You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Memiliki anak adalah dambaan setiap pasangan suami istri, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada keadaan dimana istri tidak dapat mengandung karena adanya kelainan pada rahimnya. Kemajuan jaman serta perkembangan teknologi yang semakin canggih menyebabkan munculnya berbagai macam temuan-temuan baru di berbagai bidang ilmu, salah satunya di bidang kedokteran. Sesuatu hal yang dulunya dianggap tidak mungkin, kini bisa saja dilakukan. Seorang wanita yang tidak bisa hamil pun bisa mempunyai anak dari sel telurnya sendiri. Lalu bagaimanakah caranya?. Dalam kemajuan teknologi kedokteran telah ditemukan program bayi tabung yang dapat dilakukan dengan menggunakan sewa rahim. Sewa rahim (Surrogate Mother) adalah seorang wanita mengadakan perjanjian (Gestational Agreement) dengan pasangan suami istri yang mana inti dari perjanjian tersebut si wanita bersedia mengandung benih dari pasangan suami istri tersebut dengan suatu imbalan tertentu. Hal ini biasa dilakukan karena berbagai sebab, diantaranya, rahim pemilik ovum tidak baik untuk hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan adanya dua sel telur yang subur atau salah satunya, atau karena pemilik ovum ingin menjaga kesehatan dan kecantikannya. Penyewaan rahim sebenarnya sudah terjadi di Eropa sejak lama. Bayarannya pun cukup menggiurkan, sekitar USD 40.000 untuk jangka waktu penyewaan selama 9 bulan kandungan. Di Indonesia bisnis ini telah ada sejak tahun 1970, yaitu sejak ditemukannya program bayi tabung, namun kasus sewa rahim baru ramai dibicarakan pada Januari 2009 ketika artis Zarima Mirafsur diberitakan melakukan penyewaan rahim untuk bayi tabung dari pasangan suami istri pengusaha. Zarima, menurut mantan pengacaranya, Ferry Juan mendapat imbalan mobil dan Rp 50 juta dari penyewaan rahim tersebut. Meskipun kabar ini telah dibantah Zarima. Dari permasalahan tersebut muncul pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya permasalahan sewa rahim (Surrogate Mother) dalam perspektif bioetika?.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tujuan dan mekanisme penyewaan rahim ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk penyewaan rahim ? 3. Bagaimana perspektif bioetika tentang penyewaan rahim ? 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Tujuan dan Mekanisme Penyewaan Rahim Sewa rahim (Surrogate Mother) dapat diartikan sebagai penggunaan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah dibuahi oleh benih lelaki (sperma), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut hingga dilahirkan. Menurut Blacks Law Dictionary yang dimaksud Surrogate Mother adalah: 1. A woman who carries a child to term on behalf of another woman and then assigns her parental rights to that woman and the father. 2. A person who carries out the role of a mother. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai wanita yang menggunakan rahimnya untuk hamil dimana janin yang dikandungnya tersebut milik wanita lain dan setelah bayi lahir hak kepemilikan atau hak asuh bayi tersebut diserahkan kepada wanita lain tersebut dan ayah dari bayi tersebut. Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Kaedah ini dikenal juga dengan sewa rahim karena lazimnya pasangan suami isteri yang ingin memiliki anak ini akan memberikan imbalan kepada ibu pengganti yang sanggup mengandung benih mereka, dengan syarat ibu pengganti tersebut akan menyerahkan anak setelah dilahirkan atau pada waktu yang telah ditetapkan sesuai perjanjian. Sewa rahim biasanya dilakukan bila istri tidak mampu atau tidak boleh hamil atau melahirkan. Embrio dibesarkan dan dilahirkan dari rahim wanita lain bukan istri walaupun bayi itu menjadi milik pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak tersebut (Yendi, 2011). Surrogate Mother ialah suatu teknologi in vitro yang dilakukan oleh petugas medis dimana spermatozoa dan ovum yang sudah masak dipertemukan di cawan petri sehingga menghasilkan embrio, kemudian embrio tersebut dipindahkan ke dalam rahim perempuan. Surrogate mother diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu Genetic surrogate dimana pihak surrogacy (pengganti) juga merupakan ibu biologis dari si janin dan yang kedua adalah Gestational surrogate dimana sel telur maupun sel sperma berasal dari penyewa rahim yang kemudian diiinseminasikan dalam rahim pihak perempuan yang bertindak menyewakan rahimnya. Dalam perjanjian sewa menyewa rahim bukan mengacu pada bendanya tetapi lebih pada kesepakatan jasa dari kontrak atau niat bersama antara si penyewa dengan yang menyewakan (Risti, 2010).

