You are on page 1of 25

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami telah diberi kemudahan dalam menyelesaikan makalah ini. Adapun makalah ini adalah mengenai Makalah Modul III Blok Gangguan Sistem Imun dan Penyakit Infeksi, Demam Tifoid Penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan serta do`a dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Dosen Koordinator Blok 2. Dosen Tutor 3. Orangtua kami 4. Rekan-rekan Sejawat

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan jasa-jasa yang telah diberikan kepada kami. Amien

Batam, 2 Desember 2012

Kelompok I

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 1 DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2 TUTORIAL SEVEN JUMPS MODUL III.......................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 6 a. Latar Belakang.......................................................................................... 6 b. Rumusan Masalah .................................................................................... 6 c. Tujuan .................................................................................................... 6 BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 7 a. Definisi .................................................................................................. 6 b. Etiologi ................................................................................................. 8 8 9 11 13 18 19 21 22 22 23

c. Epidemiologi ........................................................................................... d. Tanda dan Gejala .................................................................................... e. Patogenesis dan Patofisiologi ............................................................... f. Penegakan Diagnosis ................................................... g. Komplikasi ............................................................................................. h. Penatalaksanaan ...................................................................................... i. Prognosis ................................................................................................ BAB III PENUTUP ....................................................................................... a. Kesimpulan............................................................................................. b. Saran............................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 24
2

LAPORAN DISKUSI PANEL .............................................. 25

Maya Jajan Sembarangan Maya seorang perempuan 17 tahun. Datang berobat ke poliklinik penyakit dalam diantar ibunya dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu disertai mual, muntah, diare. Menurut maya demam nya meningkat menjelang sore dan malam hari saja, maya mengaku sering jajan di pinggir jalan bersama temen-temennya. Hasil pemeriksaan dokter didapatkan: kesadaran: compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, temperature 37,8 C, nadi 100 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, lidah kotor dengan tepi hiperemis. Dokter menganjurkan agar maya dirawat dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bagaimana anda menjelaskan keadaan yang dialami oleh maya? Seven jump :
o

Kata sulit : 1. Compos mentis adalah kesadaran penuh, dapat berkomunikasi dengan orang sekitar, GCS : 15 2. Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Apabila frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu maka hal ini disebut diare akut (WHO) Kata kunci : 1. Maya seorang perempuan 17 tahun datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan demam sejak 1 minggu disertai mual, muntah, diare. 2. Demam nya meningkat menjelang sore dan malam hari saja, maya mengaku sering jajan di pinggir jalan bersama temen-temennya. 3. Hasil pemeriksaan didapatkan: kesadaran: compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, temperature 37,8 oC, nadi 100 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, lidah kotor dengan tepi hiperemis. Kunci permasalahan : Maya seorang perempuan 17 tahun mengalami keluhan demam yang meningkat sore dan malam hari saja yang disertai mual, muntah, dan diare. Analisis masalah :
4

1. Mengapa demamnya meningkat menjelang sore dan malam hari saja? 2. Bagaimana patofisiologi tentang diare, lidah kotor dengan tepi hiperemis dan respirasi cepat? 3. Mengapa dokter menganjurkan maya harus dirawat inap? Tujuan umum : Agar Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang demam thyfoid. Tujuan khusus : 1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi demam thyfoid. 2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang epidemiologi demam thyfoid. 3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi demam thyfoid. 4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang tanda dan gejala demam thyfoid. 5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi demam thyfoid. 6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penegakkan diagnosis demam thyfoid. 7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penatalaksanaan demam thyfoid. 8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang komplikasi demam thyfoid. 9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang prognosis demam thyfoid.

Mind map :

etiologi definisi epidemiologi

komplikasi

Demam thyfoid

Manifestasi klinis

patosiologi prognosis penatalaksanaan Penegakkan diagnosis

anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Demam tifoid atau di kalangan masyarakat dikenal dengan Tipes merupakan suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Typhi dan Salmonella Paratyphi. Penularan atau penyebarannya melalui feco-oral (mulut) dari makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri Salmonella Typhi / Paratyphi. Bisa terjadi akibat pencucican tangan yang kurang bersih. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar, umur 5- 9 tahun.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan skenario di atas dapat di rumuskan masalah sebagai berikut : Apa definisi demam tifoid. Apa penyebab demam tifoid. Bagaimana mekanisme terjadinya demam tifoid. Bagaimana penatalaksanaan demam tifoid.

C.Tujuan Berdasarkan Rumusan masalah di atas dapat di tentukan tujuan sebagai berikut:

Untuk mengetahui apa pengertian demam tifoid Untuk mengetahui apa penyebab demam tifoid Untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya demam tifoid Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada demam tifoid

BAB II PEMBAHASAN

I.

