You are on page 1of 14

MAKALAH FARMAKOTERAPI II KELENJAR TIROID

Di susun oleh :
Yenny Lestari Bernardino Hadjadi Harris Kristanto Setiadi Adra AbiyugaYulius Komang Ayu Nopita Sari Ni Putu Padmaningsih Rita Della Valentini Rotua Winata Nopelia Silitonga Francisca Devi Permata Septy Martiani Pertiwi Paulina Ambarsari M.N.H Alvianika Antoroningrum Kresensiana Yosriani 108114002 108114003 108114005 108114007 108114008 108114009 108114012 108114013 108114015 108114017 108114019 108114021 108114022

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....1 DAFTAR ISI2 BAB I PATOFISIOLOGI.3 A. Definisi..3 B. Jenis-jenis..4 a. Perubahan Sekresi Hormon Kelenjar..4 b. Perubahan Ukuran Atau Bentuk Kelenjar..6 BAB II TATA LAKSANA PENGOBATAN................8 A. Sasaran...8 B. Tujuan8 C. Strategi...8 D. Pilihan Obat...9 BAB III KASUS....13 DAFTAR PUSTAKA..14

BAB I PATOFISIOLOGI

A. Definisi Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang terdiri dari 2 lobus lateral, terdapat di atas permukaan anterior kartilago tiroid trakea (bawah laring). Kelenjar ini menghasilkan 2 hormon utama yaitu Iodotironin (T4 = tiroksin dan T3 = 3,5,3triiodotironin) dan Kalsitonin (dihasilkan oleh sel parafolikel). Iodotironin berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan normal, serta mempertahankan homeostatis metabolisme energi yang memperngaruhi semua sistem organ. Sedangkan kalsitonin adalah untuk menurunkan kadar kalsium dengan menghambat resorbsi tulang dan menghambat pelepasan kalsium dari tulang. Produksi dan sekresi hormon tiroid diatur oleh suatu mekanisme pengaturan kompleks. Fungsi kelenjar tiroid diatur melalui aksi stimulasi oleh hormon TRH (Tiroid Releasing Hormon) dari hipotalamus pada kelenjar pituitary anterior dan modulasi pelepasan TSH (Tiroid Stimulating Hormon) oleh pengaruh hormon T4 dan T3 bebas yang ada di perifer melalui umpan balik negatif. Sintesis hormon tiroid: 1. Pengambilan iodida : iodine yang dikonsumsi dalam makanan mencapai sirkulasi dalam bentuk ion iodida. Tiroid secara aktif dan efisien mengangkut ion tersebut melalui suatu protein spesifik terikat membran, Simporter Natrium Iodida (NIS). Dengan demikian, konsentrasi iodida dalam plasma meningkat. Sistem transport ini distimulasi oleh tirotropin (TSH : Thyroid Stimmulating Hormone) dari kelenjar hipofisis. 2. Oksidasi dan ionisasi : terjadi oksidasi iodida menjadi bentuk aktifnya oleh tiroid peroksidase. Reaksi tersebut menghasilkan residu-residu monoiodotirosil dan diiodotirosil di dalam tiroglobulin. 3. Pembentukan tiroksi dan triiodotironin dari iodotironin : penggandengan 2 residu dengan reaksi oksidasi dan dikatalisis oleh peroksidase; Diiodotirosi untuk membentuk tiroksin Monoiodotirosil dan diiodotirosil untuk membentuk triiodotironin.

4. Sekresi hormon tiroid : setelah disintesis, tiroksin dan triiodotironin disimpan di tiroglobulin. Kemudian terjadi proteolisis sebagai bagian dari proses sekresinya. 5. Pengubahan tiroksin : di jaringan perifer (hati), 41% tiroksin diubah menjadi triiodotironin sebagai jalur metabolisme pengaktivasi dan sumber utama hormon intrasel untuk otak dan hipofisis (Gilman, 2012).

