You are on page 1of 40

Daftar Nama Partai Politik (PARPOL) peserta PEMILU 2009 Indonesia.

9 07 2008

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sabtu (31/5) dini hari mengeluarkan daftar 34 partai politik yang lolos verifikasi administrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Dari jumlah ini, 16 partai politik BARU dipastikan lolos karena telah memiliki kursi di DPR. Terdapat juga 11 parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi dan dua parpol tidak diproses karena tidak terdaftar. Partai politik yang lolos verifikasi administrasi tersebut yaitu: 1.Partai Barisan Nasional 2.Partai Demokrasi Pembaruan 3.Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 4.Partai Hanura 5.Partai Indonesia Sejahtera 6.Partai Karya Perjuangan 7.Partai Kasih Demokrasi Indonesia 8.Partai Kebangkitan Nasional Ulama 9.Partai Kedaulatan 10.Partai Matahari Bangsa 11.Partai Nasional Benteng Kerakyatan 12.Partai Patriot 13.Partai Peduli Rakyat Nasional 14.Partai Pemuda Indonesia 15.Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia 16.Partai Perjuangan Indonesia Baru 17.Partai Persatuan Daerah 18.Partai Republik Nusantara 19. Partai Amanat Nasional (PAN) 20 Partai Bintang Reformasi (PBR) 21. Partai Bulan Bintang (PBB) 22. Partai Damai Sejahtera (PDS) 23. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 24. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) 25. Partai Demokrat 26. Partai Golongan Karya (Partai Golkar) 27. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 28. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 29. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 30. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

31. Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme 32. Partai Pelopor 33. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 34. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Daftar 6 Nama Parpol Lokal NAD 1. Partai 2. Partai 3. Partai 4. Partai Suara Independen Rakyat Aceh 5. Partai Aceh Aman Seujahtera 6. Partai Daulat Atjeh Daftar 11 parpol yang tidak lolos verifikasi 1. Partai 2. Partai Kristen Demokrasi 3. Partai Tenaga Kerja 4. Partai Masyarakat 5. Partai Pemersatu Nasional 6. Partai 7. Partai Bela 8. Partai Nasional 9. Partai Persatuan Perjuangan 10. Partai Kerakyatan 11. Partai Reformasi Demokrasi KPU : Islam indonesia Indonesia Madani Indonesia Republik Negara Indonesia Rakyat Nasional Nanggoe Rakyat Bersatu Aceh Darussalam : Aceh Aceh Atjeh

2 partai politik mengundurkan diri tidak berbadan hukum Depkum HAM : 1. Partai Kemakmuran Rakyat 2. Partai Islam Indonesia Masyumi Tambahan daftar istilah / singkatan pemilu by organisasi.org : Pemilu Luber : Langsung Umum Bebas Rahasia Pemilu Jurdil : Jujur dan Adil KPU : Komisi Pemilihan Umum KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah - Pemilu : Pemilihan Umum

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan. Kajian mengenai partai politik (parpol) merupakan salah aspek penting di dalam ilmu hukum tatanegara. Bila kita berbicara mengenai parpol, berarti kita akan membicarakan mengenai partisipasi rakyat dalam dua hal, yaitu pertama : partisipasi rakyat dalam menentukan arah kebijakan negara; kedua : partisipasi rakyat dalam membuat peraturanperaturan perundang-undangan.[1] Oleh karena itu, kajian mengenai parpol akan terkait dengan studi mengenai pemilihan umum (pemilu) dan konsep negara hukum. Prof. Abdul Bari Azed berpandangan bahwa konsep negara hukum merupakan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi, dan HAM yang paling penting adalah keiuktsertaan atau partisipasi rakyat dalam membuat peraturan-peraturan perundang-undangan yang akan mengatur kehidupannya.[2] Dan partisipasi rakyat untuk menyalurkan kepentingannya dengan ikut serta mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan, dan dalam bentuk yang sederhana adalah dengan mengikuti pemilu, atau ikut menjadi anggota parpol, mendirikan parpol, atau mengakomodasi kepentingannya dalam kehidupan bernegara. Kendati menurut teori ilmu hukum tata negara parpol merupakan suatu kajian yang penting, tetapi di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Asli tidak menyebut (mengatur) secara eksplisit dan jelas mengenai parpol. Di dalam Penjelasan UUD 1945 (Asli) menyatakan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dengan demikian pentingnya peranan parpol di dalam paradigma UUD 1945 (Asli) hanya dapat disimpulkan dari analisa teori-teori hukum tata negara mengenai hubungannya antara negara hukum, kedaulatan rakyat, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Lain hal dengan UUD 1945 yang sudah dirubah (Amandemen Kedua) yang menyebut secara eksplisit mengenai parpol. Di dalam Pasal 6 A UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menyatakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Maraknya beridirinya partai-partai baru setelah berhentinya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 adalah bersamaan dengan adanya perubahan politik yang besar pada saat itu. Gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 (Gerakan 1998) akan ditulis tinta emas di dalam sejarah Republik Indonesia. Sekurang-kurangnya ada dua keberhasilan yang sangat fundamental dari Gerakan 1998, yaitu : pertama, berhasil memaksa Presiden Soeharto

yang sudah berkuasa selama 32 tahun untuk berhenti, hingga pemerintahan otoriter Orde Baru menjadi; dan kedua, mendorong lahirnya Gerakan Reformasi di segala bidang.[3] Pengangkatan Prof. B.J. Habibie sebagai Presiden R.I merupakan tonggak awal periode reformasi.[4] Prof. B.J. Habibie melakukan reformasi di segala bidang, memulihkan kehidupan di bidang sosial-ekonomi, dan meningkatkan demokrasi.[5] Di dalam era Presiden Prof. B.J. Habibie, kehidupan bernegara menjadi demokratis, termasuk di dalamnya mengenai wacana pendirian partai politik (parpol) yang baru. Sri Bintang Pamungkas mempelopori mendirikan parpol yang baru, di luar tiga parpol yang diakui pada saat itu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Kemudian baru lahir parpol-parpol yang lain sehingga berjumlah 48 parpol, yang pada akhirnya parpol-parpol tersebut mengikuti pemilihan umum yang pertama di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999. Semenjak itu, peran parpol di dalam kehidupan bernegara semakin menonjol. Kebijakan-kebijakan negara, baik pembuatan undang-undang di Dewan Perwakilan Perwakilan maupun oleh Presiden dalam mengeluarkan peraturan pelaksanaan undangundang, banyak mendengar masukan dari parpol. Begitupun juga dalam melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang pertama di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999, peranan parpol sangat sentral dan strategis. Pelaksana pemilu tahun 1999 tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beranggotakan dari seluruh unsur-unsur parpol yang ikut di dalam Pemilu 1999. Selain pelaksana Pemilu 1999, KPU juga yang membuat regulasi Pemilu 1999, penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode tahun 1999-2004, Utusan Golongan dan Utusan Daerah untuk Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat periode tahun 1999-2004. Demikianpun juga dalam pelaksanaan roda pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di daerah, peranan parpol sangat signifikan, terutama di dalam penyampaian aspirasi dan kontrol sosial. Hal tersebut terlihat di dalam proses perubahan (amandemen) UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945), banyak aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui parpol, terutama mengenai pembatasan masa jabatan presiden, penjaminan hak azasi manusia (HAM), pemiliahan presiden secara langsung. Peran parpol di dalam menyerap aspirasi masyarakat juga nampak dari hasil Pemilu 2004. Hasil perolehan suara di dalam Pemilu 2004 memperlihatkan terjadi perubahan, diantaranya yang menonjol yaitu : Nama Partai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera Partai Demokrat Sumber : Komisi Pemilihan Umum Dari tabel di atas menunjukan adanya peran parpol di dalam menyerap aspirasi masyarakat. Sebelum Pemilu 2004 dilaksanakan, banyak masyarakat (terutama mahasiswa dan pemuda) yang tidak puas terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mempunyai kursi terbanyak di DPR tidak dapat memberantas Korupsi, Kolisi, Nepotisme Pemilu 1999 35.689.173 1.436.565 Tidak ikut Pemilu 2004 21.026.629 8.325.020 8.455.225

(KKN) secara tuntas, sehingga perolehan suara PDIP di dalam Pemilu 2004 menjadi menurun. Sedang Partai Keadilan atau Partai Keadilan Sejahtera (nama pada Pemilu 1999, yang kemudian pada Pemilu 2004 berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera) mendapat penambahan suara yang besar (sekitar 7 juta suara) disebabkan kalangan mahasiswa dan pemuda menaruh harapan agar partai ini sanggup memberantas KKN secara tuntas. Sedang Partai Demokrat yang merupakan parpol yang baru ikut Pemilu 2004, mendapat suara yang melebihi Partai Keadilan Sejahtera, disebabkan ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono yang ada dibelakang Partai Demokrat diharapkan masyarakat luas untuk dapat melola negara yang lebih baik. Bersamaan dengan semakin berperannya parpol dalam kehidupan negara yang demokratis, timbul konflik-konflik di dalam tubuh parpol. Salah satu konflik parpol yang menarik perhatian masyarakat adalah perselisihan di dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa. Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) pada hari Rabu tanggal 16 November 2005 telah memutus perkara sengketa partai politik (parpol) antara Alwi Shihab melawan Muhaimin Iskandar di tingkat Kasasi.[6] Majelis Hakim Kasasi MA RI menilai pemecatan Alwi Shihab dari keanggotaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) cacat hukum, karena melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKB. Harifin A. Tumpa (salah satu Anggota Majelis Hakim Kasasi) mengatakan kepada Harian Kompas bahwa putusan tersebut diambil melalui mufakat bulat dan Majelis Hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan, melainkan hanya sebagian. Lebih jauh menjelaskan bahwa menurut AD/ART PKB, pemilihan Ketua Umum Dewan Tanfidz dilakukan melalui muktamar yang diselenggarakan lima tahun sekali. Ketua Dewan Tanfidz bertanggungjawab kepada Muktamar. Cacat hukum yang dimaksud adalah pemecatan Alwi tidak dilakukan melalui muktamar. Menurut Harifin A. Tumpa putusan MA RI tersebut tidak membawa konsekwensi apapun, karena pengurus baru sekarang sudah ada. Selanjutnya Harifin A. Tumpa berharap putusan MA RI tersebut membuat para pihak berdamai. Putusan MA RI tersebut bukan saja merupakan perkembangan baru semenjak Undang-Undang No.31 tahun 2002 tentang Partai Politik yang diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002, tetapi juga merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi di era reformasi yang kehidupan politiknya demokratis dan liberal. Konflik kepartaian seperti yang dialami oleh PKB tersebut, juga dialami oleh parpol-parpol besar lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Demokrat (PD). Namun perselisihan kepartaian yang pada akhir berujung berpekara di pengadilan yang dialami PDIP, PBR, dan PBR belum sampai dengan tingkat kasasi. Bahkan PBR sudah berdamai, dan gugatannya sudah dicabut. Sementara itu perselisihan kepartaian yang pada akhir berujung berpekara di pengadilan yang dialami PKB bukan hanya gugatan dari Alwi Shihab itu saja. Pada tahun 2002 PKB mengalami Dualisme Kepemimpinan antara PKB Batutulis yang dipimpin Matori Abd. Djalil dan PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab, yang pada akhirnya berpekara sampai di pengadilan. Sesungguhnya perselisihan internal parpol bukan hanya berujung di pengadilan, tapi ada juga perselisihan internal parpol hingga mengakibatkan parpol bersangkutan pecah, antara lain seperti Haryanto Taslam yang merupakan tokoh pendiri PDIP pada akhirnya mendirikan Partai Nasional Banteng Kemderkaan (PNBK). Atau perselisihan internal parpol