Definisi Demam typoid adalah infeksi yang disebabkan oleh salmonella thypi atau salmonella parathyphi A, B dan C. penyakit ini mempunyai tanda yang khas berupa penjalaran yang cepat berlangsung kurang lebih 3 minggu disertai demam, taksosnia, pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam typoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang berlangsung 3-5 minggu, disebabkan oleh salmonella thypoi yang ditandai demam tinggi, sakit kepala lemah, batuk, spienomegali, gangguan kesadaran, distensi abdomen, feses yang menyerupai sop katang dan leukopeni.

II.

Etiologi Demam tipoid dan demam paratipoid disebabkan oleh salmonella typhi,salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, salmonella paratyphi C.

III.

Epidemiologi Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim. Kebersihan perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun lingkungan hidup umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi penyebaran penyakit ini.

Penyebaran Geografis dan Musim Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia. Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.
8

Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin lelaki atau perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anakanak. Orang dewasa sering mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri. Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Usia Persentase 12 29 tahun 70 80 % 30 39 tahun 10 20 % > 40 tahun 5 10 %

IV.

Tanda dan Gejala

Pola awal penyakit keluhan dan tanda gejala meliputi:

- Anoreksia - Rasa malas - Sakit kepala bagian depan - Nyeri otot - Gangguan nyeri perut

Pada minggu ke I keluhannya - Demam hingga 400C - Denyut nadi lemah - Nadi 80-100 kali permenit

Akhir minggu ke I - Lidah tampak kotor, berkerak, berwarna merah di ujung dan tepi hiperemis - Epistaksis - Tenggorokan kering dan beradang - Ruam kulit, pada abdomen salah satu sisi tapi tak merasa - Bercak-bercak selama 3-5 hari lalu hilang sempurna. Pada minggu ke II Demam turun khususnya pagi hari, pasien sakit akut, disorientasi lemas.

Pada minggu ke III - Gejala berkurang dan suhu mulai turun - Terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi karena lepasnya kerak dan ulkus - Bila keadaan buruk terjadi tanda-tanda delirium

- Otak bergerak terus - Inkontinentia urine - Nyeri perut - Bila nadi ditambah peritonitis maka hal ini menunjukkan terjadi perforasi usus, keringat dingin, sukar bernapas dan denyut nadi lemah, menandakan ada perdarahan. Pada minggu ke IV (stadium penyembuhan)
10

- Merupakan fase penyembuhan bila tidak ada tanda-tanda komplikasi - Mereda 2-4 minggu - Malaise tetap ada selama 1-2 bulan.

V.

Patogenesis dan Patofisiologi Penularan bakteri salmonella typhi dan salmonella paratyphi terjadi melalui makanan dan minuman yang tercemar serta tertelan melalui mulut. Sebagian bakteri dimusnahkan oleh asam lambung. Bakteri yang dapat melewati lambung akan masuk ke dalam usus, kemudian berkembangbiak. Apabila respon imunitas humoral mukosa (immunoglobulin A) usus kurang baik maka bakteri akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M). selanjutnya ke lamina propia. Di dalam lamina propia bakteri berkembang biak dan ditelan oleh sel-sel makrofag kemudian dibawa ke plaques payeri di ilium distal. Selanjutnya Kelenjar getah bening mesenterika. Melalui duktus torsikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah mengakibatkan menimbulkan bakteremia gejala. pertama yang asimtomatik ke atau tidak organ

Selanjutnya

menyebar

seluruh

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa diorgan-organ ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid, kemudian masuk lagi kedalam sirkulasi darah dan menyebabkan bakteremia kedua yang simtomatik, menimbulkan gejala dan tanda penyakit infeksi sistemik. Didalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu. Berkembang biak dan di ekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu. Sebagian dari bakteri ini dikeluarkan melalui feses dan sebagian lainnya menembus usus lagi. Proses yang sama kemudian terjadi lagi, tapi dalam hal ini makrofag telah teraktivasi. Bakteri salmonella thypi yang berada di dalam makrofag yang telah teraktivasi, akan merangsang makrofag menjadi hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator (sintokin) yang akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti : demam dan
11

koagulasi, pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi sepsis dan syok septik. Di dalam plaques payeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperflasia jaringan salmonella typhi di dalam makrofag dapat merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang dapat menyebabkan hyperplasia dan nekrosis jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah plaques payeri yang mengalami hiperflasia patologis jaringan limpoid ini dapat berkembang ke lapisan otot. Lapisan serosa usus sehingga dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin yang dihasilkan samonella typhi dapat menempel direseptor sel endotel kapiler seluruh organ, sehingga bisa menimbulkan komplikasi kardiovaskuler, gangguan neuropsikiatrik dan gangguan organ lainnya.

12

VI.

