You are on page 1of 45

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1

Manajemen Laba

II.1.1 Pengertian Manajemen Laba Salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan bisnis adalah laba yang dihasilkan perusahaan. Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) Nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif. Hal tersebut membuat pihak manajemen berusaha untuk melakukan manajemen laba agar kinerja perusahaan tampak baik oleh pihak eksternal. Manajemen laba (earning management) didefinisikan oleh beberapa peneliti akuntansi secara berbeda-beda sbb : 1. Widyaningdyah (2001 :92) membagi definisi manajemen laba menjadi dua yaitu:

14

a.

Definisi sempit Earning management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Earning management dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manager untuk bermain dengan komponen discretionary accruals dalam penentuan besarnya laba.

b.

Definisi luas Earning management merupakan tindakan manajer untuk

meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas unit dimana manager bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan

peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. 2. Healy dan Wahlen (1999: 368) memberikan definisi manajemen laba yang ditinjau dari sudut pandang penetap standar, yaitu manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu. 3. Schipper (1989: 92) mengartikan manajemen laba dari sudut pandang fungsi pelaporan pada pihak eksternal, sebagai disclosure management, dalam pengertian bahwa manajemen melakukan intervensi terhadap proses

pelaporan keuangan kepada pihak eksternal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi. 4. Menurut Assih dan Gundono (2000: 37) mengartikan manajemen laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Accepted Accounting Pincipples (GAAP) untuk mengarah pada suatu tingkat yang diinginkan atas laba yang dilaporkan. Meskipun sudut pandang definisi manajemen laba yang telah dikemukakan oleh beberapa peneliti akuntansi berbeda, namun pada dasarnya definisi manajemen laba yang dikemukakan mengarah pada perspektif opportunist. Scott (2000: 351) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak uang, dan political cost (opportunistic Earnings Management). Kedua, memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient Earning Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihakpihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melakukan manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba dan pertumbuhan laba sepanjang

waktu. Selain itu, dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen laba yang dilakukan oleh manajer tidak hanya dengan cara memaksimalkan laba tetapi juga dengan meminimalkan laba. II.1.2 Bentuk-bentuk Manajemen Laba Bentuk-bentuk pengaturan laba yang dikemukakan oleh Scott (2003: 383) yaitu : 1. Taking a bath Disebut juga big baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi tekanan dalam organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya penggantian direksi. Jika teknik ini digunakan maka biaya-biaya yang ada pada periode yang akan datang diakui pada periode berjalan. Ini dilakukan jika kondisi yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari. Akibatnya, laba pada periode yang akan datang menjadi tinggi meskipun kondisi tidak menguntungkan. 2. Income minimization Pola meminimumkan laba mungkin dilakukan karena motif politik atau motif meminimunkan pajak. Cara ini dilakukan pada saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa

penghapusan (write off) atas barang-barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, riset, dan pengembangan yang cepat.

3.

Income maximization Maksimalkan laba bertujuan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, selain itu tindakan ini juga bisa dilakukan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang (debt covenant).

4.

Income smoothing Perusahaan umumnya lebih memilih untuk melaporkan trend

pertumbuhan laba yang stabil daripada menunjukkan perubahan laba yang meningkat atau menurun secara drastis. 5. Timing Revenue dan Expenses Recognation. Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan dengan timing suatu transaksi, misalnya pengakuan premature atas pendapatan. II.1.3 Motivasi Manajemen Laba Menurut Scott (2003: 377), motivasi manajemen melakukan tindakan pengaturan laba adalah sebagai berikut : 1. Rencana Bonus (bonus scheme) Manajer perusahaan yang mendapatkan rencana bonus akan memilih kebijakan akuntansi yang sedikit konservatif dibandingkan dengan manajer perusahaan tanpa rencana bonus. Manajer dengan rencana bonus akan menghindari metode akuntansi yang mungkin melaporkan net income lebih rendah. Manajer menggunakan laba akuntansi untuk

menentukan besarnya bonus, cenderung memilih kebijakan akuntansi yang dapat memaksimumkan laba. Dalam rencana bonus ada istilah bogey dan capbogey merupakan tingkat laba minimum untuk memperoleh bonus. Sedangkan cap adalah tingkat laba maksimum untuk memperoleh bonus. Jika laba ada di atas cap, ada tidaknya bonus tergantung pada kontrak yang dilakukan antara pemegang saham dan manajer. Manajemen laba dapat dilakukan dengan menggeser laba ke periode berikutnya. Jika laba berada dibawah bogey maka manajer akan semakin mengurangi laba bersih. Dengan demikian kemungkinan untuk mendapatkan bonus di periode berikutnya akan meningkat. 2. Kontrak utang jangka panjang (Debt Covenant) Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian untuk melindungi pemberi pinjaman (lender atau kreditur) dari tindakantindakan manajer terhadap kepentingan kreditur, seperti deviden yang berlebihan, pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja dan kekayaan pemilik berada dibawah tingkat yang telah ditentukan yang mana semuanya menurunkan keamanan atau menaikkan risiko bagi kreditur yang telah ada. Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yaitu semakin dekat suatu perusahaan dengan pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih

metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak. 3. Motivasi Politis (political motivation) Aspek politis tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya perusahaan besar dan strategis, karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak. Perusahaan yang berkecimpung dibidang penyediaan fasilitas bagi kepentingan orang banyak seperti listrik, air, telekomunikasi, dan sarana infrastruktur, secara politis akan mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Perusahaan seperti ini cenderung menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya kemakmuran tinggi. Tindakan ini dilakukan selama periode memperoleh

untuk

kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi. 4. Motivasi Perpajakan (taxation motivation) Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba bersih yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besarnya pajak yang harus dibayarkan ke pemerintah. Sebagai contoh, cara yang dilakuan misalnya merubah metode pencatatan persediaan menjadi LIFO agar laba bersih yang dihasilkan rendah.

