xerostomia (Sultana dan Sham, 2011).

17

b. c. d. e.

Rheumatoid arthritis. Penyakit ini dapat menyebabkan mulut kering (Sllm dan Thomas, 2012). Autoimmune Pancreatitis. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan fungsi saliva dikarenakan pemakaian obat golongan steroid (Witt, 2005). Parkinsons disease. Penyakit tersebut dapat menyebabkan hipofungsi dari glandula salivarius (Bradley, 2010). Kanker. Kemoterapi dan Radioterapi yang digunakan dalam pengobatan kanker dapat mengakibatkan xerostomia dan disfungsi kelenjar saliva (Sllm dan Thomas, 2012).

f.

HIV/AIDS. Xerostomia dapat muncul pada HIV/AIDS, Selain itu HIV/AIDS juga sering menyebabkan pembengkakan pada glandula salivarius major (Sllm dan Thomas, 2012).

g. h. i. j.

Hepatitis A, B, C. Hepatitis dapat menyebabkan xerostomia (Janjua, dkk., 2012). Diabetes Mellitus (DM). DM dapat mengakibatkan pembesaran glandula salivarius dan mulut kering (Witt, 2005). Kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi. Pemakaian obat antihipertensi mengakibatkan mulut kering (Scully, 2003). Malnutrisi. Kekurangan kalori dan protein menyebabkan berkurangnya volume saliva, pH rendah dan waktu alir saliva yang rendah (Suparlinah, 2003).

k.

Hypotiroidism. Penyakit ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran saliva (Witt, 2005).

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Saliva merupakan cairan oral yang merupakan hasil sekresi dari kelanjar saliva. Komponen terbesar saliva adalah air (hampir 99%) dan sisanya merupakan bahan organik dan bahan anorganik. Baik bahan organik maupun anorganik tersebut ada yang berbentuk mikromolekul maupun makromolekul. Bahan organik saliva antara lain protein, asam lemak dan lipid, serta glukosa. Sedangkan bahan anorganik antara lain bikarbonat, kalium kalsium, natrium, klorida, fosfat dan thiosianat. Saliva normal memiliki rata-rata laju sekresi 0,3 0,4 ml/menit tanpa stimulasi, sedangkan apabila distimulasi dapat mencapai 1-3 ml/menit. Nilai pH normal saliva adalah 6,0 7,4 dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi tanpa stimulasi. Kemudian saliva juga memiliki nilai-nilai ambang normal tertentu untuk setiap komponennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi curah saliva sangat beragam, seperti posisi, aktivitas, jenis rangsangan yang diterima. konsumsi obatobatan serta beberapa siklus seperti siklus sirkadian dan sirkanual. Cairan saliva memiliki sifat seperti darah dan urine yang ternyata dapat juga digunakan sebagai biomarker untuk mendeteksi dan mengukur berbagai jenis komponen-komponen didalam tubuh. Saliva dapat dengan mudah diperoleh secara cepat tanpa rasa sakit, cairan ini sangat potensial menggantikan tes darah untuk mendapatkan diagnosis dari beberapa penyakit. Berbagai penyakit sistemik maupun penyakit lokal dapat menyerang saliva. Beberapa penyakit sistemik yang erat kaitannya dengan saliva adalah Diabetes Melitus, HIV, serta Hepatitis . B. Saran Kebanyakan orang beranggapan bahwa air liur atau saliva tidak mempunyai arti apa-apa dan ia sering dilihat sebagai suatu benda yang menjijikkan.

18

19

Sebaliknya tanpa kita sadari, cairan di dalam rongga mulut ini bukan saja penting untuk pencernaan makanan tetapi juga dapat memberi informasi tentang kondisi tubuh dan digunakan secara meluas untuk mendiagnosa penyakit lokal dan sistemik. Untuk itu diharapkan mahasiswa dapat memahami lebih dalam mengenai saliva baik kondisi normalnya maupun fungsinya.

