You are on page 1of 48

PROGRAM PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN

Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan untuk mengoperasionalkan pembangunan dalam rangka mengembangkan sistem ketahanan pangan baik di tingkat nasional maupun ditingkat masyarakat. Pangan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein lemak dan vitamin serta mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah memperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Hal ini diwujudkan dengan bekerjanya sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi.

Tujuan program ketahanan pangan adalah :

1. Meningkatnya ketersediaan pangan. 2. Mengembangkan diversifikasi pangan. 3. Mengembangkan kelembagaan pangan. 4. Mengembangkan usaha pegelolaan pangan.

Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah :

1. Tercapainya ketersediaan pangan di tingkat regional dan masyarakat yang cukup.

2. Mendorong partisipasi masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan meningkatnya keanekaragaman konsumsi pangan masyarakat dan menurunnya ketergantungan pada pangan pokok beras melalui pengalihan konsumsi non beras.

Pelaksanaan program peningkatan ketahanan pangan ini dioperasionalkan dalam bentuk 4 (empat) kegiatan pokok sebagai berikut : a. Peningkatan mutu intensifikasi yang dilaksanankan dalam bentuk usaha peningkatan produktivitas melalui upaya penerapan teknologi tepat guna, peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam rangka penerapan teknologi spesifik lokasi. b. Peluasan areal tanam (ekstensifikasi) yang dilaksanakan dalam bentuk pengairan serta perluasan baku lahan dan peningkatan indeks pertanaman melalui percepatan pengolahan tanah, penggarapan lahan tidur dan terlantar. c. Pengamanan produksi yang ditempuh melalui penggunaan teknologi panen yang tepat, pengendalian organisme pengganggu tanaman dan bantuan sarana produksi terutama benih, pada petani yang lahannya mengalami puso.

d. Rehabilitas dan konservasi lahan dan air tanah dan air tanah, dilaksanakan dalam bentuk upaya perbaikan kualitas lahan kritis/marginal dan pembuatan terasering serta embung dan rorak/jebakan air.
http://www.deptan.go.id/daerah_new/ntt/distan_ntt/keg.apbn_files/PROGRAM %20PENINGKATAN%20KETAHANAN%20PANGAN.htm

Diversifikasi Pangan Hubungannya Dengan Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan adalah hal yang paling strategis bagi suatu Negara, karena pangan adalah hal yang terpenting bagi kehidupan manusia. Bahkan hak pangan sendiri telah diundang undangkan sebagai hak asazi manusia dalam Declaration of Human Right. Diversifikasi Pangan Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia juga ditegaskan oleh pemerintah melalui undang undang pangan yang menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersedian pangan yang cukup, baik dari jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Diversifikasi Pangan Beberapa hasil kajian yang dilakukan oleh beberapa ahli menunjukkan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin pewujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Beberapa kajian menunjukkan bahwa jumlah proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap provinsi masih tinggi. Diversifikasi Pangan Berkaitan dengan hal ini, diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Dari segi fisiologis, manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat memerlukan lebih 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan. Diversifikasi Pangan

Upaya Diversifikasi Pangan


Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak tahun 60-an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan pangan pokok selain beras. Instruksi dari pemerintah adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Diversifikasi Pangan

Tujuan Diversifikasi Pangan Nasional

Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Selanjutnya program diversifikasi konsumsi pangan dilakukan secara parsial baik dalam konsep, target, wilayah dan sasaran, tidak dalam kerangka diversifikasi secara utuh. Diversifikasi
Pangan

Indonesia memiliki beberapa komoditas pangan, yang dapat dikembangkan sebagai komoditas pangan nasional. Diversifikasi produksi pangan ini bisa dilakukan melalui pengembangan pangan karbohidrat khas Nusantara spesifik lokasi seperti sukun, talas, garut, sagu, jagung dan lain-lain. Diversifikasi
Pangan

Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk tercapainya usaha Diversifikasi pangan antara lain:

Pengembangan produk (Product Development) melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara. Peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein seperti ikan dan ternak Peningkatan budidaya berbagai tanaman pangan yang meliputi pembenihan, pembibitan, produksi tanaman, pemberantasan hama, pengemasan hasil panen dan pendistribusian (Hortikultura).

Diversifikasi konsumsi pangan bukan hanya upaya untuk mengubah selera dan kebiasaan makan. Pada dasarnya memperluas pilihan masyarakat dalam kegiatan konsumsi sesuai dengan cita rasa yang diinginkan dan menghindari kebosanan untuk mendapatkan pangan dan gizi agar dapat hidup sehat dan aktif. Hal ini memang sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, pengetahuan, ketersediaan, dukungan kebijakan dan faktor sosial budaya.
Diversifikasi Pangan

Secara implisit, upaya diversifikasi konsumsi pangan dapat diidentikkan dengan upaya perbaikan gizi untuk mendapatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang mampu berdaya saing. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan, sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi, juga berimbang. Diversifikasi Pangan Apabila upaya-upaya tersebut di atas berhasil dilakukan maka produksi tanaman pangan sumber karbohidrat lain serta protein dan zat gizi mikro akan semakin meningkat, konsumsi beras per kapita yang diharapkan pemerintah menurun, akan benar benar menurun, dan positifnya kualitas konsumsi pangan masyarakat akan semakin beragam, bergizi, dan berimbang.

http://anekakeripikmalang.com/2013/03/22/diversifikasi-pangan-sebagai-upayameningkatkan-ketahanan-pangan/

Pengertian ketahan pangan,Penganekaragaman pangan, Pola Pangan Harapan (PPH)


JAN29
Post Info PPL

0 komentar Permalink

A. Pengertian ketahan pangan Ketahanan pangan sebagian terjemahan istilah food security, ketahanan pangan diberikan pengertian sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi. Dalam pengertian ini ketahanan pangan dikaitkan dengan 3 (tiga) faktor utama yaitu : a. Kecukupan (ketersediaan) pangan b. Stabilitas ekonomi pangan c. Akses fisik maupun ekonomi bagi individu untuk mendapatkan pangan

Tujuan program ketahanan pangan adalah :

1. 2. 3. 4.

Meningkatnya ketersediaan pangan. Mengembangkan diversifikasi pangan. Mengembangkan kelembagaan pangan. Mengembangkan usaha pegelolaan pangan.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang komplek dan terkait dengan mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari distribusi, produksi, konsumsi dan status gizi. Konsep ketahanan pangan (food security) dapat diterapkan untuk menyatakan ketahanan pangan pada beberapa tingkatan : 1. global, 2. nasional, 3. regional 4. tingkat rumah tangga di tingkat rumah tangga dan individu.

Pengertian Ketahanan Pangan Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahum 1943 yang mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingrtner, 2000).

Berikut disajikan beberapa definisi ketahanan yang sering diacu : 1. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. 2. USAID (1992: kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif. 3. FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. 4. FIVIMS 2005: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang

aktif dan sehat. 5. Mercy Corps (2007) : keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi : 1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu 2. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses 3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial 4. Berorientasi pada pemenuhan gizi 5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; (4) terjangkau.

Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut: a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ke-tersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama. c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

a. Sub Sistem Ketahan Pangan Sub sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh. Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di

tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. b.Sub sistem ketersediaan (food availability) : yaitu ketersediaan pangan dalamjumlah yang c ukupaman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baikyang berasal dari produksi sendiri, impor,cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupanyangaktif dan Sehat. c. Akses pangan (food access) :yaitu kemampuan semua rumah tangga danindividu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yangcukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannyasendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. d. Akses rumah tangga danindividu terdiri dari akses ekonomi,fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi),sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan.Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air,fasilitas dan layanankesehatan,serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita.(Riely et.al,1999). e. Stabiltas (stability) merupakandimensi waktu dari ketahanan pangan yang Terbagi dalam kerawanan pangan kronis (chronic food insecurity) dan kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity). Kerawanan pangan kronis adalahketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan pangansetpa saat, sedangkankerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi secarasementara yang diakibatkan karena masalah kekeringan banjir, bencana, maupunkonflik sosial. (Maxw ell and Frankenberger 1992). *Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan: a. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan beragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat. b. Kemampuan rumah tangga untuk mencukupi pangan anggotanya dari produk sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat. c. Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat (Usep Sobar Sudrajat, 2004). Ketahanan pangan minimal harus dua unsur pokok, yaitu ketersediaan dan aksebelitas masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin, 2004). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan : a. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang

digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman. b. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. c. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia. d. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. e. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standart perdagangan terhadap bahan makanan, makanan. f. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunnya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. g. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun yang tidak. h. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup. *Penyediaan Pangan Penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui : a. Produksi sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA), manajemen dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal. b. Import dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai disektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar negeri.