Penegakan Diagnosis 1. Anamnesa Identitas (Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat) Perjalanan penyakit hingga timbulnya gejala Riwayat penyakit keluarga atau lingkungan sekitar yang mengalami keluhan/sakit yang sama dengan pasien 2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Fisik : febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (koto r ditengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,splenomegali, nyeri abdomen,roseolae (jarang pada orang Indonesia).

3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Darah Rutin Dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekositnormal,ane osinofilia, limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, tromb ositopenia,gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer ujiWidal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titerantibodi O 1/320 atau H 1/640disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis.

Kultur Darah Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi darispecimen yang berasal dari darah penderita.Pengambilan specimen darah sebaiknya dilakukan p ada minggu pertamatimbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%,khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotic. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-15%.
13

Uji widal Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s,thypi. Pada ujiwidal

terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman s.thypi den gan antiboby yang di sebut aglutinin. Antigen yang di gunakan pada ujiwidl adalahsuspensi salmonella yang sudah dimatikan dan di olah di laboratorium. Maksuduji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderitatersangka demem tifoid yaitu: a) Aglutinin O dari tubuh kuman b) Aglutinin H dari flagella kuman c) Aglutinin v simpai dari simpai kuman Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di gunakan untuk diagnostik demam tifoid

semakin tinggi titernya semakin tinggi kemungkinanterinfeksi penyakit ini. Ada beberapa faktor yang memepengaruhi uji widal yaitu 1. Pengobatan dini dengan antibiotic 2. Gangguan pembentukan antibody dan pemeberian

kortikosteroid 3. Waktu pengambilan darah 4. Daerah endemik atau non endemik 5. Riwayat vaksinasi 6. Reaksi anamnestik, yaitu penigkatan titer aglutinin pada i nfeksi bukan demem tifoid akibat infeksi demem tifoid masa lalu atau vaksinasi. 7. Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat

aglutinasi silangdan starin salmonella yang di gunakan untuk suspensi antigen.Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer glutinin yg bermaknadiagnostik untuk demem tifoid. Batas titer yg dipakai hanya

14

kesepakatan saja,haya berlaku setempat saja,dan dapat berbeda pada tiap-tiap laboratorium. Uji Tubex Pemeriksaan ini mudah dilakukan dan hanya membutuhkan waktu singkat untuk dilakukan (kurang lebih 5 menit). Untuk meningkatkan spesivisitas, pemeriksaan ini menggunakan antigen O9 yang hanya ditemukan pada Salmonellae serogroup D dan tidak pada mikroorganisme lain. Antigen yang menyerupai ditemukan pula pada Trichinella spiralis tetapi antibodi terhadap kedua jenis antigen ini tidak bereaksi silang satu dengan yang lain. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan. Antigen ini dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus, pada bayi, dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat ini, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat

dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi: 1. Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas. 2. Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S. typhi O9 3. Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen 09.
15

Komponen-komponen ini stabil disimpan selama 1 tahun dalam suhu 40C dan selama beberapa minggu dalam suhu kamar. Di dalam tabung, satu tetes serum dicampur selama kurang lebih 1 menit dengan satu tetes reagen A. Dua tetes reagen B kemudian dicampurkan dan didiamkan selama 1-2 menit. Tabung kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan didiamkan. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada label. Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B akan bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet (magnet rak), komponen mag-net yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan.

Interpretasi hasil uji Tubex: Skor <2 3 4-5 >6 Interpretasi Negatif Borderline Positif Positif

16

Berbagai penelitian (House dkk, 2001; Olsen dkk, 2004; dan Kawano dkk, 2007) menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang baik (berturut-turut 75-80% dan 75-90%).

Uji IgM Dipstick Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

17

Uji Typhidot Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

VII.

Komplikasi Komplikasi intestinal. a. Perdarahan intestinal. Pada plaques payeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka, jika luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya jika luka menembus dinding usus maka perforasi terjadi, apalagi kalau terjadi gangguan koagulasi. b. Perforasi usus. Biasa timbul pada minggu ke 3 namun dapat terjadi pula minggu ke 1. gejalanya : mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah menyebar keseluruh perut disertai tanda-tanda ileus.

Komplikasi ekstra intestinal. a.Komplikasi paru dapat terjadi pneumoni, empiema atau pleuritis.

b.Komplikasi hepatobilier pembengkakan hati ringan di jumpai pada 50% penderita c.Komplikasi kardiovaskuler. Miokarditis terjadi 1-5% penderita, sedangkan kelainan EKG pada 10-15% penderita.

18

d. Komplikasi neuropsikiatrik. Gejala dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semikoma/ koma.

VIII. Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.

I. Istirahat dan Perawatan Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. II. Diet dan Terapi Penunjang Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat. a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan. b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare. c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi.