B. Jenis Gangguan Tiroid : Gangguan tiroid dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu : a. Perubahan Sekresi Hormon Kelenjar HIPERTIROIDISME Definisi : Hipertiroidisme adalah respon jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid akibat hiperfungsi kelenjar yang berlebihan, sehingga menyebabkan meningkatnya konsentrasi hormon tiroid (T3 dan T4) bebas dalam sirkulasi darah. Penyebab hipertiroid pada umumnya dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. berasal dari kelainan tiroid intrinsik (disfungsi kelenjar tiroid) Pada kondisi ini akan didapat kadar T3 dan T4 tinggi, disertai penurunan TSH. Peningkatann hormon tiroid akibat disfungsi kelenjar tiroid akan disertai penurunan TSH dan TRH karena umpan balik hormon tiroid terhadap pelepasan keduanya. 2. Ditimbulkan oleh proses diluar tiroid, misalnya disfungsi kelenjar hipofisis (adanya tumor) atau hipotalamus. Hipertiroid akibat disfungsi kelenjar hipofisis. Pada kondisi ini akan didapati kadar T3 dan T4 tinggi, disertai TSH yang berlebihan. TRH akan rendah karena umpan balik negatif dari hormon tiroid dan TSH. Hipertiroid akibat disfungsi hipotalamus akan memperlihatkan hormon tiroid yang tinggi disertai TSH dan TRH yang berlebihan. Berikut penyakit yang dapat menyebabkan hipertiroid : a. Penyakit Grave Penyakit Graves adalah sindrom autoimun yang biasanya mencakup hipertiroidisme, pembesaran tiroid, dan exophthalmos, pretibial myxedema dan thyroid acropachy. . Hipertiroidisme karena penyakit graves merupakan

akibat dari aksi TSAbs, yang ditujukan menyerang reseptor tirotrofin pada permukaan sel tiroid. Ketika imunoglobulin ini berikatan dengan reseptor, mereka mengaktifkan G-protein signaling dan adenilat siklase dengan cara yang sama seperti TSH . Autoantibodi yang bereaksi dengan otot dan jaringan fibroblast pada kulit bertanggung jawab atas manifestasi ekstratiroidal dari penyakit Graves, dan autoantibodi ini dikodekan oleh gen germline yang sama yang mengkode autoantibodi lain untuk otot lurik dan tiroid peroksidase. b. Toxic multinodular goitre c. Solitary toxic adenoma Gejala klinis : berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, ukuran kelenjar tiroid membesar, sesak napas, takikardi, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, rambut rontok, dan atrofi otot Mekanisme Patofisiologis : adanya kelainan autoimun atau kelainan tiroid noduler yang kemudian menyebabkan hipersekresi hormon tiroid, yang ditandai dengan penurunan kadar enzim TSH dalam tubuh dan peningkatan T3 dan T4. Dengan demikian, metabolisme tubuh meningkat dan hiperaktivitas sistem saraf sentral. Peningkatan metabolisme tubuh dapat menyebabkan meningkatnya produksi keringat, tremor, peningkatan aktivitas gastrointestinal (diare), dan nafsu makan berlebih. Sedangkan peningkatan aktivitas sistem saraf sentral dapat menyebabkan gangguan emosi, pembengkakan otot, takikardi dan sesak napas.

HIPOTIROIDISME Definisi : hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid atau kegagalan dari kelenjar tiroid untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon, sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang Penyebab : Penyakit hipotiroid dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu primer, sekunder dan kelainan kongenital. Primer sebagai akibat proses patologis yang merusak kelenjar tiroid. Kerusakan ini terjadi karena adanya kerusakan autoimun kelenjar tiroid yang ditandai

dengan kadar antibodi dalam sirkulasi yang tinggi. Kadar yang tinggi ini ditujukan untuk melawan tiroid peroksidase dan terkadang melawan tiroglobulin. Selain itu antibodi yang ditujukan untuk memblok reseptor TSH mungkin muncul sehingga memperparah hipotiroidisme. Pada hipotiroid ini didapatkan kadar TSH meningkat dan T4 menurun. Produksi hormon tiroid yang tidak adekuat, maka kelenjar tiroid akan berkompensasi untuk meningkatkan sekresinya sebagai respon terhadap rangsangan hormon TSH. Penurunan sekresi hormon kelenjar tiroid ini akan menurunkaan laju metabolisme basal yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh. Sekunder diakibatkan karena defisiensi sekresi TSH hipofisis utama

