You are on page 1of 43

10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka merupakan kajian mengenai teori-teori yang mendasari dilakukannya penelitian ini dan menjadi bahan dasar analisis yang akan diakukan. Dalam kajian pustaka penelitian ini akan dibahas mengeni konsep dasar mengenai skizofrenia, keluarga, komunikasi, dan komunikasi terapeutik. A. Konsep Dasar Skizofrenia 1. Definisi Skizofrenia Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang dikenal banyak orang sebagai gila atau sakit mental (Nevid dkk, 2005). Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu schizo yang berarti terpotong atau terpecah dan phren yang berarti pikiran, sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Definisi skizofrenia secara formal diartikan sebagai salah satu jenis psikosis yang menyebabkan kekacauan mental yang hebat sehingga mengganggu pikiran, pembicaraan, dan perilaku (Veague, 2007). Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Carson dan Butcher dalam Wiramihardja, 2007). Dalam referensi lain disebutkan bahwa skizofrenia merupakan suatu gangguan yang mencakup gejala kelainan kekacauan pada isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, perasaan terhadap diri sendiri, motivasi,

11

perilaku, dan fungsi interpersonal (Halgin dan Whitbourne, 1997). Berdasarkan definisi-definisi yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah salah satu jenis kelainan mental yang mengacaukan hampir seluruh fungsi manusia yang mencakup fungsi berpikir, persepsi, emosi, motivasi, perilaku, dan sosial.

2.

Sejarah Skizofrenia Gejala skizofrenia pada manusia telah ditemukan sejak masa berabad-abad

yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan para arkeolog berupa tulisantulisan dari peradaban Mesir Kuno yang menggambarkan mengenai gejala dan perilaku skizofrenia seperti yang sudah dikenal sekarang (Veague, 2007). Penderita gangguan mental pada masa pra ilmiah dianggap sebagai akibat dari kemarahan dewa sehingga untuk menghindari kemarahan dewa, orang-orang pada masa itu mengadakan perjamuan pesta dan berkurban (Yusuf, 2008). Ketika masa ilmiah mulai berkembang, gangguan mental pada seseorang dianggap sebagai penyakit sehingga orang tersebut dimasukkan ke rumah sakit. Perawatan awal bagi orang dengan skizofrenia di rumah sakit diawali pada akhir tahun 1600-an, namun penempatan orang dengan skizofrenia di rumah sakit bukan untuk merawat mereka tapi hanya agar mereka tidak bercampur dengan dunia sosial di luar rumah sakit. Hal tersebut dinamakan institusionalisasi (Veague, 2007). Selama 1700-1800, perawatan bagi orang dengan skizofrenia di rumah sakit membaik dengan adanya konseling yang diberikan sebagai perawatan. Pada tahun 1950-an para psikiater mulai

12

menggunakan obat-obatan untuk meminimasilir munculnya gejala skizofrenia (Veague, 2007). Pengkajian skizofrenia secara ilmiah dimulai sejak akhir abad ke-19 oleh seorang psikiater Jerman bernama Emil Kraeplin (1856-1926) yang pertama kali mengangkat pembahasan mengenai gejala-gejala skizofrenia seperti waham, halusinasi, dan perilaku motorik yang aneh. Gejala-gejala tersebut menurut Kraeplin bermula sejak masa kanak-kanak dan memburuk seiring pertumbuhan seseorang (Nevid dkk, 2005). Kraeplin belum mengisitilahkan gejala-gejala tersebut sebagai skizofrenia, namun Kraeplin menyebutnya sebagai dementia praecox. Dementia praecox diambil dari bahasa latin yaitu dementis yang berarti di luar de (jiwa) mens (seseorang) dan praecox yang diambil dari kata precocious yang berarti sebelum kematangan. Dementia praecox diartikan sebagai kerusakan prematur dari kemampuan mental seseorang (Nevid dkk, 2005). Istilah skizofrenia pertama kali diungkapkan oleh psikiater Swiss bernama Eugen Bleuer (1857-1939) pada tahun 1911 yang diambil dari kata Yunani schistos yang berarti terpotong atau terpecah dan phren yang berarti otak (Nevid dkk, 2005). Meskipun jika dilihat dari akar kata skizofrenia yang berarti otak yang terpecah, bukan berarti skizofrenia dapat disamakan dengan gangguan psikis lain yaitu kepribadian ganda atau terpecah. Karena maksud dari terpecah dalam skizofrenia adalah terpecahnya atau ketidaksesuaian antara kognisi, afeksi, dan tingkah laku yang dialami orang dengan skizofrenia bukan terpecahnya kepribadian.

13

Bleuer lebih lanjut menjelaskan bahwa dia menerima gejala-gejala kelainan yang telah ditemukan Kraeplin, namun menolak pandangan Kraeplin bahwa orang dengan skizofrenia hanya akan mengalami keadaan mental yang semakin memburuk. Menurut Bleuer, orang dengan skizofrenia akan membaik dengan diberikan perawatan (Veague, 2007). Bleuer menyusun gejala-gejala kelainan skizofrenia dalam rumusan yang dinamakan Bleuers Four As yang berisi seperti di bawah ini. a. Association (asosiasi), yaitu gangguan pada pikiran yang dimunculkan lewat perilaku pembicaraan yang melantur dan tidak nerhubungan. b. Affect (afeksi), gangguan pada pengalaman dan ekspresi emosi seperti tertawa dalam situasi berduka. c. Ambivalence (ambivalensi), ketidakmampuan untuk mengikuti atau membuat keputusan. Dalam referensi lain dijelaskan bahwa orang dengan skziofrenia memiliki perasaan ambivalen terhadap orang lain seperti mencintai dan membenci pada saat yang bersamaan. d. Autism (autisme), penarikan pikiran dan perilaku diri ke dunia fantasi pribadi (Halgin dan Whitbourne, 1997; Nevid dkk, 2005). Tidak setuju dengan perumusan skizofrenia yang sangat luas dari Bleuer, psikiater Jerman Kurt Schneider (1887-1967) mengenalkan cara utunk merumuskan diagnosis skizofrenia dengan menggunakan first rank symptomp (gejala kelainan tingkat pertama). Schneider menyatkan bahwa apabila seseorang menunjukkan gejala kelainan tingkat pertama dan tidak disebabkan oleh faktor organik, maka orang

14

tersebut sudah dapat didiagnosis sebagai skizofrenia. Gejala kelainan tingkat pertama skizofrenia menurut Schneider adalah waham dan halusinasi, sedangkan gejala kelainan tingkat kedua merupakan gangguan mood dan kekacauan pikiran (Nevid dkk, 2005). Lebih lanjut ditemukan bahwa gejala kelainan tingkat pertama skizofrenia juga ditemukan pada gangguan psikis lain, sehingga apa yang diusulkan Schneider tidak lagi valid (Halgin dan Whitbourne, 1997). Meskipun begitu, hasil perumusan dari Kraeplin, Bleuer, dan Schneider menjadi acuan bagi pembuatan sistem diagnostik DSM masa kini.

3.

Ciri Utama Skizofrenia Ciri utama skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR (APA dalam Nevid dkk,

2005) adalah sebagai berikut. a. Dua atau lebih dari hal-hal berikut harus muncul dalam porsi yang signifikan selama munculnya penyakit dalam waktu 1 bulan. 1) waham/delusi; 2) halusinasi; 3) pembicaraan tidak koheren atau ditandai oleh asosiasi longgar; 4) perilaku tidak terorganisasi atau katatonik; 5) ciri-ciri negatif (misalnya ekspresi emosi datar). b. Fungsi pada bidang-bidang seperti hubungan sosial, pekerjaan, atau perawatan diri selama perjalanan penyakit secara nyata berada di bawah tingkatan yang dapat dicapai sebelum munculnya gangguan. Apabila gangguan muncul pada masa kanak-kanak atau remaja, terdapat suatu kegagalan untuk mencapai tingkat perkembangan sosial yang diharapkan.