DAFTAR PUSTAKA

Amerogen, A. V. N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah, Edisi 1, UGM, Yogyakarta Bradley, P., J., 2010, Otorhinolaryngology, Head & Neck Surgery, Springer-Verlag, Heidelberg Brooker, C., 2008, Ensiklopedia Keperawatan, (diterjemahkan oleh: Bhram U. Pendit dan Dwi Widiarti), EGC, Jakarta Grant, D. A. ; B. S. Irving. ; G. E. Frank. 1988. Orbans Periodontics a Concept Theory and Pratice. 4th ed. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 99 101 Hashim, A. B., 2010, Saliva Sebagai Media Diagnosa, Tesis, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara, Medan Hofman, L. F., 2001, Innovative non-or Minimally-Invasive Technologies for Monitoring Health and Nutrition Status in Mothers and Young Children, Journal Nutrition Janjua, O., S., Manzoor, A., Syed, M., Jamil, R., Abbas, T., dan Amjad, A., 2012, Frequency of Xerostomia in Patients Suffering From Hepatitis B and C, Pakistan Oral & Dental Journal, 32(1): 42-45 Kidd, E. A. M., Joyston, S., 1991, Dasar-dasar Karies: Penyakit dan Penanggulangannya, (diterjemahkan oleh: Narwan Sumawinata dan Safrida Faruk), EGC, Jakarta Neil, G, H, Daniel, S, S, Kristin, G, dan Steven, D, H, 2004, Sialorrhea: A Management Challenge, A-peer reviewed journal of the American Academy of Family Physician, Jun 1, 69(11) : 2628-2635., http://www.aafp.org/afp/2004/0601/p2628.html, diakses pada hari Sabtu, 27 April 2013 pukul 19.33 WIB

20

21

Rantonen, P., 2003, Salivary Flow and Composition in Healthy and Diseased Adults, http://ethesis.hesinki.fi/julkaisut/laa/hamma/vk/rantonen/salivary.pdf, pada 29 April 2013 Rensburg, B. G. J. V. 1995. Oral Biology. Chicago: Quintessenc Publishing Co. Inc Roth, G. I. ; R. Calmes. 1981. Oral Biology. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 8 : 196232 Scully, C., 2003, Drug Effects on Salivary Glands: Dry Mouth, Oral Diseases, 9: 165-176 Sherwood, L., 2011, Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem, (diterjemahkan oleh: Bhram U. Pendit), Ed. 6, EGC, Jakarta Sinaga, S, 2002, Saliva sebagai Salah Satu Media dalam Penentuan Diagnosa Penyakit, Skripsi,
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8523/1/980600086.pdf,

diakses

diakses pada hari Sabtu, 27 April 2013, pukul 19.00 WIB Sllm, L., H., dan Thomas, C., 2012, Xerostomia: A Continuing Challenge for Oral Healthcare WIB Sultana, N., dan Sham, M., E., 2011, Xerostomia: An Overview, International Journal of Dental Clinics, 3(2): 58-61 Supartinah, A, 2003, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FKG UGM : Saliva dan Kaitannya dengan Penyakit Rongga Mulut Anak, Makalah, lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/998_pp0911162.pdf, diakses pada hari Sabtu, 27 April 2013, pukul 19.15 WIB Talwar, G. P., Srivastava, L. M., 2006, Textbook of Biochemistry and Human Biology, 3rd Edition, Asoke Gosh, New Delhi Professionals, http://www.dentalcare.com/media/enUS/education/ce96/ce96.pdf, diakses pada Selasa, 30 April 2013 pukul 16.55

22

Tanjung M, dkk. Isolasi bakteri dalam Penuntun praktikum Biologi Oral, Fakultas Kedokteran gigi USU, Medan 2000: 1-2 Tenovuo, J. Lagerlof, F., Saliva In: Textbook of Clinical Cariology, 2nd Edition, Munksgaard, Copenhagen Williamson, S, Cindy, M, Rita P, Marry, J, P, dan Elswick, Jr, 2012, Research Article Comparison of Biomarkers in Blood and Saliva in Healthy Adults, www.hindawi.com/journals/nrp/2012/246178/, diakses pada hari Sabtu, 27 April 2013, pukul 19.30 WIB Witt, R., 2005, Salivary Gland Diseases: Surgical and Medical Management, Thieme Medical Publisher, New York

You might also like