hipotiroidisme. Hal ini dapat disebabkan akibat adanya penyinaran (radiasi senyawa radioaktif, misalnya lithium) atau operasi kelenjar tiroid yang sebelumnya ditujukan sebagai pengobatan hipertiroid. Kelainan kongenital yaitu bayi yang lahir tanpa kelenjar tiroid atau kelenjar tiroidnya tidak berfungsi normal. Berikut beberapa penyakit yang dapat menyebabkan hipotiroidisme : Hashimotos thyroiditis, merupakan penyakit genetik adanya gangguan autoimun dimana sistem imun secara tidak memadai menyerang jaringan tiroid. Lhympoid thyroiditis Penyakit pada pituitary atau hypothalamus Kekurangan yodium berat

Gejala klinis: penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lambat, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, menstruasi berlebihan, pendengaran terganggu, dan penurunan kemampuan bicara. Mekanisme patofisiologi : Hipotiroid primer : jaringan kelenjar tiroid yang hilang akibat kelainan autoimun (adanya antibodi antitiroid) menyebabkan berkurangnya produksi hormon

tiroid, akibatnya TSH meningkat dan menyebabkan pembengkakan pada kelenjar tiroid. Pada pemeriksaan klinis uji fungsi tiroid, ditemukan kadar T4 rendah dan TSH tinggi.

Hipotiroid sekunder : TSH berkurang karena nekrosis atau tumor hipofisa, akibatnya hipofisa gagal memproduksi TSH. Pada pemeriksaan klinis uji fungsi tiroid, ditemukan kadar T4 rendah dan TSH rendah. Penurunan metabolisme energi inilah yang kemudian mengakibatkan penderita

hipotiroidisme mengalami gejala klinis seperti mempunyai gerakan lambat, cepat lelah, konstipasi, dan lain sebagainya. Tabel 1. Kadar Normal T3, T4, dan TSH

b. Perubahan Ukuran Atau Bentuk Kelenjar GOITER ATAU GONDOK Definisi : Goiter (struma non toksik) adalah pembesaran difus kelenjar tiroid, yang disebabkan oleh stimulasi TSH yang berkepanjangan. Pembesaran ini berdampak lokal, yaitu berpengaruh pada trakea dan esophagus. Penyebab: goiter merupakan salah satu mekanisme kompensasi tubuh terhadap kekurangan yodium. Pembesaran kelenjar tiroid terjadi karena kelainan glandula tiroid berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Gejala Klinis :pembengkakan di bagian depan leher, perasaan sesak di daerah tenggorokan, kesulitan bernapas, batuk, mengi, kesulitan menelan, suara serak, asimetris leher, takikardia, diare, mual, muntah Mekanisme Patofisiologis Pada goiter akibat gangguan sintesis hormon tiroid terjadi penurunan progresif T4 serum dan peningkatan progresif TSH serum. Seiring dengan peningkatan TSH, pergantian iodine oleh kelenjar menjadi lebih cepat dan rasio sekresi T3 relatif terhadap T4 meningkat, akibatnya T3 serum mungkin normal atau meningkat.

BAB II TATA LAKSANA PENGOBATAN

A. Sasaran : Hormon Tiroid Pada hipertiroidisme : menekan produksi hormon tiroid atau merusak jaringan kelenjar (dengan yodium radioaktif atau pengangkatan kelenjar). Pada hipotiroidisme : menghilangkan gejala dan menurunkan nilai TSH pada level yang tepat. B. Tujuan : Menormalkan kembali fungsi tiroid dengan monitoring kadar T3, T4, TSH. C. Strategi Terapi non- farmakologi :

1. Operasi pengangkatan kelenjar tiroid : penanganan untuk nodul, gondok ukuran besar, kurangnya penanganan obat tiroid, dan pasien dengan kontra indikasi terhadap tionamida (alergi atau efek samping). 2. Jika tiroidektomi akan dilakukan biasanya diberikan metimazole selama 6-8 minggu diikuti dengan pemberian iodida (500mg/hari) selama 10-14 hari sebelum operasi untuk menurunkan vaskularitas kelenjar. 3. Olahraga secara teratur 4. Mengurangi rokok, alkohol, dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme. Terapi farmakologi :

1. Obat dengan indikasi sebagai hipertiroidisme yaitu : karbimazole propiltiourasil atau metimazol kalium iodida

2. Obat dengan indikasi sebagai hipotiroidisme yaitu: garam tiroksin levotiroksin

3. Penghambat adrenergik:
8

Penghambat adrenergik digunakan secara luas untuk memperbaiki symptom tirotoksik seperti palpitasi, ansietas, tremor, dan panas yang tidak bisa ditoleransi. Propanolol dan nadolol secara sebagian menghambat perubahan T4 dan T3 tetapi kontribusi terapi secara keseluruhan kecil.