*Indikator Rawan Pangan Tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha individu/rumah tangga untuk mengatasi kerawanan pangan (Sapuan, 2001). a. Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan gejala kekurangan produksi dan cadangan pangan suatu tempat yaitu : 1. Terjadinya eksplosi hama dan penyakit pada tanaman; 2. Terjadi bencana alam berupa kekeringan, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya; 3. Terjadi kegagalan tanaman pangan makanan pokok; dan 4. Terjadinya penurunan persediaan bahan pangan setempat; b. Sedangkan tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait akibat rawan pangan, yaitu : kurang gizi dan gangguan kesehatan meliputi ; 1. Bentuk tubuh individu kurus; 2. Ada penderita kurang kalori protein (KKP) atau kurang makanan (KM); 3. Terjadinya peningkatan jumlah orang sakit yang dicatat di Balai Kesehatan Puskesmas;

4. 5.

Peningkatan Peningkatan angka

kematian kelahiran dengan

bayi angka

dan berat badan

balita; dibawah

dan standar

c. Tanda-tanda yang ketiga yang erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi dalam usaha individu atau rumah tangga untuk mengatasi masalah rawan pangan yang meliputi; 1. Bahan pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung yang sudah mulai makan sebagian masyarakat; 2. Peningkatan jumlah masyarakat yang menggadaikan aset; 3. Peningkatan penjualan ternak, peralatan produksi (bajak dan sebagainya); 4. Meningkatkan kriminalitas Indikator yang digunakan untuk menilai adanya masalah rawan pangan di daerah pedesaan dengan tipe masyarakat agraris seharusnya dibedakan dengan faktor yang digunakan untuk daerah perkotaan. Indikator yang digunakan dalam Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) oleh Departement Kesehatan terdiri dari 3 (tiga) variabel yaitu presentase penduduk miskin, presentase balita gizi buruk dan luas kerusakan tanaman pangan (Depkes RI, 1999). Indikator ini lebih tepat jika ditempatkan untuk daerah agraris. Untuk daerah perkotaan perlu indikator lain yang lebih peka.

B. Penganekaragaman pangan Penganekaragaman pangan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan mutu gizi makanan dengan pola konsumsi yang lebih beragam atau usaha untuk lebih menganekaragamkan jenis konsumsi dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengertian penganekaragaman pangan ini dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, penganekaragaman horizontal, yaitu upaya untuk menganekaragamkan konsumsi dengan memperbanyak macam komoditas pangan dan upaya meningkatkan produksi dari masingmasing komoditas tersebut.

Sebagai contoh, pengaturan komposisi makanan sehari-hari kita di samping beras, juga umbiumbian, sagu, kacang-kacangan, ikan, sayur, buah dan lain-lainnya. Kedua, penganekaragaman vertikal, yaitu upaya untuk mengolah komoditas pangan, terutama non beras, sehingga mempunyai nilai tambah dari segi ekonomi, nutrisi maupun sosial. Misalnya mengolah jagung menjadi "corn flake", ubi kayu diolah menjadi berbagai macam makanan, baik makanan pokok, maupun jajanan, seperti misalnya kripik ("cassava chips"). Mutu gizi makanan penduduk ditentukan oleh jumlah dan macam zat-zat gizi yang dimakan. Makin beragam sumber zat-zat gizi (dari beragam bahan pangan) yang dikonsumsi seseorang

makin besar kemungkinan terpenuhi kebutuhan gizinya. Dengan demikian, dapat kita mengerti betapa pentingnya program penganekaragaman pangan ini.

Untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat ada beberapa faktor yang harus diperhatikan: Faktor kecukupan, yaitu tersedianya bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan. Penyediaan pangan ini sedapat mungkin diupayakan dari dalam negeri. Impor dilakukan hanya apabila diperlukan, artinya apabila produksi dalam negeri tidak dapat mencukupi. Oleh karena itu harus digali sumber pangan yang kita miliki dan ditingkatkan produksinya, termasuk mengembangkan jenis pangan tradisional seperti: sagu, jagung, ubi kayu, sukun dan lain-lain. Faktor daya beli, yaitu tersedianya pendapatan yang memadai dan kestabilan harga agar masyarakat mampu untuk membeli bahan makanan. Faktor distribusi, yaitu tersedianya pangan yang cukup di seluruh wilayah dalam waktu tertentu dan jumlah yang memadai.

Faktor gizi, yaitu tersedianya produksi pangan yang memenuhi kebutuhan gizi, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Faktor kesadaran/pengetahuan gizi, yaitu kesadaran atau pengetahuan penduduk mengenai gizi sehingga mereka mengkonsumsi pangan sesuai dengan harapan (gizi seimbang).

Adakalanya di satu daerah cukup tersedia bahan makanan yang bergizi tinggi, tetapi karena masyarakatnya kurang pengetahuan tentang gizi, mereka hanya mengkonsumsi jenis makanan tertentu saja yang mungkin kurang bergizi. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan pengertian dan keadaran tentang gizi seimbang. Nilai gizi makanan yang kita konsumsi sehari-hari ditentukan oleh keseimbangan antara konsumsi karbohidrat (padi-padian), protein (terutama hewani, seperti: daging, telur dan susu serta ikan), lemak dan vitamin yang banyak terdapat pada sayur dan buah-buahan serta mineral (air). Masalah Pangan Merupakan Masalah yang Sangat Komplek Dalam era globalisasi, masalah pangan di negara lain memiliki pengaruh kuat terhadap situasi pangan dalam negeri. dihadapkan pada keadaan tersebut dan karakteristik pangan dalam negeri, maka masalah pangan merupakan masalah yang sangat komplek, bersifat multi-disiplin dan lintas-sektoral. oleh karena itu pemecahan permasalahan pangan dan gizi tidak dapat hanya didekati dan dipecahkan secara partial approach, tetapi perlu pendekatan lintas-sektoral serta integrated dan

comprehensive approach yang menuntut koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang efektif melalui perencanaan. dan ini merupakan salah satu tugas Pemerintah.

Secara keseluruhan kebijaksanaan pangan sebagai bagian dari kebijaksanaan nasional meliputi berbagai aspek sebagai berikut: *Aspek terjaminnya penyediaan pangan secara nasional food availability, khususnya melalui produksi komoditi pangan di dalam negeri dan impor apabila diperlukan. *Aspek terjaminnya ketahanan pangan food security yang mampu mengatasi gejolak ketidakpastian faktor alam maupun pengaruh dari luar negeri serta menjamin kestabilan harga yang wajar bagi kepentingan produsen dan konsumen. *Aspek terjaminnya akses rumah tangga terhadap kebutuhan pangan food accesibility sesuai dengan daya beli, sehingga terjamin keamanan pangan pada tingkat rumah tangga. untuk itu pangan harus tersedia secara merata di seluruh pelosok tanah air dengan harga yang terjangkau. *Aspek terjaminnya mutu makanan dengan gizi seimbang food quality, melalui diversifikasi baik di bidang produksi, pengolahan maupun distribusinya sampai ke masyarakat. Tercapainya penyediaan pangan yang aman food safety bagi masyarakat yang terhindar dari bahan-bahan yang merugikan kesehatan. Sebagai suatu negara kepulauan yang berpenduduk besar dengan keragaman tingkat pembangunan dan pola pangan, maka peranan pemerintah untuk menjamin ketahanan pangan food security bagi masyarakat sangat besar dan hal itu tidak dapat sepenuhnya bersandar pada mekanisme pasar bebas. sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu kebijaksanaan pemerintah yang disesuaikan dengan kondisi objektif dan bila perlu dapat dilakukan campur tangan langsung untuk menjamin tercapainya penyediaan pangan secara cukup dan terjangkau daya beli masyarakat food stability. Keamanan pangan food safety merupakan masalah yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk indonesia. Hal ini biasanya disebabkan adanya kontaminasi kuman penyakit dan kontaminasi kimia serta berbagai bahan beracun di dalam makanan yang dikonsumsi. betapapun tinggi gizinya, lezat rasanya serta menarik penampilannya, namun bila tidak menyehatkan, makanan tersebut tidak ada artinya. dalam hal ini, masyarakat perlu mendapat perlindungan yang cukup terhadap keamanan bahan pangan yang dikonsumsi. dengan meningkatkan mutu dan kesehatan pangan dalam negeri juga akan dapat meningkatkan citra yang positif bagi perdagangan internasional.

C. Pola Pangan Harapan (PPH)

Pola pangan harapan merupakan suatu metode yang digunakan untuk ,menilai jumlah dan komposisi atau ketersediaan pangan. Pola pangan harapan biasanya digunakan untuk perencanaan konsumsi, kebutuhan dan penyediaan pangan wilayah. Beberapa kegunaan analisis ini adalah : Menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan pangan. Indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan. Sebagai baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu wilayah. Sebagai baseline data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal untuk suatu wilayah. Perencanaan konsumsi, kebutuhan dan peyediaan pangan wilayah.