5. Pergantian Direksi Beragam motivasi timbul disekitar waktu pergantian direksi sebagai contoh, direksi yang mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian juga dengan direksi yang kurang berhasil memperbaiki kinerja perusahaan akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya. 6. Penawaran Perdana (initial public offering) Ketika perusahaan dinyatakan telah go public, informasi keuangan yang ada didalam prospektus merupakan sumber informasi penting. Informasi ini dapat digunakan sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor, maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan. Selain itu, motivasi pasar modal juga mempengaruhi dalam tindakan manajemen laba. Penggunaan informasi secara luas oleh investor dan analisi keuangan untuk melindungi nilai sekuritasnya, dapat menciptakan dorongan manajer untuk memanipulasi laba dalam usahanya untuk mempengaruhi kinerja sekuritas jangka pendek. II.1.4 Teknik Manajemen Laba Teknik dan pola manajemen laba menurut Asyik (2000: 23) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu :

1.

Perubahan metode akuntansi Manajemen mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode sebelumnya sehingga dapat menaikkan atau menurunkan angka laba. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda, misalnya : a) Mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode jumlah angka tahun (sum of the year digit) ke metode depresiasi garis lurus (straight line). b) Mengubah periode depresiasi.

2.

Memainkan kebijakan perkiraan akuntansi. Manajemen mempengaruhi laporan keuangan dengan cara memainkan judgment (kebijakan) perkiraan akuntansi. Hal tersebut memberikan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektivitas dalam

menyusun estimasi, misalnya : a) Kebijakan mengenai perkiraan jumlah piutang tidak tertagih b) Kebijakan mengenai perkiraan biaya garansi c) Kebijakan mengenai perkiraan terhadap proses pengadilan yang belum terputuskan. 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan Manejemen menggeser periode biaya atau pendapatan (sering disebut manipulasi keputusan operasional), misalnya :

10

a) Mempercepat/menunda

pengeluaran

untuk

penelitian

dan

pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya. b) Mempercepat/menunda berikutnya. c) Kerjasama dengan vendor untuk mempercepat/menunda pengiriman tagihan sampai periode akuntansi berikutnya. d) Menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba. e) Mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai. pengeluaran promosi sampai periode

II.1.5 Model-Model Pendeteksian Manajemen Laba Terdapat beberapa metode pendeteksian manajemen laba. Jones (1991) memberikan sebuah model untuk membantu mengidentifikasi perusahaan yang melakukan manajemen laba. Tujuan model jones adalah untuk memisahkan akrual kelolaan dan non kelolaan. Model modifikasi Jones mengestimasi tingkat akrual yang diharapkan (akrual non kelolaan) sebagai fungsi perbedaan antara perubahan pendapatan dan perubahan dalam piutang dagang serta aktiva tetap (Thomas dan Zhang, 2000:347). Perhitungan total akrual dengan pendekatan arus kas dan laporan rugi laba dihitung dengan rumus sebagai berikut (Sloan.1996) : Tat = Earnt - CFOt Dimana : Tat = total akrual

11

Earn = earnings CFO = Arus kas operasi Seluruh persamaan di atas dibagi dengan menggunakan total aktiva awal tahun pada perusahaan yang diobservasi. Menurut Sulistyanto (2008: 211) model-model pemisahan akrual menjadi kelolaan dan non kelolaan yang dibandingkan oleh Dechow, dkk adalah sebagai berikut : 1. The Healy Model Pengujian Healy untuk manajemen laba dengan cara membandingkan rata-rata total akrual (dibagi total aktiva periode sebelumnya). Healy (1985) menganggap non discretionary accrual (NDA) tidak dapat diobservasi. Model untuk non discretionary accrual adalah sebagai berikut : NDA = 0 sehingga TA = NDA

2. The De Angelo Model Model De Angelo (1986) menguji manajemen laba dengan menghitung perbedaan awal dalam total akrual dan dengan asumsi bahwa perbedaan pertama tersebut diharapkan nol, yang berarti tidak ada manajemen laba. Model ini menggunakan total akrual periode terakhir (dibagi total aktiva periode sebelumnya) untuk mengukur non discretionary accrual. NDAt = TAt-1

12

Keterangan : NDAt = estimasi non discretionary accrual TAt-1 = total accrual dibagi total aktiva 1 tahun sebelum tahun t 3. The Jones Model Jones (1991) mengajukan model yang menolak asumsi bahwa non discretionary accrual adalah konstan. Model ini mencoba mengontrol pengaruh perubahan keadaan ekonomi perusahaan pada non discretionary accrual sebagai berikut : NDAt = 1 1/ TAt-1 + 2 REVt / TAt-1 + 3 PPEt / TAt1

Keterangan : REVt = revenue pada tahun t dikurangi revenue pada tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1. PPEt = gross property plan and equipment pada tahun t dibagi total aktiva tahun t-1 At-1 = total aktiva tahun t-1 = Firm-spesific

1, 2, 3 parameters

4. The Modified Jones Model Model ini dibuat untuk mengeliminasi tendensi konjungtor yang terdapat dalam the jones model.

