You are on page 1of 26

1

PENDAHULUAN Mengajar adalah membimbing siswa agar mengalami proses belajar.

Dengan belajar siswa menghendaki hasil belajar yang efektif bagi dirinya. Untuk tuntutan itu, guru harus membantu dengan pembelajaran yang efektif. Mengajar yang efektif ialah mengajar yang dapat membawa siswa yang efektif pula. Belajar yang efektif adalah suatu aktivitas mencari, menemukan dan melihat pokok masalah. Salah satu syarat yang harus dilaksanakan untuk mengajar yang efektif, yaitu belajar secara aktif baik mental maupun fisik. Di dalam belajar siswa harus mengalami aktivitas mental, misalnya siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kemampuan analisis, kemampuan menyampaikan pengetahuannya, dan lain sebagainya. Tetapi juga mengalami aktivitas jasmani, seperti mengerjakan sesuatu, menyusun intisari pelajaran, membuat peta, dan lain sebagainya (Slameto, 2010: 92). Menurut aliran filsafat konstruktivisme, pengetahuan yang kita miliki adalah hasil bentukan kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan dan pembentukannya. Agar siswa berhasil dalam belajarnya, dalam arti mampu menemukan dan membentuk pengetahuan, guru hendaknya merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam penemuan dan pembentukan pengetahuan (Suciati, 2007: 41). Salah satu pembelajaran yang dapat mendorong partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran yaitu pembelajaran yang berbasis masalah. Seperti telah diketahui bahwa manusia dalam kehidupannya selalu dihadapkan kepada masalah, hambatan, tantangan, ancaman, dan kesulitan yang harus diatasi (Sukmadinata, 2010: 4). Pembelajaran berbasis masalah menjadikan siswa memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, analitis, sistematis, dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah (Sanjaya, 2008: 216). Pada dasarnya mata pelajaran kimia merupakan mata pelajaran yang menarik karena ilmu kimia merupakan pengetahuan yang berdasarkan fakta, teori, hukum, temuan sains, dan proses atau kerja ilmiah. Hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi mata pelajaran kimia yaitu memahami konsep-konsep kimia dan

keterkaitannya serta penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi (Depdiknas, 2003: 2). Aspek ilmu kimia, sebagian ada yang bersifat kasat mata (visible), artinya dapat dibuat fakta konkritnya dan sebagian lagi bersifat abstrak atau tidak kasat mata (invisible), artinya tidak dapat dibuat fakta konkritnya, dan harus bersifat kasat logika, artinya kebenarannya dapat dibuktikan dengan logika matematika sehingga rasionalitasnya dapat dirumuskan atau diformulasikan. Dengan demikian, ilmu kimia dalam hal-hal tertentu yang bersifat teoritis menggunakan teori kebenaran koherensi, dan dalam hal-hal yang berhubungan dengan fakta konkrit (data empiris) menggunakan teori kebenaran korespondensi (Depdiknas: 2003). Dalam pembelajaran kimia, hal yang ditekankan adalah bagaimana cara agar siswa dapat menguasai konsep-konsep kimia, bukan hanya menghafal tanpa pemahaman konsep yang benar. Kecenderungan pembelajaran kimia yang terjadi dilapangan adalah siswa hanya mempelajari kimia dengan cara menghafalkan konsep, teori, dan hukum saja tanpa memahami isi konsep, teori atau hukum tersebut. Pada kenyataannya, pembelajaran kimia sebagian besar dilakukan dengan menggunakan metode ceramah dan kegiatannya lebih berpusat pada guru, sehingga penguasaan siswa terhadap konsep-konsep dinilai lemah karena aktivitas siswa hanya mendengarkan dan mencatat materi yang dianggap penting. Tidak sedikit siswa yang sulit mengikuti cara guru menjelaskan konsep kimia, sehingga menimbulkan kejenuhan dan ketidaktertarikan mempelajarinya. Kalau pun siswa mengerti terhadap konsep yang disampaikan guru, hanya sebatas mengerti saja pada saat itu di dalam kelas. Tetapi ketika sudah selesai jam pelajaran maka siswa akan melupakan begitu saja, tidak sampai tahap mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Sudjana (1987: )Kegiatan belajar siswa banyak dipengaruhi oleh cara mengajar yang digunakan guru. Misalnya, jika kegiatan mengajar yang dilakukan guru menuturkan secara lisan pada siswa (ceramah), maka kegiatan belajar siswa tidak banyak. Mereka hanya mendengarkan uraian guru dan kalau perlu mencatatnya (Sudjana: 1987).

