You are on page 1of 6

ANALISIS SIMBOLIK SAJAK BULAN MEI 1998 DI

INDONESIA
KARYA WILLIBRORDUS SURENDRA BROTO
RENDRA (W.S RENDRA)

Disusun oleh:

A. M. Bayu Al-Ghazali. S. M
F211 04 059

SASTRA INGGRIS
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2007
SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA *
W.S. RENDRA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja


Bankai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!


O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!


O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara


menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!


Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi


Airmata mengalir dari sajakku ini.

*
Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan
dibacakan Rendra di depan gedung MPR/DPR pada tanggal 18
Mei 1998
ANALISIS SIMBOLIK SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

KARYA WILLIBRORDUS SURENDRA BROTO RENDRA (W.S RENDRA)

Hampir sepuluh tahun silam, kala itu bulan Mei 1998 dipenuhi tangis dan
darah. Amarah meledak di hampir seluruh pojok Jakarta, juga di beberapa kota lain
di Indonesia. Entah berapa persisnya orang yang meregang nyawa di pertokoan dan
gedung perkantoran yang sengaja dibakar, entah oleh siapa. Tak pernah ada proses
yang terang benderang untuk mengusut kekejian di hari- hari gelap yang disusul
kejatuhan penguasa orde baru, Soeharto.

Peristiwa ini diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun


1997. Harga- harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun
berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan
mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi
mendapat simpati dan dukungan dari rakyat.

Gedung wakil rakyat, yaitu Gedung DPR/MPR dan gedung-gedung DPRD di


daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh
elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan
untuk menurunkan Soeharto. Organ mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara
lain adalah FKSMJ dan Forum Kota karena mempelopori pendudukan gedung
DPR/MPR.

Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya sang Presiden tercapai pada


tanggal 21 Mei 1998, tapi perjuangan ini harus melalui tragedi Trisakti dan tragedi
semanggi dengan gugurnya beberapa mahasiswa akibat bentrokan dengan aparat
militer bersenjata.

W.S Rendra melalui sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia ingin mengemukakan
tentang jatuhnya sebuah rezim kekuasaan dikarenakan kepercayaan telah dilanggar,
ketika hukum tak lagi berarti, hingga rakyat menjadi korban.

Masa kejatuhan seorang penguasa dan kekuasaannya dikiaskan dengan


“bulan gelap raja-raja”. Pada bulan gelap raja-raja inilah terjadi pergolakan di
masayarakat, dimana korban-korban berjatuhan dan rasa amarah telah mendominasi
hati dan pikiran manusia. Dengan demikian, inilah sisi buram kehidupan sebuah
ketragisan hidup dan nasib manusia.

Dalam sajak di atas ada hubungan atau pertautan yang erat antara unsur-
unsurnya, satuan-satuan kebermaknaannya. Ada kesatuan imaji. Imaji suram,
suasana kelam: bulan gelap, bangkai-bangkai, sampah kehidupan, malam kelam,
kebingungan, kabut ketakutan, putus asa, bau anyir darah, dan sudut-sudut gelap.
Sesuai dengan itu latarnya: aspal jalan, selokan, dan comberan. Tiap bait pun dengan
baik menggambarkan suasana duka, murung, suram, dan sedih, maknanya diperkuat
oleh bunyi vokal a dan u yang dominan (sesuai untuk mengungkapkan kesedihan),
lebih- lebih dalam kata-kata: bulan gelap, bangkai-bangkai, malam kelam,
kebingungan, kabut ketakutan, terbentur sangkur, tipu daya, prahara, bau anyir darah,
fana, pikiran-pikiran kalap, dan sudut-sudut gelap. Jadi, antara bunyi, pemilihan kata,
kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek puisinya.
Kegelisahan akan ketidakadilan hukum, serta ketamakan para penguasa,
semua ini dipaparkan dalam bait kedua, ketiga, dan keempat. Penggambaran tersebut
diperkuat dengan bunyi o pada dua baris pertama dari bait-bait tersebut. Dengan
demikian, kegelisahan Rendra kian tergambarkan yang mengklimaks pada bait
kelima yang merupakan sebuah kontemplasi.

Begitu juga, hubungan antara bait yang satu dengan yang lainnya sangat
kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama memberi gambaran bahwa
disaat kejatuhan sang penguasa, dalam hal ini Presiden Soeharto, terjadi pergolakan
di jalan-jalan di Indonesia, yang akhirnya menelan korban jiwa, dikiaskan dengan
“bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan”. Bait kedua menggambarkan
suatu keadaan dimana hukum tidak lagi berarti, sehingga kepercayaan antara rakyat
dan penguasa tak lagi ada: “koyak moyak suda keteduhan tenda kepercayaan”, “kitab
undang-undang tergeletak di selokan”. Pada bait ketiga, dikemukakan, bahwa untuk
mengembalikan kepercayaan yang telah hilang, maka hukum haruslah tidak
berpihak: “bahwa hukum harus lebih tinggi dari ketinggian para politisi, raja-raja,
dan tentara”. Kata mahkota sendiri menjadi simbol kekuasaan dan kata raja sebagai
orang yang memegang kekuasaan. Ini diperkuat lagi dengan bait keempat yang
menggambarkan bahwa untuk menegakkan keadilan, keadilan Tuhanlah yang pentas
ditegakkan, keadilan yang tak pernah berpihak pada manusia manapun. Terlepas dari
Tuhan yang Maha Adil, kata Ratu Adil pada bait ini merupakan sebuah simbol
keadilan yang juga tidak memihak. Dalam berbagai kebudayaan, Ratu Adil sering
digambarkan sebagai seorang perempuan yang tangan kanannya memegang sebuah
timbangan dan tangan kirinya memegang sebilah pedang, serta matanya tertutup oleh
kain. Bait kelima merupakan klimaks dari sajak di atas yang menggambarkan bahwa
kondisi buram masyarakat suatu Negara diakibatkan oleh penguasa yang semena-
mena. Bait keenam adalah teguran Rendra untuk para penguasa yang tak lagi
memimpin dengan hati dan kebijaksanaan, mereka telah larut terbuai dalam
kekuasaan dan kedudukan. Sedangkan pada bait terakhir, kembali Rendra
menegaskan keprihatinannya atas petaka yang menimpa negeri ini.