NDAt = 1

+ 2 ( REVt - RECt ) + 3

13 (PPEt) A
t-1

14

Keterangan : RECt = net receivable (piutang bersih) pada tahun t dikurangi piutang bersih pada tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1. 5. Industry Adjusted Model Industry Adjusted Model (Dechow dan Sloan,1991) mengasumsikan bahwa variasi determinan dari non discretionary accrual adalah sama dalam jenis industry yang sama. Non discretionary accrual dari model ini diperoleh dengan : NDAt (TA) 6. Akrual Khusus (Beaver dan Engel, 1996) NDAit = 0 + 1 COit + 3 NPAit + 4 NPAit+1 + e Keterangan : COit LOAN NPAit : loan charge-off (pinjaman yang dihapus bukukan) : loans outstanding (pinjaman yang beredar) : nonperforming assets (aktiva produktif yang bermasalah) terdiri dari aktiva produktif berdasarkan tingkatan = 1 + 1 median1

kolektibilitasnya yaitu a) Dalam perhatian khusus (DPK) b) Kurang lancer (KL) c) Diragukan (D) d) Macet (M)

15

NPAit+1

: selisih nonperforming assets t+1 dengan nonperforming assets t

Semua variable dideflasi dengan nilai buku ekuitas ditambah cadangan kerugian pinjaman. Jadi perhitungan akrual kelolaan yaitu : DAit = TAit - NDAit Keterangan : TAit : total akrual (untuk yang model akrual khusus, total akrual dihitung berdasarkan total saldo penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP)) DAit NDAit : akrual kelolaan : akrual non kelolaan

7. The Cross-Sectional Models Baik model Jones cross-sectional dan model Jones modifikasi crosssectional adalah sama dengan model Jones dan model Jones modifikasi, kecuali bahwa parameter model diestimasi dengan menggunakan data cross-sectional bukan data time series. Model cross-sectional dan time series berbeda asumsi. Model cross-sectional mengasumsikan bahwa korelasi antara akrual non kelolaan dan penentuan akrual, seperti perubahan dalam pendapatan dan PPE (bruto), ditentukan oleh kelompok industri dan situasi ekonomi sekarang sedangkan model time-series

16

mengasumsikan bahwa korelasi ditentukan oleh karakteristik spesifik perusahaan. Pada penelitian ini digunakan model modifikasi Jones dalam mendeteksi manajemen laba. Penggunaan model modifikasi Jones dikarenakan model ini runtun waktu dan secara statistik paling baik dibandingkan modelmodel lainnya.

II.1.6 Teori Keagenan Penjelasan konsep manajemen laba menurut Salno dan Baridwan (2000: 19) menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul karena setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertimbangkan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Dalam hubungan keagenan, manajer memiliki informasi asimetri terhadap pihak eksternal perusahaan, seperti kreditor dan investor. Informasi asimetri terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan yang relative lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Dalam kondisi demikian pihak manajer dapat menggunakan informasi yang diketahuinya untuk membuat laporan keuangan dalam usaha memaksimalan kemakmurannya. Intervensi manajemen mengandung kejahatan moral (moral hazard) apabila memanfaatkan informasi asimetri tersebut debgan manajemen

17

laba. Kesenjangan informasi antara kedua belah pihak menimbulkan/memicu munculnya manajemen laba. Masing-masing pihak dalam hubungan keagenan terdorong oleh motivasi yang berbeda sesuai dengan kepentingannya. Teori keagenan menggambarkan perusahaan sebagai fokus (titik temu) hubungan keagenan antara pemilik perusahaan (principal) dan manajemen perusahaan (agent) dan berusaha memberi suatu pemahaman prilaku organisasi dengan mengungkapkan bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan keagenan dalam perusahaan untuk memaksimalkan utilitas usahanya. Usaha memaksimalkan utilitas ini mendorong timbulnya konflik kepentingan antara pemilik (principal) dan manajemen (agency), karena setiap perusahaan memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya melalui kontrak kompensasi. Pemilik menempatkan fungsi pemantauan (monitoring) untuk

mengatasi konflik. Menurut Salno dan Baridwan (2000: 19), bentuk pemantauan yang umum digunakan diantaranya adalah : 1. Penyusunan laporan keuangan periodic untuk kepentingan pemilik (stewardships, accountability). 2. Adanya fungsi auditing yang bersifat auditor independen dalam menyatakan pendapatan mereka atas kewajiban laporan keuangan perusahaan.

18

II.1.7 Discretionary Accrual Menurut Surifah (2001: 95) discretionary accrual (kebijakan

akuntansi akrual) adalah suatu cara untuk mengurangi pelaporan laba yang sulit dideteksi melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan akrual, misalnya dengan cara menaikkan biaya amortisasi dan depresiasi, mencatat kewajiban yang besar atas jaminan produk (garansi), kontinjensi dan potongan harga, dan mencatat persediaan yang sudah usang. Lebih lanjut, akrual adalah semua kejadian yang bersifat operasional pada suatu tahun yang berpengaruh terhadap arus kas. Perubahan piutang dan hutang merupakan akrual, juga perubahan persediaan. Biaya depresiasi merupakan akrual negatif. Akuntan memperhitungkan akrual untuk menandingkan biaya dengan pendapatan, melalui perlakuan transaksi yang berkaitan dengan laba bersih sesuai dengan yang diharapkan.

II.2

Corporate Governance

II.2.1 Pengertian Corporate Governance Perhatian terhadap corporate governance kian meningkat seiring dengan banyaknya masalah skandal keuangan yang muncul di lingkungan bisnis. Krisis ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diyakini muncul karena kegagalan penerapan good corporate governance (Daniri, 2005: 6). Konsep corporate governance telah banyak dikemukakan oleh banyak pakar dan badan sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja

19

manajemen. Banyak pakar yang telah mendefinisikan istilah corporate governance secara berbeda-beda. Darmawati (2003: 7) mendifinisikan corporate governance sebagai keseluruhan set aransement legal, kebudayaan, dan institusional yang menentukan apa yang dapat dilakukan oleh perusahaan publik, siapa yang mengendalikan, bagaimana pengendalian dilakukan dan bagaimana resiko dan return dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dialokasikan. Lang (1999: 153) mendifinisikan corporate governance berkenaan dengan cara untuk meyakinkan para penyedia dana perusahaan untuk mendapatkan return pada investasi mereka. Sedangkan menurut Boediono (2005: 6) mengemukakan bahwa corporate governance merupakan suatu mekanisme yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier keuangan atau pemilik modal perusahaan memperoleh pengembalian atau return dari kegiatan yang dijalankan oleh manajer atau dengan kata lain bagaimana supplier keuangan perusahaan melakukan pengendalian terhadap manajer. Kalihatu (2006: 6) mengemukakan corporate governance sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah untuk semua stakeholder. Sedangkan definisi corporate governance menurut beberapa badan diantaranya FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) (2001) dalam publikasi yang pertamnya mempergunakan definisi Cadbury

Committee, yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara

20

pemegang

saham,

pengurus

(pengelola)

perusahaan,

pihak

kreditur,

pemerintah karyawan serta para pemegang kepentingan intern, dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Darmawati (2003: 7) dalam makalahnya menyertakan berbagai definisi corporate governance yang dikemukakan oleh beberapa badan corporate governance yaitu : 1. OECD Principles of Corporate Governance mendefinisikan corporate governance sebagai sistem mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. 2. PWC-ADB SOE Reform Project mengemukakan corporate governance berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif bersumber pada budaya perusahaan, etika, nilai, system, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi untuk mendorong dan mendukung pengembangan perusahaan, pengelolaan sumberdaya, dan risiko secara lebih efisien dan efektif dan pertanggungjawaban kepada pemegang saham dan

stakeholder lainnya. 3. CalPERS mengemukakan corporate governance merujuk pada hubungan diantara berbagai pihak yang berperan serta dalam menentukan arah dan kinerja perusahaan. Pemeran serta utama adalah pemegang saham, pengurus (yang dipimpin oleh Direktur Utama/CEO) dan pengawas. Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar dan badan corporate governance di atas, meskipun berbeda-beda namun

21

memiliki maksud yang sama. Dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan mekanisme pengendalian perusahaan yang mengatur tidak hanya shareholder tetapi juga stakeholder. Corporate governance tidak hanya sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban saja namun juga meningkatkan nilai perusahaan. II.2.2 Prinsip-Prinsip Corporate Governance Prinsip-prinsip corporate governance yang dikemukakan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) ada lima. Prinsip-prinsip tersebut adalah : 1. Hak-hak pemegang saham. Rerangka kerja corporate governance harus melindungi hak-hak pemegang saham. 2. Perlakuan yang adil kepada pemegang saham. Rerangka kerja corporate governance harus meyakinkan adanya kesetaraan perlakuan kepada seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan perbaikan yang efektif atas penyimpangan dari hak-hak mereka. 3. Peranan stakeholder dalam corporate governance. Rerangka kerja corporate governance harus mengakui adanya hak-hak stakeholder seperti yang ditentukan oleh hukum dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dan stakeholder dalam penciptaan kesejahteraan, pekerjaan-

pekerjaan, dan kemampuan untuk mempertahankan perusahaan yang sehat secara financial.

22

4. Pengungkapan dan transparansi. Rerangka kerja corporate governance harus meyakinkan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah dilakukan atas seluruh hal-ha yang material berkenaan dengan perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan ketaatan perusahaan. 5. Tanggung jawab dewan (direksi). Rerangka kerja corporate governance harus meyakinkan pedoman strategik perusahaan, pemonitor yang efektif pada manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham. Kelima prinsip tersebut dilandasi oleh empat unsur penting dalam corporate governance yaitu keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban. 1. Fairness (keadilan) Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor. 2. Transparency (transparansi) Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas, dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan,

pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.

23

3. Accountability (Akuntabilitas) Menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh dewan komisaris. 4. Responsibility (Pertanggungjawaban) Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.

II.3

Dewan Komisaris Struktur dewan dalam perusahaan di Indonesia menganut sistem dua

tingkat (two tiers system) yang menganut sistem hukum continental Eropa (FCGI). Di sini perusahaan mempunyai dua badan terpisah yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh dewan komisaris. Sehingga dewan komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen serta tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen serta tidak boleh mewakii perusahaan dalam transaksi-transaksi dengan pihak ketiga. Dewan komisaris memegang peranan penting dalam mewujudkan corporate governance. Menurut FCGI (2001) dewan komisaris, merupakan inti dari corporate governance, yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan

24

strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Lebih lanjut tugas-tugas utama dewan komisaris meliputi : 1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan asset. 2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan pengganjian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil. 3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. 4. Memonitor pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan dimana perlu. 5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan. Untuk memastikan dewan komisaris independen dapat menjalankan tugasnya secara independen, komisaris independen harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :

25

1.

Komisaris

independen

tidak

memiliki

hubungan

afiliasi

dengan

pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali perusahaan tercatat yang bersangkutan. 2. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada

perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan. 3. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di pasar modal. 4. Komisaris indenpenden harus mengerti peraturan perundang-undangan di pasar modal. 5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Wedari (2004: 7) menyatakan bahwa aktivitas manajemen laba yang terjadi di perusahaan dapat dibatasi dengan adanya dewan komisaris eksternal (komisaris independen). Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan,

kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.