Selain itu, pembelajaran dengan menggunakan cara konvensional juga dapat menghambat perkembangan keterampilan berpikir kritis siswa. Keterampilan berpikir kritis siswa tidak dapat berkembang jika siswa hanya mendengarkan dan mencatat saja, tetapi siswa harus diikutsertakan dalam kegiatan pembelajaran. Karena melalui keterampilan berpikir kritis siswa akan lebih mudah memahami konsep, peka terhadap masalah yang terjadi sehingga dapat memahami dan menyelesaikan masalahnya. Menurut Munir (2008: 47) untuk menumbuhkan cara berpikir kritis pada siswa, pembelajaran yang dilakukan dengan melibatkan lingkungan sekitar dengan mengaitkan konsep terhadap kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas, diperlukan model pembelajaran yang mampu meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa terhadap konsep kimia. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan yaitu model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dengan pendekatan Problem Solving. Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) adalah model pembelajaran yang memakai pendekatan problem solving yang didesain untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep ilmu (Pizzini, 1996: 3). Indikator yang diambil pada pengembangan model pembelajaran SSCS ini adalah memahami masalah, merencanakan penyelesaian, dan menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana. Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) ini akan diterapkan pada pembelajaran materi kimia Polimer. Pemilihan materi tersebut didasari bahwa polimer merupakan konsep yang dekat dengan kehidupan siswa, setelah mempelajari konsep ini siswa dapat menghubungkanyya dengan kehidupan nyata. Kemudian karena polimer sudah menjadi salah satu bagian dari kehidupan manusia yang tak dapat dipisahkan lagi, sehingga banyak sekali peranan dan dampak yang ditimbulkan dari pemakaian polimer tersebut yang dapat dijadikan sebagai sumber permasalahan dalam pengembangan model pembelajaran SSCS ini. Model pembelajaran SSCS ini mempunyai tahap-tahap pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk dapat mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di sekitarnya dalam hal ini dampak yang ditimbulkan dari penggunaan polimer khususnya pada lingkungan dan model pembelajaran SSCS ini juga menuntun siswa untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang

ditimbulkan penggunaan polimer tersebut yang kemudian ide pemecahan masalah yang diperoleh siswa tersebut diwujudkan dalam bentuk produk, sehingga produk tersebut dapat menanggulangi dampak yang ditimbulkan penggunaan polimer. Produknya dapat berupa hasil daur ulang dari bahan-bahan polimer yang sudah menjadi sampah. Jadi, dengan produk yang dihasilkan tersebut setidaknya dapat mengurangi dampak penggunaan polimer khususnya pada lingkungan. Sehingga berdasarkan uraian tersebut, maka model pembelajaran SSCS cocok digunakan pada materi polimer. Berdasarkan kenyataan tersebut, penulis ingin mengembangkan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) pada materi kimia polimer dalam makalah ini yang diberi judul PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE, AND SHARE (SSCS) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PADA MATERI POLIMER. Dalam makalah ini akan dikembangkan materi dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1 Bagaimana karakteristik model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) sehingga dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah siswa? 2 Bagaimana tahap-tahap pengembangan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS)? Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui karakteristik model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS), menjelaskan tahaptahap pengembangan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS), dan untuk mendeskripsikan pengembangan model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) pada materi Polimer. II A KAJIAN TEORITIK Model Pembelajaran Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam

mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Jadi,

sebenarnya model pembelajaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan, strategi atau metode pembelajaran (Sadirman, 2004: 165). Suatu model pembelajaran juga dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pengajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam mengatur pengajaran. Model pembelajaran itu berbagai macamnya dan kebaikan model pembelajaran sangat bergantung kepada tujuan pengajaran itu sendiri. Pada hakikatnya mengajar itu adalah suatu proses dimana pengajar dan murid menciptakan suatu situasi yang baik agar terjadi kegiatan belajar yang berdaya guna (Afifuddin, 2005: 151).

Ciri-ciri Model Pembelajaran 1 2 3 4 Rasional teoritik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Tidak ada satu model pembelajaran yang paling cocok untuk semua situasi dan sebaliknya tidak ada satu situasi mengajar yang cocok dihampiri oleh semua model pembelajaran. Bahkan tidak ada alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa satu model pembelajaran lebih baik dari model yang lainnya tanpa dijelaskan dalam kondisi apa dan untuk tujuan apa serta bagaimana model itu diterapkan (Afifuddin, 2005:151). B Model Pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) ini dikembangkan oleh Pizzini sejak tahun 1988 pada mata pelajaran sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Model pembelajaran ini dapat diterapkan di setiap sekolah karena model pembelajaran ini tidak menuntut banyak fasilitas canggih,

