You are on page 1of 14

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 ANALISA YURIDIS HUBUNGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) DAN DEWAN PERWAKILAN

DAERAH (DPD) DALAM FUNGSI LEGISLASI Janpatar Simamora ABSTRACT


One of important aspect in transition process of Indonesia to achieve the true cemocracy is the constitution change of UUD 1945 Acts. The most important of this change is found the DPD. Since the constitution change, the parliament system in Indonesia has been changed from unicameral to bicameral. However, this system does not show the balance of responsibility and authority between DPD and DPR. This paper will discuss all of circumtances and implications of legislation functions related to consititution change. ------------Keywords: parliament, bicameral systeml, legislation.

I.

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Sebuah aspek penting dalam proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu perubahan penting adalah dibentuknya sebuah lembaga negara baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejak perubahan itu, maka system perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral ke sitem bikameral. Lahirnya DPD yang merupakan salah satu hasil amandemen ketiga UUD 1945 awalnya diharapkan akan dapat menciptakan prinsip check and balances di parlemen. Oleh sebab itu, maka DPD pun dilengkapi dengan sejumlah kewenangan. Dalam bidang legislasi, DPD memiliki kewenangan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sumber hukum lain yang mengatur DPD adalah UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk). UU ini hanya menyebutkan dua fungsi DPD, yaitu 1) pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, 2) pengawasan atas pelaksanaan undang- undang tertentu. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat, sedangkan DPD merupakan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah/wilayah. Sistem perwakilan yang dianut 75

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 Indonesia tersebut merupakan sistem khas Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, dan tantangan bangsa dan negara Indonesia. Kehadiran DPD membuat sistem politik Indonesia menjadi lengkap. Dalam sistem politik di Indonesia ada dua macam bentuk keterwakilan. Keterwakilan rakyat melalui partai politik (parpol) yang menjelma menjadi DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Akan tetapi, ada juga keterwakilan geopolitik atau teritorial yang mewujud dalam DPD. Dalam pemahaman ini DPD memiliki posisi kelembagaan yang seimbang dengan DPR. Dengan legitimasi yang lebih kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, UUD 1945 dan UU Susduk justru memberikan kewenangan minimal kepada DPD. Dari sisi fungsi, tugas, dan kewenangan, seperti terungkap pada UUD 1945 Pasal 22D, tampak bahwa DPD hanya menjadi "subordinat" dari DPR. Di situ diatur bahwa DPD "dapat mengajukan" kepada DPR dan "ikut membahas" RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD juga diberi sedikit peranan dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, peranannya hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Setelah perubahan UUD 1945 itu sebetulnya kritik dari berbagai kalangan segera mengalir deras terhadap kerdilnya fungsi, tugas, dan kewenangan DPD itu. Seperti yang dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, bahwa dalam hubungan antara DPR dan DPD, kedudukan DPD sangat lemah, karena fungsinya hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Jadi, pendeknya, tetap saja fungsi, tugas, dan kewenangan DPD lebih rendah dari DPR. Kewenangan DPD yang cukup lemah bila dibandingkan DPR akan menimbulkan kesulitan sendiri bagi DPD untuk menjalankan fungsinya dalam menjaga hubungan pusat dan daerah yang produktif. Kelemahan wewenang ini juga akan membuat kekuatan legitimasi para anggota DPD yang lebih kuat bila dibandingkan anggota DPR tidak akan mendorong terjadinya keseimbangan dalam lembaga perwakilan Indonesia. Lemahnya fungsi, tugas, dan kewenangan DPD membawa akibat pada hubungan DPR dan DPD yang semakin lama terlihat semakin tidak harmonis. Setelah DPR dituding tidak pernah melibatkan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasiona (Prolegnas), pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan dalam perubahan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 12 Tahun 2008, DPD kembali merasa dilemahkan dengan posisinya yang disejajarkan dengan fraksi, komisi, dan alat kelengkapan DPR dalam penyusunan Prolegnas. Perasaan dilemahkan tersebut sesungguhnya muncul dari kesadaran bahwa sesungguhnya DPR dan DPD adalah dua lembaga negara yang sejajar. Namun, kenyataan bahwa DPD hanya diberikan wewenang yang terbatas mengakibatkan muncul reaksireaksi seperti saat ini. 76