Sewa rahim biasa dilakukan karena berbagai sebab, diantaranya, rahim pemilik ovum tidak baik untuk hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan adanya dua sel telur yang subur atau salah satunya, atau karena pemilik ovum ingin menjaga kesehatan dan kecantikannya. Tujuan menyewa rahim/kandungan ini adalah menyewa wanita yang bersedia mengandung sampai dengan melahirkan bayi tersebut. Wanita tersebut dibutuhkan sebagai pengganti bagi wanita yang tidak bisa mengandung dengan berbagai alasan tadi. Beberapa alasan yang menyebabkan dilakukan teknik sewa rahim, adalah : 1. Seorang wanita tidak mempunyai harapan untuk hamil secara normal karena suatu penyakit atau kecacatan yang menghalanginya untuk hamil dan melahirkan anak. 2. Rahim wanita tersebut dibuang karena pembedahan. 3. Wanita ingin memiliki anak tetapi tidak mau menjalani proses kehamilan, melahirkan dan menyusui anak serta keinginan untuk memelihara bentuk tubuh dengan menghindari akibat dari proses kehamilan dan kondisi tubuh setelah melahirkan. 4. Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah mengalami menopause. 5. Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain (Munfarida. 2011). Mekanisme surrogate mother termasuk dalam ruang lingkup pembuahan di luar rahim yang lebih dikenal sebagai teknik bayi tabung atau pembuahan in vitro (in vitro fertilization). In vitro fertilization adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Dalam melakukan in vitro fertilization, transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu : 1. Wanita diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang. 2. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah dan pemeriksaan ultrasonografi. 3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina dengan tuntunan ultrasonografi. 4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan sel sperma suami yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.

5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel 6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini kemudian diimplantasikan ke dalam rahim wanita. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan. 7. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi (Yendi, 2011). Pada teknik surrogate mother, embrio hasil in vitro fertilisation diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain. Hal yang penting diperhatikan dalam surrogate mother adalah hak-hak anak yang terlahir dari surrogate mother tidak boleh terabaikan, khususnya hak identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran. Apabila terjadi perselisihan antara Ibu biologis dengan si ibu pengganti, maka penyelesaiannya harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi si anak (Yendi, 2011). B. Bentuk Bentuk Penyewaan Rahim Bentuk pertama: Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain (Zabidi R, 2004). Bentuk kedua: Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu pengganti selepas kematian pasangan suami isteri itu (Zabidi R, 2004). Bentuk ketiga: Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini terjadi apabila suami mandul dan isteri memiliki halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik (Zabidi R, 2004). Bentuk keempat: Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain (bukan istrinya), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain (bukan istrinya). Keadaan ini terjadi apabila isteri menderita penyakit pada ovari dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause) (Zabidi R, 2004).

Bentuk Kelima : Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil (Zabidi R, 2004).