Dalam menentukan PPH ada beberapa komponen yang harus diketahui diantaranya yaitu konsumsi energi dan zat gizi total, persentase energi dan gizi aktual, dan skor kecukupan energi dan zat gizi. Menghitung energi dan zat gizi Energi dihitung dari total energi yang dikonsumsi dari masing-masing bahan pangan. Pada cell energi pada sheet PPH diketik =SUM(data energi setiap golongan bahan pangan pada sheet konsumsi). Selanjutnya dihitung jumlah total energi untuk semua golongan bahan pangan dengan cara ketik =SUM(data energi setiap golongan bahan pangan dari padi-paadian sampai yang lainnya). Menghitung % aktual energi dan zat gizi Menghitung persentase nergi aktual energi adalah dengan membagi energi setiap golongan dengan energi total untuk semua golongan. Caranya adalah dengan mengetik =cell setiap golongan/cell total energi*100. Menghitung % angka kecukupan energi dan zat gizi Untuk menghitung persentase Angka Kecukupan Energi adalah dengan membandingkan persentase energi aktual dengan angka kecukupan energi (2000 kkal) dikali 100. Untuk rumus formulanya dapat ditulis dengan mengetik =cell % aktual energi/2000*100.

Menghitung skor AKE Untuk menghitung skor angka kecukupan energi (AKE) adalah dengan mamasukkan kolom bobot untuk setiap golongan pangan terlebih dahulu. Bobot menggambarkan kontribusi setiap golongan bahan pangan dalam menyumbangkan energi. Misalnya untuk golongan padi-padian

bobotnya adalah 0.5, umbi-umbian 0.5 panga hewani 2.0 dan seterusnya. Selanjutnya adalah menghitung skor aktual energi setiap golongan bahan pangan yaitu dengan mengalikan persentase AKE setiap golongan bahan pangan dengan bobot setiap golongan bahan pangan.

Menghitung skor PPH Sebelum menentukan skor PPH terlebih dahulu memasukkan kolom skor maksimum untuk setiap golongan bahan pangan. skor maksimum tersebut sudah ditentukan.skor PPH diperoleh dengan cara membandingkan skor maksimum setiap golongan bahan pangan dengan skor AKE. Jika skor AKE tidak lebih tinggi dibandingkan dengan skor maksimum setiap golongan bahan pangan makan skor PPH yang diperoleh adalah skor AKE. Akan tetapi, jika skor AKE lebih tinggi dibandingkan dengan skor maksimum setiap golongan bahan pangan maka skor PPHnya adalah skor maksimum setiap golongan. Artinya skor PPH untuk setiap golongan bahan pangan tidak akan lebih tinggi dibandingkan dengan skor maksumum untuk setiap golongan. Pada kolom excel, skor PPH dapat dihitung dengan mengetik =IF(kolom skor AKE>kolom skor maksimum,kolom skor maksimum,kolom skor AKE).

Skripsi Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 ->Oleh Qosidah Isnani, S.Gz
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap individu selalu mendapatkan prioritas perhatian masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Perhatian atas pangan lebih mengemuka semenjak diadakannya Worlds Food Summit oleh FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1974, tetapi masih kurang bisa diwujudkan. Kemudian pada tahun 1996 di Roma dalam Declaration on World Food Security, FAO baru memberikan tekanan lebih besar mengenai ketahanan pangan bagi setiap orang dan untuk melanjutkan upaya menghilangkan kelaparan di seluruh dunia. Sasaran jangka menengah yang ingin dicapai adalah

menurunkan jumlah orang yang kekurangan gizi menjadi setengahnya paling lambat 2015 (Sukandar, dkk, 2001). Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan sumber daya alam potensial, sudah sewajarnya mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan mengatur bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Selanjutnya masyarakat juga berperan dalam penyelenggaraan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, sebagaimana tercantum dalam GBHN 1999-2004 yaitu Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dalam rangka menjamin ketersediaan pangan dan nutirisi, baik jumlah maupun yang dibutuhkan pada tingkat harga terjangkau, dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004 yaitu penetapan program peningkatan ketahanan pangan (Departemen Pertanian Republik lndonesia, 2002). Menurut Sukandar. (2001) menyatakan bahwa pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat wilayah ke tingkat rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan pangan. Oleh karena itu, pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan terbagi menjadi dua, yaitu: indikator ketahanan pangan tingkat wilayah (makro) dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga (mikro). Hal ini bertujuan agar pengembangan indikator ketahanan pangan dapat menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya. Menurut Suryana (2001) dalam Hardinsyah (2001)a berdasarkan amanat UU No. 7 (1997) tentang pangan menyatakan bahwa pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Akan tetapi, Hardinsyah, dkk (2001)b menyatakan bahwa sampai pada saat ini masih terdapat sisi-sisi gelap pembangunan dalam rumah tangga, antara lain: sekitar 40% rumah tangga tidak cukup pangan, menurut Badan Pusat Statistik (1999) sekitar 18% miskin, berdasarkan SUSENAS (1998) sebanyak 30% anak sekolah menderita anemi karena kurang gizi dan masalah lainnya. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkankan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan perkembangan fisik dan mental (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Mengacu pada Rencana Aksi Pangan dan Gizi (RAPGN) tahun 2001-2005, sasaran perbaikan gizi makro jangka panjang telah memberikan masa depan yang ingin dicapai. Salah satu sasaran guna pencapaian tujuan/misi tersebut adalah anak usia sekolah yang bebas dari gangguan pertumbuhan tinggi badan, serta diharapkan peningkatannya pada anak laki-laki menjadi 75%

dan perempuan 80% (Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Hal ini diungkapkan pula oleh Kepala Dinas Kota Banjarmasin (Diah Ratnani Praswasti) bahwa masyarakat/warga Banjarmasin dijamin sehat pada tahun 2014 (Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Kemudian tingkat konsumsi energi rata-rata per orang per hari pada masyarakat menurut Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan (2006), ternyata masih berada di bawah target dari konsumsi yang dianjurkan yakni sebesar 2.150 Kkal. Sedangkan tingkat konsumsi masyarakat Kalimantan Selatan hanya berkisar 1962,25 kalori (84,35%) saja. Sedangkan konsumsi protein masyarakat Kalimantan Selatan sudah mencapai konsumsi protein yang dianjurkan dari rata-rata per orang per hari yaitu 57,90 gr/org/hr (112,71%). Analisis Penilaian Konsumsi Gizi (PKG) secara umum memantau bahwa di tingkat nasional, rata-rata konsumsi kalori dan protein sudah mendekati kecukupan yang dianjurkan. Akan tetapi jika dilihat distribusinya masih terlihat 30 50% rumah tangga mengkonsumsi kurang dari 70 % dari kecukupan. Anak usia sekolah adalah masa anak dalam puncak perkembangan dimana waktu pertumbuhan agak lambat, tapi pasti dan perkembangannya berangsur-angsur mengikuti pertumbuhan tersebut sampai pada suatu masa pertumbuhan yang pesat dan mulai memasuki masa sebelum remaja atau praremaja (Damayanti, 1996). Berdasarkan Direktorat Pembangunan Desa Propinsi Kalimantan Selatan (1996), di Kalimantan Selatan terdapat 568 Desa tertinggal dimana 730 buah Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah merupakan sasaran pelaksanaan program Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) tahun 1996-1997 serta menjadi sasaran Program Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak Sekolah dan Monitoring Garam Beryodium setiap tahun. Di desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu yang mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, pada tahun 2007 telah melaksanakan Program Penilaian Konsumsi Gizi (PKG), yang hasilnya menggambarkan bahwa konsumsi rumah tangga di desa Batulicin Kecamatan Batulicin relatif rendah, yaitu hanya berkisar sekitar 1.974,03 kalori. Selain program tersebut, di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin merupakan salah satu sasaran Pelaksanaan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) setiap tahunnya. Akan tetapi dari hasil pemantauan tersebut, ternyata masih terdapat 22% Anak Sekolah yang memiliki status gizi kurang. Hal ini juga ditambahkan dengan hasil Program KADARZI dimana keluarga tersebut memiliki anak sekolah, diketahui bahwa 67% ibu rumah tangga relatif memiliki pengetahuan yang rendah. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dipandang perlu dilakukannya penelitian mengenai Hubungan Ketahanan Pangan Rumah tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2010, sehingga dapat ditemukan permasalahan dan diharapkan menemukan pemecahan masalahnya. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah Bagaimana Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan penelitian adalah: Tujuan Umum Mengetahui Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Tujuan Khusus Mengidentifikasi status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Mengidentifikasi kecukupan konsumsi gizi energi dan protein dalam rumah tangga anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Menganalisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan kecukupan konsumsi zat gizi energi/protein dalam rumah tangga (indikator dampak secara langsung) dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 Tahun (indikator dampak secara tidak langsung) di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Manfaat Penelitian Bagi instansi kesehatan: Agar dapat meningkatkan intervensinya ke dalam masyarakat seperti; Penyuluhan tentang makanan bergizi, Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak Sekolah, Pemberian Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), dan kegiatan lainnya guna membantu dalam mencapai status gizi anak sekolah secara optimal. Bagi Masyarakat : Memberikan informasi tentang indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berdampak pada baik tidaknya pula status gizi anak sekolah, khususnya anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Bagi Peneliti : Menambah wawasan serta pengalaman yang dapat menunjang pekerjaan serta pengabdian kepada bangsa dan negara dalam bidang kesehatan gizi. Keaslian Penelitian Penelitian ini mengambil tiga referensi penelitian yang dapat menunjang proses penelitian ketahanan pangan rumah tangga, yaitu penelitian dari Tri Bastuti Purwantini, dkk (1999) di

