You are on page 1of 2

Teori kekuasaan

Adhari purnaewan

Nasib yang dihadapi oleh dunia ketiga pada umumnya terangkum dalam
satu kata, yaitu kegagalan. Dalam dua bulan terakhir, para ahli,
pemikir, dan ulama di dunia Arab menggelar sejumlah forum regional
untuk membahas tentang krisis dan kegagalan yang hampir melanda
seluruh sektor kehidupan.

Banyak hal yang dibahas dalam forum tersebut, baik masalah yang
menyangkut konflik antara Palestina-Israel, instabilitas kawasan,
Irak, dan rendahnya sumber daya manusia. Para pemikir Arab mulai
menabuh genderang untuk lahirnya sebuah pemikiran bersama dalam rangka
keluar dari kegagalan.

Gagasan seperti ini amat diperlukan. Para pemikir dan elite politik di
negeri ini sejatinya mempunyai inisiatif serupa untuk memikirkan jalan
keluar dari kegagalan yang makin parah. Sebab gejala yang muncul
hampir tidak ada harapan untuk membangun prestasi pada masa mendatang.
Pergantian pemimpin, menteri, gubernur, bupati, bahkan pergantian
pemimpin organisasi keagamaan tidak memberikan harapan untuk bangkit
dari kegagalan. Pertanyaannya, kenapa kita telah dan selalu gagal?

Sosiologi kegagalan

Muhammad Arkoun (2007) menegaskan perlunya pembahasan yang cukup


serius perihal sosiologi kegagalan. Setidaknya, kegagalan yang menimpa
dunia berkembang merupakan akumulasi dari lingkaran kegagalan.

Menurut Arkoun, ada trilogi kegagalan yang perlu mendapatkan perhatian


pelbagai pihak: Pertama, kegagalan sistemik (sistemic failure).
Kegagalan dalam model ini merupakan salah satu bentuk runtuhnya sistem
nalar dalam sebuah masyarakat. Pendidikan tidak lagi mengasah dan
mencerdaskan nalar. Alih-alih untuk membangun sistem nalar, pendidikan
kerap kali terjebak dalam standardisasi yang sama sekali tidak mengacu
pada pembangunan sistem nalar. Matinya sistem nalar menyebabkan
munculnya kegagalan sistemik dan hilangnya selera kemanusiaan.

Kedua, kegagalan struktural (structural failure). Kegagalan dalam


model ini merupakan faktor determinan bagi kegagalan sistemik. Hal itu
disebabkan lembaga-lembaga kekuasaan, baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, secara sengaja telah menjadi lembaga-lembaga yang
memproduksi kegagalan. Kegagalan tersebut disebabkan hilangnya visi
kebangsaan dan kerakyatan. Dalam banyak pengalaman, khususnya
negara-negara berkembang, sulitnya membangun demokrasi sangat terkait
dengan menerjemahkan demokrasi dalam konteks kekuasaan. Rakyat hanya
diminta untuk memilih dan mengantarkan wakil-wakil mereka ke
singgasana kekuasaan. Setelah kekuasaan diperoleh, saat itu pula
kegagalan mulai diproduksi. Kegagalan struktural bisa dilihat dari
hilangnya perhatian terhadap rakyat kecil, diskriminasi terhadap
kelompok minoritas, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan
maraknya korupsi. Dalam beberapa hal ini, harus diakui bahwa
lembaga-lembaga kekuasaan masih mengalami masalah serius.

Politik kerap kali diterjemahkan bukan dalam kerangka kesejahteraan


dan keadilan, melainkan dalam konteks merebut kekuasaan dan kekayaan.
Sedangkan pemihakan terhadap rakyat kecil kerap kali diabaikan.

Ketiga, kegagalan obyektif (objective failure). Kegagalan pada model


ini merupakan akumulasi dua kegagalan sebelumnya. Faktanya, kegagalan
mengalami peningkatan, bahkan makin aktual. Meningkatnya angka
kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, flu burung, korban lumpur
Lapindo, pelanggaran HAM, dan lain-lain. Masalahnya, kegagalan
obyektif tidak mendapatkan permenungan dari pelbagai pihak. Ironisnya,
kegagalan bukan diatasi bersama, tetapi justru dijadikan sebagai tontonan.

Karena itu, kita perlu belajar dari langkah yang diambil pemikir dan
ulama, seperti Arkoun. Sebab, kegagalan bukanlah masalah yang sepele.
Kegagalan merupakan masalah serius yang kini mengepung bangsa ini dari
pelbagai penjuru. Penyelesaian yang dibuat harus mampu menyentuh
pelbagai lapisan, baik pada level masyarakat maupun pada level negara.
Betapapun, pemerintahan kita tak boleh gagal, jika kita tak ingin jadi
negara yang gagal.

Yang paling bertanggung jawab untuk mencegah kegagalan adalah negara


dan pemerintah. Hal itu bisa dilakukan bilamana negara mampu
memproduksi kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi publik. Pada
jangka panjang, pendidikan harus didorong untuk membangun sistem
nalar. Sementara pada jangka pendek, ekonomi dan kesetaraan politik
harus menjadi agenda yang utama. Sebab bila agenda tersebut gagal,
akan mempercepat lahirnya kegagalan obyektif.

Tentu saja, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki dan bangkit
dari kegagalan sejauh para elite politik dan masyarakat mempunyai
optimisme dalam mengubah kegagalan sistemik, struktural dan obyektif
menjadi keberhasilan sistemik, struktural dan obyektif. Dan, mengubah
itu semua tidak semudah membalikkan kedua belah tangan.

Zuhairi Misrawi Intelektual Muda NU dan Penggagas Lingkar Muda


Indonesia (LMI)

You might also like