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 Sebenarnya dalam parlemen sistem dua kamar murni ( strong bicameralism) kedua kamar diberi tugas dan wewenang menetapkan undang-undang. Artinya setiap rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR (sebagai Majelis Rendah) harus dibahas lebih lanjut dalam kamar kedua (sebagai Majelis Tinggi). Majelis tinggi ini kemudian memutuskan, menerima seluruhnya atau menolak seluruhnya RUU yang telah disetujui oleh DPR. Dengan demikian, kalau Majelis Rendah mempunyai hak amandemen, Majelis Tinggi tidak mempunyai hak amandemen. Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH berpendapat DPD bukanlah lembaga legislatif yang bersifat tersendiri. Karena fungsinya yang jauh lebih lemah itulah maka sejauh mengenai wacana bikameralisme, dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem bikameralisme yang sederhana atau lemah (soft bicameralism), bukan bikameralisme yang kuat (strong bicameralism) Masalah lain dalam bidang legislasi adalah terkait dengan Prolegnas. Dalam kaitannya dengan Prolegnas, sesungguhnya pengerdilan DPD juga sudah terasa. Hal ini bisa dilihat dari diperbolehkannya DPR dan Pemerintah mengajukan RUU di luar Prolegnas, namun tidak bagi DPD (lihat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Padahal, untuk Prolegnas tahun 2004-2009, DPD tidak diikutsertakan dalam pembahasannya. Hal ini semakin memperlihatkan betapa peran DPD dalam bidang legislasi kurang diperhitungkan. 1. 2. Rumusan Masalah Dengan berpijak pada latar belakang tersebut di atas, maka dalam penulisan ini beberapa permasalahan yang dijadikan acuan dan sekaligus pokok bahasan penulisan adalah sebagai berikut : a. Bagaimana hubungan DPR dan DPD sebagai lembaga legislative dalam merancang Undang-Undang di Indonesia ? b. Bagaimana Peranan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi ? I.3. Tinjauan Pustaka Sejarah Singkat lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bila dibandingkan dengan DPR yang lahir sejak 1918 (dulu bernama Volksraad), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bisa dikatakan ibarat bayi yang baru lahir dan masih harus mendapat perhatian yang lebih khusus. Namun gagasan mengenai pentingnya suatu dewan yang mewakili daerah di parlemen nasional sesungguhnya dapat dilacak sejak sebelum kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941. Dalam masa pendirian republik ini pun, adanya perwakilan daerah juga dibahas. Salah satu pandangan yang penting untuk dicatat dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah pandangan Moh. Yamin dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945. Dikatakannya: Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh 77

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia. Maka, di dalam UUD 1945 pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen diakomodasi dalam konsep utusan daerah di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan utusan golongan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam periode konstitusi berikutnya, dalam UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), terdapat Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS. Selanjutnya, UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap mengakomodasi Senat yang sudah ada itu, selama masa transisi berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan Indonesia. Karena itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (terlaksana pada 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena bentuk negara tidak lagi federal. Sejak UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, utusan daerah kembali hadir. Namun banyak persoalan mengemuka dalam konsep ini. Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Sehingga DPD yang ada sekarang lahir secara legal formal pada 2001, sewaktu amandemen ketiga UUD ditetapkan. Selanjutnya konsep ini diturunkan dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk). II. METODE PENELITIAN Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk melengkapi data guna menjawab dan pada gilirannya untuk menggambarkan secara utuh tentang hubungan DPD dan DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya, maka data dimaksud dihimpun melalui studi kepustakaan (library resarch) yaitu data dikumpulkan dari bukubuku, majalah-majalah, surat kabar, hasil penelitian dan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam kaitannya dengan kewenangan dan hubungan DPD dan DPR serta dokumen-dokumen lain yang relevan dalam penulisan ini. Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan klasifikasi sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, dianalisis dan diolah secara kualitatif, dan disampaikan secara sistematis dalam bentuk tulisan yang mudah dimengerti. Penelitian merupakan langkah penting bagi setiap penulisan laporan ilmiah seperti 78

