You are on page 1of 6

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ( Disparitas Akses Pendidikan Tinggi) Oleh : NASRULHAQ

A. Pendahuluan Berdasarkan kebijakan program dan anggaran pendidikan tinggi tahun 2013 1, dirilis bahwa angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi tahun 2011 baru mencapai 27,01 %. Kemudian capaian target sebesar 28,10 % tahun 2012 dan 29,10 % tahun 2013. Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi2, APK Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara di Asia Tenggara. Oleh karena itu, salah satu aspek yang dikembangkan pada tahun 2013 yakni peningkatan akses perguruan tinggi. Meliputi penjaminan keterjangkauan, kesetaraan, dan akses untuk memperoleh pendidikan tinggi. Jumlah mahasiswa dari presentase angka paritisipasi kasar perguruan tinggi berjumlah 3.874.161 yang tersebar di berbabagai perguruan tinggi. Terdiri dari Akademi (250.723), Institut (204.689), Politeknik (112.778), Sekolah Tinggi (915.138), Universitas (2.390.833)3. Selanjutnya, anggaran yang disediakan oleh pemerintah tahun 2012 sebesar 110 triliun yang dikelola oleh berbagai kementerian dan lembaga4. Sebanyak 29 triliun dialokasikan untuk pendidikan tinggi di lingkup Kemendikbud. Tahun 2013 dialokasikan sebesar 39,08 triliun untuk pendidikan tinggi di lingkup Kemendikbud. Namun, tingginya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan tinggi justru memunculkan problem. Khususnya akses pendidikan tinggi antara golongan keluarga miskin, keluarga pendapatan menengah, dan keluarga mampu yang tidak merata (berdasarkan data Susenas). Ironinya, disparitas akses sudah terjadi sejak data Susenas dipublikasikan untuk pertama kalinya. Saat ini, disparitas akses pendidikan tinggi justru semakin meluas. Sehingga diupayakan ada analisis masalah guna merumuskan kebijakan publik yang ideal agar substansi dari pendidikan tinggi dapat digapai secara maksimal.
1

Diperoleh dari slide power point pemaparan DIKTI Kemendikbud dalam rapat koordinasi kebijakan program dan anggaran pada pendidikan tinggi tanggal 27 28 Desember 2012. 2 Berdasarkan laporan keterangan saksi Prof. Dr. Sofian Effendi terkait pengujian UU Nomor 12 Tahun Tentang Pendidikan Tinggi di Mahkamah Konstitusi (versi 20 Februari 2013). 3 Ini sesuai dengan jumlah mahasiswa menurut jenis PT tahun 2010. Data lengkap dapat dilihat di pdpt.dikti.go.id 4 Berdasarkan laporan keterangan saksi Prof. Dr. Sofian Effendi terkait pengujian UU Nomor 12 Tahun Tentang Pendidikan Tinggi di Mahkamah Konstitusi (versi 20 Februari 2013).

B. Perumusan Masalah 1. Situasi Problematis Data Susenas tahun 2003 dan 2011 menunjukkan adanya disparitas akses antara keluarga mampu, keluarga pendapatan menengah dan keluarga mampu. Begitupun data Susenas tahun 2007. Angka akses pendidikan tinggi sejak tahun 2003 sampai 2011 untuk setiap quartile hampir sama dalam tinjauan kualitatif dan kuantitatif. Artinya, presentase keluarga miskin tetap yang paling sedikit. Presentase keluarga yang mampu yang selalu mendominasi. Kemudian disusul keluarga menengah. Urutannya tidak pernah berubah. Ini mengindikasikan bahwa secara tidak langsung pada tahun 20035 sampai sekarang, kebijakan pendidikan tinggi belum sepenuhnya berpihak pada keluarga miskin. Mayoritas yang merasakan dan menikmati fasilitas pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta adalah golongan keluarga mampu. Jumlah keluarga mampu yang mengakses pendidikan di perguruan tinggi pada tahun 2011 sebesar 43,6 %, tahun 2007 sebesar 36,6 % dan tahun 2003 sebesar 30,9 %. Dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun, akses keluarga mampu terhadap pendidikan tinggi meningkat sekitar 13 %. Otomatis jumlah masyarakat mampu yang menikmati anggaran pendidikan tinggi semakin meningkat. Berbeda dengan keluarga miskin yang presentasenya sangat rendah. Meskipun meningkat sedikit demi sedikit sejak tahun 2003 berdasarkan data Susenas 2007 dan 2011. Gap antara keluarga miskin dan kaya pada tahun 2003 sebesar 27 %6. Tahun 2011 justru meningkat menjadi 39,2 %. Demikian pula antara keluarga miskin dan keluarga pendapatan menengah. Gap tahun 2003 sebesar 6.2 %, kemudian tahun 2011 meningkat menjadi 14,4 %. Semakin tingginya gap, tentu menjadi persoalan mendasar. Situasi dan kondisi yang sama juga terlihat pada data Susenas tahun 2007.
5 6

Juga tahun sebelumnya berdasarkan Susenas yang pernah dilakukakan. Presentase keluarga mampu dikurangi presentase keluarga miskin.