tetapi yang terpenting dalam model pembelajaran ini adalah terinterasi dunia nyata dalam pembelajaran. Pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dengan pendekatan Problem Solving yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Model pembelajaran Search, Solve, Create and Share (SSCS) melibatkan siswa dalam menyelidiki sesuatu, membangkitkan minat bertanya serta memecahkan masalah-masalah yang nyata (Pizzini: 1996). Model pembelajaran SSCS ini memiliki empat fase dalam pengembangannya, yaitu fase Search, Solve, Create, and Share. Fase Search menyangkut ide-ide lain yang mempermudah dan mengidentifikasi serta mengembangkan pertanyaan yang dapat diselidiki ( researchable question) atau, masalah dalam sains. Selain proses identifikasi dan mengembangkan pertanyaan dari masalah yang disajikan, selama fase search siswa juga mengidentifikasi kriteria untuk menetapkan permasalahan dan menyatakan pertanyaan dalam format pertanyaan yang dapat diselidiki. Fase search membantu siswa untuk menghubungkan konsep-konsep yang terkandung dalam permasalahan ke konsepkonsep sains yang relevan (Pizzini: 1996). Fase Solve berpusat pada permasalahan spesifik yang ditetapkan pada fase search dan mengharuskan siswa untuk menghasilkan dan menerapkan rencana mereka menjadi untuk memperoleh suatu jawaban. berada Selama fase Solve siswa yang mengorganisasikan kembali konsep-konsep yang diperoleh dari fase Search konsep-konsep yang dalam higher-order mengidentifikasikan cara untuk menyelesaikan permasalahan dan jawaban yang diinginkan. Penerapan konsep-konsep sains dalam fase solve memberikan kebermaknaan terhadap konsep sewaktu siswa memperoleh pengalaman untuk menghubungkan antara konsep yang termuat dalam permasalahan, konsep dari permasalahan (Pizzini:1996). Fase Create mengharuskan siswa untuk menghasilkan suatu produk yang terkait dengan permasalahan, membandingkan data dengan masalah, melakukan generalisasi, jika diperlukan memodifikasi. Siswa menggunakan keterampilan yang diselesaikan, dari konsep yang diterapkan dalam permasalahan, yang semuanya dihubungkan ke skema konseptual siswa

seperti mereduksi data menjadi suatu penjelasan tingkat paling sederhana. Fase Create menyebabkan siswa untuk mengevaluasi proses berpikir mereka. Hasil dari fase create adalah pengembangan suatu produk inovatif yang mengkomunikasikan hasil fase search ke fase solve ke siswa lainnya (Pizzini: 1996). Prinsip dasar fase Share adalah untuk melibatkan siswa dalam mengkomunikasikan jawaban terhadap permasalahan atau jawaban pertanyaan. Produk yang dihasilkan menjadi fokus dari fase share. Fase share tidak hanya sebatas mengkomunikasikan ke siswa lainnya. Siswa menyampaikan buah fikirannya melalui komunikasi dan interaksi, menerima dan memproses umpan balik, yang tercermin pada jawaban permasalahan dan jawaban pertanyaan, menghasilkan kembali pertanyaan untuk diselidiki pada kegiatan lainnya. Bermunculannya pertanyaan terjadi bila yang diterima menciptakan pertanyaan baru atau bila kesalahan dalam perencanaan hasil untuk mengidentifikasi keterampilan Problem solving yang diperlukan (Pizzini:1996). Melalui Proses problem solving ini, L. Pizzini (1996) yakin bahwa para siswa akan mampu menjadi seorang eksplorer mencari penemuan terbaru, inventor mengembangkan ide atau gagasan untuk mampu menjadi penguji baru yang inovatif, desainer mengkreasi rencana dan model terbaru, pengambilan keputusan, berlatih bagaimana menetapkan pilihan yang bijaksana, dan sebagai komunikator mengembangkan metoda dan teknik untuk bertukar pendapat dan berintereaksi. Kemampuan yang membentuk perkembangan pemikiran kritis dan kemampuan memecahkan masalah siswa merupakan tugas guru yang harus dilakukan secara terus menerus, para siswa diberikan kegiatan-kegiatan yang mengajak siswa untuk berpikir secara kritis dan mampu memecahkan masalah secara aktif, siswa harus didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan serta diberikan bimbingan. Model pemecahan masalah SSCS memberikan sebuah kerangka kerja yang dibuat untuk memperluas keterampilan dalam penggunaan pada konsep ilmu pengetahuan, model ini membantu guru berpikir kreatif untuk menciptakan siswa mampu yang berpikir secara kritis. Peranan guru pada pemecahan masalah model SSCS adalam memfasilitasi pengalaman untuk menambah pengetahuan siswa.