Sulawesi Utara, Ginandjar Kartasasmita (2005) di Bandung serta Nailatul Muayyadah (2010) di Jawa Tengah. Menurut Tri Bastuti Purwantini, dkk (1999) dengan judul Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1999), penelitiannya bertujuan untuk melihat karakteristik wilayah dan rumah tangga rawan pangan sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman pengambil kebijakkan dalam melaksanakan programprogramnya dalam peningkatan ketahanan pangan di tingkat wilayah maupun tingkat rumah tangga. Kemudian analisis ketahanan pangan rumah dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan sedangkan di tingkat wilayah dilakukan dengan metode perbandingan tingkat ketersediaan pangan di wilayah dengan norma kecukupan energi (NKE) yang dibutuhkan. Analisis studi kasus ini menghasilkan bahwa secara regional status ketahanan pangan wilayah (Provinsi) berada dalam golongan tahan pangan, akan tetapi masih terdapat rumah tangga rawan pangan yang cukup tinggi apabila dilihat secara proporsi rumah tangga dengan persentase rumah tangga pedesaan relatif lebih rawan pangan dibandingkan perkotaan. Hal ini tentunya memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu dari segi tujuan dan metode ketahanan rumah tangga serta memiliki perbedaan dalam hal rancangan, tempat, variabel (bebas dan terikat) dan tahun penelitian. Kemudian Ginandjar Kartasasmita (2005) dengan judul Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa (Studi Kasus di Bandung) yang bertujuan menganalisis bagaimana pengaruh ketahanan pangan secara regional. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode pengembangan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal. Kemudian analisa tersebut mengungkapkan bahwa adanya pengaruh ketahanan pangan dan ketahanan bangsa secara regional. Hal ini memang sangat memiliki perbedaan dengan penelitian, baik dari variabel (independent dan dependent), tempat, tahun, metode serta rancangannya, akan tetapi memiliki persamaan dalam hal latar belakang yang mendasari dan juga teori yang melandasi pemikiran konsep ketahanan pangan secara luas. Sedangkan Nailatul Muayyadah (2010) dengan judul Analisa Hubungan Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dengan Keadaan Gizi Balita Menggunakan Metode GSCA (Studi Kasus di Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah) telah melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui hubungan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga; ketersediaan pangan, aksestabilitas, dan konsumsi pangan dengan keadaan gizi balita. Penelitian ini menggunakan metode GSCA yaitu Generalized Structured Component Analysis (GSCA) dimana variabel laten didefinisikan sebagai komponen dari indikator. Kemudian analisa tersebut menghasilkan adanya hubungan antara ketersediaan pangan dengan aksestabilitas pangan dan konsumsi pangan, tetapi tidak ada hubungan antara ketersediaan pangan dengan keadaan gizi balita, kemudian ada hubungan antara aksestabilitas pangan dengan konsumsi pangan dan keadaan gizi balita, serta ada hubungan antara konsumsi pangan dengan keadaan gizi balita. Referensi penelitian ini tentunya juga memiliki persamaan dengan penelitian yaitu dari segi tujuan, metode ketahanan rumah tangga (walaupun indikatornya berbeda) dan variabel independent serta tentunya memiliki perbedaan penelitian dalam hal rancangan, tempat, variabel dependent dan tahun penelitian. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN TEORI Istilah ketahanan pangan (food security) mula terdengar pada tahun l970-an ketika terjadi krisis penyediaan serealia di pasar Intemasional. Sejak saat itu kajian tentang ketahanan pangan mulai diperbincangkan dalam berbagai Forum (Foster, 1992) dalam Hardinsyah,dkk (1998) dan pemikiran terhadap kebijakan pangan diarahkan pada ketahanan pangan dalam arti penyediaan serelia di tingkat nasional dan internasional. Setelah krisis pangan mulai reda, pada tahun 1980an terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan dari unit nasional pada penyediaan pangan di tingkat wilayah, tetapi juga pada penyediaan dan konsumsi pangan (jumlah dan mutu) di tingkat daerah dan rumah tangga bahkan individu untuk memenuhi kebutuhan gizi (Braun, Bours, Kumar dan Pandya-Lorch, 1992) dalam Hardinsyah, dkk (2001)a. World Declaration and Plan of Action for Nutrition yang dirumuskan pada Internationol Conference on Nutrition (FAO/WHO, 1992) mendefisinikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga/individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat. Kemudian dalam sidang World Food Summit 1996 definisi ini diperluas dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai nilai atau budaya setempat (acceptable within given culture). Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup beberapa dimensi antara lain dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi kebutuhan gizi individu (dimensi gizi), dimensi waktu (setiap waktu). Dimensi keamanan pangan (kesehatan) serta dimensi nilai-nilai budaya (Hardinsyah dan Mardianto, 2001)b. Di Indonesia pemerintah juga telah memberikan perhatian besar terhadap masalah pangan antara lain melalui upaya swasembada beras. Selain itu prioritas pembangunan nasional yang diamanatkan dalam 1999-2004 (Suryana, 2001) dalam Hardinsyah, dkk (2001)a adalah perwujudan ketahanan pangan yang berbunyi : Mengembangkan ketahanan pangan yang berbaris pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau serta memperhatikan peningkatan pendapatan petani nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang. Pembangunan ketahanan pangan dihasilkan suatu sistem dari unsur-unsur yang merupakan subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Pembangunan sub sistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi luar negri, cadangan impor maupun ekspor. Kemudian pembangunan subsistem distribusi mencakup aksesbilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan strategis. Sedangkan pembangunan subsistem konsumsi mencakup jumlah, mutu gizi, nutrisi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Ketiga pembangunan ini memerlukan harmonisasi guna terwujudnya pembangunan suatu ketahanan pangan (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Dalam rangka memenuhi komitmen nasional tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004, telah menetapkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini bertujuan untuk:

meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pada pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, beserta produk-produk olahannya; mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi, serta konsumsi yang lebih beragam; mengembangkan usaha bisnis pangan; menjamin ketersediaan gizi dan pangan masyarakat (Departeman Pertanian Republik Indonesia, 2003). Menurut Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat wilayah ke tingkat rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan pangan. Oleh karena itu pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan terbagi menjadi dua, yaitu: indikator ketahanan pangan tingkat wilayah (makro) dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga (mikro). Hal ini bertujuan agar pengembangan indikator ketahanan pangan dapat menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya. Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan pada daerah tersebut. Sedangkan pada tingkat mikro lebih dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga dalam memproduksi pangan, daya beli dan pemberian. Kemudian sub sistem konsumsi pangan terletak pada hilir dari sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Keragaman subsistem tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor sosial budaya. Faktor ekonomi dalam keragaman tersebut meliputi; tingkat pendapatan, harga pangan dan non pangan dan mekanisme pasar, sedangkan faktor sosial budaya meliputi; tingkat pengetahuan, kebiasaan makan termasuk ada tidaknya pantangan atau tabu serta jumlah anggota keluarga (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan persediaan

pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat terbebas dari kelaparan dan gizi kurang (Nuhfill Hanani; 2007). Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan memuat ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Hal ini berarti pengertian tersebut dapat mewujudkan ketahanan pangan yang bisa lebih dipahami yaitu: Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk kebutuhan dalam pemenuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, artinya bebas cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggmggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah Agama. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, artinya pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. Terpenuhinya pengan dengan kondisi terjangkau, artinya pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai koping ability indikator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi (Ali Khomsan dkk, 2002). Keragaman pangan memiliki dua dimensi pokok, yaitu keanekaragaman dalam pola menu konsumsi pangan dimana terdapat keragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang serta keaneka-ragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis gizi yang dibutuhkan. Berdasarkan pengembangan operasional konsep ketahanan pangan rumah tangga oleh Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat

kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%. Seperti yang telah diketahui, sub sistem konsumsi pangan terletak pada hilir dari sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Keragaman subsistem tersebut dipengaruhi oleh: Faktor ekonomi, yang meliputi : Pendapatan Menurut Winardi (1992) pendapatan adalah hasil berupa uang atau materi lainnya yang dapat dicapai dari pada penggunaan faktor-faktor produksi. Tinggi-rendahnya pendapatan akan berdampak pada konsumsi pangan sebagai sub sistem ketahanan pangan baik tingkat wilayah maupun tingkat rumah Tangga (Departemen Pertanian Republik lndonesia, 2002). Pada umumnya, jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga. Tingkat pendapatan menentukan pola makanan apa saja yang dibeli dengan uang tersebut. Orang miskin biasanya akan membelanjakan pendapatannya untuk makanan, sedangkan orang yang kaya sudah tentu akan lebih dari itu. Bagian untuk makanan padi akan ditambah dengan menu untuk makanan yang terbuat dari susu jika pendapatan keluarga beranjak ke tingkat menengah. Semakin tinggi pendapatan, semakin bertambah besar pula presentase pertambahan belanja termasuk unhrk buah-buahan, sayur-sayuran, dan jenis makanan lainnya (Suhardjo, 1989). Harga pangan dan non pangan Kemudian Suhardjo (1989) menyatakan pula bahwa kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan selain tergantung pada besar pendapatan keluarga serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan juga tergantung pada harga bahan makanan itu sendiri. Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan tidak dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. Hal ini dikarenakan semakin tinggi harga pangan maupun non pangan, maka semakin terbatas pula kemampuan keluarga dalam mengeluarkan uang untuk membeli keperluan pangan dan non pangan untuk kebutuhannya. Setidaknya keaneka-ragaman bahan makanan kurang bisa terjamin, karena dengan uang yang terbatas itu tidak akan banyak pilihan. Mekanisme pasar Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu kebijakan yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen) tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusan-keputusan mereka dan teridentifikasi dalam aspek-aspek seperti terjadi excess demand dan shortage supply atau sebaliknya, harga pasar yang meningkat atau menurun, serta peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang membawahinya.