15

c. Tanda-tanda gangguan terjadi secara terus menerus selama setidaknya 6 bulan. Masa 6 bulan ini harus mencakup fase aktif yang berlangsung setidaknya satu bulan di mana terjadi gejala psikotik (terdaftar pada nomor 1), yang merupakan karakteristik skizofrenia. d. Gangguan tidak dapat didistribusikan sebagai dampak zat-zat tertentu (misalnya penyalahgunaan zat atau obat yang diresepkan) atau pada kondisi medis umum.

4.

Gejala (Simptom) Skizofrenia Skizofrenia ditandai oleh gejala kelainan atau simptom positif dan negatif

(Wiramihardja, 2007; Halgin dan Whitbourne, 1997). a. Gejala kelainan positif merupakan gejala yang merupakan tambahan dari perilaku manusia pada umumnya (Wiramihardja, 2007). Gejala-gejala kelainan positif mencakup delusi, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, pembicaraan, perilaku. 1) Delusi adalah keyakinan yang kuat terhadap suatu kebenaran yang tidak mungkin. Terdapat empat tipe delusi, delusi penyiksaan (persecutory delusion), delusi grandiose (grandiose delusion), delusi rujukan (delusion of reference), dan delusi diawasi (delusion of being controlled). Delusi penyiksaan merupakan keyakinan yang salah bahwa dirinya atau orang-orang yang dicintainya disiksa, diikuti, dan menjadi incaran tangkap kepolisian. Delusi grandiose merupakan keyakinan yang salah bahwa ia memiliki kekuatan, kekuasaan, pengetahuan yang sangat besar, seringkali merasa sebagai reinkarnasi dari tokoh-tokoh besar.

16

Delusi rujukan merupakan keyakinan yang salah bahwa kejadian-kejadian yang dilihatnya mengarah kepada dirinya, misalkan pembaca berita yang dilihatnya memberitakan mengenai dirinya. Delusi diawasi merupakan keyakinan yang salah bahwa pikiran, perasaa, perilakunya dikontrol oleh sesuatu di luar dirinya, misal makhluk luar angkasa. 2) Halusinasi adalah gejala dimana seseorang merasa melihat, mendengar, mencium, meraba atau menyentuh sesuatu yang tidak ada. Terdapat bentuk halusinasi yang lain seperti halusinasi kinestetik yaitu ketika seseorang merasa tubuhnya bergerak tanpa henti. Halusinasi visceral yaitu ketika seseorang merasa ada sesuatu di dalam tubuhnya. Halusinasi hipnagogik yaitu halusinasi yang terjadi tepat sebelum seseorang jatuh tertidur. Halusinasi hipnopompik yaitu halusinasi yang terjadi tepat sebelum seseorang bangun tidur. Halusinasi histerik terjadi karena respon emosional yang berlebihan. Depersonalisasi yaitu halusinasi di mana sseseorang merasa keluar dari tubuhnya dan merasa tubuhnya bukan miliknya lagi. Derealisasi yaitu perasaan seseorang bahwa lingkungan sekitarnya seperti dunia mimpi, bukan dunia nyata. 3) Disorganisasi pikiran dan pembicaraan meliputi tidak runtutnya pola pembicaraan dan penggunaan bahasa yang tidak lazim pada orang dengan skizofrenia. Gangguan berpikir pada skizofrenia biasa disebut sebagai gangguan berpikir formal yang ditandai oleh kecenderungan untuk melompat dari satu topik ke topik lain ketika berbicara. Orang dengan skizofrenia seringkali menjawab dengan sedikit sekali hubungannya dengan pertanyaan yang diajukan.

17

Disorganisasi pikiran dan pembicaraan juga mencakup inkoherensi, neologisme, word salad, asosiasi bunyi, sampai pikiran bunuh diri. Inkoherensi adalah keadaan jalan pikiran yang kacau, tidak logis, ide yang satu dengan yang lainnya bercampur sehingga sulit dipahami maksudnya. Kata-kata yang saling bercampur tanpat hubungan itu disebut sebagai word salad. Neologisme adalah pembentukan kata-kata baru yang tidak bisa dipahami orang lain. Asosiasi bunyi adalah perkataan-perkataan yang mempunyai persamaan bunyi, misalnya Dog. Dog is snap. Leap. Heap, steep, creep, deep. 4) Disorganisasi perilaku meliputi aktivitas psikomotor yang tidak biasa dilakukan orang, misalnya berjalan maju mundur dengan cepat atau tiba-tiba berteriak yang dilakukan tanpa alasan yang jelas dan perilakunya tidak dapat diprediksi. Terdapat juga gejala hipoaktivitas atau hipokinesis yaitu gerakan atau aktivitas yang berkurang. Gerakan atau aktivitas dan reaksi terhadap lingkungan menjadi sangat lambat sehingga terlihat sama sekali tidak memperhatikan lingkungan dinamakan sub stupor katatonik. (Halgin dan Whitbourne, 1997; Veague, 2007; Wiramihardja, 2007; Baihaqi, dkk, 2007). b. Gejala kelainan negatif merupakan gejala yang hampir tidak pernah ditampilkan oleh manusia pada umumnya (Wiramihardja, 2007). Gejala kelainan negatif merupakan gejala seperti affective flattening, alogia dan avolition. 1) Affective flattening adalah suatu gejala dimana seseorang hanya menampakkan sedikit reaksi emosi terhadap stimulus, sedikitnya bahasa tubuh dan sangat sedikit melakukan kontak mata. Salah satu contohnya dinamakan blunted effect

18

yang berarti seseorang memberi respon emosi yang sangat minim, seperti tidak tertawa setelah mendengar sesuatu yang sangat lucu bagi banyak orang lain. Hal ini bukan berarti orang dengan skizofrenia kurang atau tidak merasakan emosi, orang dengan skizofrenia tetap saja merasakan emosi namun tidak mampu mengekspresikannya. Karena itu, orang yang merawat orang dengan skizofrenia harus menjadi sangat sensitif terhadap apa yang dirasakan oleh orang dengan skizofrenia. 2) Alogia adalah kurangnya kata pada seseorang sehingga dianggap tidak responsif dalam suatu pembicaraan. Orang dengan skizofrenia seringkali tidak memiliki inisiatif untuk berbicara kepada orang lain bahkan merasa takut berinteraksi dengan orang lain sehingga sering menarik diri dari lingkungan sosial. Jika ditanya secara langsung, orang dengan skizofrenia mungkin menjawab dengan singkat dan tidak berbobot. 3) Avolition adalah kurangnya inisiatif pada seseorang seakan-akan orang tersebut kehilangan energi untuk melakukan sesuatu. Orang dengan skizofrenia terlihat seperti orang yang kekurangan tenaga sehingga hanya mampu tidur dan makan. (Halgin dan Whitbourne, 1997; Veague, 2007; Wiramihardja, 2007).

5. Fase Skizofrenia Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual seperti yang diuraikan di bawah ini.

19

a.

Fase prodromal ditandai oleh timbulnya gejala-gejala skizofrenia yang tidak begitu spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum gejala psikotiknya menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi menurunnya fungsi sosial juga fungsi interpersonal pada seseorang seperti ketidakmampuan bekerja, mengurus kebersihan diri, respon emosional yang tidak sesuai, memunculkan pemikiran dan pembicaraan yang aneh, dan kurangnya inisiatif untuk melakukan sesuatu.

b.

Fase aktif ditandai oleh munculnya sedikitnya dua gejala positif seperti delusi, pembicaraan yang kacau, gangguan perilaku, dan gejala negatif seperti halusinasi kurangnya pembicaraan, inisiatif dan minat untuk hidup yang terjadi selama kurang lebih satu bulan.

c.

Fase residual ditandai oleh meunculnya gejala yang sama dengan fase prodormal namun gejala positifnya sudah berkurang. Disamping gejala gejala yang terjadi pada ketiga fase diatas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan atensi, konsentrasi, hubungan sosial (Nantingkaseh, 1997; Halgin dan Whitbourne, 1997).