Peranan guru lebih lengkap pada tiap fase (Pizzini: 1996) dijelaskan sebagai berikut: 1 Fase Search (mendefinisikan masalah) : (a) Menciptakan situasi yang dapat mempermudah munculnya pertanyaan, (b) Menciptakan dan mengarahkan kegiatan, 2 (c) Membantu dalam pengelompokan dan penjelasan permasalahan yang muncul. Fase Solve (mendesain solusi) : (a) Menciptakan situasi yang menantang bagi siswa untuk berpikir, (b) Membantu siswa mengaitkan pengalaman yang sedang dikembangkan dengan ide, pendapat atau gagasan siswa tersebut, (c) Memfasilitasi siswa dalam hal memperoleh informasi dan data. 3 Fase Create (Memformulasikan hasil) : (a) Mendiskusikan kemungkinan penetapan audien dan audiensi, (b) Menyediakan ketentuan dalam analisis data dan teknik penayangannya, (c) Menyediakan ketentuan dalam menyiapkan presentasi. 4 Fase Share (Mengkomunikasikan hasil) : (a) Menciptakan terjadinya interaksi antara kelompok/diskusi kelas, (b) Membantu mengembangkan metode atau cara-cara dalam mengevaluasi hasil penemuan studi selama persentasi, baik secara lisan maupun tulisan. Model pembelajaran SSCS mempunyai beberapa keunggulan diantaranya mempelajari dan memperkuat dasar ilmu pengetahuan dan konsep kimia dalam suatu pemahaman yang lebih baik, meningkatkan kemampuan bertanya siswa, meningkatkan dan memperbaiki interaksi siswa dan siswa dapat berkomunikasi secara efektif (Lie: 2002). Keunggulan pemecahan masalah model SSCS lebih spesifik dijelaskan Pizzini (1996) dalam tabel berikut: (1 (2 Bagi Guru Dapat melayani minat siswa yang lebih luas Dapat melibatkan keterampilan berpikir (3 tingkat tinggi dalam (2 pembelajaran IPA, Melibatkan semua siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, (1 Bagi Siswa Kesempatan memperoleh langsung Kesempatan pada pemecahan masalah, untuk mempelajari dan memantapkan konsep-konsep IPA dengan cara untuk pengalaman proses

(4

Meningkatkan antara sains

pemahaman teknologi dan (3 (4 (5

yang lebih bermakna, Mengolah informasi dari IPA, Menggunakan Mengembangkan ilmiah peralatan-peralatan laboratorium, (6 Untuk mengembangkan minat terhadap IPA dan memberi pemaknaan IPA ke-pada siswa melalui kegiatan-kegiatan IPA, (7 Memberi bagaimana (8 pengalaman pengetahuan IPA keterampilan metode berpikir tingkat tinggi, dengan menggunakan

masyarakat dengan memfokuskan pada masalah-masalah real dalam kehidupan sehari-hari.

diperoleh dan ber-kembang, Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanggung jawab terhadap pembelajarannya, (9 (10 Bekerja sama dengan orang lain, Menetapkan pengetahuan tentang grafik, pengolahan data, menyampaikan ide dalam bahasa yang baik dan ke-terampilan yang lain dalam suatu sis-tem ke integrasi atau holistik. C Kemampuan Pemecahan Masalah (Problem Solving) Pemecahan masalah adalah suatu proses penemuan suatu respon yang tepat terhadap suatu situasi yang benar-benar unik dan baru bagi pemecah masalah (siswa). Gagne mengemukakan belajar pemecahan masalah adalah tingkat tertinggi dari hierarkhi belajar (Dahar, 1989). proses

10

Pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada teori konstruktivisme dengan ciri pemahaman diperoleh dari interaksi dengan skenario permasalahan dan lingkungan belajar, pergulatan dengan masalah dan proses inkuiri masalah menciptakan disonansi kognitif yang menstimulasi belajar, pengetahuan terjadi melalui proses kolaborasi negosiasi sosial dan evaluasi terhadap keberadaan sebuah sudut pandang (Rusman, 2010: 231). Dari definisi tersebut, dapat di tarik kesimpulan bahwa pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi, dimana setiap individu yang sedang belajar akan bertemu dengan sesuatu yang menjadi masalah jika sesuatu itu baru dikenalnya. Suatu masalah umumnya berisi situasi yang mendorong individu untuk memecahkan masalah dengan segera, namun tidak tahu secara langsung bagaimana cara menyelesaikannya. Untuk memperoleh kemampuan dalam pemecahan masalah, individu perlu banyak pengalaman dalam menyelesaikan berbagai macam permasalahan. Selanjutnya Sanjaya (2008: 220) mengemukakan beberapa keunggulan pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah diantaranya: 1 2 3 4 5 Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi pelajaran. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa. Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya. 6 Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran, bahwa pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan

11

sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari bukubuku saja. 7 8 Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir 9 kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. Terdapat beberapa indikator dalam metode pemecahan masalah, diantaranya adalah sebagai berikut. 1 Memahami masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan maslah tersebut dengan benar. 2 Merencanakan penyelesaian. Setelah siswa memahami masalah dengan benar, selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah. 3 Menyelesaiakan masalah sesuai rencana. Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis atau tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat. D Konsep Polimer Makromolekul (polimer) merupakan molekul raksasa dengan rantai sangat panjang yang tersusun dari molekul-molekul sederhana (monomer). Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menggunakan bahan-bahan sintetis yang merupakan polimer, misalnya plastik, karet, nilon, dan tetoron. Di dalam tubuh kita juga terdapat polimer-polimer yang memegang peranan penting yaitu karbohidrat, protein, dan asam nukleat. Baik polimer alam maupun sintetis terbentuk melalui reaksi polimerisasi yang dapat berupa adisi dan polimerisasi kondensasi (Pangajuanto, 2009: 218). 1 Pembentukan Polimer

12

Reaksi pembentukan polimer dinamakan polimerisasi. Jadi, reaksi polimerisasi adalah reaksi penggabungan molekul-molekul kecil (monomer) membentuk molekul yang besar (polimer). Ada dua jenis polimerisasi, yaitu polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi (Maria, 2004: 150). a Polimerisasi Adisi Polimerisasi adisi adalah reaksi pembentukan polimer dari monomer yang berikatan rangkap (ikatan tak jenuh). Pada reaksi ini monomer membuka ikatan rangkapnya lalu berikatan dengan monomer lain sehingga menghasilkan polimer yang berikatan tunggal (ikatan jenuh). Polimerisasi adisi dapat berlangsung dengan bantuan katalisator (Maria, 2004: 150). Contoh (Pangajuanto, 2009: 218) : 1 Pembentukan polietilena dari etena.