Faktor Sosial Budaya, meliputi : Tingkat pengetahuan gizi Gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan sikap dan perilaku seorang terhadap makanan. Selain itu pengetahuan manusia mempunyai peran untuk dapat membuat manusia hidup sehat, sejahtera dan berkualitas. Gizi mempunyai hubungan langsung dengan tingkat konsumsi tetapi secara tidak langsung mencerminkan tingkat pengetahuan. Kekurangan pengetahuan tentang gizi merupakan suatu penyebab lain gangguan gizi atau informasi gizi. Oleh karena itu, salah satu cara yang baik untuk menanggulangi masalah gizi adalah dengan memberikan pendidikan gizi yang pada prinsipnya mempunyai tujuan akhir mengubah pengetahuan serta siap dan tindakan ke arah perbaikan gizi dan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994). Kebiasaan makan termasuk ada tidaknya pantangan atau tabu Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi, 1994). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan individu atau kelompok individu adalah memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya. Tiga faktor terpenting yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah ketersediaan pangan, pola sosial budaya dan faktor-faktor pribadi (Harper et al, 1986). Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu (Wahyuni, 1988). Khumaidi (1989) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik atau dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpe-nuhinya kecukupan gizi), seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep-konsep gizi. Menurut Williams (1993) dalam Khumaidi (1989) masalah yang menyebabkan malnutrisi adalah tidak cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik. Kebiasaan makan dalam rumah tangga penting untuk diperhatikan, karena kebiasaan makan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan dan selanjutnya mempengaruhi tinggi rendahnya mutu makanan rumah tangga. Jumlah anggota keluarga Rumah tangga adalah orang yang tinggal dalam satu rumah, satu atap atau satu dapur, tidak terbatas hanya pada keluarga inti saja melainkan terdiri dari beberapa generasi, selain orangtua dan anak-anaknya, terdapat juga kakek-nenek, paman, bibi, saudara sepupu, menantu dan cucu yang kebutuhannya ditanggung oleh kepala keluarga (Suhardjo, 1989). Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara langsung terutama pada anak sekolah yang tumbuh dalam rumah tangga miskin karena rentan terhadap kekurangan gizi. Kebiasaan orang tua yang kurang menyadari bahwa anak memerlukan pangan yang lebih besar sering menjadi masalah. Di Indonesia survei memperlihatkan ketersediaan protein bagi setiap anak dalam rumah tangga

dengan 2 orang anak akan 20 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan rumah tangga yang mempunyai 4 atau 5 orang anak (Yustika, 2001). Kemudian definisi anak sekolah dalam kehidupan sehari-hari adalah sekolah dan seluruh warga yang merupakan wadah dan tempat berlangsungnya proses pendidikan secara formal dan potensial. Secara formal memiliki peranan penting dan strategis bagi pembinaan generasi muda (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992). Dan usia sekolah menurut Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat (1999) dikelompokkan menjadi: 1. WHO, usia antara 7 sampai 15 tahun. 2. Jelliffe, usia antara 5 sampai 15 tahun. 3. Indonesia, usia antara 7 sampai l2 tahun. Penilaian status gizi anak sekolah terbaru dapat dilihat dengan penggunaan Baku Antropometri IMT-AS (Jahari, 2000) yaitu tabel hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh Anak Sekolah (IMTAS) dengan menggunakan rumus rasio atau perbandingan antara berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter, yang kemudian disajikan dalam kategori normal, kurus, gemuk dan kegemukan. Indikator ini juga merupakan kombinasi atau gabungan dari dua parameter, yaitu berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Keuntungan penggunaan indeks IMT-AS ini yaitu selain merupakan indeks yang independen terhadap umur, juga dapat membedakan proporsi badan berupa kelebihan lemak dan otot (Supariasa, dkk, 2002). LANDASAN TEORI Konsep Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga Berdasarkan hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional Departemen Pertanian, 1996) dalam Hardinsyah, dkk (1998) ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan, yaitu: (1) kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggotanya rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat, (2) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dan produksi sendiri atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup, (3) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat. Hal ini juga tercantum dalam pasal I ayat 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut Sutrisno (1996) ukuran ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun ketersediaan pangan yang sesuai dengan norrna gizi. Sedangkan indikator sosial ekonomi dan demografi tidak dapat digunakan. Status Gizi Anak Sekolah

Kemudian Status gizi menurut Jahari (2002) dalam Poedyasmoro, dkk (2002) adalah keseimbangan antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirement) zat gizi. Status gizi baik (seimbang) bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan, status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk gizi kurang yaitu jumlah asupan zat kurang dari yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi lebih bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Selain itu status gizi juga berarti sebagai ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu seperti; Gondok Endemik yang merupakan keadaan tidak seimbangnya antara pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh Menurut Damayanti (1996), karakteristik anak usia sekolah antara lain: Berusia 7 l2 tahun Pertumbuhan relatif lambat dan anak balita, pertumbuhan berat 1,8 sampai 3,1 kg/tahun. Nafsu makan relatif lebih baik dari anak balita. Aktivitas fisik tinggi sehingga membutuhkan energi untuk bergerak, olah raga Mulai tidak tergantung dengan orang tua Belajar tentang makanan dan gizi sebagai bagian dari kurikulum Pada masa ini anak mulai bisa memasuki dunia baru kemudian mulai berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, suasana dan lingkungan baru dan dalam hal baru lainnya. Pada usia 7-12 tahun pertumbuhan anak masih berjalan sangat cepat, tetapi pada usia 8-10 tahun laju pertumbuhan mulai menurun. Tetapi dengan adanya aktifitas yang mulai beragam seperti; olah raga, membantu orang tua, maka kebutuhan gizinya lebih besar. Sebagai akibatnya karakteristik anak sebagai berikut; pertumbuhan tubuh masih relatif cepat, kebutuhan. Zat-zat makanan relatif lebih banyak anak mulai memilih/menentukan makanannya sendiri serta kadang-kadang timbul kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu Food Raddism (Mustafa, 1990). Hubungan Ketahanan Pangan dengan Status Gizi Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996) dalam Hardinsyah (1998). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002). Pengembangan operasional konsep ketahanan pangan rumah tangga oleh Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat

dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%. KERANGKA KONSEP PENELITIAN 2.4 HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Adanya hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan terikat bercirikan sampel dari populasi yang diukur sesaat atau pengukuran dilakukan secara bersamaan (satu kali saja). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dalam mengumpulkan data kecukupan konsumsi gizi rumah tangga serta status gizi. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Waktu Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada Bulan September Tahun 2010. Subjek Penelitian Populasi Populasi yang memiliki karakteristik penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang memiliki anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Jumlah populasi penelitian tersebut sebanyak 591 rumah tangga, yang terbagi menjadi 6 kelas (strata). Dimana kelas 1 (satu) berjumlah 90 rumah tangga, kelas 2 (dua) berjumlah 147 rumah tangga, kelas 3 (tiga) berjumlah 125 rumah tangga, kelas 4 (empat) berjumlah 89 rumah tangga, kelas 5 (lima) berjumlah 84 rumah tangga serta kelas 6 (enam) berjumlah 56 rumah tangga. Sampel Jumlah Sampel

Sampel dalam penelitian ini merupakan bagian dari populasi penelitian tersebut, dengan kriteria inklusi : Memiliki setidaknya satu anak sekolah usia 7-12 tahun Bertempat di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Responden, dalam hal ini ayah dan ibu, bersedia ikut penelitian dengan menandatangani informed consent, dan tinggal serumah bersama anak. Sedangkan kriteria ekslusinya adalah rumah tangga yang memiliki 1 (satu) anak sekolah usia 712 tahun dan tidak tinggal satu atap dengan orang tuanya. Besarnya sampel penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus menurut Azrul Azwar, dkk, (1987) : (1, 96) x 50 x 50 n = n1 = 10 591 1 + 96,04 96,04

n = 96, 04

n1 = 82, 793

Jadi, jumlah sampel penelitian ini diperoleh sebanyak 82,793 yang dibulatkan menjadi 83 rumah tangga. Keterangan : n = sampel yang diharapkan n1 = sampel yang sebenarnya p = sifat suatu keadaan dalam % jika tidak diketahui, dianggap 50 % q = 100% p = 50 % L = derajat ketetapan yang digunakan, lazimnya 10 %

