You are on page 1of 14

PROSEDUR DATA YANG DIPERLUKAN dan SYARAT SYARAT

PENANDATANGANAN AKTA JUAL BELI (AJB)

Jual beli merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu,
dan biasanya diatur dalam hukum Adat, dengan prinsip: Terang dan Tunai.
Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, dan Tunai
artinya di bayarkan secara tunai. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum
dapat dilakukan proses jual beli dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang
untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
terdiri dari:

1. PPAT sementara –> adalah Camat yang diangkat sebagai PPAT untuk daerah
–daerah terpencil

2. PPAT –> Notaris yang diangkat berdasarkan SK Kepala BPN untuk wilayah
kerja tertentu

Data-data apa saja yang harus dilengkapi untuk proses Jual Beli & balik
nama tersebut?

Dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tersebut, biasanya PPAT
yang bersangkutan akan meminta data-data standar, yang meliputi:

I. Data tanah, meliputi:


a) asli PBB 5 tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti
bayarnya)
b) Asli sertifikat tanah (untuk pengecekan dan balik nama)
c) asli IMB (bila ada, dan untuk diserahkan pada Pembeli setelah selesai
proses AJB)
d) bukti pembayaran rekening listrik, telpon, air (bila ada)
e) Jika masih dibebani Hak Tanggungan (Hipotik), harus ada Surat Roya dari
Bank yang bersangkutan

Catatan: point a & b mutlak harus ada, tapi yang selanjutnya optional

f) Data Penjual & Pembeli (masing-masing) dengan kriteria sebagai


berikut:
a) Perorangan:
a.1. Copy KTP suami isteri
a.2. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah
a.3. Copy Keterangan WNI atau ganti nama (bila ada, untuk WNI
keturunan)

b) Perusahaan:
b.1. Copy KTP Direksi & komisaris yang mewakili
b.2. Copy Anggaran dasar lengkap berikut pengesahannya dari
Menteri kehakiman dan HAM RI

b.3. Rapat Umum Pemegang Saham PT untuk menjual atau


Surat Pernyataan Sebagian kecil asset

c) Dalam hal Suami/isteri atau kedua-duanya yang namanya tercantum


dalam sertifikat sudah meninggal dunia, maka yang melakukan jual
beli tersebut adalah Ahli Warisnya. Jadi, data-data yang diperlukan
adalah:

c.1. Surat Keterangan Waris


-Untuk pribumi: Surat Keterangan waris yang disaksikan dan
dibenarkan oleh Lurah yang dikuatkan oleh Camat
-Untuk WNI keturunan: Surat keterangan Waris dari Notaris
c.2. Copy KTP seluruh ahli waris
c.3. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah
c.4. Seluruh ahli waris harus hadir untuk tanda-tangan AJB, atau
Surat Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris kepada
salah seorang di antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris
(dalam hal tidak bisa hadir)
c.5. bukti pembayaran BPHTB Waris (Pajak Ahli Waris), dimana
besarnya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi
dengan Nilai tidak kena pajaknya.

Nilai tidak kena pajaknya tergantung dari lokasi tanah yang bersangkutan.
Contoh Perhitungannya:
-NJOP Tanah sebesar Rp. 300 juta, berlokasi di wilayah bekasi:
Nilai tidak kena pajaknya wilayah Bekasi adalah sebesar Rp. 250 jt. Jadi pajak
yang harus di bayar =
{(Rp. 300jt – Rp. 250jt) X 5%} X 50%.
Jadi, apabila NJOP tanah tersebut di bawah Rp. 250 jt, maka penerima waris
tidak dikenakan BPHTB Waris (Pajak Waris)

Sebelum dilaksanakan jual beli, harus dilakukan:


1. Pengecekan keaslian dan keabsahan sertifikat tanah pada Kantor
Pertanahan yang berwenang
2. Para pihak harus melunasi pajak jual beli atas tanah dan bangunan tersebut.
Dimana penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut:
-Pajak Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 %
-Pajak Pembeli (BPHTB) =
{NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%

SYARAT PEMBUATAN AKTA HIBAH (Ke PPAT)

1. KTP Pemberi hibah (Ibu dan Bapak)


2. Surat Nikah Pemberi hibah
3. Sertipikat Asli
4. SPPT dan STTS PBB 10 tahun terakhir
5. KTP Penerima hibah
6. Persetujuan ahli waris lainnya (KTP)

PROSES SERTIFIKASI DAN GANTI NAMA

Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
2. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2000.
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
5. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
6. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:
a) Surat Pengantar dari PPAT.
b) Surat Permohonan.
c) Sertipikat Asli.
d) Akta Hibah.
e) Identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP
dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat berwenang).
f) Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
g) Bukti pelunasan SSB BPHTB.
h) Bukti pelunasan SSP Pph Final (untuk Pph apabila hibah vertikal tidak
diperlukan).
i) SPPT PBB tahun berjalan
j) Ijin Pemindahan Hak, jika:

-Pemindahan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Rumah Susun yang di dalam
sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya
boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang
berwenang;

-Pemindahan hak pakai atas tanah negara.

-Surat Pernyataan calon penerima hak, yang menyatakan:


Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan
tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
-Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku
-Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana
dimaksud pada 11a dan 11b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau
tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform
-Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya,
apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 11a dan 11b tidak benar

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pengertian
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang
selanjutnya disebut pajak;
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan;
3. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta
bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor
16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lainnya.