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 halnya dalam bentuk tulisan ilmiah ini, karena akan didukung dengan data yang akurat serta faktual. Dengan dukungan data penelitian hasilnya akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan kebenarannyapun dapat pula dipertanggung jawabkan. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undangundang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang ini disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Mei 2004, akan tetapi baru berlaku efektif pada November 2004. Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU tersebut terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Bagaimanakah prosedur rincinya? Pertama adalah perencanaan. Perencanaan merupakan proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). RUU dari DPR Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi). Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang. Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan 79

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut. Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun. Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai. RUU dari DPD Sebagai lembaga legislatif baru, DPD sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Di awal masa jabatan ini, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringannya ada pada, Rapat Paripurna DPD yang akan mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR. Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan Usul Pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU disampaikan kepada PPU. Selanjutnya pimpinan PPU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat. Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU diterima dengan perbaikan maka, DPD menugaskan PPU untuk membahas dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut. Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya di ajukan kepada pimpinan DPR. 3.2. Mekanisme Kerja DPR dan DPD dalam Bidang Legislasi Dilihat dari pelaksanaan wewenang DPD dalam bidang legislasi yaitu berupa pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan, dilakukan melalui: 80

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 1. Dalam kegiatan pengajuan usul, pembahasan RUU ini dilakukan sebelum DPR membahas RUU dengan Pemerintah; 2. Pada kegiatan ikut dalam pembahasan dilakukan pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tatib DPR. Pembicaraan Tingkat I ini dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas RUU; 3. Dalam pemberian pertimbangan, pertimbangan diberikan sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan Pemerintah. Dalam Peraturan Tata Tertib DPR Tahun 2004 telah diatur mekanisme kerja DPR dan DPD dalam bidang legislasi. Ketentuan tersebut adalah: Pasal 124 ayat (2). Jika RUU yang masuk ke DPR berasal dari Presiden, namun berkaitan dengan RUU yang menjadi wewenang DPD, terhadap RUU tersebut Pimpinan DPR menyampaikannya kepada Pimpinan DPD. Selanjutnya dilakukan ketentuan menurut Pasal 135 ayat (1) huruf a butir 1), dimana DPD menyampaikan pandangan dan pendapat (bersama dengan Fraksi-fraksi di DPR). Pasal 128 ayat (9). Jika RUU yang masuk ke DPR berasal dari DPR sendiri, namun berkaitan dengan RUU yang menjadi wewenang DPD, terhadap RUU tersebut Pimpinan DPR menyampaikannya kepada Pimpinan DPD. Selanjutnya dilakukan ketentuan menurut Pasal 135 ayat (1) huruf a butir 2), dimana DPD menyampaikan pandangan dan pendapat (beserta dengan Presiden). Pasal 132. Jika RUU yang masuk ke DPR berasal dari DPD (RUU yang disampaikan tentu saja merupakan wewenang DPD), terhadap RUU tersebut Pimpinan DPR menyampaikannya dalam Rapat Paripurna dan mengumumkannya kepada Anggota DPR. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman, sebab dari tanggal inilah diketahui apakah DPR melanggar ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2004. Selanjutnya, alat kelengkapan yang ditunjuk untuk membahas RUU tersebut mengundang alat kelengkapan DPD sebanyak-banyaknya 1/3 dari jumlah anggota alat kelengkapan DPR untuk membahas RUU tersebut. Dalam waktu 30 (tiga puluh ) hari kerja sejak alat kelengkapan DPR yang ditugaskan untuk membahas RUU itu mengundang alat kelengkapan DPD wajib hadir. Selanjutnya hasil pembahasan dilaporan dalam Rapat Paripurna. Terhadap ketentuan ini DPR sangat membatasi peran DPD. Pertama, dari segi batasan jumlah orang yang dapat hadir, dibatasi hanya 1/3 dari jumlah anggota alat kelengkapan (sekitar 20 orang). Menurut mantan Ketua Badan Legislasi pada waktu itu (Zain Badjeber), alasannya adalah karena tempat (ruang rapat DPR) yang tidak memadai. Sesungguhnya alasan teknis seperti ini tidak boleh menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas konstitusional. Oleh karena itu, batasan ini seharusnya ditiadakan. Kedua, mengenai kewajiban hadir bagi DPD. Seandainya DPD tidak hadir, apakah berarti DPR dapat tetap melakukan pembahasan RUU. Jika ketentuan ini dimaksudkan demikian, maka bisa saja terjadi kondisi dimana DPD tidak dapat hadir sehingga pembahasan tetap dilakukan. Jika begitu, terasa sekali bahwa peran DPD memang tidak strategis. Namun, di sisi lain, DPR 81