Z= tingkat kepercayaan ditentukan dengan derajat koefisien 95% dan = 5%, maka kurva normal didapatkan nilai Z = 1,96 Cara Pengambilan Sampel Penarikan sampel dalam penenelitian ini dilakukan secara acak (Probability Sampling) dengan teknik proporsi (Proportional Random Sampling). Untuk memperoleh pembagian sampel dalam masing-masing kelas maka populasi diproporsionalkan dalam persentase menurut besarnya unit yang ada di dalam masing-masing kelas populasi tersebut. Proporsional ini dilakukan dengan menggunakan rumus: Setelah diperoleh masing-masing proporsi unit sampel berdasarkan populasi, kemudian dapat ditentukan jumlah masing-masing sampel dalam kelasnya, dengan menggunakan rumus: Pembagian populasi, proporsi sampel dan jumlah sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 3.1. Distribusi Populasi dan Sampel Rumah Tangga di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Tahun 2010. Kelas Populasi Proporsi (P) Sampel (rumah tangga) Kelas 1 90 15 13 Kelas 2 147 25 21

Kelas 3 125 21 17 Kelas 4 89 15 13 Kelas 5 84 14 11 Kelas 6 56 10 8 Jumlah 591 100 83 Kemudian sampel diambil secara acak menurut masing-masing unit sampel yang telah ditentukan dalalm kelasnya dengan menggunakan undian berdasarkan nomor urut anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 yang telah di data, selanjutnya dilakukan kunjungan ke rumah tangga anak sekolah tersebut untuk pengambilan data lanjutan.

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel penelitian dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah ketahanan pangan rumah tangga yaitu tingkat kecukupan konsumsi zat gizi dan variabel terikatnya adalah status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Adapun definisi operasional dari penelitian ini, yaitu : NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL HASIL UKUR SKALA UKUR 1. Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi/Protein Prosentase dari jumlah energi/protein total yang dikonsumsi oleh setiap orang setiap harinya dibandingkan dengan angka kecukupan energi/protein yang dianjurkan (I Dewa Nyoman S, dkk, 2001). Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%. Ordinal 2. Status Gizi Anak Sekolah Keadaan gizi anak usia 7-12 tahun sebagai akibat penggunaan zat-zat essential yang dapat diukur (dinilai) secara langsung melalui parameter berat badan dan tinggi badan anak

Kemudian dihitung berdasarkan rumus IMT dan dimasukkan ke dalam Baku Antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT-AS) Edisi Revisi menurut Jahari (2000). Kemudian Baku Antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT-AS) Edisi Revisi menurut Jahari (2000), dikategorikan: Normal Kurang Gemuk Kegemukan Ordinal Instrumen Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; form recall 2x24jam, tape recorder serta form isian. Dimana dalam wawancara, form recall 2x24jam merupakan panduan wawancara yang berisikan pertanyaan tentang konsumsi makanan anggota keluarga selama 2 (dua) hari yang juga direkam melalui tape recorder untuk mencek kembali informasi yang diperoleh. Selain itu, terdapat pula form isian guna memperoleh data tentang identitas rumah tangga serta mencatat hasil pengukuran parameter dari status gizi anak. 3.6 Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder yang meliputi : 1 Data Primer Data primer dikumpulkan peneliti melalui kunjungan kerumah sampel terpilih dan bila sampel menyetujui, enumerator melakukan kegiatan yang meliputi: Identitas rumah tangga diperoleh dengan wawancara. Status ketahanan pangan rumah tangga melalui indikator dampak secara langsung (tingkat kecukupan konsumsi zat gizi rumah tangga) diperoleh dengan cara me-recall konsumsi anggota rumah tangga menggunakan form recall 224 jam. Status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun diidentifikasi dengan melakukan pengukuran BB dan TB masing-masing anak yang menjadi sampel di dalam rumah tangga. Data Sekunder

Data Sekunder dikumpulkan peneliti dengan mengunjungi instansi di desa maupun instansi pemerintah terkait guna memperoleh data, yang meliputi : Profil Desa Geografi dan Demografi Desa Laporan PKG di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan UKS di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan PSG di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin terakhir Laporan lain yang berkaitan dengan penelitian 3.7 Teknik Analisa Data 3.7.1 Cara Pengolahan Data Dalam pengukuran ketahanan pangan rumah tangga, nilai konsumsi energi dan protein diperoleh melalui recall 224 jam dengan pendekatan penyediaan pangan yang disajikan dalam rumah tangga. Sedangkan angka kecukupan energi dan protein dalam ketahanan rumah tangga adalah total dari angka kecukupan energi dan protein masing-masing individu dalam rumah tangga (Supariasa, 2002). Rumus TKE/TKP rumah tangga adalah sebagai berikut : Sedangkan penentuan tingkat ketahanan pangan rumah tangga menurut Sukandar, dkk, (2001) dapat dikategorikan dalam matrik di bawah ini : Tabel 3.1. Tabel Indikator Dampak Ketahanan Pangan Secara Langsung (Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi) Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi 75 75-100 100 75

Tidak Tahan Pangan Tidak Tahan Pangan Tidak Tahan Pangan 75-100 Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan Tahan Pangan 100 Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan Sangat Tahan Pangan Kemudian data berat badan dan tinggi badan diperoleh dengan cara pengukuran menggunakan timbangan injak dan mikrotoise. Kedua indeks tersebut dimasukkan dalam rumus IMT di bawah ini sehingga diperoleh nilai IMT yang menggambarkan status gizi anak berdasarkan Baku Antropometri (Jahari, 2000) pada lampiran 9. Rumus IMT tersebut adalah : 3.7.2 Uji Analisis Data Ketahanan pangan rumah tangga yang diukur dengan indikator dampak secara langsung (tingkat kecukupan konsumsi zat gizi rumah tangga) serta status gizi anak dianalisis secara deskriptif. Kemudian ketahanan pangan dihubungkan dengan status gizi anak dengan menggunakan uji analisa statistik Korelasi Spearman Rank, syarat =0,05 dengan ketentuan: - Ho ditolak jika nilai p nilai , berarti Ha diterima - Ho diterima jika nilai p > nilai , berarti Ha ditolak Hasil tersebut kemudian dapat dinyatakan dengan ketetapan hipotesis berikut : - Ho = Tidak ada hubungan ketahanan pangan dengan status gizi anak - Ha = Ada hubungan ketahanan pangan dengan status gizi anak sekolah. 3.7.3 Cara Penyajian Data sekolah.

Dalam penelitian ini data deskriftif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi (tabulasi). Sedangkan hasil uji analisis hubungan disajikan dalam bentuk tabulasi silang (crosstab). 3.8 Prosedur Penelitian Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan beberapa langkah-langkah sebagai berikut: Tahap Persiapan Mengumpulkan data awal yang mendasari penelitian Mengkonsultasikan rencana penelitian ke pembimbing Mengurus ijin ke instansi terkait dengan dengan penelitian guna memperoleh data sekunder Mencatat/mencopy semua arsip di instansi terkait dalam penelitian Mencari data jumlah populasi penelitian Mengambil sampel penelitian Membuat Proposal Penelitian Tahap Pelaksanaan Mengurus Ijin Penelitian dari pendidikan ke instansi penelitian terkait Melakukan kunjungan rumah serta meminta persetujuan responden Melakukan wawancara kepada responden Menkonsultasikan ke pembimbing hasil pengumpulan data Seminar hasil pengumpulan data Tahap Evaluasi Mengolah data yang telah dikumpulkan Menganalisa data Menkonsultasikan hasil analisa data ke pembimbing Membuat laporan hasil penelitian Seminar hasil penelitian

Keterbatasan dan Kelemahan Penelitian Adapun keterbatasan dan kelemahan yang ada dalam proses penelitian ini, yaitu: Kurangnya food models sebagai panduan ukuran makanan yang akan memudahkan peneliti dalam mengkonversikan makanan yang dikonsumsi setiap anggota rumah tangga dalam satuan ukuran rumah tangga (URT). Kurangnya kemampuan (daya ingat) responden dalam mengingat makanan yang dikonsumsi beberapa hari yang lalu, sehingga menimbulkan kesulitan peneliti dalam me-recall apa yang telah dikonsumsinya responden. Walaupun terdapat beberapa keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini seperti yang telah tercantum di atas, tetapi peneliti telah melakukan metode alternatif lain guna mengatasi (mengurangi) kesalahan dalam penelitian ini antara lain; mengganti food models yang tidak ada atau rusak dengan menggunakan mainan edukasi seri Makanan serta mengkategorikan ukuran makanan (seperti besar, sedang, kecil dan lain-lain) yang bertujuan mengarahkan responden dalam menetapkan URT yang sesuai dengan jumlah makanan yang telah mereka konsumsi sehingga peneliti dapat mengetahui kecukupan energi dan protein seluruh anggota rumah tangga. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran Desa Batulicin Berdasarkan tata letak geografis, wilayah Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu terletak di pesisir pantai antara 252-347LS dan 11515-11604 BT. Suhu udara berkisar antara 22,4C-32,0C, dimana suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober (32,0C) dan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus (22,4C). Desa Batulicin yang mempunyai luas wilayah 4,170 ha yang terdiri dari pemukiman, bangunan, ladang/tegalan, hutan, tempat rekreasi, perikanan darat/air tawar, rawa, tanah kritis dan padang ilalang. Menurut BPS Tahun 2007-2008, Batas Administrasi Desa Batulicin ini berbatasan dengan: Sebelah Utara : Desa Kampung Baru Sebelah Timur : Selat Laut Sebelah Selatan : Desa Kersik Putih Sebelah Barat : Desa Kusambi