6. Subtipe Skizofrenia Selain gejala kelainan, diagnosis skizofrenia pada seseorang biasanya diikuti oleh diagnosis subtipe skizofrenia. Subtipe skizofrenia ditentukan berdasarkan gejala-gejala skizofrenia yang muncul pada seseorang. Adapun subtipe

20

skizofrenia berdasarkan DSM-IV terdiri dari tipe paranoid, tipe disorganisasi, tipe katatonik, tipe residual dan tipe undifferentiated (Sternberg, 2001). a. Tipe paranoid. Tipe paranoid ditandai oleh gejala utama delusi dan atau halusinasi, tidak diikuti oleh gejala kelainan negatif sehingga masih mampu untuk berkomunikasi dengan jelas (Veague, 2007). Gejala delusi dan halusinasi pada tipe skizofrenia paranoid tampak mencolok, namun tidak disertai dengan disorganisasi perilaku dan pembicaraan yang terlihat dibanding dengan tipe skizofrenia yang lain. Delusi yang dialami orang dengan tipe paranoid seringkali berhubungan dengan tema penyiksaan dan grandiose (Wiramihardja, 2007). Orang dengan tipe paranoid mampu menceritakan dengan jelas dan terperinci mengenai delusi yang dialaminya dan mampu mengutarakan dengan jelas kesedihan dan nyeri yang mendalam yang diakibatkan oleh delusi penyiksaan (Nolen-Hoeksema dalam Wiramihardja, 2007). Di sisi lain orang dengan tipe paranoid seringkali mengalami masalah dalam berhubungan interpersonal karena mereka memiliki gaya berkomunikasi yang penuh kemarahan dan argumentatif (Halgin dan Whitbourne, 1997). b. Tipe disorganisasi. Tipe disorganisasi ditandai oleh disorganisasi psikologis. Orang dengan skizofrenia tipe disorganisasi dihubungkan dengan ciri-ciri seperti perilaku yang kacau, pembicaraan yang tidak nyambung, halusinasi yang jelas dan sering, ekspresi emosi yang datar atau tidak sesuai dengan keadaan, dan delusi yang sering memunculkan tema seksual atau religius.

21

Orang dengan tipe disorganisasi juga mengabaikan penampilan dan kebersihan mereka (Nevid dkk, 2005). c. Tipe katatonik. Tipe katatonik ditandai oleh hampir seluruh dari gejala negatif. Orang dengan tipe katatonik memunculkan perilaku mematung tidak bergerak dan fase kesadaran stupor (setengah sadar), sehingga anggota badannya seringkali kaku dan bengkak juga tampak tidak mempunyai kepedulian terhadap dunia luar (Sternberg, 2001). Orang dengan tipe ini terkadang menjadi sangat mudah bahkan secara otomatis mengikuti perintah atau perilaku dan perkataan orang lain (Budisantoso dalam Wiramihardja, 2007). d. Tipe residual. Tipe residual ditandai oleh gejala-gejala skizofrenia yang ringan yang jenis indikasinya tidak dapat diidentifikasi. Tipe ini ditujukan untuk orang yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia namun masih memunculkan beberapa gejala (Wiramihardja, 2007). e. Tipe undifferentiated. Tipe skizofrenia ini ditandai oleh gejala-gejala skizofrenia yang tidak dapat dikelompokan dalam kelompok skizofrenia lain (Sternberg, 2001). Terkadang ditemukan satu orang yang didiagnosis dua tipe skizofrenia sekaligus namun didiagnosis sebagai pengidap satu tipe skizofrenia saja. Sebagai contoh seseorang yang memiliki gejala tipe paranoid dan tipe disorganisasi akan didiagnosis sebagai tipe disorganisasi. Seseorang yang memiliki gejala tipe katatonik juga gejala tipe paranoid ataupun disorganisasi, orang tersebut akan didiagnosis sebagai tipe katanonik (Veague, 2007).

22

7. Penyebab Skizofrenia Penyebab munculnya skizofrenia terbagi menjadi beberapa pendekatan seperti pendekatan biologis, pendekatan psikodinamika, pendekatan belajar, dan pendekatan gabungan atau stress-vulnerability model. a. Pendekatan Biologis. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan biologis yang yang mencakup faktor genetik, struktur otak, dan proses biokimia sebagai penyebab skizofrenia (Kraeplin dalam Halgin dan Whitbourne, 1997). Faktor genetik dipercaya dapat menyebabkan skizofrenia berdasarkan penelitian keluarga di mana ditemukan hasil bahwa skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga (Erlenmeyer-Kimling dalam Nevid dkk, 2005). Keluarga tingkat pertama seperti orangtua atau saudara kandung dari orang dengan skizofrenia memiliki sepuluh kali lipat resiko yang lebih besar untuk mengidap skizofrenia dibandingkan anggota populasi umum (APA dalam Nevid dkk, 2005). Struktur otak yang tidak normal seperti pembesaran ventrikel otak diyakini menyebabkan tiga sampai empat orang yang mengalaminya menderita skizofrenia (Nevid dkk, 2005). Pembesaran ventrikel otak ini menyebabkan otak kehilangan sel-sel otak, sehingga otak akan mengecil ukurannya dibanding otak yang normal. Pendapat lain menyatakan bahwa skizofrenia dapat terjadi pada seseorang yang kehilangan jaringan otak yang bersifat degeneratif atau progresif, kegagalan otak untuk berkembang normal, dan juga karena infeksi virus pada otak ketika masa

23

kandungan (Nevid dkk, 2005). Dalam sudut pandang biokimia, skizofrenia dapat terjadi pada seseorang diakibatkan oleh peran neurotansmitter dopamine (dopamin) dalam otak. Teori dopamin ini menyatakan bahwa gejala-gejala skizofrenia diakibatkan karena terlalu banyaknya tingkat dopamin dalam otak terutama di sistem limbik dan frontal lobe (Wiramihardja, 2007). b. Pendekatan Belajar. Seperti pendekatan belajar dalam hal lainnya, pendekatan belajar untuk menjelaskan mengenai penyebab skizofrenia pun tidak lepas dari teori reinforcement (penguatan) dan operant conditioning (pengkondisian operan). Seseorang mengidap skizofrenia dianggap sebagai hasil dari pembelajaran atau modelling terhadap perilaku skizofrenik yang dianggap lebih banyak menghasilkan imbalan dibandingkan perilaku normal (Nevid dkk, 2005). Imbalan yang didapatkan dapat berupa perhatian lebih dari orang lain. Mungkin saja beberapa perilaku skizofrenik dapat dijelaskan melalui pendekatan belajar, namun banyak juga yang tidak dapat dijelaskan dengan pendekatan ini. c. Pendekatan Psikodinamika. Para ahli teori psikodinamika meyakini bahwa skizofrenia merupakan hasil dari banyaknya pengalaman negatif yang dialami orang dengan skizofrenia di masa kecilnya yang didapat dari ibu maupun caregiver lain. Freud menyatakan bahwa perlakuan ibu yang kasar dan sangat mendominasi akan menyebabkan anaknya mengalami regresi atau

kemunduran fungsi perkembangan sehingga ego anak menjadi tidak mampu

24

membedakan mana yang nyata dan tidak nyata (Wiramihardja, 2007). Penelitian yang berdasakan sudut pandang psikodinamika sekarang ini lebih menekankan kepada interaksi keluarga yang dapat menyebabkan atau mengurangi skziofrenia pada penderita. Interaksi keluarga yang berpengaruh pada orang dengan skziofrenia dapat berbentuk pola komunikasi dan ekspresi emosi. Penyimpangan komunikasi yang tinggi pada keluarga dianggap lebih mungkin mengembangkan skizofrenia pada seseorang daripada keluarga yang penyimpangan komunikasinya rendah (Goldstein dalam Wiramihardja, 2007). Ekspresi emosi keluarga yang kuat, terlalu melindungi anggota keluarga, suka mengkritik, menunjukkan sikap bermusuhan, dan memarahi anggota keluarga memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memunculkan kekambuhan psikosis pada anggota keluarga dibandingkan dengan keluarga yang tingkat ekspresi emosinya rendah (Wiramihardja, 2007). d. Stress-Vulnerability Model. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan gabungan dari seluruh pendekatan yang telah diuraikan sebelumnya. Pendekatan gabungan ini dikenal dengan nama Stress-Vulnerability Model yang diajukan oleh seorang psikolog bernama Paul Meehl. Pendekatan ini meyakini bahwa orang-orang tertentu yang memiliki kerentanan genetis terhadap skizofrenia akan memunculkan gejala skizofrenia jika mereka hidup dalam lingkungan yang penuh dengan stress. Terdapat beberapa bukti yang mendukung pendekatan ini. Bukti yang pertama adalah kecenderungan skizofrenia yang muncul pada masa remaja akhir atau dewasa awal di mana

25

pada masa-masa itu tekanan terhadap seseorang meningkat sehubungan dengan tantangan perkembangan seperti kemandirian dan peran baru dalam kehidupan (Nevid dkk, 2005). Bukti lain menunjukkan bahwa stress psikososial seperti kritik yang berulang-ulang dari anggota keluarga dapat meningkatkan resiko kambuhnya gejala skizofrenia pada seseorang (King dan Dixon dalam Nevid dkk, 2005).

