You are on page 1of 7

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PEMOTONGAN AYAM TRADISIONAL DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wahyu Supartono, M. Yunus, Henry Yuliando Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Gadjah Mada Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha pemotongan ayam tradisional yang mulai banyak dikembangkan di DIY secara finansial. Analisis dan penentuan tingkat kelayakan finansial dilakukan dengan menggunakan kriteria Pay Back Period (PBP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) dan Break Even Point (BEP) Pemilihan lokasi pasar yang digunakan sebagai sampel penelitian menggunakan metode area random sampling, yaitu sampel diambil secara random dari setiap Kabupaten/ kota (Sleman, Bantul, Kota Yogyakarta, Kulon Progo dan Gunung Kidul). Berdasarkan bidang atau sifat usahanya, usaha pemotongan ayam tradisional di DIY dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu usaha pemotongan ayam yang bergerak di bidang jasa dan non jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelayakan finansial usaha ini berdasarkan wilayah yang paling layak adalah usaha pemotongan ayam di Sleman, KotaYogyakarta, Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul. Disamping itu, juga dilakukan analisis perbandingan kelayakan finansial usaha di antara kedua jenis usaha serta diperoleh hasil bahwa usaha pemotongan ayam tradisional non jasa lebih layak secara finansial dibandingkan dengan yang bersifat jasa. 1. Pendahuluan Seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia maka makin meningkat pula kebutuhan bahan makanan, termasuk bahan makanan yang berasal dari hewan terutama daging. Penyediaan pangan berupa daging bagi masyarakat dalam jumlah yang mencukupi dengan mutu yang baik merupakan salah satu tujuan pembangunan sektor pertanian, di samping peningkatan pendapatan para peternak dan peningkatan peranan pertanian khususnya sub sektor peternakan dalam tata ekonomi nasional. Untuk mencapai sasaran tersebut maka peranan ayam sebagai salah satu sumber protein hewani dapat diandalkan karena ayam merupakan salah satu aset nasional yang turut menunjang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Sebagian besar kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam dipenuhi oleh pemotong ayam tradisional karena perusahaan pemotongan ayam yang menggunakan mesin pemotong modern masih sedikit. Menjamurnya usaha pemotongan ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa usaha tersebut memiliki prospek pasar yang baik, namun masih perlu dilakukan studi kelayakan usaha terutama kelayakan finansialnya agar dapat diteliti secara ilmiah dan detail mencakup kriteria Pay Back Period (PBP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Break Even Point (BEP). Analisis kelayakan finansial adalah penilaian atas proyek yang didasarkan pada apakah proyek tersebut nantinya secara finansial menguntungkan atau tidak. Dengan diketahui layak atau tidaknya usaha tersebut maka membantu pengembangan dan perencanaan usaha di masa mendatang. Dalam penelitian ini dianalisis tingkat kelayakan finansial pada usaha pemotongan ayam tradisional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga dapat membantu pengusaha

683

pemotongan ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perencanaan usahanya untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas usahanya. 2. Metodologi Obyek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Usaha Pemotongan Ayam yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pemilihan lokasi pasar yang menjadi sampel penelitian menggunakan metode Area Random Sampling yaitu sampel diambil secara random dari tiap kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kodya Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul. Data yang diperlukan adalah : 1. Keberadaan dan jenis Usaha Pemotongan Ayam di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Jumlah pekerja pada Usaha Pemotongan Ayam. 3. Teknik pemotongan ayam yang dilakkan pada Usaha Pemotongan Ayam tersebut serta peralatan yang digunakan. 4. Data pendapatan dan biaya Usaha Pemotongan Ayam di Daerah Istimewa Yogyakarta. Data-data di atas diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Peternakan DIY, BPS DIY, dan Usaha Pemotongan Ayam yang diteliti. Metode pencarian data yang digunakan adalah : 1. Observasi yaitu cara untuk memperoleh data primer dengan mengamati pelaku dan lingkungannya. Observasi adalah cara yang paling tidak formal di antara ketiga cara pencarian data primer. Data diperoleh dengan melihat, mengamati dan mendengar secara langsung dari pengusaha pemotongan ayam di DIY. 2. Survei merupakan pendekatan yang biasa digunakan untuk penelitian deskriptif. Survei mempunyai sifat lebih formal dibandingkan dengan observasi. Survei ini dilakukan langsung di tempat pemotongan dan penjualan ayam yang diteliti. 3. Wawancara yaitu mengumpulkan data yang terkait dengan usaha pemotongan ayam tradisional yang diteliti dan bertanya langsung maupun dengan kuisioner. 4. Studi pustaka yaitu mencari referensi dan literatur untuk memperoleh data sekunder mengenai usaha pemotongan ayam tradisional. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan metode berikut : 1. Description Analysis yaitu melakukan analisis deskripsi dari data-data yang dikumpulkan terhadap usaha pemotongan ayam di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Analisis dan penentuan tingkat kelayakan finansial dengan menggunakan kriteria-kriteria seperti Pay Back Period (PBP), Net Presen Value (NPV), Internal Rate Of Return (IRR), Benefit Cos Ratio (BCR), dan Break Even Point (BEP). Penggunaan macam-macam kriteria dalam menentukan tingkat kelayakan usaha pemotongan ayam untuk melihat ketahanan usaha dan tingkat kemampuannya yang berada pada kondisi yang dinamis atas nailai investasi yang ditanamkannya. 3. Hasil dan Pembahasan Usaha Pemotongan Ayam Tradisional di DIY Usaha pemotongan ayam tradisional atau yang disebut rumah rumah potong ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki prospek yang baik. Hal ini terlihat dari banyaknya usaha