Potensi dari Desa Batulicin adalah perikanan, perdagangan, industri, pariwisata, perternakan, dan perkantoran. Hal ini didukung dengan kemudahan dari sebagian besar dari wilayah yang dapat ditempuh dengan melalui jalan darat dan jalan laut sehingga dapat menggunakan sarana transportasi roda empat dan roda dua maupun sarana transportasi laut. Jumlah penduduk desa menurut Badan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Catatan Sipil pada tahun 2010 berjumlah 5.889 jiwa, dimana jumlah penduduk laki-laki berjumlah 2.905 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2.984 jiwa serta diketahui pula jumlah kepala keluarga (KK) berjumlah 1.675 orang. Mata pencaharian penduduk wilayah ini sebagian besar adalah nelayan sebanyak 47%, sedangkan sebagian lainnya adalah sektor jasa/perdagangan 26%, pegusaha besar/kecil 14% dan peternak 13%. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Indikator dampak secara langsung dari ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat konsumsi rumah tangga baik energi dan protein. Hal ini dapat dilihat dari gambaran TKE/TKP yang diperoleh dalam penelitian seperti pada distribusi frekuensi di bawah ini: Tabel 4.1. Indikator Dampak Ketahanan Pangan Secara Langsung (Kecukupan Konsumsi Gizi) Tingkat Kecukupan Konsumsi Protein Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi 75 75-100 100 75 2 3 0 75-100 1

27 31 100 0 8 11 Dari tabel di atas dapat dijabarkan bahwa konsumsi energi dan protein 75% sebanyak 5 rumah tangga, kemudian konsumsi energi dan protein sebanyak 75 100% sebanyak 25 rumah tangga dan konsumsi energi dan protein 100% hanya sebanyak 4 rumah tangga. Masih adanya konsumsi energi dan protein 75% di desa batulicin dikarenakan pendapatan mereka masih di bawah rata-rata, hal ini kemudian berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat desa akan bahan makanan menurun sehingga kecukupan konsumsi energi dan protein tidak bisa terpenuhi sesuai umur masing- masing anggota rumah tangga. Hal ini seiring dengan gambaran status ketahanan pangan yang disimpulkan dengan tabulasi di bawah ini: Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Status Ketahanan Pangan Rumah Tangga Status Ketahanan Pangan Frekuensi Persentase (%) Tidak Tahan Pangan 6 7,2 Tahan Pangan 66 79,5 Sangat Tahan Pangan

11 13,3 Jumlah 83 100 Dari hasil prosentase gambaran tersebut, diperoleh rumah tangga dengan status tidak tahan pangan sebanyak 6 rumah tangga (7,2%), rumah tangga dengan status tahan pangan sebanyak 66 rumah tangga (79,5% ) dan rumah tangga dengan status sangat tahan pangan sebanyak 11 rumah tangga (13,3%). Walaupun masih terdapat banyak rumah tangga dengan status tahan pangan, akan tetapi rumah tangga dengan status tidak tahan pangan tetap menjadi prioritas perhatian bagi berbagai kalangan. Adapun hal yang mempengaruhi rumah tangga menjadi status tidak tahan pangan adalah mata pencaharian penduduk desa yang mayoritas mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Faktor ini tentunya sangat berdampak pada ketahanan pangan rumah tangga, karena selain pendapatan rendah, mereka juga tidak dapat menghasilkan sumber makanan utama yang dapat dikonsumsi oleh anggota rumah tangga guna mencukupi konsumsi energinya yang merupakan zat gizi utama dalam mengukur ketahanan pangan rumah tangga. Status Gizi Anak sekolah Usia 7-12 Tahun Karakteristik status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan IMT Anak Sekolah (Baku Antropometri) adalah sebagai berikut: Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun Status Gizi Anak Frekuensi Persentase (%) Normal 70 84,3

Kurang 8 9,6 Gemuk 3 3,6 Kegemukkan 2 2,4 Jumlah 83 100 Dari hasil penelitian telah didapatkan bahwa anak sekolah yang memiliki status gizi kurang sebanyak 8 orang (9,6%), anak sekolah yang memiliki status gizi normal sebanyak 70 orang (84,3%), anak sekolah yang memiliki status gizi gemuk sebanyak 3 orang (3,6%) dan anak sekolah yang memiliki status gizi kegemukan sebanyak 2 orang (2,4%). Masih terdapatnya anak dengan status gizi kurang merupakan salah satu dampak dari ketidakmampuan rumah tangga dalam menyediakan pangan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini mengakibatkan kecukupan gizi anak berdasarkan usiannya tidak seimbang, sehingga terjadinya malnutrisi. 4.1.4 Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Hubungan ketahanan rumah tangga melalui indikator dampak secara langsung yaitu tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 Tahun 2010 yang merupakan indikator dampak secara tidak langsung dapat dilihat pada tabulasi silang di bawah ini: Tabel 4.4. Tabulasi Silang Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin Tahun 2010

Ketahanan Pangan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun Total Normal Kurang Gemuk Kegemukkan Frek % Frek % Frek % Frek % Frek % Tidak Tahan Pangan 0 0 6 100 0

0 0 0 6 100 Tahan Pangan 61 92,4 2 3,0 2 3,0 1 1,5 66 100 Sangat Tahan Pangan 9 81,8 0 0 1 9,1

1 9,1 11 100 Total 70 84,3 8 9,6 3 3,6 2 2,4 83 100 Berdasarkan Tabel 4.4. yang menggambarkan keterkaitan antara status ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi ketahanan pangan rumah tangga maka akan berbanding lurus dengan peningkatan status gizi pada anak sekolah. Hal ini dikarenakan apabila ketahanan pangan rumah tangga berada dalam kondisi bagus kemudian disertai pengetahuan ibu akan pentingnya gizi anak dalam masa pertumbuhan serta kesadaran anggota rumah tangganya maka status gizi anak sekolah tanpa adanya penyakit infeksi (dalam keadaan sehat) akan berdampak pula peningkatannya (gizi baik). 4.2 Pembahasan Setelah dilakukan pengujian analisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah (usia 7-12 tahun) di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 dengan Uji Analisis Non Parametrik Korelasi Spearman Rank telah menghasilkan significant (p) sebesar 0,007 dengan tingkat kepercaayaan 95% (=0,05), maka p atau 0,007 0,05 artinya Ho ditolak dan Ha diterima.

Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan ketahanan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. Hasil ini sesuai dengan penelitian Tri Bastuti Purwantini (1999) yang menyatakan tingkat konsumsi energi dan protein merupakan dua indikator indikator mutu gizi yang umum digunakan untuk mengukur status gizi. Sesuai rekomendasi energi dan protein masing-masing individu agar seseorang dapat hidup sehat dan dapat aktif menjalankan aktivitas sehari-hari secara produktif sebesar 2.200 Kkal/kapita/hari untuk energi dan 50 gram/kapita/hari untuk protein. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan pula bahwa kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga yang dari sisi gizi cukup (>80% dari syarat kecukupan). Sedangkan pada kelompok yang kurang pangan dan rawan pangan masing-masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Kemudian Waryana (2010) dalam bukunya yang berjudul Gizi Reproduksi mengungkapkan bahwa kekurangan gizi pada anak usia sekolah disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsungnya adalah makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah ketahanan pangan di rumah tangga, pola pengasuhan serta pelayanan kesehatan serta kesehatan lingkungan. Sebagai penyebab langsung kekurangan gizi, makanan diserap untuk menghasilkan energi guna tumbuh kembang tingkat kecerdasan serta fungsi otak anak yang merupakan jaringan tubuh yang sangat sempurna struktur dan fungsinya. Apabila energi yang diperoleh dalam makanan tidak cukup, maka kerja dan fungsi tubuh akan kurang dari kapasitasnya yang berdampak pada gangguan pertumbuhan fisik, serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan anak dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit. Sedangkan penyebab langsung kekurangan gizi lainnya yaitu infeksi penyakit juga dapat memperburuk gizi anak dengan menurunnya nafsu makan, kehilangan cairan bila disertai diare atau muntah, naiknya metabolisme basal anak yang pada akhirnya terjadinya gizi kurang atau gizi buruk. Kedua penyebab langsung ini saling berkaitan, anak yang mendapat makanan yang cukup dan baik tetapi sering diare atau demam dapat menderita kekurangan gizi, begitu pula apabila anak yang tidak mengkonsumsi makanan yang cukup dan baik maka daya tahan tubuh akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Kemudian penyebab tidak langsung kekurangan gizi meliputi ketahanan pangan rumah tangga, pola pengasuhan, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Makin tinggi kemampuan anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah cukup maupun baik mutunya, maka makin baik pula kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak sehingga akan diiringi makin banyaknya pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan yang dimamfaatkan keluarga guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan status rumah tangga yang tahan pangan, berarti kebutuhan pangan seluruh anggota rumah tangga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya bisa terjamin, hal ini kemudian meningkatkan pula pola pengasuhan anak dan keluarga pun makin banyak memamfaatkan pelayanan kesehatanan yang ada dengan sebaik-baiknya sehingga dapat tercapai status gizi anak secara optimal baik fisik, mental maupun sosial.