26

Keberadaan dewan komisaris independen di Indonesia telah diatur dengan berbagai peraturan. Menurut peraturan Pencatatan Nomor IA tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek bersifat Ekuitas di bursa yaitu jumlah komisaris independen minimum 30%. Lebih lanjut dalam rangka

penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), perusahaa tercatat wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris. Dalam mewujudkan good corporate governance di lingkungan perbankan, Bank Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. Berdasarkan peraturan tersebut, paling kurang 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah anggota dewan komisaris adalah komisaris independen. Kusumaning (2004) menyatakan bahwa aktivitas manajemen laba yang terjadi di perusahaan dapat dibatasi dengan adanya dewan komisaris eksternal (komisaris independen). Proporsi dewan komisaris eksternal yang tinggi dalam perusahaan dapat menurunkan manajemen laba. Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan Paket Kebijakan

Perbankan Januari 2006 sebagai bagian dari upaya membuka ruang gerak perbankan agar terus berperan dalam pembiayaan pembangunan sekaligus

27

memperkuat fondasi indstri perbankan sesuai arah dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) (Kompas,2006). Peraturan BI No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum merupakan salah satu paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dalam peraturan tersebut salah satu pasal yang penting dalam PBI No.8/4/PBI/2006 adalah pasal 5 ayat (2). Dalam pasal itu disebutkan keharusan bagi bank agar memiliki komisaris independen sedikitnya 50% dari jumlah anggota dewan komisaris. Ketentuan tentang kewajiban adanya komisaris independen minimal 50% ini tidak melihat apakah bank bersangkutan telah go public atau belum. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan di pasar modal, di mana kewajiban adanya komisaris independen hanya diberlakukan bagi perusahaan go public dan jumlahnya pun hanya mensyaratkan minimal 30% dari jumlah anggota dewan komisaris. II.4 Keberadaan Komite Audit Dalam rangka penerapan good corporate governance yang baik Bapepam melalui surat edaran Bapepam No.SE-03/PM/2000

merekomendasikan imbauan perusahaan publik untuk membentuk komite audit. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa komite audit bertugas untuk membantu dewan komisaris dengan memberikan pendapat professional yang independen untuk meningkatkan kualitas kerja serta mengurangi penyimpangan pengelolaan perusahaan. Komite audit lebih lanjut diatur

28

dalam KEP-339/BEJ/07-2001, yang mengharuskan semua perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta memiliki komite audit. Di Indonesia komite audit merupakan salah satu komite yang berperan penting dalam pelaksanaan corporate governance, selain komite kompensasi dan komite nominasi. Dewan Komite Audit bertugas memberikan suatu pandangan tentang masalah akuntansi, pelaporan keuangan dan

penjelasannya, sistem pengawasan internal, serta auditor independen (FCGI,2000). Tujuan dan manfaat dibentuknya komite audit adalah sebagai berikut : 1) Komite audit melaksanakan pengawasan independen atas proses penyusunan pelaporan keuangan dan pelaksanaan audit ekstern. 2) Komite audit memberikan pengawasan pengelolaan risiko dan kontrol. 3) Komite audit melaksanakan pengawasan independen atas proses pelaksanaan corporate governance. Mekanisme corporate governance yang baik penting dalam mempengaruhi kualitas pelaporan keuangan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas laba. Menurut Baridwan (2004 :9) komite audit dapat menjembatani masalah keagenan. Beberapa penelitian emperis menjelaskan bahwa independen atas proses

keberadaan komite audit dapat menurunkan tindakan manajemen laba (Fleming,2002; Klien,2002; Sanjaya,2004; Wendari,2004).

29

II.5

Struktur kepemilikan dengan Manajemen Laba Organisasi memiliki kemampuan untuk bertahan apabila terdapat

pemisahan antara pemilik dan pengendalinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Fama dan Jensen (1983: 192) yang menganalisa bahwa organisasi yang mampu bertahan tidak mendasarkan pengambilan keputusan pada pemegang saham yang terbesar, tetapi terdapat pemisahan antara pemilik dengan pengendali. Struktur kepemilikan saham dalam suatu perusahaan terdiri atas kepemilikan saham yang dimiliki oleh institusi dan kepemilikan saham oleh manajerial. Institusi sebagai pemilik saham dianggap lebih mampu mendeteksi kesalahan yang terjadi. Hal ini dikarenakan investor institusi lebih berpengalaman dibandingkan dengan investor individual. Institusi sebagai investor yang sophisticated karena mempunyai kemampuan dalam memproses informasi dibandingkan dengan investor individual. Dengan demikian, akan semakin membatasi manajemen dalam memainkan angka-angka dalam laporan keuangan. Wedari (2004: 12) menyatakan bahwa investor institusional mempunyai waktu yang lebih banyak untuk melakukan analisis investasi dan memiliki akses informasi yang mahal dibandingkan dengan investor individual. Oleh karenanya, memiliki kemampuan mengawasi tindakan manajemen yang lebih baik dibandingkan dengan investor individual. Dari beberapa teori tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi kepemilikan oleh institusi maka akan

30

semakin kecil peluang manajemen melakukan manipulasi angka-angka dalam bentuk manajemen laba. Demikian halnya dengan kepemilikan saham oleh manajerial, yaitu dengan semakin banyaknya saham yang dimiliki oleh manajer maka akan cenderung tidak mengatur labanya dalam bentuk akrual diskresioner. Penelitian Jensen dan Meckeling (1976) menyatakan bahwa terdapat kesejajaran antara kepentingan manajer dan pemegang saham pada saat manajer memiliki saham perusahaan dalam jumlah yang besar. Dengan demikian, keinginan untuk membodohi pasar modal berkurang karena manajer ikut menanggung baik dan buruknya akibat dari setiap keputusan yang diambil. Penelitian Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa dewan direksi adalah mekanisme pengendali internal yang paling tinggi yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan top manajemen dalam melakukan tindakan manipulasi laba atau kecurangan dalam laporan keuangan. Pendapat tersebut sejalan dengan dengan penelitian Beasley (1996) yang juga menyatakan bahwa dewan direksi sebagai mekanisme pengendalian intern untuk mencegah kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Jensen (1986) menemukan bukti bahwa tekanan pasar modal menyebabkan perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang rendah akan memilih metode akuntansi yang dapat membuat peningkatan laba sehingga tidak mencerminkan kondisi ekonomi perusahaan yang sebenarnya.