C. Perspektif Bioetika tentang Penyewaan Rahim Permasalahan dalam menghadapi isu-isu moral bukan hanya karena melibatkan emosi tetapi juga banyaknya pendapat dan perbedaan pemahaman antara individu yang satu dengan individu yang lain sehingga menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Dengan adanya kerangka etika, dua individu yang memperdebatkan masalah moral dapat menemukan suatu titik di mana mereka menyadari bahwa sesuatu yang tidak mereka sepakati hanyalah salah satu bagian dari masalah tersebut, dan sebenarnya secara keseluruhan mereka setuju terhadap hal tersebut. Dengan demikian, prinsip etika dapat membantu menyelesaikan perdebatan mengenai isu moral walaupun tidak semuanya dapat diselesaikan dengan prinsip etika (Indri, 2011). Peraturan mengenai bayi tabung di Indonesia diatur secara umum dalam pasal 16 UU No.23 Tahun 1992 Tentang kesehatan dan keputusan Menkes No.72/menkes/Per/II/1999 tentang penyelenggaraan teknologi reproduksi buatan. Dari kedua peraturan tersebut dengan jelas dikatakan bahwa praktek Surrogacy dilarang pelaksanaannya di Indonesia. Hal ini dipertegas dengan adanya sanksi pidana yang dapat dikenakan bagi yang melakukan (pasal 28 UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan. UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur status anak yang lahir dari praktek Surrogacy, dan tidak ada peraturan yang mengakomodasi apabila terjadi konflik, hal ini memang belum terjadi di Indonesia tetapi bukan berarti dapat menutup mata atas permasalahan ini, karena permasalahan praktek Surrogacy dilarang di Indonesia (Fitriyani, 2011). Praktek sewa rahim secara implisit tidak diperbolehkan di Indonesia. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan : 1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. 2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. 3. Dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia (Yendi, 2011). Praktek surrogate mother atau sewa menyewa rahim belum diatur di Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada perlindungan hukum bagi para pelaku perjanjian surrogate mother ataupun sewa menyewa rahim. Dalam pasal 1338 KUH Perdata memang diatur mengenai kebebasan berkontrak, di mana para pihak dalam berkontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : 1. Kesepakatan para pihak; 2. Kecakapan para pihak; 3. Mengenai suatu hal tertentu; dan 4. Sebab yang halal. Jadi, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (pasal 1320 jo pasal 1337 KUH Perdata). Sedangkan praktek sewa rahim bukan merupakan upaya kehamilan yang dapat dilakukan menurut UU Kesehatan (Yendi, 2011). Praktek transfer embrio ke rahim titipan (bukan rahim istri yang memiliki sel telur tersebut) telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26 Mei 2006. Menurut Fatwa MUI lainnya (Hasil komisi Fatwa tanggal 13 juni 1979), Dewan pimpinan majelis ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut: 1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah kaidah agama. 2. Bayi tabung dari pasangan suami istri dengan titipan rahim istri yang lain (misalnya dari istri kedua dititipkan pada istri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah kaidah sad azzariah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya

dengan masalah warisan (khusus antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkan). 3. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri yang sah hukumnya, karena itu status sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah sad az-zariah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya. 4. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah sad azzari;ah, disebabkan hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun kaitannya dengan hal kewarisan (Fitriyani, 2011). Namun disisi lain, ada bentuk penyewaan rahim yang tidak disepakati pengharamannya oleh para ulama ialah sperma suami dan ovum isteri yang disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain bagi suami yang sama. Keadaan ini berlaku apabila berlaku syarat khusus seperti rahim isteri tidak dapat berfungsi atau dibuang akibat pembedahan, tetapi ovumnya baik. Para ulama berselisih pendapat tentang perkara ini dan terbagi kepada 2 golongan, yaitu : 1. Golongan pertama : Golongan yang mengharamkan. Golongan ini berpendapat bahwa penyewaan rahim bentuk ini adalah haram sebagaimana bentuk yang lain. Keadaan ini akan menyebabkan kekeliruan tentang siapa ibu sebenarnya dari anak tersebut. Ini karena isteri yang dimasukkan benih isteri pertama (ibu pengganti) tersebut mungkin hamil sebelum rahimnya dimasukkan benih yang disenyawakan, hasil hubungannya dengan suaminya yang dilakukan dalam jangka masa yang berdekatan dengan proses memasukkan benih isteri yang lain tadi. Kemudian jika lahir kembar, tidak diketahui anak yang berasal dari hubungan suami isteri tadi atau hasil benih isteri lain yang dimasukkan ke dalam rahimnya. Begitu juga jika salah satu dari benih yang disenyawakan tadi mati atau gugur, tidak dapat dipastikan kedudukan ibu sebenarnya bagi anak yang lahir. 2. Golongan kedua : Golongan yang mengharuskan. Mereka berpendapat penyewaan rahim bagi bentuk ini adalah harus karena kedua-dua wanita tersebut adalah isteri bagi suami yang sama dan isteri yang lain secara sukarela mengandungkan anak bagi madunya. Dalam keadaan ini, bapak anak tersebut telah pasti dan ikatan kekeluargaan terjadi dalam lingkungan yang baik, begitu juga tidak terjadi pencampuran nasab dari sudut suami dan isteri. Jika sikap berhati-hati diambil dan memenuhi syarat-syarat yang menjamin tidak