hingga menyebabkan tokoh-tokoh pendiri partai meninggalkan parpol yang dibentuknya semula, antara lain Faisal Basri meninggalkan Partai Amanat Nasional (PAN).

B. Pokok Permasalahan. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka yang pokok permasalahan di dalam tulisan ini adalah : 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan maraknya konflik internal parpol di awal-awal era reformasi ? 2. Apa akibat-akibat yang timbul dari adanya konflik internal parpol di awal-awal era reformasi ?

C. Kerangka Teori. 1. Partai politik menurut Roy C. Macridis: [7] Parpol adalah suatu asosiasi yang mengaktifkan, memobilisasi rakyat, dan mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat-pendapat yang bersaing, dan memunculkan kepemimpinan politik. 2. Partai politik menurut Miriam Budiardjo :[8] adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijsaksanaan-kebijaksanaan mereka. 3. Partai politik menurut Carl J. Fiederich : [9] adalah sekelompok manusia yang terorganisiir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. 4. Partai politik menurut Soltau :[10] adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakanaan umum mereka. 5. Partai politik menurut Sigmund Neumann :[11] adalah organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. 6. Partai politik menurut Ichlasul Amal :[12] adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. 7. Partai politik menurut Mark N. Hagopian:[13] adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter

kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat ddalam pemilihan. 8. Menurut Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Perpecahan dalam parpol bisa disebabkan tiga hal ; 1. Perbedaan ideologi dari para anggotanya. 2. Perbedaan pelaksanaan kebijaksanaan 3. Persaingan kepemimpinan dalam partai. 9. Menurut H. Anto Djawamaku Ada beberapa macam konflik internal dalam tubuh parpol, yaitu : :[15] Hamid, dan Toto Pribadi :[14]

1. Karena partai tidak memeliki platform yang jelas, sehingga mengakibatkan tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai. Ketika terjadi perpecahan yang bersifat klik, personal atau kelompok, dengan mudah hal itu memecah belah partai. 2. Faktor kepemimpinan tunggal dan manajemen yang buruk. Terlalu kuatnya figur pemimpin parpol berpotensi mematikan kaderisasi di tubuh partai politik bersangkutan. Figur yang kuat seringkali dianggap mampun menjadi perekat sementara pada saat bersamaan kader yang memiliki kualifikasi sepadan tidak pernah dipersiapkan sebagi calon pengganti. 3. Dipandang dari proses regenerasi yang harus dilakukan, kegagalan muncul tokoh baru dalam parpol menunjukan kegagalan parpol melakukan reformasi internal, terutama untuk revitaslisasi dan regenerasi terutama karena figur petingginya menjadi simbol institusi. 10. Menurut Nurcholish Madjid : [16] Sampai saat ini belum ada kedewasaan berpolitik dalam partai politik. Perpecahan partai politik umumnya disebabkan oleh egoisme politik yang begitu besar yang merupakan indikasi ketidakdewasaan partai tersebut. Ketidakdewasaan partai juga ditunjukkan dengan ketidakberanian partai politik terkait untuk menjadi independen.

II. TEORI-TEORI PARTAI POLITIK A. Batasan dan Pengertian Partai Politik. Roy C. Macridis berpendapat bahwa partai politik (parpol) merupakan keharusan dalam kehidupan politik moderen yang demokratis, pengecualiannya hanya pada masyarakat tradisional yang sistem politiknya otoritarian yang pemerintahannya bertumpu pada tentara atau polisi.[17] Sebagai organisasi, parpol secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai. Menurut Roy C. Macridis, parpol merupakan suatu asosiasi yang mengaktifkan, memobilisasi rakyat, dan mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat-pendapat yang bersaing, dan memunculkan kepemimpinan politik. Oleh karena itu, parpol menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik di dalam masyarakat moderen. Parpol adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan untuk memerintah. Parpol telah digunakan untuk mempertahankan pengelompokan yang

sudah mapan (seperti gereja) atau untuk menghancurkan status quo seperti yang dilakukan Bolsheviks pada tahun 1917 ketika menumbangkan kekaisaran Tsar. Sementara itu Miriam Budiardjo berpendapat bahwa Partai politik menurut adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijsaksanaan-kebijaksanaan mereka :[18] Partai politik menurut Carl J. Fiederich adalah sekelompok manusia yang terorganisiir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.[19] Partai politik menurut Soltau adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakanaan umum mereka.[20] Partai politik menurut Sigmund Neumann adalah organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.[21] Partai politik menurut Ichlasul Amal adalah suatu kelompok yang mengajukan caloncalon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.[22] Partai politik menurut Mark N. Hagopian adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsipprinsip kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat ddalam pemilihan.[23] Berdasarkan batasan-batasan mengenai parpol seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa : 1. Dasar sosiologis dari suatu parpol adalah ideologi. 2. Kepentingan dari dibentuknya suatu parpol adalah usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan.

B. Fungsi Partai Politik. Di dalam negara moderen, menurut Miriam Budiardjo, parpol mempunyai beberapa fungsi :[24] 1. Sebagai sarana komunikasi politik : parpol berfungsi menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang-siuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat moderen yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang

atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di pandang pasir apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan, perumusan kepentingan (interest articulation). 2. Sebagai sarana Sosialisasi Politik (Instrument of Political Socializzation). Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses dari seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik di dalam lingkungan masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramahceramah penerangan, kursus-kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya. 3. Sebagai sarana Rekrutmen Politik. Dalam hal ini parpol berfungsi untuk mencari dang mengajakorang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Juga disuahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik untuk menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama (selection of leadership). 4. Sebagai sarana pengatur konflik. Di dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, parpol berusaha untuk mengatasinya. Sementara itu Ramlan Surbakti berpendapat bahwa fungsi utama partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan untuk mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu.[25] Selain fungsi utama parpol seperti tersebut, menurut Ramlan Surbakti masih ada fungsi parpol lainnya, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sosialisasi politik. Rekrutmen politik. Partisipasi politik. Pemandu Kepentingan. Komunikasi Politik. Pengendalian Konflik. Kontrol Politik.

C.

Jenis-Jenis Partai Politik. Perbedaan jenis-jenis partai politik yang ada di berbagai negara pada dewasa ini pada hakekatnya karena perbedaan basis sosiologisnya. Menurut Ichlasul Amal, sekurangkurangnya terdapat lima jenis parpol yang dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat komitmen parpol terhadap ideologi dan kepentingan, yaitu :[26] 1. Partai Proto. 2. Partai Kader. 3. Partai Massa.

4. Partai Diktatorial. 5. Partai Catch-all Partai Proto adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini. Partai semacam ini muncul di Eropa Barat sekitar abad pertengahan hingga akhir abad ke-19. Ciri paling menonjol dari partai proto adalah pembedaan antara kelompok anggota (ins) dengan non-anggota (outs). Selebihnya, partai ini belum menunjukan ciri sebagai parpol dalam pengertian moderen. Karena, partai proto sesungguhnya adalah fkasi yang dibentuk berdasarkan pengelompokan ideologis masyarakat. Partai kader merupakan perkembangan lebih lanjut partai proto. Partai ini muncul sebelum diterapkannya sistem hak pilih secara luas bagi rakyat hingga sangat bergantung pada masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta para pemberi dana. Tingkat organisasi dan ideologi partai kader sesungguhnya masih rendah karena aktivitasnya jarang didasarkan pada program dan organisasi yang kuat. Keanggotaan partai kader terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut partai kader adalah konservatisme ekstrem atau maksimal reformisme moderat. Karena itu partai kader tiidak memerlukan organisasi besar yang dapat memobilasasi massa. Dengan demikian, dalam pengertian ini partai kader lebih nampak sebagai suatu kelompok informal daripada sebagai organisasi yang didasarkan pada disiplin. Partai massa muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai suatu respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Latar belakang muncul partai massa sangat bertolak belakang dengan kemunculan partai proto maupun partai kader. Partai proto dan partai kader terbentuk di dalam lingkungan parlemen (intra parlemen), memiliki basis pendukung kelas menengah ke atas, serta memiliki tingkat organisasial dan ideologis yang relatif rendah. Sebaliknya, partai massa dibentuk di luar lingkungan parlemen (ekstra parleementer), berorientasi pada basis pendukung yang luas, misalnya : buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi yang cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya. Tujuan utama partai massa tidak hanya memperoleh kemenangan dalam pemilihan, tetapi juga memberikan pendidikan politik bagi para anggotanya dalam rangka membentuk elit yang langsung direkrut dari massa. Partai Catch-all merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali dikemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik partai-partai politik di Eropa Barat pada massa pasca Perang Dunia Kedua. Catch-all dapat diartikan sebagai menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang kaku. Dengan demikian, aktivitas partai ini erat berkaitan dengan kelompok kepentingan dan kelompok penekan.