B. Konsep Dasar Keluarga 1. Definisi Keluarga Dalam arti sempit, keluarga diartikan sebagai unit sosial yang terdiri atas dua orang (suami dan istri) atau lebih (suami, istri dan anak) berdasarkan ikatan pernikahan. Dalam arti luas, keluarga adalah unit sosial berdasarkan hubungan darah atau keturunan, yang terdiri atas beberapa keluarga dalam arti sempit (Syaripudin dan Kurniasih, 2008). Dalam referensi lain, Scharff dan Scharff mendefinisikan keluarga sebagai suatu sistem yang berisi sejumlah relasi yang berfungsi secara unik (Arif, 2006). Di dalam keluarga terjadi relasi antar individu dan individu yang saling berkaitan, sehingga apabila sesuatu terjadi pada anggota keluarga dampaknya akan mengenai seluruh anggota keluarga yang lain. Begitu pula apabila seorang anggota keluarga mengidap skizofrenia (Arif, 2006). Burgess (Setiawati dan Dermawan, 2008) memberikan rincian mengenai definisi keluarga, yaitu seperti di bawah ini.

26

a.

Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan adopsi.

b.

Anggota keluarga tinggal bersama-sama dalam satu rumah tangga atau jika mereka hidup terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.

c.

Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peranperan sosial keluarga seperti peran suami-istri, ayah-ibu, anak laki-laki dan perempuan.

d.

Keluarga menggunakan kultur yang sama yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka keluarga dapat diartikan sebagai

orang-orang yang berkumpul karena satu ikatan perkawinan, ikatan darah, maupun ikatan adopsi yang umumnya tinggal dalam rumah yang sama dan orang-orang tersebut saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan cara yang unik.

2. Struktur Keluarga Friedman (Setiawati dan Dermawan, 2008) menyatakan bahwa setiap keluarga memiliki elemen struktur seperti di bawah ini. a. Struktur Peran Keluarga. Struktur peran keluarga menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga baik di dalam lingkungan keluarga maupun peran di masyarakat.

27

b.

Nilai atau Norma Keluarga. Nilai atau norma keluarga menggambarkan nilai dan norma yang berlaku di dalam satu keluarga.

c.

Pola Komunikasi Keluarga. Pola komunikasi keluarga menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi diantara suami-istri, orang tua-anak, dan anggota keluarga lain.

d.

Struktur Kekuatan Keluarga. Struktur kekuatan keluarga maksudnya adalah menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk mengendalikan atau mempengaruhi orang lain dalam mengubah perilaku ke arah positif.

2. Jenis Keluarga Kamanto Sunarto (Syaripudin dan Kurniasih, 2008) membagi keluarga menjadi berbagai jenis berdasarkan keanggotaan, garis keturunan, pemegang kekuasaan, bentuk perkawinan, status sosial ekonomi, dan keutuhan. Berdasarkan keanggotannya, keluarga dibagi menjadi keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga batih merupakan keluarga terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, sedangkan keluarga luas merupakan keluarga yang terdiri atas beberapa keluarga batih. Berdasarkan garis keturunannya, keluarga terbagi menjadi tiga jenis. Yang pertama adalah keluarga patrilineal yaitu keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak ayah. Yang kedua adalah keluarga matrilineal di mana garis keturunan diambil dari pihak ibu. Yang ketiga adalah keluarga bilateral yaitu keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak ayah atau ibu.

28

Berdasarkan pemegang kekuasaan, keluarga dibagi menjadi keluarga patriarchal yang dominasi kekuasaannya dipegang ayah, keluarga matriarchal yang dominasi keluarganya dipegang ibu, dan keluarga equalitarian di mana ayah dan ibu memiliki dominasi kekuasaan yang sama. Berdasarkan bentuk perkawinannya, keluarga dibagi menjadi tiga jenis. Keluarga monogami yaitu keluarga yang didasari oleh pernikahan antara satu lakilaki dan satu perempuan. Keluarga poligami yaitu keluarga yang didasari oleh pernikahan antara satu laki-laki dan lebih dari satu perempuan. Keluarga poliandri yaitu keluarga yang didasari oleh pernikahan antara satu perempuan dengan lebih dari satu laki-laki. Berdasarkan status sosial ekonominya, keluarga dibedakan menjadi golongan rendah, menengah, dan tinggi. Berdasarkan keutuhannya, keluarga dibagi menjadi keluarga utuh, keluarga pecah atau bercerai, dan keluarga pecah semu yaitu keluarga yang hubungan antar anggotanya sudah tidak harmonis.

3. Fungsi Keluarga Fungsi keluarga menurut Friedman (Setiawati dan Dermawan, 2008) diantaranya mencakup aspek-aspek seperti fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi perawatan kesehatan seperti yang diuraikan di bawah ini.

29

a. Fungsi Afektif. Fungsi afektif berkaitan dengan perilaku saling mengasihi, saling mendukung, dan saling menghargai antara anggota keluarga. b. Fungsi Sosialisasi. Fungsi ini mengembangkan proses interaksi dalam keluarga dan sebagai fasilitas untuk belajar bersosialisasi. c. Fungsi Reproduksi. Fungsi reproduksi menghasilkan keturunan. d. Fungsi Ekonomi. Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi seluruh kebutuhan sandang, pangan dan papan anggota keluarga. e. Fungsi Perawatan Kesehatan. Fungsi keluarga sebagai fungsi perawatan kesehatan adalah untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang memiliki masalah kesehatan. adalah fungsi keluarga untuk

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Keluarga Berkaitan dengan fungsi keluarga sebagai perawatan kesehatan, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan keluarga (Setiawati dan Dermawan, 2008). Faktor-faktor tersebut adalah seperti di bawah ini. a. Faktor Fisik. Faktor fisik berkaitan dengan perubahan pola makan, pola istirahat, maupun pola olahraga yang berubah seiring berjalannya pernikahan antara dua orang. b. Faktor Psikis. Faktor psikis yang mendasari hubungan antar anggota keluarga akan mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga. Perasaan nyaman, tentram,

30

dan saling mendukung akan membawa dampak positif bagi kesehatan anggota keluarga. c. Faktor Sosial Ekonomi. Hubungan faktor sosial dengan tingkat kesehatan keluarga akan sangat tampak pada tingkat sosial ekonomi keluarga. Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah kemungkinan tidak akan memprioritaskan masalah kesehatan. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa skizofrenia pada seseorang biasanya berkembang dalam keluarga yang status sosial ekonominya rendah (Veague, 2007). d. Faktor Budaya. Faktor budaya terdiri dari beberapa aspek di bawah ini.