Pembentukan teflon atau politetra fluoroetilena

Reaksi polimerisasi adisi banyak dimanfaatkan pada industri plastik dan karet. b Polimerisasi Kondensasi Polimerisasi kondensasi adalah reaksi pembentukan polimer dari monomermonomer yang mempunyai dua gugus fungsi (Maria, 2004: 152). Contoh (Pangajuanto, 2009: 218): Pembentukan nilon 66

Nilon 66 mempunyai massa molekul relatif 10.000 dan titik lelehnya 250C. 2 Penggolongan Polimer

13

Dari berbagai jenis polimer yang banyak kita jumpai, dapat digolongkan berdasarkan asalnya, jenis monomer, sifat terhadap panas, dan reaksi pembentukannya (Maria, 2004: 153). a Penggolongan Polimer Berdasarkan Asalnya Berdasarkan asalnya, polimer dibedakan menjadi polimer alam dan polimer sintetis. 1 Polimer alam Polimer alam adalah polimer yang telah tersedia di alam dan terbentuk secara alami. Contoh: Karet alam (poliisoprena).

Beberapa contoh polimer alam yang lain adalah protein, amilum, selulosa, glikogen, dan asam nukleat. 2 Polimer sintetis Polimer sintetis atau polimer buatan dibuat sebagai tiruan. Polimer sintetis meliputi plastik, karet sintetis, dan serat sintetis. Contohnya plastik polietilena, PVC, polipropilena, teflon, karet, neoprena, karet SBR, nilon, dan tetoron. b Penggolongan Polimer Berdasarkan Jenis Monomer Berdasarkan jenis monomer penyusunnya, polimer dibedakan menjadi kopolimer dan homopolimer. 1 Kopolimer Kopolimer adalah polimer yang tersusun dari monomer yang berbeda. Contoh: Dacron tersusun dari monomer asam tereftalat dan etanadiol.

14

Contoh kapolimer yang lain adalah saran, polietilena tereftalat, bakelit, nilon, dan karet nitril. 2 Homopolimer Homopolimer adalah polimer yang tersusun dari monomer yang sama. Contoh: PVC tersusun dari monomer vinil klorida.

Contoh homopolimer yang lain adalah polipropilena, polietilena, teflon, PVA. c Pengelompokan Polimer Berdasarkan Sifatnya Terhadap Panas Berdasarkan sifatnya terhadap panas, polimer dibedakan menjadi polimer termoseting dan polimer termoplas.

Polimer termoseting Polimer termoseting artinya hanya dapat dipanaskan satu kali yaitu pada saat pembuatannya sehingga apabila pecah tidak dapat disambung kembali dengan pemanasan atau dicetak ulang dengan pemanasan. Polimer termoseting terdiri atas ikatan silang antarrantai sehingga terbentuk bahan yang keras dan lebih kaku. Contoh polimer termoseting adalah bakelit dan melamin.

Polimer termoplas Polimer termoplas dapat dipanaskan berulang-ulang karena polimer termoplas melunak bila dipanaskan dan mengeras bila didinginkan sehingga apabila pecah dapat disambung kembali dengan pemanasan atau dicetak ulang dengan pemanasan. Polimer termoplas terdiri dari molekul-molekul rantai lurus atau bercabang dan tidak ada ikatan silang antarrantai seperti pada polimer termoseting. Contoh: polietena, PVC, polistirena. (Pangajuanto, 2009: 222)

Penggolongan Polimer Berdasarkan Reaksi Pembentuknya Berdasarkan reaksi pembentukannya, polimer dapat dibedakan atas polimer

adisi dan polimer kondensasi.

15

Polimer adisi Polimer adisi adalah polimer yang monomernya mempunyai ikatan rangkap, kemudian ikatan rangkapnya terbuka lalu berkaitan membentuk polimer yang berikatan tunggal. Contoh: polietena, polipropena, polivinil klorida, teflon, poliisoprena.

Polimer kondensasi Polimer kondensasi adalah polimer yang monomernya mempunyai dua gugus fungsi pada kedua ujung rantainya kemudian saling berkaitan sambil melepas molekul kecil. Contoh: nilon, dakron, bakelit. (Maria, 2004: 156)

3 a

Beberapa Polimer dan Kegunaannya Plastik Polimerisasi adisi dari monomer-monomer berikatan rangkap meng-hasilkan

bermacam-macam plastik. b Polietilena Polietilena merupakan polimer yang terbentuk dari polimerisasi adisi etena.