D.

Konflik dan Perpecahan Partai Politik. Di dalam masyarakat yang demokratis, perbedaan pendapat dan persaingan di antara warga masyarakat atau golongan-golongan merupakan hal yang wajar. Perbedaan pendapat

dan persaingan itu sering kali mengakibatkan konflik, bahkan mengakibatkan terjadi perpecahan. Konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : 1) Percecokan, pertentangan; 2) Ketegangan atau pertentangan antara dua kekuatan atau dua tokoh.[27] Menurut Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi Perpecahan dalam parpol bisa disebabkan tiga hal:[28] 1) Perbedaan ideologi dari 2) Perbedaan pelaksanaan 3) Persaingan kepemimpinan dalam partai. para anggotanya. kebijaksanaan.

Sedangkan menurut H. Anto Djawamaku Ada beberapa macam konflik internal dalam tubuh parpol, yaitu :[29] 1. Karena partai tidak memeliki platform yang jelas, sehingga mengakibatkan tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai. Ketika terjadi perpecahan yang bersifat klik, personal atau kelompok, dengan mudah hal itu memecah belah partai. 1. Faktor kepemimpinan tunggal dan manajemen yang buruk. Terlalu kuatnya figur pemimpin parpol berpotensi mematikan kaderisasi di tubuh partai politik bersangkutan. Figur yang kuat seringkali dianggap mampun menjadi perekat sementara pada saat bersamaan kader yang memiliki kualifikasi sepadan tidak pernah dipersiapkan sebagi calon pengganti. 2. Dipandang dari proses regenerasi yang harus dilakukan, kegagalan muncul tokoh baru dalam parpol menunjukan kegagalan parpol melakukan reformasi internal, terutama untuk revitaslisasi dan regenerasi terutama karena figur petingginya menjadi simbol institusi.

III. KONFLIK PARTAI POLITIK DI INDONESIA A. Berdirinya Partai Politik di Indonesia. Dari teori-teori ilmu poltik sebagaimana yang telah diuaraiakan di atas, maka dapat dikatakan partai politik adalah merupakan alat yang pernah didesain oleh manusia dan paling ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Karena demikian pentingnya keberadaan partai politik, sampai munculnya pameo dalam masyarakat bahwa politisi modern tanpa partai politik sama saja dengan ikan yang berada di luar air. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Kalau kelahiran partai politik sebagai pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dalam politik formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan partai politik sebagai pengendali kekuasaan. Partai poltik sering dianggap sebagi salah satu atribut negara demokrasi modern, dan tidak ada seorang ahlipun dapat membantahnya, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat.

Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat,juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Partai politik,sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan, tempat seseorang/kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus menggunakan kekerasan/kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan persaingan baik intern partai maupun antar partai yang terjadi secara melembaga dalam partai politik umumnya. Sebagaimana dikatakan oleh Huszar dan Stevenson dalam bukunya Political Science mengemukakan Partai Politik ialah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya dapat melaksanakan progam-progamnya dan menempatkan/menundukkan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah; partai politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara yaitu ikut serta dalam pelaksanaan pemerintah secara sah,dengan tujuan bahwa dalam pemilu memperoleh suara mayoritas dalam badan legislatif,atau mungkin bekerja secara tidak sah/subversif untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara yaitu melalui revolusi atau coup detat. Persaingan antar partai politik merupakan bagian intergral dalam proses politik, guna memperoleh kemenangan dala proses pemilu.Dengan suara mayoritas dalam pemilu, partai yang bersangkutan akan dapat berbuat banyak dalam mengendalikan negara dan pemerintahan;memperkuat dan memperjuangkan ideologi partainya; mempertahankan posisi elitnya dalam kekuasaan pemerintahan;serta merealisir tujuan lebih lanjut,yaitu mengawasi kebijaksanaan umum. Sebagaimana dikatakan Carl.J.Friederich bahwa, partai poltik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk menjamin dan mepertahanlan pemimpin-pemimpinnya,tetap mengendalikan pemerintahn dan lebih jauh lagi memberikan keuntungan-keuntungan terhadap anggota partai baik keuntungan yang bersifat materiil maupun spirituiil. Sejarah mencatat untuk pertama kali partai politik tumbuh dan berkembang di negaranegara Eropa Barat, merupakan suatu tahap agar pemerintahan yang dijalankan harus berdasarkan kontitusi dan perwakilan. Hasil pembangunan politiknya telah membatasi kekuasaan Monarchi absolut dan perluasan hak-hak warga negara.Keberhasilan inilah yang mendorong meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik.Dan pada gilirannya menempatkan partai politik berfungsi menjadi penghubung antara rakyar dengan pemerintahan, dimana rakyat dapat menentukan pilihannya dengan leluasa,memperjuangkan kepentingannya,mengkritik rezim yamg memerintah,melakukan tata hubungan politik dan lain-lain. Telah banyak penelitian empiris menunjukkan perspektif bari di mana partai-partai politik dan sistem kepartainnya bisa dianalisis dan dipahami secara lebih mendalam dalam kehidupan masa kini.Selain itu,berbagai usaha telah dilakukan untuk menghubungkan partai partai politik dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat,dengan berbagai kelompok yang bertujuan mengejar kekuasaan dan pencapaian tujuan-tujuan dan kepentingannya.

Dalam konteks ini masyarakat sering dipandang sebagai organisme yang dinamis tempat berkembangnya pelbagai persaingan guna memperoleh prestisi,status,kekuasaan perasaan aman. Kompetisi yang berkembangnya biasanya diliputi oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai, bahkan membawa atribut-atribut kelompok yang berafiliasi untuk diperjuangkan kepentingannya. Kondisi konflik dan persaingan semacam ini merupakan hal yang lumrah dan tidak bisa dielakkan dalam kehidupan sehari-hari. Telah banyak penelitian empiris menunjukkan perspektif baru di mana partai-partai politik bisa dianalisis dan dipahami secara lebih mendalam. Kalau kita lihat ketentuan UUD 1945, tidak dijumpai kata-kata partai politik, hal ini tidak berarti bahwa partai politik tidak boleh ada/diatur,apalagi kalau menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Berdasarkan pengalaman-pengalaman perkembangan demokrasi di negara kita dalam hubungannya dengan pelaksanaan UUD 1945, Konsitusi RIS dan UUDS50,telah timbul kecenderungan untuk mengatur kehidupan kepartaian. Dilihat dari sudut ideologi dasar,munculnya partai politik di Indonesia pada masa pra kemerdekaan secara garis besar adalah sebagai akyualisasi dari tiga aliran atau pandanagan politik yang menemukan momentum kelahirannya pada dekade abat ke20.Ketiga aliran itu ialah Islam,Nasionalisme,daan Marxisme/Sosialisme.Aktualisasi aliran Islam muncul pertama dalam Sarekat Islam (SI),sebagai partai politik pertama yang bercorak nasional.Partai Sarekat Islam sering dianggap sebagai partai pelopr dan parati ini menjadi dinamis di bawah pimipinan H.O.S.Cokroaminoto.Hal yang menarik dari SI pada periode awal adalah mampu mengidentitaskan dirinya dengan aspirasi politik Bumi Putera untuk memperjuangkan kemerdekaan.Pada tahun 1920-an dengan kelahiran PKI,PNI,yang bercorak ideologi Marxisme dan Nasionalisme,membawa dampak wibawa SI menurun,dan tidak mampu bersaing dengan ideologi-ideologi modern yang berasal dari Barat dalam merebur massa rakyat. PKI yang lahir pada tahun 1920, dalam tempo yang relatif sumgkat berkembang dengan pesat,baik di bidang organisasi maupun dalam usaha memasyarakatkan Marxisme/Komunisme.Partai ini tidak saja berhasil mempengaruhi massa rakyat,juga berhasil memikat kaum intelektual,terutama dengan memperkenalkan analisa Lenin dan Bucharin tentang imperalisme sebagai tingkat terakhir dari kapitalisme. Bilamana pemberontakan PKI tahun 1926/1927 tidak terjadi,tidak menutup kemungkinan PKI akan menjadi pelopor dalam perjuangan anti kolonialisme/imperalisme.Kesalahan PKI waktu itu membuat satu perjuangan (pemberontakan)tanpa persiapan yang matang.Periode 1927 sampai dengan 1945 aktualisasi ideologi Marxis hilang dari arena gerakan politik Indonesia.Kondisi seperti ini,kedudukannya mampu digantikan oleh PNI sebagai partai radikal-revolusioner dan Soekarno mampu belajar dari pengalaman dan kelemahan SI dan PKI. Kalau kita perhatikan jalan pemikiran yang melandasi organisasi-organisasi politik seperti Sarekat Islam(1912), PKI(1921), PSII(1930), PNI(1927), Partindo, Parindra, dan kelompok-kelompok yang berdasarkan suku kederahan seperti Paguyuban Pasundan (1914), Sarikat Sumatra (1918), Serikat Ambon (1920), Rukun Minahasa dan Kaum Betawi (1923) dan lain-lain,jelas perjuangan utama mereka adalah kemerdekaan dari kolonialisme/imperalisme.Namun kalau diklfikasi lebih lanjut, akan meninjukkan beragam alasan dari aliran politik Islam, Nasionalisme dan Marxisme dalam melihat tuntutan untuk merdeka.