1) Keyakinan dan praktek kesehatan. Keyakinan suatu keluarga terhadap fungi kesehatan akan sangat dipengaruhi oleh nilai dan keyakinan yang dimiliki sebelumnya. Terdapat keyakinan-keyakinan budaya mengenai kesehatan yang mungkin bertolak-belakang dengan teori kesehatan yang seharusnya. 2) Nilai-nilai keluarga. Nilai keluarga terhadap kesehatan akan mempengaruhi kesehatan keluarga yang bersangkutan. 3) Peran dan pola komunikasi keluarga. Dampak budaya juga akan terasa dalam aspek komunikasi, misalnya ketika terjadi pergeseran peran anggota keluarga dan aturan dalam berkomunikasi. 4) Koping keluarga. Koping diartikan sebagai respon positif baik kognitif, afektif, maupun psikomotor dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam keluarga. Koping keluarga ini juga akan sangat dipengaruhi oleh budaya. 5. Interaksi Keluarga Dalam Rentang Sehat dan Sakit

31

Friedman (Setiawati dan Dermawan, 2008) merumuskan mengenai upayaupaya yang dilakukan keluarga ketika ada salah satu anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Upaya-upaya tersebut adalah seperti di bawah ini. a. Upaya keluarga dalam peningkatan kesehatan. Kegiatan peningkatan kesehatan dimulai dari keluarga. Contoh-contoh yang diberikan orangtua kepada anakanaknya dalam menjaga kesehatan akan menjadi dasar yang paling penting bagi pembentukan pentingnya fungsi kesehatan pada anak. b. Penaksiran keluarga terhadap gejala-gejala sakit. Tahapan ini dimulai ketika ada salah satu anggota keluarga yang menunjukkan gejala gangguan kesehatan. Anggota keluarga lain sangat berperan untuk mengenali gejala-gejala tersebut, namun hal ini sangat tergantung kepada pengetahuan dan tingkat sosial ekonomi keluarga. c. Pencarian perawatan. Tahapan ini terjadi ketika anggota keluarga mengetahui gejala penyakit anggota keluarga lain dan berupaya untuk mencari pengobatan. Tahapan ini seharusnya diputuskan oleh keluarga dengan cepat untuk menghindari semakin parahnya penyakit anggota keluarga. d. Perolehan perawatan dan rujukan ke pelayanan kesehatan. Tahap ini terjadi ketika keluarga sudah menemukan tempat untuk merawat atau anggota keluarga dengan masalah kesehatan. e. Respon akut terhadap penyakit oleh pasien dan keluarga. Respon akut ini berkaitan dengan perubahan peran yang mungkin terjadi ketika ada anggota mengobati

32

keluarga yang sakit dan tidak mampu menjalani peran dalam keluarga maupun masyarakat. f. Adaptasi terhadap penyakit dan kesembuhan. Tahap ini membutuhkan koping dari keluarga dan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan dimana ada anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

6.

Beban Keluarga dengan Anggota Keluarga Skizofrenia Skizofrenia bukan hanya mempengaruhi individu saja, tapi juga

mempengaruhi keluarga yang merawatnya (Sunberg dkk, 2002). Gejala kelainan anggota keluarga dengan skizofrenia dapat membebani anggota keluarga lain. Beban itu antara lain sebagai berikut (Torrey dalam Sunberg dkk, 2002): a) ketidakmampuan anggota keluarga dengan skizofrenia merawat diri sendiri; b). ketidakmampuan menangani keuangan; c) menarik diri dari kehidupan sosial; d) kebiasaan-kebiasaan diri yang aneh; e) ancaman bunuh diri; f) gangguan pada kehidupan keluarga seperti pekerjaan, sekolah, jadwal sosial, dll; g) ketakutan akan keselamatan pasien maupun anggota keluarga; h) malu dan menyalahkan diri. 7. Peran Keluarga terhadap Anggota Keluarga Skizofrenia Peran keluarga terhadap anggota keluarga dapat menjadi salah satu dari banyak faktor penyebab skizofrenia. Faktor psikologis seperti komunikasi, interaksi, ekspresi emosi dalam keluarga dikatakan berkontribusi pada

perkembangan skizofrenia pada seseorang (Mueser dan Gingerich, 2006). Permasalahan dalam komunikasi merupakan sesuatu yang umum ditemukan pada

33

keluarga ketika ada anggota keluarga yang mengidap skizofrenia (Mueser dan Gingerich, 2006). Keluarga dari orang dengan skizofrenia menunjukkan tingkat penyimpangan komunikasi yang lebih tinggi daripada keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia (Miklowitz dalam Nevid dkk, 2005; Singer dan Wynne dalam Wiramihardja, 2007). Penyimpangan komunikasi meliputi gaya komunikasi yang samar-samar, salah persepsi, salah interpretasi, penggunaan katakata yang ganjil dan tidak tepat, tidak utuh, kacau dan terpecah-pecah (Singer dan Wynne dalam Wiramihardja, 2007). Peneliti pada Medical Research Councils Social Psychiatry Unit di London mengadakan penelitian yang hasilnya menyimpulkan bahwa pasien yang tinggal bersama keluarga yang penuh kritik atau menggunakan kalimat yang berbelit-belit ketika berkomunikasi lebih sering kambuh (Kuipers dkk, 2002). Keluarga yang menggunakan komunikasi yang menyimpang terhadap anggota keluarga skizofrenia dapat mengganggu kemajuan proses penyembuhan pasien dan berhubungan dengan munculnya kekambuhan pada pasien skizofrenia (Fawcett, 1993). C. Konsep Dasar Komunikasi 1. Definisi Komunikasi Komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu communis yang berarti membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih, sedangkan menurut Cherry komunikasi berasal dari kata communico yang artinya membagi (Nasir dkk, 2009). Book (Robbins dalam Nasir, 2009: 3) menguraikan definisi komunikasi sebagai berikut:

34

Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan cara membangun hubungan antarsesama melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.

Roger (Stuart dalam Nasir, 2009) menyatakan bahwa hakikat dari komunikasi adalah suatu hubungan yang dapat menimbulkan perubahan sikap dan tingkah laku seseorang dan memunculkan kebersamaan antara orang-orang yang melakukan komunikasi. Menurut Nasir (2009) komunikasi adalah penyampaian informasi tatap muka yang mencakup ide, perasaan, makna, pikiran yang diberikan pemberi pesan kepada penerima pesan dengan harapan penerima pesan akan menggunakan informasi tersebut untuk mengubah sikap dan perilakunya. Dapat disimpulkan bahwa definisi komunikasi adalah interaksi antara dua orang atau lebih untuk menyampaikan informasi berupa ide, perasaan, pikiran dari pemberi kepada penerima pesan dengan tujuan untuk menguatkan atau mengubah sikap dan perilaku orang-orang yang terlibat dalam komunikasi.

2.

Unsur Komunikasi Komunikasi baru akan terjadi jika mengandung unsur-unsur tertentu. Unsur-

unsur komunikasi menurut Nasir (2009) adalah pengirim, pesan, media, penerima, dan efek. a. Pengirim Pesan atau Sumber. Pengirim pesan merupakan aspek utama terjadinya suatu komunikasi, karena pengirim pesan adalah pihak yang memulai terjadinya

35

suatu komunikasi. Pengirim pesan juga disebut sebagai sumber karena pengirim pesan merupakan awal munculnya informasi yang diberikan dalam komunikasi. b. Pesan atau Informasi. Pesan merupakan segala sesuatu yang disampaikan oleh pengirim kepada penerima pesan. Maksud dari segala sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya adalah pesan dapat berbentuk kata-kata lisan maupun tulisan, gambar, angka, benda, tingkah laku, maupun ekspresi wajah. Seluruh bentuk pesan itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi berupa ide, gagasan, sikap, perasaan, atau pemikiran. c. Media. Media adalah sarana yang digunakan pengirim pesan untuk menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Media penyampai pesan yang paling dasar adalah pancaindera, sehingga seorang pengirim pesan bertindak sebagai sumber sekaligus sebagai media. Media komunikasi lain dapat berupa media cetak maupun media elektronik. Seorang pengirim pesan harus mampu menentukan media apa yang sesuai untuk digunakan dalam menyampaikan pesan agar penerima pesan dapat memahami pesan dengan baik. d. Penerima Pesan. Penerima pesan merupakan sasaran pengirim pesan. Berhasilnya penerimaan pesan oleh penerima tergantung pada keterampilan pengirim pesan. Pengirim pesan harus mengenali penerima pesan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pengirim pesan seperti karakteristik penerima pesan, budaya, teknik atau cara penyampaian pesan, tingkat pemahaman penerima, waktu, lingkungan fisik dan psikologis, serta tingkat kebutuhan.

36

e.

Efek atau Pengaruh. Pengaruh dalam komunikasi adalah munculnya perbedaan pemikiran, perasaan, tingkah laku penerima pesan sebelum dan sesudah menerima pesan. Perubahan sikap atau perilaku penerima pesan yang sesuai dengan isi pesan merupakan tujuan dari komunikasi.