684

pemotongan ayam yang bermunculan terutama di pasar tradisional, yang saat ini mulai dikembangkan oleh pemerintah daerah. Menurut Dinas Peternakan Daerah Istimewa Yogyakarta, walaupun usaha pemotongan ayam di DIY umumnya masih dikelola secara sederhana namun pertumbuhan usaha tersebut menunjukkan trend meningkat setiap tahunnya sehingga jumlahnya tidak dapat dipastikan setiap saat. Sulitnya memastikan jumlah usaha tersebut dikarenakan hampir tiap minggu usaha tersebut bermunculan baik secara sporadis hanya di saat hari raya atau momen tertentu maupun secara kontinyu sebagai usaha tetap. Skala produksi usaha pemotongan ayam tradisional yang dikelola secara sederhana umumnya di bawah 1000 ekor ayam perhari bahkan bisa mencapai puluhan ekor perharinya. Selain itu, ketersediaan bahan baku berupa ayam hidup selama beberapa waktu terakhir masih cukup atau tidak kekurangan karena didukung oleh pasokan ayam yang melebihi kebutuhan setiap harinya baik dari peternak lokal maupun peternak luar DIY. Jenis ayam yang dikonsumsi ada tiga macam yaitu ayam ras peterlur, ayam ras pedaging dan ayam kampung (buras). Ketiga jenis ayam tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Konsumsi ayam ras pedaging masih berada di peringkat pertama, masyarakat di DIY lebih banyak mengkonsumsi daging ayam ras pedaging karena jenis ayam ini cepat berkembang biak, harganya relatif murah dan dagingnya yang lebih besar. Konsumsi ayam buras juga mendekati ayam ras pedaging karena dagingnya yang lebih lezat (proteinnya lebih banyak) dan memiliki daya tahan hidup yang tinggi. Sedangkan jenis ayam ras petelur masih sedikit dikonsumsi. Hal ini bisa disebabkan karena ayam ras petelur lebih banyak dikembangbiakkan untuk menghasilkan telur sehingga jarang dikonsumsi. Berdasarkan bidang atau sifat usahanya, usaha pemotongan ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat diklasifikasikan menjadi dua macam antara lain : 1. Usaha pemotongan ayam yang bergerak di bidang jasa pemotongan ayam. Biasanya usaha ini hanya menyediakan jasa untuk memotong ayam sampai bersih dan siap untuk dikelola lebih lanjut oleh konsumen. Kegiatan yang dilakukan mulai dari menyembelih ayam, membuang darahnya, beberapa usaha ada yang mencabut sebagian bulu secara manual untuk dijual, merebus ayam beberapa menit, mencabut bulu ayam seluruhnya dengan mesin pencabut bulu atau secara manual, mencuci ayam, mengeluarkan dan membersihkan jeroan serta memotong karkas. Skala produksi usaha yang bersifat jasa ini umumnya bisa mencapai ratusan ekor ayam bila menggunakan mesin (semi-otomatis). Selain itu, tenaga kerja yang dibutuhkan umumnya berjumlah satu orang atau lebih. 2. Usaha pemotongan ayam yang bergerak di bidang penjualan daging ayam. Usaha tersebut melakukan penjualan produk berupa daging ayam yang telah dipotong dan dibersihkan secara langsung kepada konsumen di pasar-pasar tradisional. Proses pengerjaannya dimulai dari menymbelih ayam, membuang darahnya, beberapa usaha ada yang mencabut bulu yang tersisa secara manual, mencuci karkas, mengeluarkan dan membersihkan jeroan kemudian dijual di pasar sesuai keinginan konsumen. Peralatan yang digunakan masih sangat sederhana dan biasanya dikerjakan sendiri oleh anggota keluarga, begitu pula dengan proses penjualannya. Kelebihan dari usaha tersebut adalah penjualan dilakukan perbagian dari daging ayam (karkas) sehingga lebih fleksibel karena dapat disesuaikan dengan kebutuhan konsumen saat itu. Selain itu, dengan sistem penjualan tersebut keuntungan yang diperoleh semakin besar. Kekurangan dari usaha pemotongan ayam tradisional ini, selain kapasitas produksinya yang tidak besar, juga pelaksanaan proses produksinya kurang higienis, karena dalam melakukan proses pemotongan, pencucian, pembersihan karkas dan jeroan sampai proses penjualan dilakukan dengan air yang tidak mengalir atau menggenang dan tempatnya kurang terjaga kebersihannya, bahkan sering dijumpai proses pembersihan jeroan yang bercampur dengan air cucian karkas (daging ayam). Tahap ini sangat mempengaruhi kualitas daging ayam yang dijual atau dipotong di tempat tersebut. Namun usaha tetap banyak dikunjungi konsumen karena harga yang murah dan tempat yang strategis sebab dapat ditemui di pasar-pasar tradisional. Usaha pemotongan ayam yang bersifat non jasa di lima Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan usaha pemotongan dengan kategori I dan kelas C karena usaha tersebut memenuhi kebutuhan dalam kabupaten yang bersangkutan dan usahanya dikelola sendiri karena usaha tersebut adalah milik sendiri. Sedangkan usaha pemotongan ayam yang bersifat jasa merupakan usaha pemotongan dengan kategori II dan kelas C karena usaha tersebut memenuhi kebutuhan dalam kabupaten bersangkutan dan usahnya hanya melayani jasa pemotongan ayam saja.