Perjalanan kehidupan partai politik di Indonesia sering dihadapkan pada berbagai masalah, seperti bagaimana partai politik mengorganisir dirinya agar terbebas dari ancaman perpecahan; bagaimana hubungan antara partai politik dengan rakyat pendukungnya;bagaimana peranan ideologi di dalam kehidupan partai umtuk memperoleh sarana materiil;serta bagimana peranan partai politik bagi kel;nacaran perputaran mesin partai. Ashmad Syafei Maarif mengkonstanti, bahwa perpecahan dalam partai politik bukan karena perbedaan penafsiran terhadap ideologi yang dianut, tetapi kerena perbedaan pandangan dalam membawa ideologi itu menjadi aktual. Hal ini menyangkut sikap terhadap pemerintah Hindia Belanda,misalnya dari non-kooperatif ke kooperatif. Pada pokoknya sesudah PNI dibubarkan sampai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942, tidak ada satu ideologi yang dominan dalam pergerakan politik Indonesia. Sedangkan pada pendudukan Jepang (1942-1945)seluruh kegiatan partai politik dehentikan. Setelah proklamasi kemerdekaan BP-KNIP terhting mulai tanggal 30 Oktober 1945 bertindak sebagai parlemen sementara sebelum diadakan pemilu, berkeputusan untuk membentuk partai politik dengan konsep banyak partai (multy party), dengan pertimbangan bahwaberbagai pendapat yang ada di dalam masyarakat akan tersalur secara tertib. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan adalah bahwa partai politik akan memperkokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan pemeliharaan keamanan massyarakat. Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presuden Moh.Hatta,jelas membawa partai politik garis tempat terpijak yang kokoh.Isi Maklumat itu antara lain memuat keinginan pemerintah akan kehadirann partai politik.Dengan partai politik aliran paham yang ada di dalam masyarakatdapat disalurkan secara teratur.Lebih meyakinkan lagi,berupa limit waktu pendirian partai politik,yakni harus sudah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota0anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.Dengan dasar msklumat pemerintah ini,lahirlah berbagai partai politik ditambah partai politil yang telah ada pada zaman penjajahan Belanda maupun partai politik pada masa pendudukan Jepang. Partai politik yang berdiri sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam buku Kepartaian Indonesia/terbitan Kementrian Penerangan tahun 1951 sebagai berikut : Dasar Ketuhanan: a) Masjumi; b) Partai Sjarikat Indonesia; c) Pergerakan Tarbiah Islamiah; d) Partai Kristen Indonesia; e) Partai Katholik. 1. Dasar a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) kebangsaan; (PNI); (PIR); (Parindra); Indonesia(PRI); (Banteng); (PRN); (PWR); (Parki); (PKR); (SKI);

Partai Persatuan Partai Partai Partai Partai Partai Partai Partai Serikat

Nasional Indonesia Indonesia Rakyat Demokrasi Rakyat Wanita Kebangsaan Kedaulatan Kerakyatan

Indonesia Raya Raya Rakyat Nasional Rakyat Idonesia Rakya Indonesia

k) Ikatan Nasional Indonesia l) Partai Rakyat Jelata m) Partai tani Indonesia n) Wanita Demokrasi Indonesia (WDI). 2. Dasar a) Partai Komunis Indonesia b) Partai Sosialis c) Partai d) Partai e) Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai). 3. Partai a) Partai Demokrat Tionghoa b) Partai Indonesia Nasional (PIN).

(INI); (PRJ); (PTI); Marxisme: (PKI); Indonesia; Murba; Buruh; lain-lain: (PTDI);

Disamping itu ada dua partai politik yang cukup besar pengaruhnya dalam masyarakat,yang belum tercantum dalam daftar diatas yakni Nahdalatul Ulama (NU) yang secara resmi berdiri sebagai partai politik yang bernasafkan Islam tahun 1952,dan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) berdasarkan kebangsaan. Adapun Alfian dalam mengelompokkan partai politik berdasarkan hasil pemilun 1955 yakni; 1. a) b) c) d) e) f) g) PIR-Wongsonegoro. 2. a) b) c) PSII; d) Perti 3. a) b) c) BTI 4. a) b) GTI. 5. a) b) Parkindo. Aliran nasionalis : PNI; PRN; Hazarin; Parindra; ; SKI;

PIR Partai Buruh

Partai

Islam

: Masjumi; NU;

Aliran

Komunis

: PKI; SOBSI;

Aliran

Sosialis

: PSI;

Aliran Partai

Kristen

: Katolik;

Cara lain menurut Alfian dengan pengelompokkan partai politik; non-agama, Islam dan Kristen. Pengelompokkan ini nampaknya relevan dengan pemikiran K.H.A.Wahid Hasjim sebagai akibat dari pemerintahan diktator yang dilaksanakan oleh Jepang,maka di dalam negara kita berkembang tiga aliran yakni; a)Nasionalis opportunis; b)Nasionalis Islam; dan c)Komunis/Sosialis. Ketiga golongan utama inilah yang mendominasi kehidupan politik kita melalui oartai politik.Kalau pada zaman penjajahan konflik antar golongan dapat ditutupi dengan isu melawan penjajahan,sehingga intrik politik diantara masing-masing golongan tidak menampilkan perpecahan intern,jalan keluarnya dengan mendirikan partai baru yang juga mempunyai problem tersendiri dalam menghadapi pemerintah kolonial.Tetapi dalam perkembangan berikutnya setelah lepas dari penjajahan,nampak semakin intensif upaya menanamkan ideologi dalam masyarakat dan masing-masing sebagai golongan politik menampakkan identitas sebagai golongan yang memang memiliki ambisi untuk mempertaruhkan segalanya demi mencapai tujuan dalam kekuasaan politik. Dengan adanya anjuran dan jaminan penderian serta hak hidup partai politik,maka tahun 1955 kita menyaksikan pertimbuhan parati politik yang subur dengan diselingi konflik yang terkadang berbau antagonis diantara berbagai golongan yang ada. Salah satu ciri utama kehidupan politik masa demokrasi liberal ditandai dengan kabinet yang berulang kali rata-rata berumur 8 bulan.Itulah resiko milty partai yakni pertentangan yang tidak pernah berkesudahan antar elit politik terutama golongan nasionalis dan ialam.Adapun simbul kedua golongan itu adalah PNI dam Masjumi.Hanya terdapat dua kabinet yang diperintah secara berimbang antara dua golongan tersebut.Golongan lain adalah PSI,PSII,NU,IPKI,dan beberapa partai kecil lainnya yang ikut duduk dalam kabinet bsampai berakhirnya pemilu 1955.Yang perlu dicatat bahwa masa ini nampak sekali percaturan politik bercirikan militansi politisi sipil. Pemilu 1955 mengangkat posisi NU dan PKI ke panggung politik dan mendepak PSI ke luar,karena partai ini sanagt merosot dalam perolehan suara.Karena tidak ada partai yang mayoritas dalam pemilu,membuka peluangnya adanya koalisi.Kondisi semacam ini menjadi salah satu penyebab sering terjadi pergantian kabinet,dalam bahasa Orde Baru tidak mungkin menyelenggarakan pembangunan ekonomi karena perhatian lenih banyak ditujuka kepada pembenahan bidang politik. Dengan konflik yang berkepanjangan dalam tubuh badan Konstituante dalam merumuskan UUD yang bersifat tetap,mendorong Presiden Soekarno menggunakan kekuasaan ekstrakonstitusional dengan Dekritnya dan melahirkan demokrasi terpimpin.Masa ini tampak kekuasaan Presiden Soekarno mengisap hampir seluruh kekuasaan yang ada disekelilingnya dan berakhirlah kekuasaan partai-partai politik. Disamping cengkraman kekuasaan Soekarno,masa demokrasi terpimpin ditandai pula oleh adanay keinginan kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi berbagai gejolak politik.Dengan dikucilkannya PNI dan Masjumi oleh Presiden Soekarno,memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965,tampak antara Soekarno,PKI,dan TNI-AD saling bersaing,sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti dalam percaturan

politik.Dengan kelihaian PKI dalam memobilisasi massa sampai pelosok pedesaan dengan kader-kader yang disiapkan begitu intensif dan militan,memberikan keyakinan padanay bahwa kemenangan akan diraihnya,manakala suatu saat dilakukan pengambil alihan kekuasaan,dengan cara mengucilkan kekuatan TNI-AD. Inilah malapetaka yang dikenal dengan pemberontakkan G 30S/PKI denganh jatuhnya 7 korban perwira tinggi dan menengah TNI-AD.Dari Malapetaka itulah segenap potensi bangsa terutama Militer,Angkatan 66 dan umat Islam ditambah kekuatan sosial keagamaan lainnya ikur bergerak menumpas PKI.Dengan kehancuran PKI,menghantarkan militer berkiprah dalam gelanggangt politik.Kehancuran Orde Lama ditandai dengan surutnya politisi sipil dari gelanggang politik dan naiknya peranan militer,oleh Alfian memberi istilah dengan formal politik baru. Awal kebangkitan Orde Baru dalam melakukan pembenahan intitusi politik,tetap berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya stabilitas politik.Usaha pertama disamping memulihkan partai-partai yang tidak secara resmi dilarang,adalah menyusun UU tentang pemilu yang dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu. Dan pemilu yang direncanakan dilaksanakan dalam waktu dekat,ternyata baru terlaksana tahun 1971. Kalau kita cermati kembali perjalanan partai politik di Indonesia pada masa Orde Baru,sebagai peserta pemilu tahun 1971 ada 10 partai politik yakni: 1) Golongan Karya(Golkar); 2) Partai Nasional Indonesia(PNI); 3) Nahdatul Ulama(NU); 4) Partai Katolik; 5) Partai Murba; 6) Partai Syarikat Islam Indonesia(PSII); 7) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia(IPKI); 8) Partai Kristen Indonesia(Parkindo); 9) Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)dan; 10) Partai Islam Perti(Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Hasil pemilu 1971 yang menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian diikuti oleh Parmusi, NU, dan PNI menunjukkan kekuatan formal partai dilihat dari suara yang didapat dalam pemilihan.Hal inipun tidak lepas dari jasa ABRI dalam mensukseskan pemilu pertama dalam masa Orde Baru,yakni memberi peluang cukup leluasa bagi Golkar untuk berusaha sekuat tenaga guna memenengkan pemilu dengan dibantu oleh pemerintah. Dalam gelanggang percaturan politik Orde Baru, nampak hubungan antara ABRIteknokrat untuk memperkuat birokrasi pemerintahan demikian kuat.Tidak jelas siapa menguasai siapa dalam menggambarkan hubungan ini,hanya kesan umum kekuasaan ABRI lebih kuat dari teknokrat. Dengan adanya partai mayoritas Golkar,sangat mungkin melapangkan jalan untuk penyederhanaan kehidupan partai secara melembaga.Melalui proses fusi yakni partai-partai Islam seperti;NU,Parmusi,PSII,dan Partai Islam.Persatuan Tarbiyah Islamiyah(PERTI)tergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adapun Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan gabungan dari Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba dan IPKI.