19

III. Pemberian Antimikroba Obat obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid adalah: Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein. Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek samping penggunaan klorampenikol adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.

Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa. Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari. Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam

20

3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.

IX.

Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia

penderita,keadaan kesehatan tidaknya komplikasi.

sebelumnya, serotip Salmonella

penyebab

dan ada

Di negara maju, dengan terapi antibiotik yangadekuat, angka mortalitasnya < 1 %. Di negara berkembang, angkamortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti

perforasigastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, danpneumonia , mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tidak tinggi. diobati

Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderitayang

dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapatterapi anti mikroba yang tepat, manifestasi klinis relaps menjadi nyatasekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik danmenyerupaipenyakit akut namun biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Individuya ng mengekskresi S. thypi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadikarier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah danmeningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh

pasiendemam tifoid. Insiden penyakit saluran empedu (traktus biliaris) lebihtinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum.

21

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Typhoid fever, atau yang juga dikenal sebagai thypus, merupakan suatu penyakit yang terjadi mendadak yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhosa. Kuman tersebut masuk melalui saluran pencernaan, setelah berkembang biak kemudian menembus dinding usus menuju saluran limfe, masuk ke dalam pembuluh darah dalam waktu 24-72 jam. Kemudian dapat terjadi pembiakan di sistem retikuloendothelial dan menyebar kembali ke pembuluh darah yang kemudian menimbulkan berbagai gejala klinis. Gejala yang timbul dapat berupa : 1. Panas badan yang semakin hari bertambah tinggi, terutama pada malam hari (stepladder). Terjadi selama 7-10 hari, kemudian panasnya menjadi konstan dan kontinyu. 2. Pada fase awal timbul gejala lemah, sakit kepala, infeksi tenggorokan, rasa tidak enak di perut, dan terkadang sulit buang air besar. 3. Pada keadaan yang berat penderita bertambah sakit dan kesadaran mulai menurun. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemui bradikardi (denyut melemah) relatif, pembesaran limfa, tegangnya otot perut, dan kembung. Dari pemeriksaan laboratorium terdapat penurunan sel darah putih, didapatkan kuman tersebut pada tinja atau kencing, dan peningkatan titer Widal. Dikatakan meningkat bila titernya lebih dari 1/400 atau didapatkan kenaikan titer 2 kali lipat dari titer sebelumnya dalam waktu 1 minggu. Pengobatan pada penderita ini meliputi tirah baring, diet rendah serat tinggi kalori dan protein, obat-obatan berupa antibiotika, pengobatan terhadap keluhan, ataupun pengobatan terhadap komplikasi yang mungkin timbul.

22

B. SARAN Disadari oleh penulis bahwa makalah yang telah disusun oleh penulis tentang makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran terhadap makalah yang bersifat membangun agar makalah yang dibuat dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain masyarakat pada umumnya.

23

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC. Nelwan, R. H. H. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Widodo, Djoko. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Nelson, Waldo et. Al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC. Jawetz et. Al. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

24

LAPORAN DISKUSI PANEL

1. Q: Mengapa pada enatalaksanaan demam tifoid dianjurkan diet ? A: Karena pada penderita positif demam tifoid dikhawatirkan terjadi

komplikasi perdarahan pada usus atau perforasi usus, oleh karena itu dianjurkan untuk diet serat. Dianjurkan untuk makan makanan halus agar tidak memperberat kerja usus.

2. Q: Apakah penatalaksanaan pada karier sementara dan karier menahun sama? A: Pada penatalaksanaan karier menahun pada walnya kita lakukan penatalaksanaan yang sama dengan karier sementara. Apabila tidak bisa diatasi dengan penatalaksanaan tersebut, maka upaya terakhir adalah dengan pengangkatan pada vesica velea sebagai sarang daripada S. Typhi. Namun dilakukan dengan banyak sekali pertimbangan mengingat dampak yang akan ditimbulkan akan lebih berbahaya.

3. Q: Bagaimana mekanisme lidah kotor? A: Lidah kotor terjadi karena pengaktifan flora normal dalam mulut oleh bakteri S. typhi. Dan kondisi lidah yang kotor ini merupakan gambaran dari keadaan usus.

4. Q: Mengapa dilakukan hitung leukosit sedangkan tidak begitu memiliki arti? A: Hitumg leukosit hanya untuk mengarahkan diagnosa.

Dosen Pakar: Hasil dari pemeriksaan darah tepi hanya mengarahkan diagnose. Leukositosis biasanya terdapat pada infeksi bakteri, sedangkan leucopenia mengarah kepada demam tifoid. Salmonella typhi bersarang memang di vesica velea. Saat drugs of choice tidak bisa masuk ke vesica velea, maka dilakukan pengangkatan pada vesica velea, namun dengan pertimbangan khusus.

25

You might also like