685

Adapun perkiraan investasi awal, biaya operasional dan pemeliharaan (biaya tetap dan biaya variabel), pendapatan dan keuntungan masing-masing usaha pemotongan ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkiraan investasi awal, biaya operasional dan pemeliharaan (biaya tetap dan biaya varibel), pendapatan dan keuntungan masing-masing usaha pemotongan ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kulon Progo Bantul Sleman Kab/ Kodya Perkiraan Biaya Tetap Investasi awal (per tahun) Biaya Variabel Perkiranan (per tahun) Pendapatan (per tahun) 15,610,650.00 22,361,760.28 52,376,608.00 42,757,000.00 146,547,816.55 213,957,460.8 0 9,128,350.00 13,035,914.78 33,393,812.00 6,892,000.00 184,510,774.24 245,731,731.2 0 6,862,900.00 275,425,481.40 331,542,272.0 0 4,376,900.00 106,070,007.40 134,369,760.0 0 3,927,550.00 132,587,509.25 162,446,147.2 0 3,760,350.00 109,858,221.95 125,446,492.0 0 3,922,050.00 152,865,598.90 184,062,072.0 0 11,244,750.00 1,063,552,376. 1,186,211,686. 72 40 4,832,850.00 15,375,694.35 22,571,262.00 Perkiranan keuntungan (per tahun) 13,981,197.7 2 20,963,748.5 2 10,885,547.2 3 53,868,956.9 6 49,253,890.6 0 23,487,852.6 0 25,606,087.9 5 10,765,972.0 5 27,274,423.1 0 110,454,559. 68 2,032,717.65

Yogyakarta 11,348,000.00 18,147,000.00 13,194,000.00 43,110,000.00 35,560,000.00 22,205,000.00 22,155,000.00 29,840,000.00 28,900,000.00 Gunung Kdl 46,860,000.00 4,830,000.00

Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pemotongan Ayam Di DIY Analisis kelayakan finansial usaha pemotongan ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan dengan membandingkan nilai kelima kriteria kelayakan finansial berdasarkan wilayah dan sifat usaha. Sampel Kab/Kodya Sifat Usaha NPV(per 5 th, IRR (%/th) BCR PBP BEP( kei=19%) %th) 1 Yogyakarta Jasa potong 23,404,030.53 59.46 1.18 2.52 52.01 2 Jasa potong 44,784,457.82 66.38 1.08 2.22 63.43 3 Jasa potong 14,139,761.51 44.84 1.18 2.84 44.84 4 Sleman Non Jasa 92,766,057.26 62.61 1.15 2.35 11.26 5 Non Jasa 78,826,424.11 54.04 1.14 2.82 12.23 6 Bantul Non Jasa 34,439,580.56 49.27 1.10 2.81 15.47 7 Non Jasa 38,627,426.75 50.43 1.09 2.82 13.15 8 Kulon Non Jasa 12,835,498.66 53.76 1.03 1.16 24.12 Progo 9 Non Jasa 34,848,415.47 42.46 1.07 3.07 12.57 10 Gunung Kdl Non Jasa 197,488,592.72 61.88 1.06 2.82 9.17 11 Jasa potong 1,747,001.97 36.82 1.03 2.31 67.16

686

1. Perbandingan Kelayakan Usaha Antar Wilayah Untuk nilai NPV tertinggi dimiliki oleh sampel kesepuluh dari Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini disebabkan usaha tersebut memiliki keuntungan yang besar karena skala produksinya lebih besar yaitu penjualan karkas ayam rata-rata 300 ekor ayam perhari dengan strategi penjualan karkas perbagian sehingga keuntungannya menjadi lebih banyak. Nilai BCR tertinggi diperoleh oleh sampel kesatu dan kedua dari Kodya Yogyakarta karena kedua usaha tersebut memilik perbandingan dengan usaha lainnya walaupun keuntugnannya lebih kecil namun karena nilai pemasukan jauh lebih besar dari nilai pengeluarannya maka nilai BCR-nya jauh lebih besar. Nilai IRR tertinggi diperoleh sampel kedua di Kodya Yogyakarta dengan IRR sebesar 66,38%. Hal ini disebabkan keuntungan pertahun yang diperoleh usaha tersebut jauh lebih besar dari usaha lainnya dalam tiap periodenya, walaupun bila keuntungan tersebut diakumulasikan selama lima tahun ternyata masih lebih kecil dari usaha lainnya. Untuk titik impas terkecil diperoleh sampel kesepuluh di Kabupaten Gunung Kidul dengan nilai 9,17%. Hal ini disebabkan karena faktor selisih antara pendapatan dan biaya variabel yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan biaya tetap usaha tersebut sehingga dihasilkan nilai BEP yang lebih kecil dari usaha lainnya. Sedangkan untuk periode pengembalian modal terkecil dimiliki oleh sampel kedelapan di Kabupaten Kulon Progo dengan PBP sebesar 1,16 tahun. Nilai yang kecil ini disebabkan investasi yang dimiliki usaha ini lebih kecil dibandingkan dengan yang lainnya yaitu sebesar Rp. 3.760.350,00 pertahun (tabel 2). Selain itu, keuntungan yang diperoleh cukup besar dan tersedia untuk membayar investasi tersebut secepatnya. Dari kelima kriteria di atas, usaha pemotongan ayam traidisional di Kabupaten Sleman memiliki rata-rata NPV, IRR, BCR yang paling tinggi yaitu NPV di atas 70 juta rupiah, IRR berkisar 50% sampai 65% dan BCR berada pada nilai 1,14-1,15. Di samping itu, nilai rata-rata PBP dan BEP usaha pemotongan ayam tradisional ini paling kecil yaitu PBP selama kurang dari tiga tahun dan mencapai titik impas pada 11-12% penjualan pertahun. Hal ini disebabkan keuntungan dan pendapatan yang diperoleh dari kedua sampel di Kabupaten Sleman rata-rata lebih besar dibandingkan usaha lainnya (Tabel 2.). Urutan kedua untuk nilai IRR diperoleh usaha pemotongan ayam tradisional di Kodya Yogyakarta yaitu berkisar antara 44% sampai 66% pertahunnya. Nilai BCR usaha tersebut berkisar antara 1,08 sampai 1,18. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran masih lebih tinggi. Begitu pula dengan nilai NPV berada di atas 14 juta rupiah. Sedangkan untuk sampel di Kabupaten Bantul di urutan ketiga. Dengan nilai NPV di atas rata-rata 30 juta rupiah, nilai IRR berkisar antara 49% sampai 51% pertahun dan nilai BCR antara 1,09 sampai 1,10. Walaupun bila dibandingkan dengan nilai NPV usaha pemotongan ayam tradisional di Kodya Yogyakarta masih lebih tinggi, namun laju keuntungan yang diperoleh pertahunnya masih lebih rendah. Hal ini disebabkan usaha pemotongan ayam tradisional di Kodya Yogyakarta memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan lebih cepat dibanding usaha pemotongan ayam tradisional di Kabupaten Bantul perperiode karena skala produksinya lebih besar pula. Untuk usaha pemotongan ayam tradisional di Kabupaten Kulon Progo memiliki rata-rata IRR yang lebih besar dibandingkan dengan usaha pemotongan ayam tradisional di Kabupaten Gunung Kidul. Walaupun nilai NPV sampel kesepuluh jauh lebih besar naum nilai BCR dari usaha pemotongan ayam tradisional di Kabupaten Kulon Progo masih lebih unggul. Hal ini disebabkan laju keuntungan dan perbandingan pemasukan dengan pengeluaran masih lebih besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan persentase titik impasnya, usaha pemotongan ayam tradsional di Kulon Progo masih lebih kecil yaitu berkisar antara 12% sampai 25% dari penjualan total pertahunnya. Sedangkan usaha pemotongan ayam tradisional di Gunung Kidul berkisar antara 9% sampai 68% dari penjualan total pertahunnya. 2. Perbandingan Kelayakan Usaha Antar Sifat Usaha Dari 11 sampel usaha pemotongan ayam tradisional yang diteliti di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat empat usaha pemotongan ayam tradsional yang bersifat jasa sedangkan sisanya tujuh sampel bersifat non jasa. Dari kelima kriteria kelayakan finansial, usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat non jasa masih lebih unggul secara finansial dibandingkan usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat jasa. Dilihat dari NPV da IRR yang diperoleh usaha