Dengan berlakunya Undang-undang No.3 tahun 1975, maka Pemilu 1977 dan 1982 hanya tiga peserta pemilu, yakni PPP, Golkar, dan PDI dimana masing-masing mempunyai ciri-ciri sebagaiberikut : 1. PPP dengan ciri ke-Islaman dan Ideologi Islam. 2. Golkar dengan ciri kekaryaan dan keadilan sosial. 3. PDI dengan ciri demokrasi, kebangsaan (nasionalisme) dan keadilan. Sedang dalam Pemilu 1987 dan 1992, dengan berlakunya Undang-Undang No.3 tahun 1985 (sebagai pengganti Undang-undang No.3 tahun 1975), ditetapkan agar semua parpol hanya menggunakan satu-satunya azas, yaitu azas Pancasila.. Dengan demikian perlombaan pengaruh antar kontestan hanya berorientasi pada program kerja masing-masing parpol. Di dalam sejarah politik Indonesia, Pemilu 1999 adalah Pemilu yang diikuti oleh paling banyak peserta setelah Pemilu 1955. Ada 48 partai yang mengikuti Pemilu 3 tahun lalu itu. Itu yang mengikuti Pemilu. Kalau hanya sekedar mendaftarkan diri ke pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) pada waktu itu ada 141. Untuk mengingat kembali partai-partai tersebut berikut ini bisa dibaca profil masing-masing partai tersebut. Di dalamnya terdapat informasi mengenai nama partai, ketua umum dan sekretaris jenderal, alamat, tujuan dan asasnya, serta sejarah singkatnya. Di dalam Pemilu 2004 terdaftar 24 partai politik yang berhak ikut serta Pemilu 2004. Ke-24 parpol merupakan hasil dari proses seleksi yang cukup panjang. Ke-24 partai ini ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2004 setelah berhasil melalui 3 tahap penyaringan. Penyaringan tahap pertama dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di sini tujuan penyaringan adalah memberikan status atau pengsahan partai politik sebagai sebuah badan hukum sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang dinyatakan lulus penyaringan. Penyaringan tahap kedua adalah verifikasi administratif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk diketahui, UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menegaskan bahwa partai politik yang dibenarkan mengikuti Pemilu adalah partai yang sudah mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Depkeh dan HAM. Ke-50 partai yang lulus penyaringan tersebut kemudian mendaftarkan diri ke KPU untuk menjadi calon peserta Pemilu. Sesuai dengan amanat UU No. 12/2003, khususnya Pasal 7 10, yang kemudian dijabarkan di dalam Keputusan KPU No. 105 Tahun 2003 sebagaimana diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615 Tahun 2003, sebuah partai politik berhak mengikuti Pemilu apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, mempunyai kepengurusan lengkap di sekurangkurangnya 2/3 jumlah provinsi di Indonesia. Kedua, mempunyai pengurus lengkap di sekurang-kurangnya 2/3 kabupaten/kota di setiap provinsi di mana ia mempunyai kepengurusan. Ketiga, semua kepengurusan tersebut harus mempunyai kantor. Keempat, mempunyai anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di setiap daerah di mana ia mempunyai pengurus. Pembuktian setiap partai yang mendaftarkan diri tersebut dilakukan melalui proses verifikasi. Ada dua tahap verifikasi di sini, yaitu verifikasi administratif dan verifikasi faktual. Hanya partai yang lulus verifikasi administratif yang bisa mengikuti penyaringan tahap selanjutnya (verifikasi faktual).

Penyaringan tahap ketiga adalah verifikasi faktual. Pada tahap ini yang diteliti adalah memastikan apakah benar dokumen-dokumen mengenai kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di dalam verifikasi administratif tersebut mewujud di lapangan. KPU menyusun ketentuan mengenai tata cara dan prosedur verifikasi tersebut di dalam Keputusan KPU No. 105/2003 dan yang diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615/2003. Sebuah catatan perlu ditekankan di sini bahwa 6 dari partai tersebut tidak melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU, baik administratif maupun faktual. Sebab, keenam partai tersebut telah lulus electoral threshold (mempunyai 2% dari jumlah kursi di DPR) di dalam Pemilu 1999. Sedangkan menurut UU No. 12/2003 partai yang sudah memenuhi electoral threshold tersebut, langsung ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2004 apabila mendaftarkan diri sebagai calon peserta Pemilu ke KPU. Keenam partai tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang. Oleh karena jumlah partai yang mengikuti proses verifikasi ada 44. Setelah keseluruhan proses verifikasi selesai, ada 18 partai yang lulus. Ditambah dengan 6 partai yang lulus threshold, jumlah keseluruhan partai yang berhak menjadi peserta Pemilu 2004 adalah 24, yaitu : 1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. 2. Partai Buruh Sosial Demokrat. 3. Partai Bulan Bintang. 4. Partai Merdeka 5. Partai Persatuan Pembangunan 6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 9. Partai Demokrat 10. Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia 11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 13. Partai Amanat Nasional 14. Partai Karya Peduli Bangsa 15. Partai Kebangkitan Bangsa 16. Partai Keadilan Sejahtera 17. Partai Bintang Reformasi 18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 19. Partai Damai Sejahtera 20. Partai Golongan Karya 21. Partai Patriot Pancasila 22. Partai Sarikat Indonesia 23. Partai Persatuan Daerah 24. Partai Pelopor

B.

Konflik Partai Politik di Era Reformasi.

Kecenderungan konflik internal hingga dualisme kepemimpinan partai politik pascakongres atau muktamar kembali terjadi. Kongres PDIP di Bali membelah kepemimpinan PDIP menjadi dua poros kekuatan, antara DPP PDIP Megawati di satu sisi dengan GP PDIP-nya Roy BB Janis di sisi lain. Muktamar PKB di Semarang membuat dualisme kepemimpinan: Gus Dur-Muhaimin Iskandar berhadapan dengan DPP PKB versi Alwi Shibah dan Syaifullah Yusuf yang didukung oleh poros Kiai Langitan-Lirboyo. Sebelumnya soliditas kepemimpinan DPP PPP juga retak oleh konflik internal antara kaukus elite DPP pro-Silatnas (Silaturahmi Nasional) yang anti Hamzah Haz dengan yang anti Silatnas yang pro Hamzah Haz. Fenomena kepengurusan kembar partai politik (parpol) di Indonesia sebagai imbas konflik internal partai sebenarnya merupakan fenomena klasik dalam politik kepartaian di Indonesia. Kepengurusan kembar partai, baca: pembelahan organisasi, telah mengakar dalam tradisi politik di Indonesia semenjak era kolonialisme hingga membudaya di alam kemerdekaan, masa Soekarno, Orde Baru (Orba) sampai sekarang ini. Faktornya berbedabeda. Di jaman kolonial, terjadi akibat rivalitas atau proses radikalisasi ideologi, seperti kasus perpecahan Syarikat Islam (SI) di tahun 1920-an menjadi SI merah-nya Semaoen dan SI putih-nya HOS Tjokroaminoto. Di masa Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI) diperintahkan Soekarno untuk reshaping semangat revolusionernya, dengan akibat mantan Wakil PM Hardi tergusur. Sedangkan di masa Orba, pembelahan partai disebabkan oleh intervensi rezim berkuasa yang mencoba menghancurkan partai-partai yang diprasangkakan membahayakan kekuasaan. PNI, yang merupakan partai pendukung kaum Soekarnois di awal Orba di pecah menjadi PNI ASU (Ali Sastroamidjojo-Surachman) dengan PNI Osa-Usep, dengan maksud mencegah konsolidasi barisan pendukung Soekarnois. Pembelahan parpol di awal berkuasanya Orde Baru yang militeristik diorientasikan untuk memandulkan fungsi kontrol partai atas pemerintahan. Di awal 1990-an Orba melakukan pembelahan partai pewaris simbol Soekarnois PDI, sebelah di bawah Soerjadi yang direstui pemerintah, sebelah lagi yang proMegawati yang didukung arus bawah. Jaman Reformasi Bisa disimpulkan dalam lintasan sejarah kepartaian di Indonesia, pembelahan (perpecahan) parpol yang menghasilkan dualisme kepemimpinan struktural disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, radikalisasi ideologi. Kedua, intervensi kekuasaan dalam kerangka kepentingan de-ideologisasi dan de-parpolisasi. Ketiga, strategi resistensi sosial partai. Lantas bagaimana kita me-nempatkan realitas ini di masa reformasi? Apakah bisa dikatakan konflik partai di era reformasi diakibatkan intervensi pemerintah, atau karena proses radikalisasi ideologi, ataukah oleh sebab lain? Sepanjang era reformasi, PPP sempat terpecah menjadi PPP Reformasi sebelum akhirnya berganti nama menjadi PBR. Kemudian PKB pascajatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terbelah menjadi PKB Batutulis di bawah komando matori Abdul Djalil dan PKB Kuningan di bawah komando Alwi Shihab dengan dukungan Gus Dur dan para kiai (ulama) kharismatik NU. Perpecahan juga menimpa partai-partai gurem. PDKB, partai kecil yang sempat menempatkan tujuh kadernya di DPR (periode 1999-2004) terpecah menjadi dua sebelum resmi mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilu 2004. PRD, partai radikal yang konsisten melawan Orba, pecah berkeping-keping menjadi PDS, PRP, dsb.