31

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut tampak semakin besar proporsi saham yang dimilki oleh manajer sehingga cenderung mengurangi tindakan manajemen laba. II.6. Leverage dengan Manajemen Laba Kata leverage menurut ensiklopedia manejemen berarti kemampuan untuk mengadakan operasi dengan suatu rasio yang berarti dari hutang-hutang terhadap kekayaan kotor (Komaruddin, 1994: 492). Mengukur tingkat leverage berarti mengukur efisiensi penggunaan dana suatu perusahaan. Semakin efisien penggunaan dana suatu perusahaan, maka tingkat leverage akan semakin menguntungkan. Sebaliknya, semakin tidak efisien penggunaan dana, maka menunjukkan besarnya kewajiban/hutang yang Dengan demikian, leverage dapat diartikan diemban sebagai

perusahaan.

hutang/kewajiban. Rasio leverage merupakan rasio untuk mengukur sampai seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai dengan hutang. Selain itu rasio leverage digunakan dalam menentukan keputusan, untuk memenuhi kebutuhan modal dengan berbagi alternative pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi financial yang ada pada perusahaan, apakah memungkinkan bila ditambah lagi hutang-hutangnya. Karena penggunaan financial leverage selain dapat meningkatkan pendapatan bagi pemilik juga dapat menambah ketidakpastian dan resiko. Semakin tinggi nilai rasionya menunjukkan alokasi yang terlalu besar (berlebihan) pada pos ini (hutang) akan berakibat buruk bagi perusahaan

32

karena kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Sebaliknya, semakin rendah nilai rasionya, menunjukkan alokasi yang terlalu sedikit pada pos hutang juga akan menyebabkan perusahaan kehilangan kesempatan untuk mengalokasikan dana tersebut pada pos lain yang dapat memberikan keuntungan melebihi bunga yang harus dibayar oleh perusahaan (Helfert, 1996: 97) Lai (2005) menyatakan perusahaan yang dekat dengan pelanggaran perjanjian hutang lebih memungkinkan melakukan manajemen laba. Hal ini sesuai dengan hipotesis hutang atau ekuitas (debt/equity hypothesis). Makin tinggi rasio hutang/ekuitas perusahaan, makin besar kemungkinan bagi manajer untuk memilih metode akuntasi yang dapat menaikkan laba. Makin tinggi rasio utang/ekuitas, makin dekat perusahaan dengan batas perjanjian atau peraturan kredit. Makin tinggi batasan kredit, makin besar kemungkinan penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya. Manajer akan memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis (Masodah, 2007: 19). Leverage didefinisikan sebagai total utang terhadap total aktiva. Menurut Widyaningdyah (2001: 9) perusahaan yang memiliki rasio leverage yang lebih tinggi diduga melakukan manajemen laba, karena perusahaan terancam gagal dalam memenuhi kewajiban utang pada waktunya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Widyaningdyah (2001) memberikan hasil emperis bahwa hanya leverage yang terbukti positif mempengaruhi

33

manajemen laba. Andriyani (2004) memberikan bukti emperis tentang adanya manajemen laba yang lebih besar pada perusahaan yang terikat perjanjian utang dengan perusahaan yang tidak terikat perjanjian utang. Watt dan Zimmerman (1978), dan Magnan dan Cormer (1997) membuktikan bahwa variable debt to quity ratio berpengaruh terhadap pemilihan metode menaikkan atau menurunkan pelaporan laba. Variable total debt to equity ratio, total debt to total equity, long term debt to total equity,dan komposisi modal kerja berpengaruh positif terhadap earning management. II.7 Kualitas Auditor Untuk mengatasi terjadinya konflik kepentingan antara agen dan principal yang terjadi dalam perusahaan termasuk mengurangi perilaku manipulasi laba oleh manajemen, maka diperlukan beberapa mekanisme pengawasan dan kontrak. Salah satunya adalah dengan audit atas laporan keuangan. Manajemen perusahaan sebagai agen memerlukan jasa pihak ketiga agar tingkat kepercayaan pihak eksternal perusahaan terhadap

pertanggungjawaban semakin tinggi, begitu pula sebaliknya pihak eksternal perusahaan memerlukan jasa pihak ketiga untuk meyakinkan dirinya bahwa laporan keuangan yang disajikan manajemen perusahaan dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Auditor merupakan salah satu mekanisme untuk mengendalikan perilaku manajemen, dengan demikian proses pengauditan memiliki peranan penting dalam mengurangi biaya keagenan dengan membatasi perilaku opportunistik manajemen. Penelitian

34

terdahulu yang dilakukan oleh Becker (1998) menemukan bahwa manajemen laba besar dalam perusahaan dengan kualitas auditor yang lebih rendah daripada perusahaan dengan kualitas auditor lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Teoh dan Wong (1993) menunjukkan bahwa auditor yang berskala besar lebih dapat dipercaya, hal ini dibuktikan dengan earnings respon coefficient untuk perusahaan yang diaudit oleh auditor Big Six lebih besar dibandingkan dengan klien auditor non big six. Praptitorini (2006) telah melakukan penelitian mengenai analisis pengaruh kualitas audit, debt default, dan opinion shopping terhadap penerimaan opini going concern. Dalam penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa variable kualitas audit yang diproksikan dengan auditor industry specialization tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Tetapi, arah koefisiennya menunjukkan arah positif sesuai dengan hipotesis, berarti bahwa auditor spesialis berusaha mempertahankan reputasinya dengan bersikap obyektif terhadap opini yang dikeluarkannya, serta pengklasifikasian auditor spesialis di Indonesia belum ada, sehingga pengaruh terhadap kualitas audit belum dapat dibuktikan. II.8 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan dapat diketahui dari total aktiva perusahaan, semakin besar jumlah aktiva perusahaan maka semakin besar ukuran perusahaan tersebut (Jin dan Machfoedz, 1998: 180). Menurut Jin dan