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 juga telah mengantisipasi keinginan DPD untuk "meloloskan" RUU yang berasal dari DPD. Hal ini terlihat dari ketentuan yang menyatakan bahwa hasil pembahasan bersama-sama dengan alat kelengkapan DPR hanya dilaporkan saja dalam Rapat Paripurna, sehingga tidak perlu diambil suatu keputusan yang dapat menjadi ajang penolakan bagi RUU yang berasal dari DPD. Pasal 137. Terhadap RUU yang berkaitan dengan APBN, pajak, pendidikan, dan agama, DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis yang disampaikan oleh DPD, sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dengan Presiden. Jika RUU berasal dari Presiden, Pimpinan DPR menyampaikan surat kepada Pimpinan DPD untuk memberikan pertimbangannya. Demikian pula jika RUU berasal dari DPR, Pimpinan DPR harus menyampaikannya juga kepada Pimpinan DPD. Ketentuan ini juga mengatur bahwa paling lambat 30 hari kerja DPD harus sudah memberikan pertimbangannya. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan DPD belum juga memberikan pertimbangannya, pembahasan terhadap RUU tersebut tetap dapat dilaksanakan. Sekali lagi, dari ketentuan ini dapat dilihat betapa kecilnya peran sebuah DPD dalam bidang legislasi. Selama ini, kegiatan pembahasan RUU antara DPR dengan Pemerintah masuk dalam Pembicaraan Tingkat I. Pembicaraan Tingkat I itu adalah pembahasan RUU di rapat komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Panitia Anggaran, atau rapat panitia khusus, bersama-sama dengan pemerintah. Pembicaraan tingkat II adalah persetujuan di rapat paripurna DPR. Ini artinya DPD tidak diikutsertakan dalam persetujuan atau penolakan terhadap sebuah RUU. Lemahnya fungsi DPD sudah terlihat dalam UUD dan UU Susduk bahkan tercermin juga dalam Peraturan Tatib DPR. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan terhadap DPD harus dimulai dari UUD 45. Itupun harus dimulai dengan konsep yang jelas. Tanpa konsep yang jelas, yang muncul adalah keputusan-keputusan yang berorientasi jangka pendek, yang sebentar akan pudar. Ketentuan yang diatur di dalam Tatib memang tidak bisa terlepas dari ketentuan yang ada di atasnya. Namun, setidaknya Tatib DPR tidak semakin melemahkan peran DPD seperti membatasi jumlah peserta rapat, memberikan batasan waktu dimana pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan kehilangan fungsi DPD itu sendiri, bahkan melemahkan sebuah lembaga DPD menjadi sebuah alat kelengkapan. Padahal bisa saja DPR mengadakan rapat dalam forum yang lebih besar dengan DPD. 3.3. DPD Sebagai Perwujudan Sistem Bikameral di Indonesia. Kritik yang sering ditujukan kepada perubahan ketiga UUD adalah lemahnya wewenang DPD. Karena itu pula konsep bikameral tersebut sering dibahasakan sebagai weak bicameral atau soft bicameral. Istilah ini muncul karena DPD mempunyai wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan. Dalam konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya dapat mengajukan RUU, ikut membahas RUU dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan tersebut 82