Secara umum, presentase keluarga miskin tidak sebanding antara keluarga pendapatan menengah dan, apalagi, keluarga mampu. Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bawah situasi problematis yang terjadi yakni kebijakan program dan anggaran pendidikan tinggi tidak mampu mengurangi disparitas akses pendidikan tinggi. 2. Meta Masalah Disparitas akses pendidikan tinggi yang terjadi selama tahun 2003 sampai 2011 disebabkan oleh beberapa faktor meta sebagai berikut : a. Pemerintah kurang memperhatikan substansi pelaksanaan program dan anggaran pendidikan tinggi sehingga cenderung formalitas. Anggaran yang telah dikeluarkan peruntukannya. Landasan : Pemberian beasiswa (misalnya PPA/BBM dan Bidik Misi) yang semestinya diperuntukkan bagi keluarga miskin tetapi banyak dinikmati oleh keluarga mampu atau belum tepat sasaran7. b. Pemerintah cenderung masih berperan secara terpusat dalam mekanisme pendidikan tinggi. Hal ini dapat membatasi kreativitas pihak perguruan tinggi dalam menyelesaikan masalah disparitas akses perguruan tinggi. Landasan : Permendiknas Nomor Nomor 34 Tahun 2010 masih mengikat aturan minimal 60 % mahasiswa baru PTN masuk melalui jalur seleksi nasional. c. Kondisi ekonomi terkait tingkat pendapatan per kapita sebagian masyarakat masih rendah mengakibatkan keluarga miskin tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (PT). Landasan : Jumlah penduduk miskin berdasarkan data BPS September2012 sebanyak 28.594.600 jiwa yang tersebar diberbagai provinsi di Indonesia. hanya sebatas kurang tepat

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/05/14/186394/Bidikmisi-BanyakSalah-Sasaran

d. Kondisi sosial dan budaya sebagian masyarakat Indonesia baik keluarga miskin maupun keluarga mampu masih apatis dengan pendidikan tinggi. Masih ada pemikiran bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin kehidupan yang lebih layak serta cenderung menciptakan penggangguran terdidik. Landasan : Data BPS Agustus-2012 menyebutkan bahwa pengangguran untuk jenjang pendidikan Diploma sebanyak 196.780 orang dan Sarjana sebanyak 438.210 orang. 3. Masalah Substantif Adapun masalah substantif dari disparitas akses PT sebagai berikut : a. Pemerintah kurang optimal dalam pengendalian program dan aggaran pendidikan tinggi dalam meningkatkan akses pendidikan tinggi dan mengurangi disparitas akses antara keluarga miskin dan keluarga kaya. b. Penghasilan keluarga yang rendah membatasi keinginan masuk ke perguruan tinggi bagi keluarga miskin. Baik keluarga miskin kota maupun keluarga miskin desa. c. Sikap apatis terhadap perguruang tinggi mengurangi minat masyarakat masuk ke perguruan tinggi. Khususnya keluarga miskin yang kurang memiliki sumber daya. 4. Masalah formal Setelah dirumuskan situasi problematis, meta masalah dan masalah substantif maka ditetapkan masalah formal berikut : a. Pemerintah merumuskan sistem terintegrasi di perguruan tinggi dengan berbasis otonomi meliputi proses in put yang mengakomodir keluarga miskin, proses out put yang mendorong kualitas, serta kurikulum yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja agar perguruan tinggi memiliki peran strategis dan memiliki daya tarik. b. Pemerintah memberikan jaminan beasiswa atau subsidi bagi keluarga miskin sejak tamat SMA/sederajat atau pra masuk PT agar ada kepastian lebih awal guna meningkatkan keinginan lanjut studi serta menghindari

penyelewengan beasiswa. Langkah ini dilakukan melalui kerjasama terpadu antara pihak SMA/sederajat dengan PT tujuan terkait mahasiswa dari golongan keluarga miskin yang ingin dan memiliki bakat melanjutkan studi di PT. C. Kesimpulan Disparitas akses di PT dapat diselesaikan dengan mengetahui perumusan masalah terlebih dahulu sebelum pemecahan masalah agar tidak mengulangi kesalahan yang sama setiap tahun. Berdasarkan data Susenas 2003, 2007 dan 2011 menunjukkan disparitas masih terus terjadi. Artinya, program yang dicanangkan oleh pemerintah selama ini tidak mampu mengurangi disparitas. Oleh karena itu, program dan anggaran yang dikelola untuk PT dapat disimpulkan tidak tepat sasaran. Perumusan masalah disparitas akses pendidikan tinggi melalui 4 tahapan meliputi situasi problematis, meta masalah, masalah substantis dan masalah formal. Dalam perumusan masalah, disimpulkan item utama yang terkait dengan disparitas akses pendidikan tinggi yaitu aspek pemerintah, aspek ekonomi dan aspek sosial-budaya.

You might also like