35

Machfoedz (1998: 180), besaran perusahaan dapat diketahui dari rata-rata nilai pasar saham. hasil penelitian Jin dan Machfoedz menunjukkan ukuran perusahaan merupakan faktor yang mendorong adanya praktik manajemen laba. Menurut Mardiyah dan Indriantoro (2001:289) menyatakan bahwa asset size perusahaan yang besar dianggap mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang kecil, karena perusahaan yang besar dianggap lebih mempunyai akses ke pasar modal sehingga dianggap mempunyai beta yang lebih kecil. Watt dan Zimmerman (1978) sebagimana dikutip Mardiyah dan Indriantoro (2001:280) mencoba dengan teori akuntansi positif (positive accounting theory) yang menghipotesakan bahwa perusahaan besar cenderung menginvetasikan dananya ke proyek yang mempunyai varian lebih rendah dengan beta yang rendah pula guna menghindari laba yang berlebihan. Disamping itu, Hartono (2000: 254) menyebutkan bahwa perusahaan besar merupakan subyek dari tekanan politik sehingga jika melaporkan laba yang berlebihan nantinya akan menarik perhatian politikus dan dapat dicurigai melaksanakan monopoli. Semakin besar total asset suatu perusahaan, berarti resiko yang akan ditanggung oleh para investor juga semakin kecil. Oleh karena itu diharapkan ukuran perusahaan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap manajemen laba.

36

II.9. Teknik Pengolahan Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode pengolahan data secara elektronik (electronic data processing) dengan bantuan software EViews 5.1. Kelebihan penggunaan software Eviews 5.1 adalah output dari EViews 5.1 dapat menampilkan hasil dari pengolahan data dan pengujian hipotesis secara bersamaan. Menurut Winarno dalam Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews (2007) teknik pengolahan data dilakukan dengan : 1. Uji Statistik Deskriptif Analisis ini berguna sebagai alat untuk menganalisa data dengan cara menggambarkan sampel yang kesimpulan yang berlaku karakteristik telah ada tanpa ini maksud membuat untuk ini

umum. sampel

Analisis yang

digunakan

menggambarkan

diujikan.

Analisis

menghitung nilai minimum, maksimum, mean, standar deviasi, dan keterangan lainnya. 2. Uji Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik untuk menguji kelayakan penggunaan model regresi dan kelayakan variabel bebas. Tujuan pengujian asumsi klasik adalah agar dapat menghasilkan nilai parameter yang baik sehingga hasil penelitian dapat lebih diandalkan. Menurut Winarno (2007,

37

p51), pengujian asumsi klasik dalam penelitian ini, yang dilakukan dengan bantuan EViews 5, terdiri dari tiga jenis, yaitu: a. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen, model regresi yang baik seharusnya tidak mengandung

multikolinearitas. Jika korelasi kuat terjadi antara variabel independen maka terjadi masalah multikolinearitas. Dalam penelitian ini uji multikolinearitas dilakukan dengan correlation matrix test. Suatu data dikatakan tidak mengalami atau bebas dari multikolinearitas jika memiliki koefisien korelasi antarvariabel lebih kecil dari 0,5. Jika terjadi multikolinearitas maka akan dibuat pemodelan khusus untuk setiap variabel independen. b. Uji Heterokedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi terjadi ketidaksamaan variance dan residual dari suatu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dan residual dari suatu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap maka disebut homoskedastisitas, dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Suatu model regresi yang baik adalah regresi yang tidak terjadi heteroskedastisitas.

38

Untuk mendeteksi terdapat heteroskedastisitas pada model regresi dapat dilakukan uji white. Dasar pengambilan keputusan dapat dilihat dari nilai probabilitas untuk Obs*R-squared, jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut bersifat heteroskedastis. Untuk pengolahan dengan software EViews 5 masalah

heteroskedastisitas dapat diatasi dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pemodelan ARCH (Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity) atau GARCH (Generalized Auto Regressive Conditional ARCH/GARCH heteroskedastisitas. c. Uji Autokorelasi Pengujian Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada masalah autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang Heteroscedasticity). secara langsung Pemodelan dapat dengan mengatasi

berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya.

39

Hal ini sering ditemukan pada data time series atau urutan waktu karena gangguan pada satu individu atau kelompok cenderung mempengaruhi gangguan pada individu atau kelompok yang sama pada periode berikutnya. Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Panduan yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi akan dipakai besaran Durbin-Watson (D-W). Secara umum dapat diambil patokan : 1) angka D W; 0 - 1,10 berarti ada autokorelasi yang positif 2) angka D-W; 1,54 - 2,46 berarti tidak ada autokorelasi 3) angka D-W; 2,90 4 berarti ada autokorelasi yang negatif. II.9. Hipotesis Menurut Dr. Hj. Dewi L. Badriah, M.Kes. dalam jurnalnya yang berjudul Studi Kepustakaan/Menyusun Kerangka Teoritis, Hipotesis

Penelitian, Dan Jenis Penelitian (2005, p4), menyusun landasan teori juga merupakan langkah penting untuk membangun suatu hipotesis. Landasan teori yang dipilih haruslah sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang akan menjadi suatu asumsi dasar peneliti dan sangat berguna pada saat menentukan suatu hipotesis penelitian. Peneliti harus selalu bersikap terbuka terhadap fakta dan

kesimpulan terdahulu baik yang memperkuat maupun yang bertentangan dengan prediksinya. Jadi, dalam hal ini telaah teoritik dan temuan penelitian

40

yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan prediksi akan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan yang diambil adalah hipotesis penelitian dapat

dirumuskan melalui jalur: 1. Membaca dan menelaah ulang (review) teori dan konsep-konsep yang membahas variabel-variabel penelitian dan hubungannya dengan proses berfikir deduktif. 2. Membaca dan menelaah ulang (review) temuan-temuan penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan penelitian lewat berfikir induktif. Menurut Ghozali (2007, p84) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau ingin kita pelajari. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks. Oleh karena itu, perumusan hipotesis menjadi sangat penting dalam sebuah penelitian. Menurut Ghozali (2007, p84) ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian antara lain : 1. Hipotesis kerja atau alternatif (Ha) Hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok.

