Professional Documents
Culture Documents
Adhari purnaewan
Nasib yang dihadapi oleh dunia ketiga pada umumnya terangkum dalam
satu kata, yaitu kegagalan. Dalam dua bulan terakhir, para ahli,
pemikir, dan ulama di dunia Arab menggelar sejumlah forum regional
untuk membahas tentang krisis dan kegagalan yang hampir melanda
seluruh sektor kehidupan.
Banyak hal yang dibahas dalam forum tersebut, baik masalah yang
menyangkut konflik antara Palestina-Israel, instabilitas kawasan,
Irak, dan rendahnya sumber daya manusia. Para pemikir Arab mulai
menabuh genderang untuk lahirnya sebuah pemikiran bersama dalam rangka
keluar dari kegagalan.
Gagasan seperti ini amat diperlukan. Para pemikir dan elite politik di
negeri ini sejatinya mempunyai inisiatif serupa untuk memikirkan jalan
keluar dari kegagalan yang makin parah. Sebab gejala yang muncul
hampir tidak ada harapan untuk membangun prestasi pada masa mendatang.
Pergantian pemimpin, menteri, gubernur, bupati, bahkan pergantian
pemimpin organisasi keagamaan tidak memberikan harapan untuk bangkit
dari kegagalan. Pertanyaannya, kenapa kita telah dan selalu gagal?
Sosiologi kegagalan
Karena itu, kita perlu belajar dari langkah yang diambil pemikir dan
ulama, seperti Arkoun. Sebab, kegagalan bukanlah masalah yang sepele.
Kegagalan merupakan masalah serius yang kini mengepung bangsa ini dari
pelbagai penjuru. Penyelesaian yang dibuat harus mampu menyentuh
pelbagai lapisan, baik pada level masyarakat maupun pada level negara.
Betapapun, pemerintahan kita tak boleh gagal, jika kita tak ingin jadi
negara yang gagal.
Tentu saja, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki dan bangkit
dari kegagalan sejauh para elite politik dan masyarakat mempunyai
optimisme dalam mengubah kegagalan sistemik, struktural dan obyektif
menjadi keberhasilan sistemik, struktural dan obyektif. Dan, mengubah
itu semua tidak semudah membalikkan kedua belah tangan.