Akhirnya PDIP pasca kongres Bali, Maret 2005 juga terbelah dua menjadi PDIP dan Gerakan Pembaruan PDIP. Pepecahan ini dalam analisis sosiologis dan psikologis politik disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, bipolaritas kepentingan politik yang berpengaruh terhadap harmoni partai. Bipolaritas antara pragmatisme yang menjangkiti kader/elite partai berhadapan dengan idealisme yang dipegang oleh kader/elite partai yang teguh mempertahankan jiwa ideologi dan garis konstitusional partai. Kedua, terhambatnya proses regenerasi akibat pola kepemimpinan yang patronatif, kharismatik, feodalistik yang menjegal kompetisi demokratis dalam pergantian kepemimpinan partai. Karena tokoh yang kharismatik di dalam partai masih ingin mempertahankan otoritasnya, sementara kekuatan reformis atau dekonstruksi di jajaran kader semakin kuat dan menuntut proses percepatan suksesi. Ini terjadi di partai-partai tradisional yang mengandalkan ikon kepemimpinan partai yang kharismatik dan berbasiskan loyalitas massa kepada figur pemimpin partai. Ketiga, intervensi kekuasaan politik dan modal, yang pada umumnya dilakukan poros kepentingan yang merepresentasikan keinginan pemerintah untuk menumpulkan resistensi oposisional partai terhadap kebijakan pemerintah. Intervensi modal terjadi dan dilakukan oleh kekuatan bisnis yang menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk mempermudah penguasaan aset politik yang dekat relasinya dengan sumber daya ekonomi. Intervensi modal dan intervensi kekuasaan politik ini mendorong lahirnya budaya money politics, intrik politik, politik dagang sapi dalam arena kongres atau muktamar partai. Muncul pertanyaan: Mengapa partai-partai mudah sekali terbawa arus perpecahan yang menyulut lahirnya dualisme kepemimpinan? Perpecahan di tubuh partai yang kini marak juga dipengaruhi kondisi internal partai-partai yang pada umumnya masih merupakan partai tradisional, yang hanya aktif dan memiliki orientasi berkompetisi dalam pemilu, yang mengandalkan ikatan perekat antara organisasi dan dukungan massa melalui kharisma ketokohan, serta yang merepresentasikan diri sebagai partai aliran. Watak tradisionalisme kepartaian di Indonesia inilah yang menjadikan partai gagal menjalankan fungsi normatif politik, baik dalam hal edukasi politik massa konstituen, rekruitmen kader kepemimpinan internal dan eksternal, komunikasi politik serta aktifitas transformasi konflik. Kegagalan fungsi normatif partai akhirnya menumbuhkan pola pikir dan perilaku pragmatis di antara kaukus elite/kader pengurus partai. Mereka aktif di partai dengan tujuan berkarir di parlemen dan pemerintahan, serta dalam pemahaman bersama meletakkan partai sebagai kendaraan untuk meraih akses ke sumber daya ekonomi. Sehingga akhirnya terjadi rivalitas politik yang tujuannya untuk bertahan atau merebut kepemimpinan di dalam partai. Para elite partai yang mayoritas bersikap-berfikir pragmatis, menjadikan partai sebagai alat meniti karir, alat cari makan dan jabatan. Karena figur pemimpin partai membawa kepentingan kaukus elite-nya, sedangkan kaukus yang gagal menempatkan tokohnya menjadi ketua umum akan tersingkir dari kepengurusan partai. Berarti karir politik mereka tamat. Untuk mempertahankan eksistensi dan karir politik, akhirnya merekakaukus elite/kader-yang kalah terdorong membentuk struktur tandingan kepengurusan partai dengan harapan bisa melakukan posisi tawar sekaligus jika memenangkan pertikaian yuridis di pengadilan dalam persoalan absah-tidaknya kepengurusan kembar, bisa menyelamatkan masa depan karir politiknya.

PENDAHULUAN Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya. Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu. Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktikpraktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain. Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.

A. PENTINGNYA SOSIALISASI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK

1. PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK

Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat. Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana sikap-sikap dan nilainilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai metreka dewasa dan orang-orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu. Greenstein dalam karyanya International Encyolopedia of The Social Sciences 2 definisi sosialisasi politik: a. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini. b. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara nominal belajat bersikap non politik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan. Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya. Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan polapola tingkah laku. Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat: a. Tingkat Komunitas Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya. b.Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka. Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihanpilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan 2. METODE SOSIALISASI POLITIK ( oleh Rush dan Althoff) 1. Imitasi Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa, imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga satu derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi. 2. Instruksi

Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya. 3. Motivasi Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang cocok yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial and error). Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya. Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik. Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode belajar berikut: 1. Pengoperasian Interpersonal Mengasumsikan bahwa anak mengalami proses sosialisasi politik secara eksplisitdalam keadaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam hubungna-hubungan dan pemuasanpemuasan interpersonal. 2. Magang Metode belajat magang ini terjadi katrna perilau dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat politik. 3. Generalisasi Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu. Proses sosialisasi langsung terjadi melalui: 1) Imitasi Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar. 2) Sosialisasi Politik Antisipatoris Dilakukan untuk mengantisipasi peranan-peranan politik yang diinginkan atau akan diemban oleh actor. Orang yang berharap suatu ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan professional atau posisi social yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai dan pola-pola perilaku yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.

3) Pendidikan Politik Inisiatif mengoper orientasi-orientasi politik dilakukan oleh socialiers daripada oleh individu yang disosialisasi. Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah, lembagalembaga politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi yang tidak terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi kelestarian suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan informasi minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat terpelihara. 4) Pengalaman Politik Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan pengalamn-pengalamannya didalam proses politik. 3. SARANA SOSIALISASI POLITIK

1. Keluarga Merupakan agen sosialisasi pertama yang dialami seseorang. Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapankecakapan untuk melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik sesudah dewasa. 2. Sekolah Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-kegiatan guru. Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbolsimbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut. Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS. 3. Kelompok Pertemanan (Pergaulan) Kelompok pertemanan mulai mengambil penting dalam proses sosialisasi politik selama masa remaja dan berlangsung terus sepanjang usia dewasa. Takott Parson menyatakan kelompok pertemanan tumbuh menjadi agen sosialisasi politik yang sangat penting pada

masa anak-anak berada di sekolah menengah atas. Selama periode ini, orang tua dan guruguru sekolah sebagai figur otoritas pemberi transmitter proses belajar sosial, kehilangan pengaruhnya. Sebaliknya peranan kelompok-kelompok klik, gang-gang remaja dan kelompok-kelompok remaja yang lain menjadi semakin penting. Pengaruh sosialisasi yang penting dari kelompok pertemanan bersumber di dalam factor-faktor yang membuat peranan keluarga menjadi sangat penting dalam sosialisasi politik yaitu: a. Akses yang sangat ekstensif dari kelompok-kelompok pertemanan terhadap anggota mereka. b. Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang di dalamnya. Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu: a. Kelompok pertemanan adalah sumber sangat penting dari informasi dan sikap-sikpa tentang dunia social dan politik. Kelompok pertemanan berfungsi sebagai communication channels. b. Kelompok pertemanan merupakn agen sosialisasi politik sangat penting karena ia melengkapi anggota-anggotanya dengan konsepsi politik yang lebih khusus tentang dunia politik. c. Mensosialisasi individu dengan memotivasi atau menekan mereka untuk menyesuaikan diri dengan sikap-sikap dan perilaku yang diterima oleh kelompok. Di satu pihak, kelompok pertemanan menekan individu untuk menerima orientasi-orientasi dan perilaku tertentu dengna cara mengancam memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan terhadap norma-norma keluarga, seperti melecehkan atau tidak menaruh perhatian kepad amereka yang menyimpang. 4. Pekerjaan Organisasi-organisasi formal maupun non formal yang dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan, seperti serikat buruh, klub social dan yang sejenisnya merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan yang jelas. 5. Media Massa Media massa seperti surat kabar, radio, majalah, televise dan internet memegang peran penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa baru merdeka. Selain memberikan infoprmasi tentang informasi-informasi politik, media massa juga menyampaika nilai-nili utama yang dianut oleh masyarakatnya. 6. Kontak-kontak Politik Langsung Tidak peduli betapa positifnya pandangan terhadap system poltik yang telah ditanamkan oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, mengalami etidakadilan, atau teraniaya oleh militer, maka pandangan terhadap dunia politik sangat mungkin berubah. 4. PERANAN PARTAI POLITIK DALAM SOSIALISASI BUDAYA POLITIK

A. PENGERTIAN PARTAI POLITIK

Di bawah mi disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik: Carl J. Fredirch, mendefinisikan partai politik adalah: Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan pengawasan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya dan berdasarkan pengawasan mi memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material (a political party is a group of human beings stability organized with the objective of giving to members of the party, trough such control ideal and material benefits and advantages. Raymond Garfield Gettel memberi batasan bahwa: Partai politik terdiri dan sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memakai kekuasaan memilih bertujuan mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka (a political party of a group of citizens, more or less organized who act s political unit and who, by the use of their voting power and to control the government and carry out their general polingles. Menurut George B Huszr dan Thomas H. Stevenson, partai politik adalah: Sekelompok orang-orang yang terorganisir untuk ikut serta mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam jabatan (a political party is a group at people organized to sucure control f government morder to puts program in to effect and it member in offce). Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties bahwa definisi partai adalah: Organisasi dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan satu golongan atau golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (a political party terniiculate organization of society as active political agent those who are conserned with the control of the governmental power and who compete for popular support with another group holding divergent view).2 Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan: Partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka (a political party is a group of citizen more or less organized, who act as a political unit and who, bay the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general politicies). 13 Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang sama.

Menurut George B Huszr dan Thomas H. Stevenson, partai politik adalah: Sekelompok orang-orang yang terorganisir untuk ikut serta mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam jabatan (a political party is a group at people organized to sucure control f government morder to puts program in to effect and it member in offce). Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties bahwa definisi partai adalah: Organisasi dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan satu golongan atau golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (a political party terniiculate organization of society as active political agent those who are conserned with the control of the governmental power and who compete for popular support with another group holding divergent view).2 Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan: Partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka (a political party is a group of citizen more or less organized, who act as a political unit and who, bay the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general politicies). 13 Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang sama. B. MACAM MACAM PARTAI POLITIK

Menurut Haryanto, parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu: 1. Partai Massa, dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak. Meskipun demikian, parta jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak kabur dan terlampau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk melaksanakan kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri; 2. Partai Kader, kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak mementingkan

jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya. (Haryanto: dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah; Mengenal Teori-Teori Politik. Cetakan I November 2005, Depok. Halaman 567-568) Sedangkan tipologi berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan kepentingan, menurut Ichlasul Amal terdapat lima jenis partai politik, yakni: 1. Partai Proto, adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini. Ciri yang paling menonjol partai ini adalah pembedaan antara kelompok anggota atau ins dengan non-anggota outs. Selebihnya partai ini belum menunjukkan ciri sebagai partai politik dalam pengertian modern. Karena itu sesungguhnya partai ini adalah faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi masyarakat; 2. Partai Kader, merupakan perkembangan lebih lanjut dari partai proto. Keanggotaan partai ini terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut partai ini adalah konservatisme ekstrim atau maksimal reformis moderat; 3. Partai Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa berorientasi pada pendukungnya yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya; 4. Partai Diktatorial, sebenarnya merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki ideologi yang lebih kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi partai melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap pengurus bawahan maupun anggota partai. Rekrutmen anggota partai dilakukan secara lebih selektif daripada partai massa; 5. Partai Catch-all, merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali di kemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik. Catch-all dapat diartikan sebagai menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti ideologi yang kaku (Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996) Menurut Peter Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi tiga macam yaitu;