Elemen semiotik/simbolik yang juga terdapat dari sajak di atas:


“pikiran kusut membentur Simpul-simpul Sejarah” makna dari
ungkapan ini adalah rentetan kejadian dalam suatu bangsa yang
diwarnai dengan pertumpahan darah, yang lahir dari akumulasi
pikiran-pikiran yang terkekang oleh kekuasaan otoriter sang
penguasa.
“zaman Edan” gambaran mengenai betapa buruknya keadaan
bangsa kita ketika itu. Dimana hati tak lagi didengarkan.
“tatawarna fatamorgana kekuasaan”, seperti candu, kekuasaan
telah banyak menjerumuskan orang demi mendapatkannya, terlena
oleh nikmatnya yang sementara.
“rasa putus asa yang te rbentur sangkur” adalah ungkapan yang
mengggambarkan kondisi putus asa masyarakat dalam
memperjuangkan keadilan yang merata. Dalam perjuangannya,
masyarakat mendapatkan tindak kekerasan dari perilaku represif
aparatur negara, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat sebagai
elemen penting berdirinya suatu negara.

Dengan keeratan hubungan antara bait-baitnya itu, keprihatinan Rendra pada


kondisi negeri ini pada waktu itu dengan jelas ia gambarkan dalam sajak ini. Tiap-
tiap bait hanya bermakna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya.
Tidak ada satu pun bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini
menyatakan bahwa sajak dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat.
Dari struktur estetik, banyak menggunakan bahasa kiasan dan simbolik yang
memiliki ambiguitas sehingga menimbulkan multi tafsir bagi para pembaca. Ekstra
estetik banyak dipengaruhi ekspresi kehidupan batin manusia lewat peneropongan
batin sendiri, sajak-sajaknya menuntut hak asasi manusia: kebebasan bicara, hidup
merdeka, bebas dari penindasan, dan menuntut kehidupan yang layak. Selain itu,
ekstra estetiknya juga mengemukakan kritik sosial atas kesewenangan terhadap kaum
lemah, dan kritik atas penyelewengan-penyelewengan. Dari segi tema, sajak tersebut
di atas mengemukakan masalah kemanusiaan umum dengan jalas seperti tentang
kesengsaraan hidup, perebutan kekuasaan, kekerasan, dan kematian.

Pesan moral yang dapat saya tangkap adalah bahwa sebagai makhluk ciptaan-
Nya, Tuhan telah memberikan hak kepada manusia untuk mengembangkan
pikirannya, bahkan diberikan kekuasaan yang seluas- luasnya untuk memanfaatkan
seluruh alam semesta, tetapi secara kodrati manusia harus mempertimbangkan
keberadaannya di samping orang lain, sebagai bagian orang lain, lingkungan yang
berada di sekitarnya, dan melaksanakan kekuasannya dengan penuh keadilan dan
kebijaksanaan. Pada gilirannya, setiap individu menerima eksistensinya melalui
orang lain. Tentang kematian, bagaimana sajak ini menjadi sebuah dokumentasi akan
sejarah kelam berbagai peristiwa kejam kejahatan manusia atas manusia lain yang
berujung pada hilangnya nyawa orang lain. Tentu saja dalam kehidupan sehari-hari,
kita selalu berhadapan dengan tema ini. Kematian dan kekerasan menjadi bagian tak
terpisahkan dalam hidup kita. Kekejaman hidup seperti itu bisa saja hadir dalam
kekejaman atas individu yang dilakukan, baik secara personal maupun secara
institusional. Ia menjadi sesuatu yang lumrah. Banyak med ia massa dan karya sastra
yang mengabarkan kematian kepada kita. Entah dengan cara bagaimana dan sebab
apa, nyatanya kematian menjadi sebuah kabar yang tak lagi membuat kita berduka
atau berkabung. Sedangkan kekuatan spiritual yang terkandung, bagaimana
seharusnya hubungan- hubungan kemanusiaan, yang secara keseluruhan dievokasi
melalui hasrat manusia untuk melaksanakan kehendak Sang Pencipta sebagaimana
mestinya, sebagai bentuk kontemplasi akan kekuasaan Tuhan. Kembali lagi Rendra
dalam sajaknya ini berhasil menjadikannya sebagai jalan lain menuju kebenaran
disamping agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.

You might also like