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah (Pasal 22D UUD). Wewenang ini kemudian dirinci dalam UU Susduk sebagai berikut: DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 42). DPD ikut membahas bersama DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan oleh pemerintah atau hak inisiatif DPR (Pasal 43). DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undangundang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 44). DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 45). DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak. pendidikan, dan agama (Pasal 46). Namun kesemua wewenang tersebut dilakukan sebelum pembahasan oleh DPR. Artinya, keputusan mengenai undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR dan pemerintah. Dengan begitu, pertanyaannya adalah: betulkah Indonesia saat ini menerapkan bikameral lemah atau weak bicameralism atau soft bicameralism? Yang terlupakan dalam argumen ini adalah bahwa konsep bikameral sendiri sebenarnya tidak diterapkan. Pernyataan yang terdengar melawan arus ini didasarkan pada premis bahwa konsep bikameral lahir justru untuk mendorong adanya checks and balances di dalam lembaga perwakilan. Kata kunci dalam konteks parlemen bikameral (dan dalam politik secara umum) adalah kompetisi. Perlu ada kompetisi antara dewan tinggi dan dewan rendah untuk memunculkan kondisi saling mengontrol yang menimbulkan keseimbangan politik (checks and balances) di dalam parlemen itu sendiri. Dan memang, kebutuhan akan adanya dua dewan dalam satu lembaga perwakilan adalah untuk mewakili konstituensi yang berbeda sehingga terjadi proses deliberasi yang lebih baik. Karena itu pula, biasanya wewenangnya dibuat sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dan kekurangan yang didisain berbeda di antara keduanya. Dengan begitu, dapat terjadi proses yang membatasi kewenangan yang berlebihan dari suatu lembaga politik. Untuk memberikan gambaran mengenai kompetisi politik antara dua kamar ini, penelitian yang dilakukan oleh Arend Lijphart terhadap 36 negara yang menganut bikameral dapat dijadikan referensi. Lijphart menyimpulkan adanya dua karakter untuk melihat keberadaan sistem bikameral yang diterapkan kuat ( strong bicameralism) atau lemah (weak bicameralism) (Lijphart, 1999: 203-205). 83

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 Pertama, kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh kedua kamar. Kecenderungannya, kamar kedua (Senate di Amerika Serikat, Bundesrat di Jerman, atau DPD di Indonesia) biasanya mempunyai kewenangan yang lebih kecil daripada kamar pertama ( House of Representatives di Amerika Serikat, Bundestag di Jerman, atau DPR di Indonesia). Kedua, signifikansi politik kamar kedua tergantung tidak hanya dari kekuatan formal mereka, melainkan juga dari cara pemilihan anggotanya. Kedua karakter ini saling berkaitan. Kamar kedua yang anggotanya tidak dipilih secara langsung mempunyai legitimasi yang minimal dan karenanya biasanya mempunyai peran politik yang kurang penting. Oleh sebab itu, ada tendensi kamar kedua, yang anggotanya punya legitimasi kuat karena dipilih secara langsung, diberikan wewenang yang lebih kecil daripada kamar pertama. Dari kedua karakter ini, Lijphart kemudian mengklasifikasi parlemen bikameral menjadi dua kelompok, yaitu simetris dan asimetris. Bikameral dikatakan simetris bila kekuatan di antara kamar pertama dan kedua relatif setara dan disebut asimetris bila kekuatan di antara keduanya sangat tidak berimbang. Soalnya, DPD bahkan tidak mempunyai kekuatan konstitusional untuk berkompetisi. Karena DPD sesungguhnya tidak mempunyai wewenang sampai pada tingkat pengambil keputusan, termasuk dalam proses legislasi. Seluruh wewenang DPD hanya sampai pada tingkat memberikan pertimbangan. Kalaupun ia dapat mengajukan rancangan undang-undang, kekuatannya pun tidak mutlak karena Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD sudah jelas menyatakan bahwa kekuasaan legislasi ada pada DPR; dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Terlihat jelas, pengambilan keputusan mengenai legislasi hanya dilakukan oleh DPR dan presiden. DPD dapat ikut membahas, tetapi tidak untuk mengambil keputusan. Demikian pula dalam hal mengusulkan rancangan undang-undang. Tata Tertib DPR kemudian memang mengatur adanya pembahasan terhadap rancangan undang-undang usulan DPD, tetapi komisi terkait di DPR dan Badan Legislatif DPR bisa menolak rancangan tersebut dan tidak diwajibkan untuk menerimanya. Begitu pula dalam konteks fungsi pengawasan, DPD hanya memberikan pertimbangan, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh DPR melalui tiga hak kelembagaan DPR, yaitu hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat (Pasal 27 UU 22/2003). Terlihat jelas bahwa DPD seakan hanya menjadi penasehat DPR dalam soal-soal yang berkaitan dengan daerah, tanpa memiliki suara untuk menentukan kebijakan. Di sinilah letak kelemahan konsep bikameral yang diperkenalkan dalam UUD dan UU Susduk. Interaksi antara DPD dan DPR dalam prosedur legislasi, pengawasan, dan anggaran dianggap bukan dalam prosedur kelembagaan melainkan berupa masukan yang bersifat fakultatif sebelum pembahasan. Kegagalan DPD dalam mengusulkan Amandemen UUD 1945 terkait dengan penguatan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem parlemen dua kamar (Bikameral) beberapa waktu lalu, karena politicking DPR harus dilihat sebagai tantangan bagi DPD RI. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam 84