Sifat-sifat dan kegunaan polietilena adalah: 1 2 3 c Titik leleh 110C, Melunak dalam air panas, Digunakan untuk botol fleksibel, film, pembungkus, dan isolator listrik. Polipropilena Polipropilena memiliki sifat hampir sama dengan polietilena, hanya polipropilena lebih kuat dibanding polietilena. Polipropilena tersusun dari molekul-molekul propena.

Polipropilena digunakan untuk membuat tali, botol, karung, dan sebagainya.

16

PVC PVC (polivinilklorida) merupakan polimer jenis plastik yang tersusun dari

vinil klorida melalui polimerisasi adisi.

PVC merupakan plastik yang keras, kaku, dan mudah rusak, dapat digunakan untuk membuat pipa, tongkat, dan pelapis lantai. e Teflon (PTFE) Teflon tersusun dari monomer-monomer tetrafluorotena.

Teflon bersifat sangat ulet, kenyal, tahan terhadap zat kimia, tak mudah terbakar, isolator listrik yang baik, dan mampu melumasi diri serta tidak menempel. Panci untuk memasak/meng-goreng menggunakan pelapis teflon, sehingga tidak memerlukan minyak yang banyak, tidak mudah gosong, serta mudah mencucinya. Sifat dan kegunaan teflon adalah sebagai berikut: 1 2 3 Titik leleh 327C, Tahan terhadap panas, Tahan terhadap zat kimia, digunakan untuk alat-alat yang tahan terhadap bahan kimia, misalnya pelapis tangki bahan kimia, pelapis panci antilengket. f Polistirena Polistirena tersusun atas monomer stirena.

Polistirena digunakan untuk membuat gelas minuman ringan, isolasi, dan untuk kemasan makanan. g PVA PVA (polivinil asetat) tersusun dari monomer-monomer vinil asetat.

17

PVA digunakan untuk pengemulsi cat. h Polimetil Metakrilat (PMMA)

Polimetil metakrilat merupakan plastik bening, keras, tetapi ringan sehingga digunakan untuk pengganti gelas, misalnya kaca jendela pesawat terbang. i Bakelit Bakelit merupakan polimer termoseting yang tersusun dari fenol dan formaldehid.

Bakelit digunakan untuk pembuatan peralatan listrik. j 1 Karet Karet alam Karet alam tersusun dari monomer-monomer isoprena atau 2-metil-1,3 betadiena.

Karet alam bersifat lunak, lekat, dan mudah dioksidasi. Agar menjadi lebih keras dan stabil dilakukan vulkanisasi, yaitu karet alam dipanaskan

18

pada suhu 150C, dengan sejumlah kecil belerang. Dengan cara ini ikat-an rangkap pada karet terbuka kemudian terjadi ikatan jembatan belerang di antara rantai molekulnya. Karet diekstraksi dari lateks (getah pohon karet), hasil vulkani-sirnya digunakan untuk ban kendaraan.

Karet sintetis a Neoprena (Kloroprena) Neoprena tersusun dari monomer-monomer 2-kloro-1,3 butadiena.

Sifat dan kegunaan neoprena adalah tahan terhadap bensin, minyak tanah, dan lemak sehingga digunakan untuk membuat selang karet, sarung tangan, tapak sepatu, dan sebagainya. b Karet Nitril Karet nitril tersusun dari monomer butadiena dan akrilonitril.

Karet nitril memiliki sifat tahan terhadap bensin, minyak dan lemak, digunakan untuk membuat selang. c SBR SBR (Styrena Butadiena Rubber) tersusun dari monomer stirena dan butadiena.

19

SBR merupakan karet sintetis yang paling banyak diproduksi untuk ban kendaraan bermotor. k Serat Sintetis 1 Nilon 66 Nilon 66 merupakan kopolimer dari heksa metilen diamina dengan asam adipat melalui polimerisasi kondensasi. Disebut nilon 66 karena masingmasing monomernya mengandung 6 atom karbon. Nilon 66 bersifat kuat, ringan, dan dapat ditarik tanpa retak sehingga digunakan untuk membuat tali, jala, parasit, dan tenda. 2 Dacron Dacron (polietilen tereftalat) merupakan kopolimer dari glikol dengan asam tereftalat melalui polimerisasi kondensasi.

Orlon Orlon atau poliakrilonitril tersusun dari molekul akrilonitril.

Sifat dan kegunaan orlon adalah memiliki sifat yang kuat digunakan untuk karpet dan pakaian (kaos kaki, baju wol). (Pangajuanto, 2009: 223)

20

Dampak dan Penanganan Limbah Polimer Penggunaan polimer sintetis terutama plastik dapat menimbulkan masalah.

