You are on page 1of 3

POSTSTRUKTURALISME DAN POSTKOLONIALISME

Realisme, Liberalisme, dan Marxisme merupakan contoh dari teori mainstream yang masih mendominasi ranah keilmuan Hubungan Internasional. Seiring berjalannya waktu, belakangan muncul teori-teori alternatif yang berusaha merespon gejala dan fenomena yang hadir pada masa itu. Teori alternatif ini berusaha memberi pemahaman baru, karena teori mainstream dianggap terlalu rigid. Poststrukturalisme merupakan salah satu teori alternatif dalam ranah Hubungan Internasional. Teori ini masuk dalam HI pada awal 1980an yang dibawa oleh Richard Ashley, James der Derian, Michael Saphiro, dan RBJ Walker. Lantas, apa perbedaan antara strukturalisme dan poststrukturalisme? Pada dasarnya, poststrukturalisme hadir sebagai respon atas strukturalisme. Namun, teori ini tidak secara holistik menolak perspektif strukturalisme, karena ada beberapa kesamaan paham di antara kedua teori ini. Pada strukturalisme, aktor dalam HI sangat dipengaruhi oleh struktur yang terbentuk di dunia ini. Sedangkan pada poststrukturalisme, pihak yang memiliki andil besar untuk mempengaruhi struktur tersebut adalah agen dalam hubungan dan interaksi antarnegara. Strukturalisme dan poststrukturalisme memiliki perbedaan perspektif mengenai bahasa. Kubu strukturalisme lebih menitikberatkan pada bahasa ekonomi demi mengkritik dan menentang negara-negara borjuis kapitalis yang dominatif dan interventif. Sedangkan pada kubu poststrukturalisme, aspek bahasa kebudayaan merupakan aspek krusial dalam mengkritik modernis. Strukturalisme meyakini bahwa terdapat eksistensi potensi emansipasi manusia terhadap pembangunan dunia modern. Namun, kubu poststrukturalisme justru memandang pembangunan sebagai strategi kekuatan dunia modern. Persamaan perspektif antara keduanya adalah bahwa manusia merupakan subjek (bukan individu) dan mengkritik historisisme. Kubu poststrukturalisme meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah constructed. Ia juga percaya bahwa terdapat hubungan antara ilmu pengetahuan dan power. Selain itu, kubu ini menganggap bahwa terdapat penekanan perubahan dogma berpikir di masaEnlightenment, yakni bukan Tuhan maupun gereja yang sepatutnya berkuasa, karena sumber filosofi dan dasar legitimasi politik adalah manusia beserta akal pikirannya. Realisme dan neorealisme pun menjadi sasaran kritikan oleh poststrukturalisme. Kubu poststrukturalisme menganggap bahwa kedua kubu tersebut memarjinalkan peran aktor transnasional, isu, dan hubungan. Dasar paradigma dari kubu ini adalah state, oleh sebab itu ia sangat concern terhadap state history dan produksi konseptual, termasuk ekonomi, politik, dan sosial. Poststrukturalisme juga memfokuskan dirinya pada interpretasi, representasi, bahasa, budaya, dan sejarah. Kubu ini juga sangat bertolak belakang dengan teori tradisional yang menjunjung tinggi persamaan rasa dan taken for granted. Selain itu, ia menganggap bahwa kritik adalah hal yang positif sebagai metode untuk mengejar alternatif. Kritik dipandang sebagai metode untuk melakukan gebrakan berupa perubahan atau alternatif dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Terlepas dari asumsi-asumsi yang dikemukakannya, poststrukturalisme ini masih menuai kritikan. Hal ini disebabkan karena kubu ini kerap memisahkan peran antara agen dan struktur, padahal keduanya saling berkesinambungan. Kubu ini beranggapan bahwa agen sepatutnya lebih dominatif dibandingkan struktur. Namun, kajian mereka kurang dalam hal