687

pemotongan ayam tradisional yang bersifat non jasa rata-rata lebih besar yaitu NPV lebih besar dari 20 juta rupiah dan IRR diantara 40% sampai 63%. Sedangkan untuk usaha pemotongan ayam tradsional yang bersifat jasa memiliki nilai NPV di bawah 20 juta rupaih dan IRR di antara 36% sampai 66%. Hal ini dikarenakan keuntungan usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat jasa jauh lebih besar tiap tahunnya sebab strategi penjualan yang dilakukan secara perbagian memberikan keuntungan yang lebih besar pula. Untuk BEP usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat non jasa mencapai titik impas kurang dari 30% penjualan tiap tahun. Sedangkan untuk usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat jasa mencapai titik impas lebih dari 40% penjualan tiap tahun. Walaupun nilai BCR dan PBP relatif mendekati di antara kedua jenis usaha tersebut yaitu nilai BCR berada di antara 1,03 sampai 1,18 dan PBP rata-rata kurang dari tiga tahun penjualan. Namun perbedaan dengan tiga kriteria di atas (NPV, IRR, BEP) sudah bisa menyatakan bahwa usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat non jasa lebih layak secara finansial dibandingkan usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat jasa. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain : 1. Berdasarkan bidang atau sifat usahanya, usaha pemotongan ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu usaha pemotongan ayam tradisional yang bergerak di bidang jasa dan non jasa atau penjualan secara langsung. 2. Usaha pemotongan ayam tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta umumnya berkelas C dan berkategori I untuk usaha yang bersifat non jasa dan berkategori II untuk usaha yang bersifat jasa. 3. Dari perbandingan kelayakan usaha secara finansial di antara kedua jenis usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat non jasa lebih layak secara finansial dibandingkan usaha pemotongan ayam tradisional yang bersifat jasa. Daftar Pustaka 1. Cahyono, B. 1998. Ayam Buras Pedaging. Trubus Agriwidaya. Jakarta. 2. Husnan, S dan Suwarsono. 1997. Studi Kelayakan Proyek. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. 3. Priyatno, M.A. 1999. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Penebar Swadaya. Jakarta.

688

You might also like