Meskipun tidak beracun pembuangan limbah pabrik sangat mencemari tanah karena tidak terurai oleh mikroorganisme. Pembakaran plastik dan karet dapat mencemari udara karena menghasilkan gas-gas yang bersifat racun korosi seperti HCl, oksida-oksida belerang dan oksida-oksida karbon. Untuk mencegah pencemaran akibat limbah polimer dapat dilakukan daur ulang. Limbah plastik dikumpulkan, dipisahkan, dilelehkan, dan dibentuk ulang menjadi bentuk-bantuk lain yang bermanfaat. Selain dengan daur ulang, perlu dikembangkan jenis plastik yang terbiodegradasi agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Pangajuanto, 2009: 227).

III

APLIKASI DAN PEMBAHASAN Manusia dan kehidupan tidak akan pernah lepas dari permasalahan. Oleh

karena itu, siswa harus dilatih untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Model pembelajaran SSCS memungkinkan siswa untuk menjadi seorang pemecah masalah (problem solver) karena model pembelajaran SSCS memiliki tahapantahapan yang harus dilakukan oleh siswa dan tahapan-tahapan tersebut dapat menggiring siswa untuk dapat mengidentifikasi masalah dan mencari pemecahan masalahnya sendiri serta mengkomunikasikan hasilnya dengan teman-teman lainnya, sehingga dengan penerapan model pembelajaran SSCS ini dapat melatih dan membiasakan siswa untuk dapat menghadapi masalahnya dan menemukan cara untuk memecahkan masalahnya sendiri serta melatih kemampuan berkomunikasi siswa melalui presentasi hasil temuannya. Tahapan-tahapan dalam model pembelajaran SSCS, yaitu tahap pertama Search yaitu tahap pencarian atau mengidentifikasi permasalahan melalui pertanyaan-pertanyaan, pada tahap ini melibatkan proses berfikir siswa mengumpulkan ide-ide untuk memecahkan masalah. Tahap kedua Solve adalah tahap pemecahan masalah yaitu siswa mengumpulkan alternatif yang mungkin

21

ditempuh untuk memecahkan masalah. Tahap ketiga Create mengharuskan siswa untuk menghasilkan suatu produk yang terkait dengan permasalahan. Sedangkan tahap yang keempat Share adalah tahap menyimpulkan, pada tahap ini terjadi interaksi yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berfikir siswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, yaitu dengan mengkomunikasikannya dengan teman sekelasnya dalam bentuk presentasi. Pengembangan model pembelajaran SSCS pada setiap tahapnya pada materi Polimer dijabarkan sebagai berikut: 1 Tahap Search (mendefinisikan masalah) Pada tahap Search siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok, kemudian setiap kelompok diberi wacana yang berhubungan dengan materi Penggunaan Polimer dan Dampaknya Terhadap Lingkungan. Berdasarkan wacana tersebut diharapkan siswa mampu memunculkan pertanyaan atau membuat pertanyaan dari hasil analisis wacana dan mengidentifikasi masalah. Selanjutnya siswa dapat menetapkan masalah dan setiap anggota dari seluruh kelompok menyatakan pertanyaan dalam format pertanyaan yang dapat diselidiki ( Researchable question) kemudian mengisi LKS tahap Search yang terdiri dari beberapa pertanyaan, seperti (1) Buatlah 5 pertanyaan yang berhubungan dengan wacana tersebut!, (2) Pilihlah pertanyaan yang menurut Anda menarik dan dapat diselidiki!. 2 Tahap Solve (mendesain solusi) Pada tahap ini siswa harus menghasilkan suatu rencana tentang hal-hal apa saja yang akan dilakukan untuk dapat menjawab pertanyaan yang telah dibuatnya pada tahap search kemudian menerapkannya. Siswa dituntut untuk dapat mengidentifikasi cara yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan dan memperoleh jawaban yang diinginkannya atas pertanyaannya dengan usahanya sendiri. Kegiatan siswa tersebut dikerjakan dalam LKS tahap Solve yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang akan diselidiki, memprediksi dan menemukan jawaban dari pertanyaan, detail rencana yang akan dijalankan, menyusun segala sesuatu yang diperlukan dalam pemecahan masalah tersebut, dan membuat pola lembar data. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk

22

menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya, sehingga siswa dapat secara langsung terlibat dalam masalah yang sedang dipelajarinya, hal ini dapat memberikan pengalaman belajar yang baik bagi siswa. Pada tahap solve ini siswa dapat menggunakan buku sebagai referensi atau internet sebagai media untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan dan merancang rencana yang akan dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut. 3 Tahap Create (memformulasikan hasil) Pada tahap ini siswa diharuskan membuat kesimpulan dari permasalahan yang ada kemudian melakukan atau menghasilkan suatu produk yang berkaitan dengan permasalahan untuk kemudian mendemonstrasikan hasil temuannya tersebut. Produk yang dihasilkan harus dapat menjadi solusi dari permasalahan yang sedang diselidiki. Siswa juga harus mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan presentasi, seperti informasi yang akan disampaikan, pembuatan power point, metode presentasi dan lain sebagainya. 4 Tahap Share (mengkomunikasikan hasil) Pada tahap ini siswa mempresentasikan hasil temuannya berdasarkan penyelidikannya pada tahap Search, Solve, dan Create sesuai dengan metode presentasi yang dipilih. Produk yang dihasilkannya menjadi fokus dari presentasinya. Detail yang harus diperhatikan siswa pada saat presentasi adalah kesiapan diri, kematangan materi yang akan disampaikan, kejelasan power point, suara pada saat presentasi, dan penjelasan yang disampaikan harus mudah dimengerti audiens. Berdasarkan penjelasan di atas, aktivitas yang diharapkan dilakukan oleh siswa pada setiap tahapnya saat pengembangan model pembelajaran SSCS adalah sebagai berikut: 1 Tahap Search Siswa secara berkelompok membaca, mengidentifikasi masalah,

menganalisis wacana dan membuat pertanyaan sesuai dengan permasalahan yang timbul saat membaca wacana Penggunaan Polimer dan Dampaknya pada Lingkungan. Masing-masing kelompok mendapatkan LKS SSCS yang terdiri dari wacana dan daftar pertanyaan.

23

Tahap Solve Siswa menyelesaikan permasalahan yang ditemukan pada tahap Search.

Pada taap ini elompok diberikan LKS fase Solve yang berfungsi mengarahkan kelompok untuk membuat prediksi dari pertanyaan yang dipilih untuk diselidiki dan merancang langkah-langkah yang akan dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut. 3 Tahap Create Secara berkelompok siswa dituntut untuk membuat produk yang dapat mengatasi permasalahan yang sedang diselidiki, misalnya siswa dapat menghasilkan produk yang dapat meminimalisasi penggunaan polimer sintetis sehingga dampak penggunaan polimer sintesis tersebut dapat menurun. 4 Tahap Share Kelompok yang terpilih mempresentasikan hasil temuan dan

penyelidikannya pada tahap Search, Solve, dan Create sesuai dengan metode presentasi yang dipilih. Sedangkan kelompok yang lainnya membandingkannya dengan hasil yang diperolehnya, kemudian mengajukan pertanyaan kepada kelompok yang sedang presentasi jika terdapat temuan lain yang berbeda ssehingga dengan adanya komunikasi tanya jawab dalam presentasi berfungsi menambah wawasan. IV PENUTUP Model pembelajaran Search, Solve, Create,and Solve (SSCS) merupakan model pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Dengan penerapan model pembelajaran SSCS juga dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah siswa karena model pembelajaran SSCS ini memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui siswa dan setiap tahap dari model pembelajaran SSCS ini dapat menggiring siswa untuk dapat melatih keterampilannya dalam memecahkan suatu masalah. Tahapan-tahapan tersebut adalah tahap pertama Search, pada tahap ini siswa dituntun untuk dapat membuat suatu pertanyaan yang dapat diselidiki (researchable question) dari suatu fenomena. Tahap kedua Solve, pada tahap ini

24

siswa diharuskan membuat rencana tentang hal-hal yang akan ditempuh untuk menjawab pertanyaan yang dibuatnya pada tahap Search. Tahap ketiga Create, siswa ditugaskan untuk menyimpulkan permasalahan dan cara pemecahannya kemudian membuat suatu produk sebagai hasil dari pemecahan masalahnya. Produk tersebut dapat dijadikan sebagai solusi dari masalah yang sudah diselidinya. dihasilkannya. Dan terakhir adalah tahap Share, siswa harus dapat mengkomunikasikan hasil temuannya dan mendemonstrasikan produk yang telah

DAFTAR RUJUKAN Mandiri.

Afifuddin. (2005). Perencanaan dan Berbagai Pendekatan. Bandung: Insan

Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004 SMA: Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Dan Penilaian Mata Pelajaran Kimia . Jakarta: Ditjen Dikdasmen Direktorat Dikmenum. Dahar, R. W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Lie, Anita. (2002). Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Grasindo Maria, T dkk. (2004). Sains Kimia. Jakarta: Bumi Aksara Munir, T. (2008). Environmental Problem Solving in Learning Chemistry for High School Student. Journal of Applied Science in Environmental Sanitation, 3, 47-50.

25

Pangajuanto, T. (2009). Kimia 3 untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Pizzini, E. L. (1996). Implementation Handbook for The SSCS Problem Solving Instructional Model. Lowa: The University of Lowa. Rusman. (2010). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sardiman, A. M. (2004). Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: Rajawali. Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rhineka Cipta. Suciati. (2007). Belajar dan Pembelajaran 2. Jakarta: Universitas Terbuka. Sudjana, Nana. (1987). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sukmadinata, Nana S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Yunita. (2011). Bahan Ajar Evaluasi Pembelajaran Kimia. Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati. VI A B LAMPIRAN-LAMPIRAN Analisis Konsep Polimer Peta Konsep Polimer

26

Lembar Kerja Siswa Model Pembelajaran SSCS

You might also like