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 pengalaman penguatan sistem bikameral di banyak negara, hampir mustahil DPR memberikan sebagian wewenangnya kepada DPD/Senat secara Cuma-Cuma, dibutuhkan semacam insentif politik agar DPR memberikan sebagian wewenanganya dengan terlebih dahulu melakukan Amandemen UUD 1945, khususnya pada pasal-pasal terkait dengan penguatan kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Keengganan DPR untuk memuluskan jalan bagi Amandemen UUD 1945 bagi penguatan wewenang DPD menjadi satu pelajaran bagi DPD, bahwa politik di parlemen tidak mudah diprediksi. Apalagi sebagian besar anggota DPD adalah orang baru dalam percaturan politik nasional, hanya sedikit saja yang memang relatif berpengalaman dalam menghadapi politicking DPR di parlemen, itupun tidak berdaya oleh langkah-langkah partai politik yang mengendalikan anggotanya di DPR. Dan itu terbukti ketika sebagian anggota DPR yang awalnya mendukung usulan Amandemen UUD 1945, kemudian satu persatu menarik dukungannya. Pelajaran dari kegagalan usulan Amandemen UUD 1945 yang pertama bagi DPD, dibutuhkan berbagai langkah yang mampu memberikan ruang dan peluang bagi DPD agar tetap berada di koridor ketatanegaraan bangsa ini. Sebab, jika keberadaan DPD tidak berdaya dalam lingkup ketatanegaraan, maka keberadaan DPD cepat atau lambat tidak lagi dilihat penting oleh masyarakat, dan pada akhirnya usulan untuk kembali memberlakukan sistem parlemen satu kamar plusplus akan benar-benar terjadi, sebagaimana yang dipraktikkan pada masa Orde Baru. Di mana wakil daerah hanya duduk sebagai salah satu fraksi, di antara fraksi-fraksi dari partai politik dan golongan. Bila mengacu kepada esensi bikameral kuat dan efektif, serta mengacu kepada sistem ketatanegaraan kita maka peran yang ideal dari DPD setidaknya ada empat peran, yakni: Pertama, DPD harus semakin mempertegas posisinya sebagai penyambung lidah rakyat di daerah. Harus digarisbawahi bahwa DPD sebagai perwakilan wilayah menjadi penting untuk ditegaskan bahwa keberadaan DPD tidak hanya sekedar membagi tugas antara dalam ataupun luar negeri, sebagaimana praktik parlemen di Amerika Serikat, melainkan juga memperjuangkan aspirasi daerah, khususnya yang terkait dengan kepentingan daerah di tingkat nasional. Kedua, DPD berperan sebagai lembaga penyeimbang dari DPR, agar fungsi check and balances di parlemen dapat berjalan. Sebagaimana diuraiakan di atas, posisi DPR yang terlalu kuat dan dominan membangun hubungan antara DPR dan eksekutif . Di samping itu, dengan adanya check and balances, produk yang dihasilkan parlemen akan lebih komprehensif. Ketiga, peran DPD untuk membantu meringankan beban dan tugas yang diemban oleh DPR. Dengan berbagai produk yang harus dihasilkan, maka dibutuhkan lembaga mitra untuk membahas setiap RUU ataupun permasalahan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab dari parlemen. Sebagaimana diketahui bersama, banyaknya RUU yang masih belum selesai sesuai target adalah indikator bahwa upaya untuk mendimanisir kinerja parlemen dapat dilakukan. 85