1. Partai Para Pemuka Masyarakat, berupa gabungan yang tidak terlalu ketat, yang pada umumnya tidak dipimpin secara sentral ataupun profesional, dan yang pada kesempatan tertentu sebelum pemilihan anggota parlemen mendukung kandidat-kandidat tertentu untuk memperoleh suatu mandat; 2. Partai Massa, sebagai jawaban terhadap tuntutan sosial dalam masyarakat industrial, maka dibentuklah partai-partai yang besar dengan banyak anggota dengan tujuan utama mengumpulkan kekuatan yang cukup besar untuk dapat membuat terobosan dan mempengaruhi pemerintah dan masyarakat, serta mempertanyakan kekuasaan; 3. Partai Kader, partai ini muncul sebagai partai jenis baru dengan berdasar pada Lenin. Mereka dapat dikenali berdasarkan organisasinya yang ketat, juga karena mereka termasuk kader/kelompok orang terlatih yang personilnya terbatas. Mereka berpegangan pada satu ideologi tertentu, dan terus menerus melakukan pembaharuan melalui sebuah pembersihan yang berkseninambungan. C. SISTEM KEPARTAIAN Sistem kepartaian adalah pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada. Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik. Sistem partai di Negara manapun dalam suatu jangka waktu tertentu memiliki persamaan persamaan dan perbedaan perbedaan sistem yaitu; 1. sistem partai pluralistis 2. sistem partai dominant D. SYARAT SYARAT PENDIRIAN PARTAI POLITIK 1. Partai politik harus didirikan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun. 2. Dalam pendirian dan pembentukan partai politik harus menyertakan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. 3. Pendirian Partai Politik harus disertai dengan akta notaris. Dalam akta notaris tersebut harus memuat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran

Rumah Tangga (ART) serta kepengurusan partai politik tingkat pusat. 4. Anggaran Dasar (AD) partai politik memuat paling sedikit: a. asas dan ciri partai politik; b. visi dan misi partai politik c. nama, lambang, dan tanda gambar partai politik; d. tujuan dan fungsi partai politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan partai politik; g. peraturan dan keputusan partai politik; h. pendidikan politik; dan i. keuangan partai politik 4. Kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. 5. Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing.

E. TUJUAN PARTAI POLITIK Tujuan umum Partai Politik adalah : a. Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

F. FUNGSI PARTAI POLITIK Adapun fungsi partai politik, menurut Sigmund Neumann (1981), ada 4 (empat) yaitu : 1. fungsi agregasi. Partai menggabungkan dan mengarahkan kehendak umum masyarakat yang kacau. Sering kali masyarakat merasakan dampak negatif suatu kebijakan pemerintah, misalnya kenaikan BBM di Indonesia 1 Oktober 2005 lalu yang demikian tinggi. Namun ketidakpuasan mereka kadang diungkapkan dengan berbagai ekspresi yang tidak jelas dan bersifat sporadis. Maka partai mengagregasikan berbagai reaksi dan pendapat masyarakat itu menjadi suatu kehendak umum yang terfokus dan terumuskan dengan baik. 2. fungsi edukasi. Partai mendidik masyarakat agar memahami politik dan mempunyai kesadaran politik berdasarkan ideologi partai. Tujuannya adalah mengikutsertakan masyarakat dalam politik sedemikian sehingga partai mendapat dukungan masyarakat. Cara yang ditempuh misalnya dengan memberi penerangan atau agitasi menyangkut kebijakan negara serta menjelaskan arah mana yang diinginkan partai agar masyarakat turut terlibat perjuangan politik partai. 3. fungsi artikulasi. Partai merumuskan dan menyuarakan (mengartikulasikan) berbagai kepentingan masyarakat menjadi suatu usulan kebijakan yang disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan suatu kebijakan umum (public policy). Fungsi ini sangat dipengaruhi oleh jumlah kader suatu partai, karena fungsi ini mengharuskan partai terjun ke masyarakat dalam segala tingkatan dan lapisan. Bila fungsi ini dilakukan ditambah dengan fungsi edukasi, ia akan menjadi komunikasi dan sosialisasi politik yang sangat efektif dari partai yang selanjutnya akan menjadi lem perekat antara partai dan massa. 4. fungsi rekrutmen. Ini berarti partai melakukan upaya rekrutmen, baik rekrutmen politik dalam arti mendudukan kader partai ke dalam parlemen yang menjalankan peran legislasi dan koreksi maupun ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan, maupun rekrutmen partai dalam arti menarik individu masyarakat untuk menjadi kader baru ke dalam partai. Rekrutmen politik dilakukan dengan jalan mengikuti pemilihan umum dalam segala tahapannya hingga proses pembentukan kekuasaan. Karenanya, fungsi ini sering disebut juga fungsi representasi. Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut: (a) Representatif (perwakilan), (b) Konvensi dan Agregasi, (c) Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), (d) Persuasi, (e) Represi, (f) Rekrutmen, (g) Pemilihan pemimpin, (h) Pertimbanganpertimbangan, (i) Perumusan kebijakan, serta (j) Kontrol terhadap pemerintah. (Macridis : dalam buku karya Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988). G. HAK PARTAI POLITIK

1. 2. 3. 4.

Perlakuan sama adil, sederajat dari negara Mengatur RTO secara mandiri Ikut pemilu Mencalonkan pres & wapres dll.

H. KEWAJIBAN PARTAI POLITIK 1. 2. 3. 4. Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 Menjaga keutuhan NKRI Menjunjung tinggi hukum, demokrasi, HAM Menyukseskan PEMILU dan Pembangunan dll.

B. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN

Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing. Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan. Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:

Rezim otoriter warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik Rezim patrimonial warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa mempengaruhinya. Rezim partisipatif warga bisa mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya. Rezim demokratis warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.

1. PENYEBAB TIMBULNYA GERAKAN KEARAH PARTISIPASI POLITIK

Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut : a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik. b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik. c. Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang. d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat. e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutantuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.

2. JENIS JENIS PARTISIPASI POLITIK

Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga tak punya keleluasaan untuk otonom dari jari-jemari kekuasaan dan tak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju

demokrasi galib disibukkan dengan frekuensi partisipasi yang meningkat tajam, dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat konstitusional hingga yang bersifat merusak sarana umum. Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001). Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput. Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum. 1. Partisipasi Politik di Negara Demokrasi Di negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di pelbagai kegiatan. Biasanya dibagi bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas melakukan kegiatan tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya dibandingkan dengan jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan. Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya ( voter turnout ) disbanding dengan warga Negara yang berhak memilih seluruhnya. Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya. 2. Partisipasi Politik di Negara Otoriter Di Negara otoriter seperti komunis, partisipasi masa diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Tetapi tujuan yang utama dari partisipasi massa dalam masa pendek adalah untuk merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern dan produktif. Hal ini memerlukan pengarahan yang ketat dari monopoli partai politik. Terutama, persentase yang tinggi dalam pemilihan umum dinilai dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa umumnya system

pemilihan di Negara otoriter berbeda dengan system pemilihan di Negara Demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon tersebut harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai komunis. Di luar pemilihan umum, partisipasi politik juga dapat di bina melalui organisasi organisasi yang mencakup golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi organisasi kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat potensi masayarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi yang bersifat community action terutama di Uni soviet dan China sangat intensif dan luas. Melebihi kegiatan Negara demokrasi di Barat. Tetapi ada unsur mobilisasi partisipasi di dalamnya karena bentuk dan intensitas partisipasi ditentukan oleh partai. Di Negara Negara otoriter yang sudah mapan seperti China menghadapi dilema bagaimana memperluas partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyarakat yang diharapkan. Jika kontrol ini dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada bahaya yang nantinya akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu stabilitas. Seperti yang dilakuakn oleh China di tahun 1956/1957. Pada saat itu dicetuskannya gerakan Kampanye Seratus Bunga yaitu dimana masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Namun pengendoran kontrol ini tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sesuda terjadi tragedy Tiananmen Square pada tahun 1989, ketika itu ratusan mahasiswa kehilangan nyawanya dalam bentrokan dengan aparat, dan akhirnya pemerintah memperketat kontrol kembali. 3. Partisipasi Politik di Negara Berkembang Negara berkembang adalah negara Negara baru yang ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar ketertinggalannya dari Negara maju. Hal ini dilakukan karena menurut mereka berhasil atau tidaknya pembangunan itu tergantung dari partisipasi rakyat. Peran sertanya masyarakat dapat menolong penanganan masalah masalah yang timbul dari perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, agama dan sebagainya. Pembentukan identitas nasional dan loyalitas diharapkan dapat menunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik. Di beberapa Negara berkembang partisipasi bersifat otonom, artinya lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu jika hal ini terjadi di Negara- Negara maju sering kali dianggap sebagai tanda adanya kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi jika hal itu terjadi di Negara berkembang, tidak selalu demikian halnya. Di beberapa Negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi menghadapi masalah bagaimana caranya meningkatkan partisipasi itu, sebab jika tidak partisipasi akan menghadapi jalan buntu, dapat menyebabkan dua hal yaitu menimbulkan anomi atau justru menimbulkan revolusi. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat 1. Faktor Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga. 2. Faktor Politik Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

a. Komunikasi Politik. Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika (Surbakti, 1992:119) . b. Kesadaran Politik. Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22). c. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil (RamlanSurbakti 1992:196). d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71). 3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya (K. Manullang dan Gitting,1993:13). 4. Faktor Nilai Budaya Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau peradapan masyarakat (Verba, Sholozman, Bradi,

1995). Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik. 3. BUDAYA POLITIK PARTISIPAN adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Budaya politik partisipan dicirikan dengan adanya orientasi yang tinggi terhadap semua objek politik, baik objek umum, input, output serta pribadinya sendiri selaku warga negara. Pelaksanaan budaya politik partisipan juga dapat diterapkan oleh seorang pelajar dilingkungan sekolahnya.