II. Objek Pajak Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
meliputi:

a. Pemindahan hak karena

1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.penggabungan usaha;
11.peleburan usaha;
12.pemekaran usaha;
13.hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:

1. kelanjutan pelepasan hak;

2. di luar pelepasan hak.

Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.

III. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang
diperoleh:

a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;


b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. Orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

IV. Subjek PajakYang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek
Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

V. Tarif PajakTarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

VI. Dasar Pengenaan BPHTBDasar Pengenaan Pajak adalah Nilai


Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;

a. Jual beli adalah harga transaksi;


b. Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c. Hibah adalah nilai pasar;
d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai
pasar;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai
pasar;
k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m Pemekaran usaha adalah nilai pasar
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam Risalah Lelang;

Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada
NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

VII. Pengenaan BPHTBa.pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat


BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat
adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.b.pengenaan
BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena
pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:-0% (nol persen) dan
BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak
Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga
Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan
Nasional (Perum Perumnas);-50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang
seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud
diatas.

VIII.Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan


secara regional paling banyak;a.Rp.60.000.000 (enam puluh juta
rupiah);b.Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak
karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk
istri/suami.

IX. Saat, Tempat, dan Cara Pembayaran Pajak Terutang.Saat terutang Pajak
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan;
e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan
pemberian hak;
k. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal
ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

Tempat Pajak Terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang
meliputi letak tanah dan bangunan.

Cara Pembayaran Pajak adalah wajib pajak membayar pajak yang terutang
dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak terutang
dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/BUMD atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).

I. Cara Penghitungan BPHTB


Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;

BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)


Contoh;1.
Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan "S" membeli tanah yang terletak di
Kabupaten "XX" dengan harga Rp.50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp.
40.000.000,00. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka
NPOP-nya sebesar Rp. 50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah
wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten
"XX" ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil
dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp.
60 juta)= 5 % x (0)= Rp. 0 (nihil).

Contoh 2.
Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya "D" membeli tanah dan bangunan yang
terletak di Kabupaten "XX" dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun
2006 adalah Rp. 100.000.000,00. Sehingga besarnya NPOP adalah Rp.
100.000.000.-. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk
Kabupaten "XX" ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00
dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka
perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.BPHTB = 5 % x (Rp. 100 – Rp. 60) juta= 5 % x ( Rp. 40) juta= Rp.
2 juta .

Contoh 3.
Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan"S" mendaftarkan warisan berupa tanah dan
bangunan yang terletak di Kota "BB" dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00.
NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota "BB" ditetapkan
sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00
dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00, maka
perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta= 50% x 5 % x
( Rp. 100) juta= Rp. 2,5 juta.

Contoh 4.
Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi "K" mendaftarkan
hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota
"BB" dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan
hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, untuk Kota "BB" ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00.
Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak
tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBPHTB
= 50% x 5 % x (Rp. 250 – Rp. 300) juta= 50% x 5 % x (0)= Rp. 0 (nihil).
II. Pembayaran BPHTB
Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem "self
assessment". Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak
mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang
dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha
Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran
lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat
Setoran Bea (SSB).

III. Penetapan

1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,


Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB)
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak
yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama
24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan
diterbitkannya SKBKB.

2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,


Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang
setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang
dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut,
kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan.

IV. Penagihan

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan apabila :

1. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;


2. dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3. wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau
bunga.Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan
pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan
sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika tidak atau kurang dibayar pada
waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

I. Keberatan

1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur


Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Nihil.

2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan


mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib
Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih
Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka
(1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud


pada angka (2) dan angka (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.

5) Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat


Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman
Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan
Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis
hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.

7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan


pelaksanaan penagihan pajak.

8) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan.

9) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan


alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

10) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa


mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah
besarnya jumlah pajak yang terutang.

11) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (8) telah
lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan,
keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

II. Banding
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai kebertannya yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (1) diajukan secara


tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan
diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar


pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(4) Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan


sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak
tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak
sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding.

III. Pengurangan
Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat
diberikan oleh Menteri karena:
1. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak,

contoh;

a. Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru
melalui program pemerintah di bidang pertanahan;
b. Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke
atas atau satu derajat ke bawah.

2. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu,

contoh;

a. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil
ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek
Pajak;

b. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas
tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus;

c. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang
berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib
Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha
sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

3. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau


pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnya;
Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan,
panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan
mencari keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial
Masyarakat.

IV. Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB Wajib Pajak dapat


mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak
kepada Direktur Jenderal Pajak, c.q. Kantor Pelayanan Pratama atau Kantor
Pelayanan PBB setempat.

Ketentuan Bagi Pejabat


1. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan;

2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang


perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.

3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan


pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan
surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.

4. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah
wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/ Kota
pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan."

5. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara


melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah
kepada Direktorat Jenderal Pajak selambatlambatnya pada tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya.

Sanksi Bagi Pejabat

a. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang


melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dan angka 2
dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

b. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi administrasi dan
denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap laporan.

c. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan


pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam angka 3, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

d. Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam angka 4, dikenakan sanksi menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

You might also like