Penghambat adrenergik biasanya digunakan sebagai terapi tambahan dengan obat-obatan anti tiroid, RAI (Radioaktif Iodine/iodida). Penghambat adalah terapi utama untuk tiroiditis dan iodin penginduksi hipertiroidisme.

4. Iodine Radioaktif: Natrium iodida 131 (131I) adalah larutan oral yang terkonsentrasi di tiroid dan mengganggu sintesis hormon dengan penggabungan hormon tiroid dan tiroglobulin. Jika iodida diberikan, sebaiknya diberikan 3-7 hari setelah RAI (Radioaktif Iodine/iodida) untuk mencegah pengambilan RAI pada kelenjar tiroid. D. Pilihan Obat Pada pengobatan hipertiroid digunakan radioaktif iodine sebagai first line terapi tetapi pembedahan adalah jalan alternatif yang juga dapat digunakan. Obat yang sering digunakan adalah carbimazole dan propylthiouracil, yang dapat menghambat sintesis hormon tiroid (Anonim, 2002). 1. Karbimazole Karbimazole adalah obat pilihan untuk hipertiroidisme, meskipun ada beberapa saran yang menyatakan untuk menggunakan propyltiourasil. Dosis yang digunakan adalah 15 hingga 40 mg sehari, diberikan selama 4 8 minggu hingga keadaan euthyroid tercapai. Dosis kemudian diturunkan hingga level maintenance dari 5 15 mg. Treatment biasanya dilakukan selama 12 hingga 18 minggu (Anonim, 2002). Pengobatan hipertiroid biasanya menggunakan kombinasi carbimazole dan levotiroksin. Pemberian karbimazole digunakan untuk menghambat fungsi tiroid secara sempurna dan levotiroksin untuk menggantikan hormon tiroid. Pemberian

obat ini umumnya diberikan hingga 18 bulan, dengan karbimazole 40 60 mg dan 50 150 mg levotiroksin sehari (Anonim, 2002). 2. Tioamida (Tiomida metimazol dan Propiltiourasil) Keduanya merupakan obat utama untuk pengobatan tirotoksikosis yaitu hipertiroidisme. Metimazol lebih poten dibandingkan propiltiourasil. Gugus tiokarbamida esensial pada struktur kimia senyawa tersebut merupakan gugus yang memilki aktivitas antitiroid. Farmakokinetik : Propiltiourasil diabsorpsi dengan cepat, memiliki bioavaibilitas sebesar 5080%, sebagian besar diekskresi oleh ginjal dengan produk berupa glukoronida yang tidak aktif, serta waktu paruhnya 1,5 jam. Cara pemberian dengan dosis tunggal sebesar 100 mg setiap 6-8 jam selama 7 hari. Metimazol diabsorpsi sempurna dengan kecepatan yang bervariasi, mudah terakumulasi oleh kelenjar tiroid, diekskresi lebih lambat disbandingkan

propiltiourasil, serta waktu paruhnya 6 jam. Cara pemberian dengan dosis tunggal sebesar 30 mg. Kedua obat tersebut memiliki kemampuan melintasi sawar plasenta, terakumalasi di kelenjar tiroid janin dan dalam konsentrasi kecil diekskresikan ke dalam air susu sehingga dapat menimbulkan resiko hipotiroidisme janin maka diklasifikasikan sebagai kategori D kehamilan. Namun, propiltiourasil memilki ikatan protein yang lebih kuat dibanding metimazol sehingga tidak mudah melintasi plasenta. Selain itu, ekskresi kedua obat tersebut sebagian besar melalui ginjal sehingga dosisnya harus dikurangi pada penderita gangguan ginjal. Farmakodinamik : Mekanisme utamanya adalah mencegah sintesis hormon dengan menghambat reaksi yang dikatalisis-peroksidase tiroid dan dengan menghambat organifikasi iodin, obat ini menghambat penggabungan iodotirosin, menghambat diodinasi T4 dan T3 diperifer (untuk propiltiourasil dan metimazol pada tingkatan rendah), tetapi tidak menghambat ambilan iodida oleh kelenjar tiroid. Toksisitas Efek samping yang timbul yaitu mual dan distress saluran cerna (awal), ruam makulopapular dengan rasa gatal dan terkadang disertai demam. Efek samping yang

