You are on page 1of 4

Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya sebagai berikut : 1.

Tidak menerapkan atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yakni keberatan atas hukum yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, bahwa Penuntut Umum tidak sependapat dengan penerapan pasal dalam pembuktian Penuntut Umum membuktikan Dakwaan Primair yang terbukti yaitu melanggar Pasal 111 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi dalam putusannya Majelis Hakim membuktikan Dakwaan Subsidair yaitu melanggar Pasal 127 ayat (1) a Undang-Undnag No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana terjadi perbedaan yang jauh sekali dari tumtutan Penuntut Umum yang menuntut Terdakwa dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun dan membayar denda sebesar rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan; 2. Melampaui batas kewenangan mengadili dengan cara tidak sesuai dengan undangundang yang berlaku, bahwa seharusnya Majelis Hakim memutuskan suatu perkara hanya didasarkan fakta yang terjadi di persidangan, bukan mengedepankan logika berpikir dan menganalisa ketentuan berlakunya suatu undang-undang, karena hal tersebut bukanlah wewenangnya, mencermati kelemahan berlakunya suatu undangundang hanya bisa dilakukan dalam ranah Yudicial Review di Mahkamah Agung atau gugatan ke Mahkamah Konstitusi. 3. Bahwa berdasarkan fakta di persidagngan tidak ditemukan adanya hal-hal yang dapat menghapuskan pidana, maupun alasan pemaaf dan pembenar dalam diri Terdakwa sebagaimana ketentuan undang-undang sehingga tidak ada alasan bagi Terdakwa untuk dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum, mengingat semua unsur pembuktian yang telah dibuktikan oleh Penuntut Umum telah terpenuhi; 4. Bahwa dengan adanya penjatuhan hukuman Terdakwa yang terlalu ringan menimbulkan efek yang kurang naik dalam masyarakat khusunya bagi upaya pencegahan peredaran dan penyalahgunaan narkoba dalam masyaraka, khususnya dalam kalangan generasi muda yang menjadi prioritas pemerintah dalam uoaya memerangi narkoba; 5. Bahwa dalam tuntutan Penuntut Umum telah mempertimbangkan dengan serius efek dari kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga lamanya tuntutan ynag telah dibacakan merupakan humuan yang pantas diberikan kepada Terdakwa. Dengan adanya alasan-alasan Penuntut Umum dalam mengajukan Kasasi, maka kemudian dengan menimbang alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat mengenai alasan-alasan Kasasi : a. Bahwa Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, karena Terdakwa telanh menyalahgunakan narkotika golongan I bagi kepentingannya sendiri; b. Bahwa mengenai berat ringannya pidana yang dijatuhkan adalah kewenangan Judex Facti;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka pemohon kasasi tersebut harus ditolak. Untuk dapat Menganalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1958/K/Pid.Sus/2010 tentang perkara kasasi berdasarkan Pasal 253 KUHAP dengan terdakwa Wahyu Rizki Alfian yang telah terlebih dahulu dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Kediri dan Pengadilan Tinggi Surabaya. Batu uji analisa dari putusanputusan tersebut tentunya adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terutama pasal-pasal yang didakwakan kepada Terdakwa yaitu Pasal 111 dan Pasal 127, serta Pasal 54 dan Pasal 103 yang memberikan pengaturan mengenai rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkotika beserta perundang-undangan lainnya. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kediri dengan nomor perkara 37/Pid.B/2010/PN.Kdr yang diputus tanggal 20 April 2010 secara tegas menyatakan bahwa Terdakwa Wahyu Rizki Alfian terbukti secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan primer yang didasarkan pada Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun, Terdakwa dinyatakan telah bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan sekunder yang didalilkan berdasarkan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Putusan hakim ini menegaskan bahwa Terdakwa dinyatakan sebagai seorang penyalahguna narkotika golongan I bagi diri sendiri. Putusan Pengadilan Negeri Kediri kemudian menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama satu tahun dan memerintahkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi sosial pada UPT Lido Sukabumi. Dakwaan primer yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Setiap orang; Secara tanpa hak atau melawan hukum; Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, mebguasai atau menyediakan; Narkotika golongan I dalam bentuk tanamman; Dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun paling lama dua belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat terlihat bahwa undang-undang tersebut berupaya menggolongkan penyalahguna narkotika kedalam kategori pemakai atau bahkan sebagai korban. Jika dilihat dari aspek kesehatan, sesungguhnya penyalahguna narkotika adalah orang-orang yang menderita sakit. Oleh karena itu, memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. Terlebih ketika dilihat dari segi kondisi Lembaga Pemasyarakatan pada saat ini yang tidak mendukung, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat memperburuk kondisi kejiwaan dan kesehatan yang diderita para narapidana narkotika akan semakin berat.

Peredaran gelap narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan yang sangat mengkhawatirkan menjadi salah satu alasan rehabilitasi bagi pecandu narkotika harus diutamakan. Berdasarkan alasan sosiologis tersebut, politik hukum pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengarah pada pemberian rehabilitasi yang merupakan bentuk implementasiteori pemidanaan relatif atau teori tujuan yang ditujukan bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagaimana yang tertera di dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Selain norma yang mengatur mengenai rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga tetap memberikan sanksi pidana yang tertera didalam Pasal 116, 121 dan 127. Hadirnya ketentuan sanksi pidana ini menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga menganut teori pemidanaan berdasarkan teori pembalasan (absolut). Dengan adanya dua jenis tujuan pemidanaan yang dianut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka terlihat bahwa tujuan pemidanaan yang dianut undang-undang tersebut adalah berdasarkan teori gabungan. Namun, dalam konteks pecandu dan korban penyalahbunaan narkotika, undang-undang ini memposisikan penyalahguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana sekaligus sebagai korban dari penyalahgunaan yang dilakukannya sendiri. Hal ini menggambarkan secara jelas penerapan tujuan pemidanaan berdasarkan teori relatif atau tujuan. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan kecermatan dan ketelitian bagi hakim untuk dapat memutus dengan arif dan bijaksana terkait sanksi yang tepat bagi pecandu narkotika. Dalam perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung dengan Nomor perkara 1958K/Pid.Sus/2010 dapat terlihat bagaimana sulitnya bagi hakim untuk memilah secara arif dan bijaksana dalam memberikan sanksi kepada pecandu narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan ketentuan pemberian hukuman berupa rehabilitasi bagi pengguna narkotika dalam Pasal 54 dan 103. Lebih jelas, Pasal 54 dan 103 menyatakan bahwa : a. Pasal 54 Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. b. Pasal 103 (1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat : a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. (3) Dalam hal penyalahguna narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan upaya rehabilitasi kepada terdakwa yang tidak melakukan tindak pidana penjualan. Putusan Pengadilan Negeri Kota Kediri terhadap terdakwa penyalahgunaan narkotika Wahyu Rizki Alfian tanggal 20 April 2010 yang putusannya tersebut majelis hakim memutus Wahyu Rizki Alfian hukuman satu tahun penjara dan memerintahkan yang bersangkutan mengikuti program rehabilitasi di Lido Sukabumi. Dalam amar putusannya, majelis menilai Wahyu Rizki Alfian merupakan korban dari sindikat peredaran narkoba. Karena itu selain menjatuhi hukuman pidana, negara wajib menolong mereka melalui program rehabilitasi secara khusus. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010, dimana putusan tersebut baru pertama kalinya di Indonesia yang menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai putusan yang progresif.

You might also like