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini, antara lain: Status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 adalah gizi kurang sebanyak 8 orang (9,6%), normal sebanyak 70 orang (84,3%), gemuk sebanyak 3 orang (3,6%) dan kegemukan sebanyak 2 orang (2,4%). Ketahanan rumah tangga di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 diperoleh rumah tangga dengan status tidak tahan pangan sebanyak 6 rumah tangga (7,2%), status tahan pangan sebanyak 66 rumah tangga (79,5% ) dan status sangat tahan pangan sebanyak 11 rumah tangga (13,3%). Uji analisis dengan Korelasi Sperman Rank mengungkapkan bahwa ada hubungan ketahanan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010. 5.2. Saran Adapun beberapa saran peneliti guna memberikan kontribusi positif sesuai ruang lingkup penelitian ini, yaitu : Bagi Pemerintah: Meningkatkan kebijakan di bidang gizi agar dapat lebih menunjang perbaikan gizi masyarakat sehingga status gizi masyarakat dapat tercapai secara optimal. Bagi Instansi Kesehatan (Dinas Kesehatan dan Puskesmas): Meningkatkan kerjasama aktif secara berkesinambungan dalam melaksanakan intervensi gizi melalui Program Perbaikan Gizi Masyarakat terutama yang berkaitan dengan anak sekolah dan kesehatan rumah tangga seperti Penyuluhan (di sekolah maupun di desa), Pemantauan TumbuhKembang Anak Sekolah, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), Pembinaan Dokter Kecil, Program Makanan Tambahan Anak (PMT-AS), Penilaian Konsumsi Gizi (PKG), Kunjungan Rumah dan kegiatan lainnya. Bagi Instansi Terkait (Dinas Pertanian, Kecamatan, Kelurahan, Lokalitbang, Dinas Kesehatan dan lain-lain) : Meningkatkan kerjasama lintas sektor guna bersama-sama mendorong masyarakat menjadi Masyarakat Sehat seperti dalam kegiatan Penyuluhan, PKK, Pembinaan Tanaman Obat Keluarga (TOGA), dan kegiatan lain-lain.

Bagi Masyarakat : Meningkatkan wawasan dan pengetahuan gizi (seperti mengikuti penyuluhan, aktif memamfaatkan fasilitas kesehatan, dan kegiatan lainnya) yang berkaitan dengan faktor-faktor ketahanan pangan rumah tangga serta status gizi anak sekolah sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Achadi, Endang. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Azwar, A . (1987). Metodologi Penelitian Kedokteran Masyarakat. Jakarta: Bina Rupa Aksara;20-25. Arikunto, S. (1997). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta; 245 -247 ; 251 -289. Berg, Alexander. (1987). Faktor Gizi. Jakarta : Bhatara Karya Aksara; 49-53. Damayanti, D. (1996). Modul Kuliah llmu Gizi Dasar dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Akademi Gizi; 3;17-2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.( 1994). Majalah Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia. Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan. (1999). Pedoman Pemantauan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBAS) Tahun Ajaran1999/2000. Jakarta irektorat Bina Gizi Masyarakat;l -2. Departemen Pertanian Republik Indonesia. (2002). Pedoman Umum Penyusunan Program Pengembangan Konsunsi Pangan.(Iptek.apjii.or.id/artike/ pangan/deptan materipendukung/perayk6s i 20Draft.Vo2 0 lv.hftn-101k). Diakses tanggal 11 Agustus 2010. Djiteng, Roedjito. (1989). Kajian Penelitan Gizi. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Djiteng, Roedjito. (1990). Prinip-Prinsip Analisis Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan Dan Gizi Institut Pertanian Bogor; 230-278. Hanani, Nuhfill, A, R (2007). Konsep Ketahanan Pangan. Jakarta. Hardinsyah. (1998). Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan. Bogor: Departemen Kehutanan; 4-11. Hardinsyah, Prof. Dr. Ir. Sumardjo dan Dr. Titik Sumarti. (2001)a. Membangun Kerjasama Ketahanan pangan antara Pemerintah Kabupaten dengan Institut Pertanian Bogor. Prosiding

Dialog Lokakarya Kebiiakan dan Program Ketahananp Pangan di Era Otonomi 2-3 Oktober. Jakarta; Agrindo Aneka Consult. Hardinsyah, Prof. Dr. Ir. Sumardjo dan Dr. Titik Sumarti. (2001)b. Tinjauan.Kritis tentang Ketahanan Pangan di Indonesia Membangun Masyarakat. Prosiding Seminar Nasionar ; Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan. Deptan; 6- 27. Hasan. I. (1999). Pokok-Pokok Materi Statistik I (Statistik Deskriptif). Jakarta: Bumi Aksara ; 937 ; l48-230. Hendra, A, W. (2008). Konsep Ketahanan Pangan. Info Mas Hendras Weblog. Diakses 25 Agustus 2010. Jahari, A , B. (2000). Baku Antropometri 2000 CDC Edisi Revisi. Bogor: Pusat Penelitian dan pengembangan Gizi dan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kartasapoetra, G. (2005). Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan, dan Produktivitas Kerja). Jakarta: Rineka Cipta. Kartasasmita, Ginandjar. (2005). Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa (Studi Kasus di Bandung). Bandung: Universitas Pangan dan Gizi-Institut Pertanian Bandung. Karo-Karo, S. (1984). Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Kota. Malang: Akademi Gizi Malang. Khomsan, Ali. (2002). Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani. (www. Kompas .com /kompas cetak / 0312 / 18/ opini/ 753054. htm-44k). Diakses tanggal 21 Juli 2004. Khumaidi , M. (1994). Gizi Masyarakat. Jakarta: Gunung Mulia. Moehyi, S. (1982). Ilmu Gizi. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Moeloek, F, A. (1999). Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Gizi 1; 7-33. Moleong, Lexy, J. (1998). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakary; 111-167. Muhilal. (2002). Peran Gizi dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia: Telaah Dari Aspek Biokimia Gizi Hingga Pedoman Gizi Seimbang. Bandung: Departemen Pendidikan Nasional; 20. Notoatmodjo, S. (2002). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 35-138. Notoatmodjo, S. (2010). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 24-49 ; 75-150.

Maxwell, S, Frankenberger, T. (1992). Household Food Security Concepts, Indicators, and Measurements. New York, NY, USA: UNICEF and IFAD. Muayyadah, Nailatul. (2010). Analisis Hubungan Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga Dengan Keadaan Gizi Balita Menggunakan Metode Gsca (Studi Kasus di Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah). Semarang: Universitas Diponegoro Program Studi Statistika Jurusan Matematika. Mustafa, A. (1990). Gizi Daur dalam Kehidupan. Bagian I. Malang: Depkes RI Akademi Gizi Malang; 35-37. Persagi. (2001). Gizi Indonesia Journal of the Indonesian Nutrition Association Volume XXV. Jakarta: Persatuan Ahli Gizi; l -10. Poedyasmoro, dkk. (2002). Buku Praktis Ahli Gizi. Malang: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Malang; 1 29 ; 57 -76. Purwantini, Tri Bastuti, Handewi P.S. Rachman, dan Yuni Marissa. (1999). Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Suhardjo. (1989). Sosial Budaya Gizi. Bogor: Direktorat Jenderal Pendidikan antar Universitas Pangan dan Gizi-Institut Pertanian Bandung. Suhardjo. (1996). Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. Sukandar, D. (2001). Kajian Indikator Kesehatan Pangan Tingkat Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKG) Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor ;l-8; 30-31. Supariasa, I, D, N, dkk. (2002). Penelitian Status Gizi Anak. Jakarta: Buku Kedokteran; 17-25. Suryahadi, A, dkk. (2003). Focus on Mapping Poverty in Indonesia. (www.gizi.netsmeru.or.id/newslet/2003/ed07/200307focus.htm-43k). Diakses tanggal 11 Agustus 2004. Tambunan, A, S. (2003). Kesehatan Anak Masa Depan Bangsa tentang Muramnya Kondisi Kesehatan Anak-Anak Indonesia Paralel dengan Kegiatan Pendidikan di Sekolah dari Segi Kualitas Berdasarkan Hasil. (www.kompos.com/kompas-ceta3k0/06/26/36 ). Diakses tanggal 23 Juli 2003. Waryana. (2010). Gizi Reproduksi. Yogjakarta: Pustaka Rihama. Yustika, A, E. (2001). Tragedi Petani dan Inovasi Kebijakan Pertanian. (www.kompas.com (online) kompas). Diakses tanggal 31 November 2003. ***

You might also like