10

jarang muncul yaitu ruam urtikaria, vaskulitis, poliserositis, hepatitis (pada penggunaan propiltiourasil) dan ikterus kolestatik (penggunaan metimazol). 3. Inhibitor Anion Anion monovalen seperti Perklorat (ClO4-), Perteknat (TcO4-), dan Tiosianat (SCN-) dapat mengambat ambilan iodida oleh kelenjar tiroid melalui inhibisi kompetitif mekanisme transport iodida. Efektivitas dari anion sulit diperkirakan karena efek tersebut dapat diatasi oleh iodide dalam dosis besar. 4. Iodida Umumnya iodida menghambat organifikasi dan pelepasan hormon serta mengurangi ukuran dan vaskularitas kelenjar tiroid yang hiperplastik. Pada dosis farmakologis (> 6 mg/hari) iodida memiliki kemampuan menghambat pelepasan hormon melalui penghambatan proteolisis tiroglobulin. Iodida dapat menginduksi hipertiroidisme atau hipotiroidisme pada individu yang rentan. Penggunaan Klinis Iodida : Terapi iodida harus dihindari apabila menggunakan iodida yang dapat meningkatkan simpanan iodine dalam kelenjar sehingga mencegah keefektivan terapi; tidak boleh diberikan tersendiri karena kelenjar akan lepas dari efek penghambatan iodida; apabila terapi dihentikan dapat menimbulkan eksaserbasi tirotoksikosis serta pemakaian iodida dalam jangka panjang pada wanita hamil harus dihindari karena dapat melewati sawar plasenta sehingga menyebabkan goiter pada bayi. Toksisitas : Efek samping terapi iodida yaitu akneiformis, pembengkakan kelenjar saliva, ulserasi membran mukosa, konjungtivitis, rinorea, demam akibat obat, rasa logam pada lidah, kelainan perdarahan, reaksi anafilaktoid, dan sebagian besar kasus efek samping itu jarang terjadi serta dapat pulih kembali. 5. Media Kontras Teriodinasi Diatrizoat (peroral) dan ioheksol (peroral/intravena), bermanfaat dalam

pengobatan hipertiroidisme. Obat ini menghambat konversi T4 menjadi T3 dihati, ginjal, kelenjar hipofisis, otak. 6. Iodine Radioaktif Iodine adalah satu-satunya isotop yang digunakan untuk pengobatan

tirotoksikosis. Bila diberikan peroral dalam bentuk larutan sebagai natrium iodine,

11

obat ini akan cepat di absorpsi, dikonsentrasikan oleh kelenjar tiroid dan dimasukkan ke dalam kompartemen folikel. Efek terapeutiknya bergantung pada emisi sinar beta dengan waktu paruh efektif selama 5 hari dengan kisaran penetrasi sebesar 400-2000 m. Setelah beberapa minggu pemberian terjadi penghancuran parenkim tiroid yang dibuktikan dengan pembengkakan dan nekrosis epitel, pecahnya folikel, edema, infiltrasi leukosit. Tidak boleh untuk wanita hamil/ibu menyusui karena melewati plasenta dan menghancurkan kelenjar tiroid janin serta diekskresikan kedalam air susu ibu. 7. Obat-Obat Penyekat Adrenoseptor Penyekat beta yang tidak memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik (misalnya: metoprolol, propanolol, atenolol) merupakan agen terapeutik tambahan yang efektif pada penanganan tirotoksikosis karena sebagian besar gejala penyakit tersebut menyerupai gejala yang timbul akibat stimulasi simpatis. Propanolol adalah penyekat beta yang paling sering diteliti dan digunakan dalam terapi tirotoksikosis. Penyekat beta menimbulkan perbaikan klinis gejala hipertiroid tetapi tidak mengubah kadar hormon tiroid. 8. Levotiroksin Pengobatan pada hipotiroid digunakan levotiroksin yang berguna untuk meningkatkan kadar T4. Dosis dimulai dari 50 hingga 100 mg sehari dan ditingkatkan setiap 3 4 minggu sampai metabolisme berjalan normal, dosis yang diperlukan antara 100 sampai 200 mg sehari. Pemberian levotiroksin dengan dosis rendah diberikan pada pasien yang tua dan pada pasien dengan penyakit hepar, karena levotiroksin dapat meningkatkan kecepatan metabolisme, yang mana dapat memperburuk keadaan angina, atau dapat menimbulkan kematian seketika atau infark miokard pada sebagian orang (Garber, 2012).