3.

Fungsi Komunikasi Fungsi psikologis dari komunikasi menurut Nasir (2009) adalah sebagai

berikut: a) membangun konsep diri; b) memunculkan eksistensi diri; c) menjaga kelangsungan hidup; d) memperoleh kebahagiaan, e) terhindar dari tekanan dan ketegangan.

4.

Tujuan Komunikasi Tujuan utama komunikasi adalah untuk menciptakan pemahaman bersama,

namun juga terdapat beberapa tujuan komunikasi yang lebih khusus. Tujuan komunikasi menurut Nasir (2009) dapat diuraikan seperti di bawah ini. a. Perubahan Sikap. Tujuan komunikasi telah tercapai ketika penerima pesan berubah sikapnya, baik itu perubahan positif maupun negatif. b. Perubahan Pendapat. Komunikasi dilakukan untuk menciptakan pemahaman antara dua orang atau lebih yang melakukan komunikasi. Pemahaman penerima atas pesan yang disampaikan akan menimbulkan kemungkinan perubahan pendapat dari penerima pesan.

37

c. Perubahan Perilaku. Komunikasi bertujuan untuk mengubah perilaku seseorang, dari perilaku negatif menjadi positif maupun sebaliknya. d. Perubahan Sosial. Komunikasi yang dilakukan juga memungkinkan terjadinya perubahan sikap, pendapat, perilaku banyak orang sekaligus. Misalnya komunikasi yang dilakukan media massa dapat mempengaruhi pola berpikir masyarakat.

5. Faktor Penghambat Komunikasi Penyampaian informasi dalam komunikasi akan terganggu bila hal-hal di bawah ini tidak mampu diatasi oleh para pelaku komunikasi. a. Status Sosial. Status sosial yang berbeda antara pengirim dan penerima pesan akan menimbulkan gangguan pada proses komunikasi. Komunikasi yang seseorang lakukan dengan temannya dan komunikasi yang dilakukan dengan orang yang baru dikenal akan berbeda. Ketika berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal, seseorang harus mengenali latar belakang orang yang diajak berkomunikasi tersebut. Baik latar belakang pendidikan, pekerjaan, agama, bahkan ideologinya. Dengan mengetahui latar belakang orang yang akan diajak berkomunikasi, hambatan ketika berkomunikasi akan berkurang. b. Status Psikologis. Status psikologis seperti kondisi marah, kecewa, cemas, bingung akan menghambat jalannya komunikasi yang efektif. Seorang pengirim pesan harus mempersiapkan kondisi psikologisnya sebelum menyampaikan pesan kepada penerima.

38

c. Sosial Budaya. Sama seperti status sosial, latar belakang budaya, ras, norma, kebiasaan penerima harus dipertimbangkan terlebih dahulu oleh pengirim pesan. Hal tersebut penting untuk dilakukan pengirim pesan agar proses pengiriman pesan dapat berjalan secara efektif dan penerimaan pesan dapat diterima dengan baik oleh penerima. d. Prasangka. Prasangka adalah sikap atau perasaan seseorang terhadap orang lain yang berbeda latar belakangnya (Gerungan, 2004). Prasangka yang ada dalam diri seseorang sebelum berkomunikasi akan mengaburkan logika, menyebabkan penilaian tidak lagi objektif hanya fokus kepada hal-hal yang negatif. Prasangka dapat muncul dari tidak sempurnanya pengetahuan mengenai status sosial budaya dari lawan bicara atau komunikasinya. e. Hambatan Semantik. Hambatan ini disebabkan karena bahasa yang digunakan pengirim pesan tidak dapat dipahami atau menimbulkan persepsi lain dari penerima pesan. Hambatan ini tidak hanya muncul dari bahasa lisan saja, tetapi juga dari bahasa nonverbal. Bahasa nonverbal juga dapat menyebabkan kesalahan dalam mengartikannya atau mempersepsikannya sehingga dapat menyebabkan miskomunikasi. f. Hambatan Mekanis. Hambatan mekanis adalah hambatan yang muncul ketika terjadi gangguan pada saluran atau media pesan. Hambatan ini seringkali muncul ketika komunikasi dilakukan melalui alat komunikasi seperti telepon.

39

g. Lingkungan. Hambatan lingkungan dapat muncul ketika lingkungan sekitar tidak kondusif untuk dilakukannya komunikasi. Misalnya lingkungan sekitar terlalu berisik atau banyak gangguan (Nasir, 2009).

6. Jenis Komunikasi Komunikasi berdasarkan jenisnya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang pertama adalah komunikasi verbal, yang kedua adalah komunikasi nonverbal. a. Komunikasi Verbal Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan kata-kata, bahasa secara lisan. Melalui bahasa, seseorang dapat mengungkapkan perasaan, ide, kesan dan respon emosional secara berstruktur sehingga memiliki arti (Nasir, 2009). Komunikasi verbal membutuhkan fungsi fisiologis dan mekanisme kognitif sehingga mampu merangkai kata-kata dalam berbicara (Nurjannah dalam Nasir, 2009). Di bawah ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi verbal yang efektif (Nasir, 2009). 1) Jelas dan Ringkas. Komunikasi yang efektif haruslah sederhana, pendek, dan langsung. Hal ini disebabkan semakin sedikit kata-kata yang digunakan, semakin memperkecil munculnya kerancuan pemahaman pada penerima pesan. Kejelasan pembicaraan dapat didapatkan dengan berbicara lambat dan jelas.

40

2) Perbendaharaan Kata. Komunikasi tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu menyesuaikan bahasa yang digunakannya dengan tingkat pemahaman dan intelektual penerima pesan. 3) Arti Denotatif dan Konotatif. Arti denotatif adalah memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif berarti pikiran, perasaan, ide yang terdapat dalam kata-kata secara tidak langsung. 4) Selaan dan Kesempatan Bicara. Kecepatan dan selaan juga menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Perkataan yang cepat dapat membuat katakata yang diucapkan tidak jelas. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat ke topik pembicaraan lain menimbulkan kecurigaan pada penerima bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Selaan dapat dilakukan ketika menekankan kepada hal tertentu, menunggu respon penerima, memikirkan apa yang akan dikatakan selanjutnya, maupun untuk menyimak isyarat nonverbal dari penerima pesan. 5) Waktu dan Relevansi. Waktu yang tepat ketika mengkomunikasikan sesuatu juga mempengaruhi keberhasilan komunikasi. Pengirim pesan harus dapat menentukan waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu kepada penerima pesan dengan memperhatikan situasi dan kondisi fisik maupun psikis. 6) Humor. Humor menjadi penting dalam komunikasi untuk mengurangi rasa tegang atau rasa sakit, dan juga dapat meningkatkan keberhasilan dalam memberikan dukungan sosial. b. Komunikasi Nonverbal

41

Komunikasi nonverbal adalah proses pemindahan atau penyampaian pesan tanpa menggunakan kata-kata. Pesan nonverbal merupakan cara yang paling efektif dalam meyakinkan seseorang. Apabila terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan dan apa yang diperbuat, orang cenderung lebih mempercayai hal-hal yang bersifat nonverbal (Nasir, 2009). Terdapat beberapa tujuan dari penggunaan komunikasi nonverbal, yakni: 1) meyakinkan apa yang diucapkan (repetition); 2) menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata (substitution); 3) menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa mengenalinya (identity); 4) menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan belum sempurna (Nasir, 2009). Nasir (2009) lebih lanjut menjelaskan mengenai hal-hal yang dapat diamati dalam komunikasi nonverbal. 1) Metakomunikasi. Yang dimaksud metakomunikasi adalah sifat hubungan antara yang berbicara, seperti pesan di dalam pesan. Hal ini dapat diamati pada orang yang tersenyum ketika marah. 2) Penampilan personal. Penampilan merupakan hal pertama yang diamati pada komunikasi. Kesan pertama terhadap seseorang diciptakan 20 sampai 4 menit pertama pertemuan, dan 84% kesan terhadap seseorang didasarkan atas penampilannya. 3) Paralanguage. Hal ini berkaitan dengan nada suara pembicara yang mencerminkan emosi dari pembicara, namun perbedaan budaya antar