bagaimana struktur bisa terbentuk tanpa kehadiran agen. Mereka juga tidak menjelaskan bagaimana agen yang lemah bisa melemahkan struktur pula. Pada 1960an, postkolonialisme memasuki ranah HI. Ia hadir berpijak pada sejarah penjajahan yang pernah terjadi pada negara-negara di dunia. Seperti namanya, kubu ini menentang imperialisme dan kolonialisme. Selain itu, ia juga dipandang sebagai kubu penentang mainstream. Teori mainstream dipandang terlalu western-centric. Oleh sebab itu, kubu ini hadir dengan membawa perspektif baru dengan memandang fenomena hubungan internasional dari perspektif bangsa yang dijajah. Tiga tokoh postkolonialisme yang terkenal antara lain Franz Fanon, Edward Said, dan Homi Bhabha. Tokoh pertama menganggap bahwa kolonialisme yang mendera negara-negara meninggalkan dampak psikologis yang mendalam bagi penduduk yang dijajah. Bangsa yang terjajah menjadi terus bergantung pada negara yang menjajahnya, takut mengembangkan diri, dan menimbulkan kehilangan identitas. Kolonialisme juga menyebabkan negara-negara yang sudah lepas dari penjajahan, khususnya negara Dunia Ketiga, menjadi negara yang tidak mandiri dan belum mampu bertahan secara total dalam menghadapi masalah yang menderanya. Tokoh kedua, Edward Said, menitikberatkan pada perbedaan bangsa Barat dan bangsa Timur. Dalam karyanya, Orientalisme, dikatakan bahwa bangsa Barat memiliki kendali terhadap bangsa Timur, oleh sebab itu, bangsa Barat berhak menjajah bangsa Timur. Sedangkan tokoh ketiga, Homi Bhahbha, menyoroti dampak kolonialisme terhadap budaya. Akulturasi budaya akan terjadi antara pihak yang menjajah dan dijajah. Akulturasi ini membuahkan homogenitas budaya, di mana budaya Barat yang berperan sebagai penjajahlah yang akhirnya merasuki bangsa Timur sebagai pihak yang terjajah. Bagi postkolonialisme, perilaku penjajah yang superior dan melampaui batas adalah hal yang perlu dipemasalahkan. Mereka juga mengkritik nasionalisme berlebihan sepertichauvinisme yang mengakibatkan perilaku ekspansionisme yang merugikan negara yang terjajah. Kolonialisme hanya menimbulkan superioritas bagi negara penjajah. Ada tiga pilar utama dalam postkolonialisme ini, yakni power atau knowledge, identitas, dan perlawanan. Dalam aspek power atau knowledge, terdapat perbedaan yang mencolok antara pendekatan ini dengan teori mainstream. Pendekatan ini menempatkan powerdengan definisi yang lebih kompleks, sedangkan teori mainstream hanya mengorelasikanpower dengan kekuatan ekonomi dan militer. Kondisi bangsa Barat dengan aset power danknowledge yang lebih mumpuni membuatnya cenderung untuk menginvasi dan mengekspansi negara lain yang dianggap memiliki kapabilitas yang tidak sepadan dengan mereka. Aspek kedua, identitas, memfokuskan diri pada kategorisasi yang paradoks, misalnya Utara-Selatan, BaratTimur, hitam-putih, dan penjajah-terjajah. Identitas semacam ini menimbulkan interpretasi dari pihak Selatan, Timur, dan orang berkulit hitam, bahwa memang takdir mereka dijajah oleh bangsa yang berlawanan dengan mereka. Kondisi ini kadang dimanfaatkan oleh bangsa terjajah untuk melakukan perlawanan terselubung. Aspek terakhir, perlawanan, menitikberatkan pihak terjajah yang berhasil beradaptasi dengan kondisi kolonialisme yang menderanya. Kondisi ini akhirnya menggiring mereka pada perlawanan untuk mengusir penjajah. Postkolonialisme merupakan metode berpikir baru. Siba N. Grovogui mengungkapkan bahwa metode berpikir baru adalah sebuah teknik kekuasaan yang menggiring negara untuk melakukan self-determination, yakni dengan hibridisasi atau asimilasi budaya. Kubu ini juga

bersikeras menentang bentuk kategorisasi golongan yang dilakukan oleh bangsa Eropa mengenai The Native. Mengapa demikian? Karena mereka menganggap bahwa hal ini adalah bentuk penyimpangan kekuasaan yang dilakukan bangsa Eropa (bangsa Barat). Kategorisasai golongan dipandang hanya akan meningkatkan kecenderungan bangsa Barat untuk menguasai negara lain di bawahya. Kebebasan dan politik juga merupakan fokus kajian dari kubu ini. Menurut Grovogui (2007), kedua aspek tersebut hendaknya dimiliki oleh negara yang telah dinyatakan merdeka dari apapun. Kedua aspek ini juga tidak bisa digugat oleh pihak manapun.

Referensi: Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, dan Hellen Tiffin. 1995. The Post-Colonial Studies Reader. London dan New York: Routledge. Ashley, Richard, 1996. The achievements of post-structuralism, in; Steve Smith, Ken Booth & Marysia Zalewski (eds.) International Theory: Positivism and Beyond, Cambridge University Press, pp. 240-253. Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.)International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 203-228. Grovogui, Siba N., 2007. Postcolonialism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.)International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 229-246. Said, Edward W. 1994. Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka.

You might also like