PARADIGMA BARU PARTAI GOLKAR I. PENDAHULUAN PARADIGMA baru Partai GOLKAR ini berisi pokok-pokok doktrin, visi, misi, dan platform politik. Didalam perumusan paradigma baru ini ada terkandung aspek pembaruan sekaligus kesinambungan.Aspek pembaruan ditunjukkan melalui perubahan struktur atau kelembagaan, dan aspekkesinambungan tampak pada kekukuhan Partai GOLKAR untuk tetap berideologi Pancasila dan doktrinkarya kekaryaan.Pembaruan ini disamping dimaksudkan untuk meluruskan sejumlah kekeliruan lama, juga diarahkanuntuk mewujudkan Partai GOLKAR yang mandirian, demokratis, kuat, solid, berakar dan responsif.Dengan paradigma baru maka Partai GOLKAR diharapkan menjadi Partai politik yang modern dalampengertiannya yang sebenarnya. Yakni, tidak lagi sebagai Paratainya penguasa (the rulers party)yang hanya menjadi mesin pemilu atau alat politik untuk melegitimasi kekuasaan sebagaimana dalamparadigma lama.Pembaruan paradigma itu sendiri didorong oleh faktor utama yang berasal dari diri Partai GOLKARsendiri, yakni jati diri dan watak GOLKAR sebagai kekuatan pembaru. Sebagaimana disebutkan padapoin keempat dari IKRAR PANCA BHAKTI GOLONGAN KARYA, etos atau semangat pembaruan padasejatinya merupakan fitrah atau sikap dasar Partai GOLKAR sejak kelahirannya. Fitrah inilah yangmendorong dilakukannya pembaruan ini. Dengan demikian, pembaruan paradigma ini merupakanpengejawantahan belaka dari fitrah tersebut. Paradigma baru Partai GOLKAR ini telah mulai diwujudkan melalui pembaruan internal, terutamaterhadap struktur atau kelembagaan organisasi yang selama ini mempunyai akses yang terlalu besarterhadap organisasi yang membatasi kemandirian Partai GOLKAR.Langkah-langkah pembaruan kelembagaan tersebut juga diikuti dengan diwujudkannya prinsipkedaulatan ditangan anggota. Yaitu mekanisme pengambilan setiap keputusan organisasi dilakukansecara lebih terbuka, demokratis, dari bawah (bottom-up), dan dengan pemungutan suara secaralangsung. Melalui mekanisme yang demokratis ini maka terbukalah peluang bagi kader-kader untukmemimpin Partai karena memang dalam perspektif demokrasi kesempatan dan peluang perlu disediakan untuk semua, sehingga tidak terjadi pemusatan pandangan pada pesona figur tunggalyang mengarah pada kultus individu.Implikasi lain dari serangkaian pembaruan tersebut adalah sangat berarti, yakni Partai GOLKARmenjadi benar-benar mandiri dan mampu mewujudkan tegaknya asas kedaulatan ditangan anggotasebagai salah satu prinsip utama dari Partai yang modern, demokratis, dan mengakar. Partai GOLKARbertumpu hanya pada kekuatannya sendiri, tidak mengandalkan kekuatan di luar dirinya, danselanjutnya dapat

mengambil keputusan-keputusan organisasional secara independen tanpa campurtangan dari pihak luar atau golongan manapun. II. DOKTRIN PERJUANGAN Dengan paradigma baru ini, doktrin Partai GOLKAR tetap sebagai kelanjutan dari Sekretariat Bersama(SEKBER) GOLONGAN KARYA yang lahir pada tanggal 20 Oktober 1964. Partai GOLKAR tetapberpegang pada doktrin karya kekaryaan, yaitu Karya Siaga Gatra Praja, tetapi dipahami secarakreatif dan dinamis sesuai dengan dinamika perkembangan jaman.Dengan doktrin karya kekaryaan maka Partai GOLKAR selalu melihat masyarakat dalam perspektif fungsi, bukan dalam perspektif ideologi, apalagi aliran. Pengelompokan masyarakat yang terbaikdalam perspektif Partai GOLKAR adalah pengelompokan berdasarkan peran dan fungsinya.Dengan doktrin karya kekaryaan Partai GOLKAR berorientasi pada program (program oriented) danatau pemecahan masalah (problem solving), bukan berorientasi pada aliran atau ideologi (ideologyoriented). Dengan perspektif ini ingin ditegaskan bahwa GOLKAR tidak sependapat dilakukannyapengelompokan politik berdasarkan primordialisme dan sektarianisme. Pembelahan masyarakatberdasarkan ideologi atau aliran-aliran dikhawatirkan akan melahirkan konflik-konflik ideologi yangbermuara pada pertentangan, perpecahan, dan masalah disintegrasi bangsa.Dengan orientasi ini maka masyarakat tidak akan terjebak dalam pertentangan atau konflik ideologiyang tidak perlu, melainkan berorientasi pada karya untuk membangun bangsa. Bagi Partai GOLKARkarya yang baik dan bermanfaat bagi seluruh rakyat adalah lebih penting daripada ide atau gagasansemata. Karya kekaryaan adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan secara sadar, terencana,sistematis, dan menyeluruh, untuk mendatangkan manfaat bagi rakyat. Karya kekaryaan adalah jugaamal shalih dalam pengertian hang luas sebagaimana yang diajarkan agama-agama.Oleh karena doktrin inilah Partai GOLKAR senantiasa prihatin menyaksikan kehidupan politik yangditandai oleh maraknya persaingan tidak sehat di antara berbagai Partai poltik yang membawaterjadinya konflik dan pertentangan politik yang tajam. Masingmasing Partai politik berusahamemobilisasi dukungan massa bagi kepentingan sempit, sehingga kepentingan bangsa yang lebih luasterabaikan. Sebagai akibat dari kecenderungan tersebut, Bangsa Indonesia kehilangan momentumuntuk membangun diri guna mewujudkan cita-cita proklamasi.Kegandrungan (euphoria) untuk menjadikan politik sebagai panglima kehidupan dan menekankanideologi politik sektarianistik, seperti pada pengalaman lama, telah menghambat prosesmensejahterakan rakyat. Sebagai akibatnya rakyat terjerembab ke dalam kemiskinan danketerbelakangan dalam suasana ketidakpastian politik.Dalam suasana seperti itulah Partai GOLKAR tampil dengan doktrin karya kekaryaan karena tidakingin bangsa ini terpecah ke dalam kotak-kotak sempit yang hanya akan mengancam keutuhanbangsa. III. VISI PERJUANGAN Sejalan dengan cita-cita para bapak pendiri negara (the founding fathers) kita bahwa tujuan kitabernegara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa,mewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan ikut menciptakan perdamaian dunia,maka Partai GOLKAR sebagai pengemban cita-cita Proklamasi menegaskan visi perjuangannya untukmenyertai perjalanan bangsa mencapai citacitanya.Partai GOLKAR berjuang demi terwujudnya Indonesia baru yang maju, modern, bersatu, damai, adildan makmur dengan masyarakat yang beriman dan bertaqwa, berahlak baik, menjunjung tinggi hakasasi manusia, cinta tanah air, demokratis, dan adil dalam tatanan masyarakat madani yang mandiri,terbuka, egaliter, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,memiliki etos kerja dan semangat kekaryaan, serta disiplin yang tinggi.Dengan visi ini maka Partai GOLKAR hendak mewujudkan kehidupan politik nasional yang demokratismelalui pelaksanaan agenda-agenda reformasi

politik yang diarahkan untuk melakukan serangkaiankoreksi terencana, melembaga dan berkesinambungan terhadap seluruh bidang kehidupan. Reformasipada sejatinya adalah upaya untuk menata kembali sistim kenegaraan kita disemua bidang agar kitadapat bangkit kembali dalam suasana yang lebih terbuka dan demokratis. Bagi Partai GOLKAR upayamewujudkan kehidupan politik yang demokratis yang bertumpu pada kedaulatan rakyat adalah cita-cita sejak kelahirannya.Keterbukaan adalah nilai kemanusiaan hakiki yang merupakan napas dari gerakan reformasi. Atasdasar pandangan keterbukaan tersebut, kita harus menciptakan sistim sosial politik yang terbuka atautransparan dengan struktur dan proses politik yang dapat secara efektif benar-benar mencerminkankedaulatan rakyat. Untuk itu maka peluang bagi rakyat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses-proses politik mutlak dibuka seluas-luasnya. Kebebasan untuk berserikat, berkumpul danmenyampaikan pendapat semakin terjamin dan dilindungi oleh Undang-Undang.Sendi utama masyarakat madani adalah supremasi hukum. Oleh karena Negara kita adalah Negarahukum maka supremasi hukum harus ditempatkan sebagai pilar utama dalam rangka mewujudkansistim politik yang demokratis dan berdasarkan hukum. Partai GOLKAR memandang bahwa reformasihukum tidak terbatas hanya pada penyempurnaan sarana dan prasarana, materi dan aparatur hukum,tetapi juga budaya hukum.Di bidang ekonomi visi Partai GOLKAR adalah ekonomi rakyat atau kerakyatan atas dasar keyakinanbahwa hanya sistim perekonomian inilah yang menjamin rakyat makin sejahtera. Pembangunanekonomi dalam paradigma lama yang terlampau menekankan pertumbuhan dengan tulang punggungkonglomerasi ternyata justru membawa Negara dan bangsa Indonesia terjerembab kedalam krisisekonomi yang sangat parah. Konglomerasi ternyata semu dan sangat rapuh terhadap goncanganekonomi global. Dalam konteks ini, maka paradigma ekonomi kerakyatan justru memiliki potensi yangsangat kuat bagi penguatan fundamental ekonomi kita.Dengan visi ekonomi kerakyatan ini, maka usaha kecil, menengah, dan koperasi akan dikembangkandan diperkuat sebagai pilar utama perekonomian nasional. Partai GOLKAR menginginkan dimasadepan usaha menengah, kecil dan koperasi menjadi ujung tombak pemberdayaan masyarakat dalampengertian yang sebenarnya. Tanpa upaya-upaya pemberdayaan raknyat, maka tujuan menciptakanmasyarakat madani akan semakin jauh dari gapaian kita. Untuk itu sejalan dan searah dengan visimenciptakan kesejahteraan rakyat, perhatian terhadap upaya penguatan usaha menengah, kecil dankoperasi menjadi prioritas yang paling diutamakan.

You might also like