42

pembicara dan penerima seringkali berbeda sehingga berakhir pada kesalah pahaman. Suara keras dan nada tinggi yang biasa digunakan etnik tertentu akan dianggap sebagai ungkapan emosi oleh etnik lain. 4) Gerakan mata. Gerakan mata berhubungan dengan kontak mata yang digunakan dalam berkomunikasi dan akan mempengaruhi proses penerimaan pesan. 5) Kinesik. Kinesik berkaitan dengan gerakan tubuh yang menggambarkan sikap, emosi, konsep diri dan keadan fisik. 6) Sentuhan. Kasih sayang, dukungan sosial, dan perhatian dapat disampaikan melalui sentuhan. George K. Gazda (Surya, 2009) merumuskan mengenai aspek-aspek perilaku nonverbal seperti berikut: 1) Perilaku komunikasi nonverbal dengan menggunakan waktu terdiri dari. a) Rekognisi (pengenalan atau pengakuan): ketepatan maupun keterlambatan waktu dalam mengenal kehadiran orang lain atau dalam memberikan respon terhadap stimulus yang orang berikan. b) Prioritas: sejumlah waktu yang digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang dan sejumlah waktu yang relatif yang digunakan untuk topik-topik pembicaraan yang berbeda. 2) Perilaku komunikasi nonverbal dengan menggunakan badan terdiri dari.

43

a) Kontak mata (dalam mengatur hubungan): melihat kepada objek yang spesifik, melihat ke bawah, menatap orang lain, menyorotkan pandangan dengan tajam, mengalihkan mata dari satu objek ke objek yang lain, melihat orang lain tapi segera berpaling bila terlihat, menutup mata dengan tangan, berulang-ulang memandang orang lain. 3) Mata: berkilauan, meneteskan air mata, membelalak, posisi kelopak mata. 4) Kulit: pucat, berkeringat, kemerah-merahan, tegak bulu roma. 5) Postur tubuh (sering menunjukkan kewaspadaan atau keletihan): bersemangat, siap untuk melakukan aktivitas, membungkuk, kumal, nampak letih, merosot, tangan bersilang di depan seperti melindungi diri, menyilangkan kaki, duduk menghadap atau menyamping menghindari, mengangkat kepala, melihat ke lantai, menundukkan kepala, posisi tubuh untuk menghindari orang lain untuk bersama dalam kelompok. 6) Ekspresi wajah dalam menampilkan perasaan: tidak ada perubahan, mengerutkan dahi, mengerutkan hidung, senyum, tertawa, mulut yang sedih, menggigit bibir. 7) Tangan dan isyarat bahu: tangan simbolik dan isyarat bahu, isyarat tangan dan bahu menunjukkan ukuran atau bentuk, menunjukkan bagaimana seseuatu terjadi atau bagaimana melakukan sesuatu. 8) Perilaku membebani atau menyakiti diri: menggigit kuku, menggaruk-garuk, menekan ibu jari, menarik rambut, menggosok atau memukulkan tangan.

44

9) Perilaku repetitif (sebagai tanda kepanikan): menghentakan kaki atau memukul-mukul dengan jari, berjalan bolak-balik, mempermainkan kancing, rambut atau baju. 10) Petunjuk dan perintah: menyembunyikan jari, meletakkan jari di bibir untuk menyuruh diam, membeberkan jari menunjukkan ketidaksetujuan, mengangkat bahu, melambaikan tangan, mengangguk dalam pengenalan, mengedipkan mata, mengangguk tanda setuju, menggeleng tanda tidak setuju. 11) Sentuhan: ketukan pada bahu untuk mendapat perhatian, penuh kasih sayang atau penawaran, hal-hal yang bersifat seksual, menantang seperti memukul dada, simbol persahabatan seperti menepuk punggung, meremehkan seperti sentuhan di kepala. 12) Penampilan serba rapi dan bagus: derajat kebersihan, keharuman, dandanan, warna dan penataan rambut. 13) Perilaku komunikasi nonverbal dengan menggunakan media vokal terdiri dari. a) Tekanan suara: datar, monoton, tanpa perasaan, terang, gamblang dalam perubahan nada suara, kuat, meyakinkan, mantap, lemah, ragu-ragu, gemetar, terpatah-patah, bimbang. b) Kecepatan berbicara: cepat, sedang, lambat. c) Kekerasan suara: keras, sedang , lembut. d) Gaya berbicara: tertib atau sembrono, keragaman regional, keajegan gaya bicara. 14) Perilaku komunikasi nonverbal dengan menggunakan lingkungan terdiri dari.

45

a) Jarak: menjauh apabila yang lain mendekat, mendekati apabila yang lain menjauh, mengambil inisiatif dalam mendekat atau menjauh, membuat jarak secara bertahap semakin meluas, membuat jarak secara bertahap semakin menyempit. b) Pengaturan penataan fisik: rapi, tersusun rapi, tertata dengan baik, berantakan, sembarangan, tidak terpelihara, biasa atau formal, warna yang hangat atau dingin, bahan-bahan yang lembut atau keras, susunan teratur rapi atau beraneka ragam, menyenangkan dan hidup atau membosankan dan kotor, selera menyenangkan atau tidak berharga, mahal, mewah atau sederhana. c) Pakaian: tebal atau tipis, bergaya atau biasa-biasa saja. d) Posisi dalam ruangan: melindungi posisi sendiri dengan objek tertentu seperti kursi, meja antara diri sendiri dan orang lain, mengambil posisi yang terbuka dan bebas, seperti berada pada posisi di tengah ruangan, kursi-kursi yang tanpa penghalang, mengambil posisi yang berhadapan atau menguasai, perpindahan dalam ruangan, bergerak keluar masuk ke dalam wilayah orang lain, berdiri apabila orang lain duduk, atau mengambil posisi yang lebih tinggi dari orang lain.

7. Tingkat Komunikasi Komunikasi terdiri dari beberapa tingkat tergantung kepada perbedaan unsur-unsur komunikasi yang terlibat di dalamnya. Tipe-tipe komunikasi yang dirumuskan Potter dan Perry (Nasir, 2009) diantaranya adalah sebagai berikut.

46

a. Komunikasi Intrapersonal. Komunikasi intrapersonal merupakan komunikasi yang dilakukan pada diri sendiri, komunikasi ini terdiri dari sensasi, memori, dan berpikir (Rahmad dalam Nasir, 2009). Komunikasi ini dapat menjadi pemacu tipe komunikasi yang lainnya. b. Komunikasi Interpersonal. Komunikasi interpersonal merupakan proses pemberian dan penerimaan pesan antara dua atau di antara orang-orang dalam kelompok kecil, baik melalui satu saluran maupun lebih, dengan melibatkan beberapa pengaruh dan umpan balik (Surya, 2009). Elemen utama dalam komunikasi interpersonal adalah pemberi pesan, pesan, dan penerima pesan (Rosenbaum, 2005). Komunikasi interpersonal yang efektif harus didasarkan oleh hubungan interpersonal yang efektif. Hubungan interpersonal yang efektif ditandai dengan beberapa kondisi seperti: bertemu satu sama lain secara personal, empati secara tepat terhadap orang lain, menghargai satu sama lain menghayati pengalaman satu sama lain menjada keterbukaan dan iklim yang mendukung, dan memperlihatkan perilaku percaya dan memperkuat perasaan aman satu sama lain (Nasir dkk, 2009). Kualitas komunikasi juga sangat bergantung kepada kemampuan komunikator. Kemampuan komunikator dalam hubungan interpersonal terkait dengan kecerdasan interpersonal pada komunikator. Teori mengenai kecerdasan interpersonal dikemukakan oleh Howard Gardner. Kecerdasan interpersonal mencakup kepekaan seseorang dalam membedakan dan merespon perilaku yang ditampakkan orang lain, kemampuan menggerakan dan berkomunikasi dengan orang lain, bekerjasama

47

dengan orang lain, kemampuan dalam mempersepsikan dan membedakan motivasi dan perasaan dari ekspresi wajah, gerak tubuh, maupun intonasi bicara seseorang (Rahardjo, 2009). c. Komunikasi Publik. Komunikasi publik merupakan komunikasi yang dilakukan oleh pembicara di hadapan banyak orang dengan tujuan memberi informasi, mendidik, atau mengajak (Cangara dalam Nasir, 2009). Pada komunikasi ini jarang sekali ditemukan umpan balik dari penerima pesan.