terjadinya percampuran nasab. Oleh sebab itu, Al- Mujamma Al-Fiqhi li Rabitoh AlAlam al-Islami secara majority mengharuskan penyewaan rahim bentuk ini, dengan syarat pengawasan yang betul-betul sempurna agar tidak terjadi percampuran benih dengan yang lain. Mereka juga mensyaratkan untuk tidak menggunakan kaedah ini melainkan ketika adanya alasan yang kuat (Zabidi R, 2004). Pendapat yang paling baik untuk melindungi kepentingan terbaik bagi si anak adalah metode bayi tabung dengan ketentuan yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain alias menyewa rahim (surrogate mother). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut. Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal ini suami dari istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. Namun biasanya ada perjanjian yang tertulis yang dilakukan kedua pasangan tersebut untuk mengakui status anak tersebut. Jika embrio dimasukkan ke dalam rahim seorang gadis atau wanita yang tidak terikat perkawinan maka anak tersebut memiliki status sebagai anak di luar perkawinan. Nantinya anak yang lahir tersebut yang akan dirugikan. Pasalnya, anak tersebut akan kesulitan untuk mengurus surat-surat, seperti akta kelahiran. (Pamungkas, 2009)

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Surrogate mother (ibu pengganti) atau yang lebih dikenal dengan sewa rahim ialah suatu teknologi in vitro yang dilakukan oleh petugas medis dimana spermatozoa dan ovum yang sudah masak dipertemukan di cawan petri sehingga menghasilkan embrio, kemudian embrio tersebut dipindahkan ke dalam rahim perempuan lain. Dimana wanita yang diimplantasikan embrio tersebut telah mengadakan perjanjian (gestational agreement) dengan pasangan suami istri yang mana inti dari perjanjian tersebut si wanita bersedia mengandung benih dari pasangan suami istri tersebut dengan suatu imbalan tertentu. 2. Tujuan menyewa rahim/kandungan ini adalah menyewa wanita yang bersedia mengandung sampai dengan melahirkan bayi tersebut. Wanita tersebut dibutuhkan sebagai pengganti bagi wanita yang tidak bisa mengandung dengan berbagai alasan. 3. Bentuk-bentuk sewa rahim, yaitu : Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Benih suami-isteri disenyawakan kemudian dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri tersebut. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Benih suami-isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. 4. Praktek surrogate mother atau sewa rahim secara implisit tidak diperbolehkan di Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa haram.

DAFTAR PUSTAKA

Fitriyani, N. 2011. Surrogate Mother (Ibu Titipan). STIKES Jenderal A.Yani Yogyakarta. Yogyakarta. Indri. 2011. Bioetika : Embryo Yatim Piatu. http://blogs.itb.ac.id/indri/2011/11/30/embryoyatim-piatu/. Diakses tanggal 5 Desember 2011. Munfarida. 2011. Sekilas Tentang Sewa Rahim. http://munfarida.blogspot.com/2011/01/ sekilas-tentang-sewa-rahim.html. Diakses tanggal 5 Desember 2011. Pamungkas. 2009. Kontroversi Penyewaan Rahim Hukumnya Disamakan dengan Zina. http://pamungkas-harapanku.blogspot.com/2009/01/kontroversi-penyewaan-rahimhukumnya.html. Diakses tanggal 5 Desember 2011. Risti., Dita Paraga. 2010. Obrolan Surrogate Mother, Bolehkah?. KRONIK UNIKA Soegijapranata. Semarang. Yendi. 2011. Hukum Teknologi Reproduksi Buatan. Perkembangan Hukum Teknologi Reproduksi Buatan di Indonesia. http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/hukumteknologi-reproduksi-buatan/. Diakses tanggal 5 Desember 2011. Zabidi R, 2004. Penyewaan Rahim menurut Pandangan Islam . Al-Faqirah Ilallah, Tahun 1, Syariah Islamiah, American Open University, Cairo.

10

SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) DALAM PERSPEKTIF BIOETIKA

Oleh : KELOMPOK VI TAUFIEQ Hj. SURYANI H.P. MUTHMAINNAH 11B13001 11B13014 11B13021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2011
11

You might also like