12

BAB III KASUS

Seorang wanita berusia 45 tahun datang sendiri ke Puskesma dengan keluhan utama dada berdebar-debar dan sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, semakin lama semakin berat sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Keluhan lainnnya adalah tangan sering gemetar, sering merasa kepanasan, gelisah, sulit berkonsentrasi, dan mudah marah. Pasien merasa mudah lapar sehingga makan 4-5 kali/hari, namun berat badan malah menurun. Frekuensi BAB pasien meningkat 2-3 kali/hari tetapi tanpa disertai perubahan jumlah maupun konsistensi fesesnya. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Riwayat penyakit berat dan signifikan seperti penyakit jantung disangkal, tidak sedang dalam perawatan dan tidak ada riwayat alergi. Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang sama. Pasien adalah seorang IRT yang tinggal di daerah perkotaan dengan seorang suami dan 2 orang anak. Pasien tidak merokok maupun minum alkohol. Dari pemeriksaan fisik ditemukan : TB : 162 cm BB : 51 kg TD : 130/80 mmHg Frek. Nafas : 20/menit Suhu tubuh : 37,4oC Kepala : tidak anemis, eksoftalmus Leher : teraba massa difus di leher tanpa benjolan diskret dan dapat digerakkan Thoraks : disritmia cordis Abdomen : dalam batas normal Ekstrimitas : tremor halus

Dari pemeriksaan penunjang diperoleh hasil : Hb : 12g/dl (normal) Leukosit : 7500 (normal) Trombosit : 330.000/ul (normal) TSH : 0,04 mU/L (rendah) T3 : 10,5 ug/dl (tinggi) T4 : 40,6 ug/dl (tinggi) Antibody reseptor TSH: (+)

13

Pengobatan : Propiltiourasil Diagnosis : Graves Disease DAFTAR PUSTAKA

Anonym, 2002, The National Prescribing Centre, http://www.npc.nhs.uk/merec/other_non_clinical/resources/merec_bulletin_vol12_no3. pdf, diakses tanggal 18 April 201. Association of Clinical Endocrinologists and the American Thyroid Association, http://xa.yimg.com/kq/groups/22882378/1549464982/name/Clinical+Practice+Guidelin es+for+Hypothyroidism+in+Adults.pdf, diakses tanggal 18 April 2013. Dharma, A., 2012, Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Edisi 2, Bagian 2, EGC, Jakarta, pp. 334-343 Ganong, W.F., McPhee S.J., 2007, Patofisologi Penyakit, Edisi 5, EGC, Jakarta, pp. 617-638. Garber, J., 2012, Clinical Practice Guidelines for Hypothyroidism in Adults: Co sponsored by the American. Goodman dan Gilman, 2003, Dasar Farmakologi Terapi, Volume 4, EGC, Jakarta, pp. 1534-1556. http://www.scribd.com/doc/134690545/LAPORAN-PBL-HIPERTIROID, di akses pada tanggal 22 April 2013. Katzung, B.G., 2011, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10, EGC, Jakarta, pp. 644 647. Mc Phee, S., William, Ganong, 2007, Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran Klinis, Edisi 5, EGC, Jakarta, pp. 617. Sukandar, E. Y., 2009, Iso Farmakoterapi, PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, pp. 37-39.

14

You might also like