8.

Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik merupakan bagian dari komunikasi interpersonal.

Terapeutik

diartikan

sebagai

segala

sesuatu

yang

memfasilitasi

proses

penyembuhan (Damaiyanti, 2008). Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan untuk membantu penyembuhan atau pemulihan pasien (Damaiyanti, 2008).

9. Komunikasi Terapeutik Keluarga Terhadap Anggota Keluarga dengan Skizofrenia Di bawah ini terdapat beberapa cara komunikasi yang harus diperhatikan anggota keluarga ketika berkomunikasi dengan anggota keluarga skizofrenia (Mueser dan Gingerich, 2006). a. Berbicara langsung kepada intinya. Karena orang dengan skizofrenia seringkali sulit mengikuti pembicaraan sehingga lebih baik berbicara langsung pada

48

intinya dan berbicara mengenai satu topik dalam satu waktu. Berbicara dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami. b. Sampaikan perasaan secara langsung. Sampaikan perasaan baik itu positif maupun negatif langsung secara verbal. Gunakan kata ganti orang pertama (saya) ketika menyatakan perasaan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Karena orang dengan skizofrenia mengalami kesulitan untuk mengenali perbedaan emosi negatif seperti kecemasan, kemarahan dan depresi dari nada suara dan ekspresi wajah. c. Ekspresikan kekesalan secara konstruktif. Ekspresikan kekesalan dengan memfokuskan kepada perilaku anggota keluarga dengan skizofrenia yang spesifik, bukan kepada aspek kepribadiannya atau karakternya yang memang sulit diubah. Hindari cara berbicara yang kasar, nada tinggi atau berteriak dan penuh kritik. d. Memberikan banyak pujian atau feedback positif. Orang dengan skizofrenia seringkali merasa bahwa dia tidak pernah melakukan sedikitpun hal yang benar, karena itu berikan pujian ketika dia melakukan hal yang baik sehingga dia bisa mengetahui bahwa dia bisa melakukan kemajuan. e. Membuat permintaan positif. Permintaan terkadang diterima sebagai omelan atau tuntutan, terutama bagi orang dengan skizofrenia yang sangat sensitif dengan kritikan dan tekanan. Karena itu membuat pernyataan permintaan dengan spesifik, singkat dengan suara yang tenang dan menyenangkan. Gunakan kata-kata yang sopan seperti tolong atau bisakah.

49

f. Memeriksa apa yang orang lain rasakan atau katakan. Dengarkan dan simak dengan baik apa yang dibicarakan anggota keluarga dengan skizofrenia jika ada yang belum dipahami ulang kembali pernyataannya atau tanyakan kembali. Hindari menebak perasaan anggota keluarga dengan skizofrenia, lebih baik menanyakan langsung apa yang dirasakannya. Mengkonfirmasi apa yang sudah dikatakan anggota keluarga dengan skizofrenia. g. Istirahat dari situasi yang menimbulkan stress. Ketika berinteraksi dengan anggota keluarga dengan skizofrenia terkadang ada situasi stress dan emosional, hindari menetap dalam situasi seperti itu dengan cara mengusukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut nanti setelah meninggalkan tempat tersebut dan merasa tenang. Tidak berbicara ketika diri masih dikuasai emosi negatif seperti rasa marah atau kesal. Selain aturan dasar bagi anggota keluarga untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga dengan skizofrenia, terdapat beberapa penyimpangan komunikasi yang biasa dilakukan keluarga seperti: 1) pernyataan memaksa, misalnya menggunakan kata harus; 2) memadukan pernyataan positif dan negatif secara bersamaan; 3) berbicara sebagai orang lain, misalnya menggunakan kata ganti kami; 4) membaca pikiran; 5) menggunakan kritikan; 6) mengungkit kesalahan di masa lalu; 7) generalisasi berlebihan; 8) membantah delusi; 9) membicarakan banyak permasalahan dalam satu waktu; 10) menampilkan isyarat verbal dan nonverbal secara tidak konsisten (Mueser dan Gingerich, 2006).

50

Di bawah ini terdapat tabel yang menggambarkan mengenai contoh-contoh pernyataan yang sebaiknya digunakan dan tidak digunakan anggota keluarga. Tabel 2.1 Contoh Penyataan Keluarga yang Menyimpang dan Pernyataan Alternatif
Masalah Komunikasi Contoh Pernyataan Bermasalah Contoh Pernyataan Alternatif Kamu harus tahu kapan Saya akan berterimakasih jika waktunya untuk mengeluarkan kamu mau mengeluarkan sampah sampah setiap malam baju

Pernyataan memaksa

Memadukan pernyataan Penampilanmu tampak bagus Saya sangat menyukai positif dan negatif secara hari ini, tapi kenapa kamu yangkamu pakai hari ini bersamaan memakai sepatu itu?

Berbicara sebagai orang lain, misalnya Kami perhatikan kamu terlalu Saya perhatikan kamu banyak tidur menggunakan kata ganti banyak tidur akhir-akhir ini akhir-akhir ini kami Membaca pikiran Kamu marah pada saya Kamu terlihat marah. Apa kamu memang merasa marah? Saya merasa kesal ketika saya melihat bajumu ada di ruang tamu. Saya akan merasa berterimakasih jika kamu mau membawanya ke kamarmu Saya kecewa kamu tidak merencanakan untuk makan bersama di hari raya tahun ini Apa ada yang bisa kami bantu untuk membantumu?

Menggunakan kritikan

Kamu itu tidak punya perhatian

Kamu tidak pulang pada hari raya tahun ini, sama seperti Mengungkit kesalahan di tahun lalu ketika kamu tidak masa lalu datang pada hari ulang tahun ayah Generalisasi berlebihan Membantah delusi Kamu tidak pernah bersama keluargamu

makan Saya merindukanmu ketika makan malam dua hari lalu

Saya prihatin melihatmu ketakutan. Tidak ada alasan apapun untuk Saya iingin menolongmu untuk takut kepada polisi mengatasinya

Membicarakan banyak Kamu tetap di tempat tidur Saya khawatir karena kamu tidak permasalahan dalam satu sampai siang dan tidak minum obat selama dua hari waktu meminum obatmu Menampilkan isyarat Tidak apa-apa jika kamu mau Saya merasa tidak enak jika kamu verbal dan nonverbal pindah (sambil mau pindah secara tidak konsisten menghembuskan napas dan

51

memutar bola mata)

Komunikasi antar anggota keluarga dengan anggota keluarga skizofrenia menurut Kuipers, dkk (2002) bisa diperbaiki dengan menerapkan beberapa aturan dasar berkomunikasi seperti yang diuraikan dibawah ini. a. Hanya satu orang yang bicara pada satu waktu. Hal seperti ini dilakukan untuk menumbuhkan kontrol diri baik dalam hal pembicaraan maupun emosi yang melatarbelakangi pembicaraan tersebut juga menunjukkan kehormatan kepada lawan bicaranya. b. Seseorang harus berbicara secara langsung satu sama lain. Ketika satu anggota keluarga ingin memberitahu anggota lain dengan skizofrenia dalam ruangan yang sama sebisa mungkin menghindarkan dari pembicaraan melalui orang ketiga seperti menyebut anggota dengan skizofrenia dengan kata dia. Hal ini harus dihindari karena akan membuat orang dengan skizofrenia seakan-akan tidak ada dan karena orang dengan skizofrenia memiliki pandangan terhadap diri yang sangat rapuh. Keuntungan lain berbicara langsung adalah menurunnya ekspresi emosi negatif yang dimunculkan. c. Semua orang harus mendapatkan bagian yang sama untuk berbicara. Biasanya anggota keluarga dengan skizofrenia paling sedikit mendapat kesempatan untuk bicara dibanding anggota lain tanpa disela karena akan mengakibatkan

52

tekanan. Anggota keluarga harus menyimak apa yang dikatakan anggota keluarga lain tidak menyela dan mendengarkan sampai selesai berbicara.

You might also like