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 Keempat, DPD harus mengambil inisiatif dalam berbagai hal terkait dengan masalah kebangsaan, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Hal ini harus melekat pada institusi DPD, sebagaimana juga melekat di DPR. Peran ini menjadi bagian dari pembuktian bahwa DPD adalah salah satu kamar yang berperan aktif dalam perpolitikan nasional. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Hubungan antara DPR dan DPD dalam menjalankan fungsi legislasinya belum berjalan secara baik, sehingga prinsip checks and balances khususnya dalam perancangan UU di parlemen belum bisa berjalan secara optimal karena DPD hanya ikut membahas, namun dalam rangka memutuskan, DPD tidak lagi dilibatkan. 2. Peran DPD dalam menjalankan fungsi legislasi belum mampu mengawal RUU sampai ketingkat persetujuan, yang ada hanya sebatas mengajukan dan turut serta membahas RUU yang relevan dengan urusan daerah dan dapat melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait dengan daerah sesuai dengan yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susduk sehingga DPD seakan hanya sebatas formalitas ketatanegaraan belaka. 4.2. Saran 1. Agar hubungan DPR dan DPD dapat berjalan baik, maka kekuasaan DPD dan DPR harus dibuat seimbang, sehingga konsep bikameral parlemen di Indonesia benar-benar terwujud demi menjalankan prinsip checks and balances di parlemen. 2. Untuk meningkatkan peran DPD dalam menjalankan fungsi legislasinya, maka perlu dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 dengan agenda utama memberi kewenangan yang sama antara DPR dan DPD, baik dalam mengusulkan maupun mengesahkan Rancangan Undang-Undang.

DAFTAR BACAAN
Susanti Bivitri. 2005 Bukan Sekadar Lembaga Pemberi Pertimbangan: Peran DPD dalam Proses Legislasi, Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Vol. 2 No. 3 September 2005: 46-66. Asshiddiqie Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Penerbit Buana Ilmu Populer. Jaweng Endi Robert dkk. 2005. Mengenal DPD-RI: Sebuah Gambaran Umum. Jakarta: Institute for Local Development. Martosoewignjo Soemantri Sri. 2003 Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Setjen MPR dan UNDP). 86

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343 Marbun B.N. 1992. DPR RI; Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Piliang J Indra dan Susanti Bivitri. 2006. Untuk Apa DPD RI, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta. ______. 2005. Mewakili Daerah-kah Dewan Perwakilan Daerah? Pengantar Diskusi Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, DPD RI dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. ______. 2003. Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi dan Implikasi UU Susduk dan Cermin Carut Marutnya Konstitusi. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 20. PSHK. 2000. Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Jakarta. Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Artikel/Opini Simamora Janpatar. 2007. Menyempurnakan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Melalaui Amandemen UUD 1945, Harian Analisa Medan, Senin 5 Maret 2007.

87

_____________
ISSN 0853 - 0203

VISI (2009) 17 (3) 331 - 343

Riwayat Hidup Penulis Janpatar Simamora, lahir di Sidikalang, 14 Januari 1981. Sarjana Hukum dengan Konsentrasi Hukum Tata Negara dari Universitas HKBP Nommensen tahun 2005. Mulai tahun 2006 sampai sekarang, aktif sebagai Kolumnis/ Penulis di berbagai Media Cetak terbitan Sumatera.

88

_____________
ISSN 0853 - 0203

You might also like