41

2.

Hipotesis nol atau null hypotheses (Ho) Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y

II.10. Teknik Pengujian Hipotesis Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh adalah analisis kuantitatif. Teknik pengujian hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Granger Causality Test Uji kausalitas granger adalah pengujian untuk melihat bentuk hubungan antar variabel (searah atau simultan). Pengujian ini dilakukan antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen. 2. Perumusan Model a. Model VAR Merupakan model yang digunakan jika hubungan antara variabel independen dan variabel dependen adalah simultan atau saling mempengaruhi. b. Model regresi Untuk menguji hipotesis digunakan alat uji analisa regresi linier berganda dengan model interaksi metode Least Squares. Selanjutnya dari output software Eviews 5, perlu diperhatikan nilai dari probabilitas dari setiap variabel independen untuk mengetahui apabila semua

42

variabel independen yang dimasukkan ke dalam model mempunyai pengaruh signifikan secara parsial terhadap variabel dependen. Dasar pengambilan keputusannya adalah jika probabilitas > 0,05 maka Ho ditolak, jika probabilitas < 0,05 maka Ho diterima. Selain melihat nilai probabilitas di atas, untuk menentukan apakah suatu model sudah baik maka perlu diperhatikan nilai koefisien determinasi (adjusted R2). Koefisien korelasi (R) sendiri digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Nilai dari R berkisar dari 0 sampai dengan 1. Jika R semakin mendekati 1 maka hubungan yang terjadi semakin kuat. Tetapi jika R semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi semakin lemah. Hal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1) 0,00 0,199 = sangat lemah 2) 0,20 0,399 = lemah 3) 0,40 0,599 = sedang 4) 0,60 0,799 = kuat 5) 0,80 1,000 = sangat kuat. Analisis koefisien determinasi (adjusted R2) dilakukan untuk mengetahui berapa besar presentase dari variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai adjusted R2 yang mendekati seratus persen berarti variabelvariabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen.

43

II.11 Penelitian-Penelitian Terdahulu

Terakhir dari bab ini mencoba untuk meringkas hasil-hasil penelitian relevan sebelumnya, termasuk hasil penelitian ini untuk membantu para pembaca dalam memperoleh gambaran mengenai pengaruh variabel-variabel yang diteliti terhadap praktik manajemen laba di suatu perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Agnes utari widyaningdyah dalam jurnal akuntansi dan keuangan mengenai analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap earning management pada perusahaan go public di Indonesia mengunakan reputasi auditor, jumlah dewan direksi, leverage, presentase yang ditawarkan pada saat IPO sebagai variabel bebas dan manajemen laba sebagai variabel terikat memberikan hasil penelitian bahwa hanya variabel leverage yang terbukti berpengaruh terhadap manajemen laba. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deni Darmawati dalam jurnal bisnis dan akuntansi dengan judul corporate governance dan manajemen laba yang menggunakan komite audit, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dewan direksi, kualitas hubungan perusahaan dengan pemegang saham, kepemilikan institusional dan transparansi sebagai variabel bebas dan manajemen laba sebagai variabel terikat memberikan hasil tidak ditemukannya hubungan negatif antara variabel corporate governance dengan manajemen laba.

44

Penelitian mengenai manajemen laba oleh Sri H Sulistyanto yang berjudul analisis pengaruh proporsi dewan komisaris dan keberadaan komite audit terhadap aktivitas manajemen laba yang menggunakan perubahan penjualan, perubahan piutang dagang, perubahan gross plant property and equipment sebagai variabel terikat dan manajemen laba sebagai variabel bebas memberikan hasil penelitian semua variabel memberikan pengaruh terhadap manajemen laba kecuali variabel leverage. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmawati dan Zaki Baridwan yang berjudul pengaruh asimetri informasi perbankan dan ukuran perusahaan pada manajemen laba dengan model akrual khusus perbakan dalam jurnal akuntansi dan bisnis dengan menggunakan asimetri informasi, regulasi tentang tingkat kesehatan, regulasi tentang tingkat kesehatan, regulasi tentang kehati-hatian dan ukuran bank sebagai variabel bebas dan manajemen laba sebagai variabel bebas memberikan hasil penelitian semua variabel secara signifikan terbukti mempengaruhi manajemen laba. Veronica, Sylvia dan Siddharta Utama melakukan penelitian mengenai pengaruh struktur kepemilikan yang diukur dengan proporsi kepemilikan keluarga dan kepemilikan institusional, ukuran perusahaan yang diukur dengan leverage dan pertumbuhan penjualan dan praktek corporate governance yang dukur dengan kualitas audit, proporsi dewan komisaris independen, keberadaan komite audit memberikan hasil penelitian hanya proporsi kepemilikan keluarga, ukuran perusahaan dan leverage yang terbukti

45

memiliki pengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati yang meneliti mengenai proporsi kepemilikan manajer dan determinan-determinan yang berhubungan dengan akrual kelolaan dengan menggunaan proporsi kepemilikan manajer, pertumbuhan perusahan, ukuran perusahaan, resiko sistematis saham, variansi laba tahunan dan persistensi laba sebagai variabel bebas dan manajemen laba sebagai variabel terikat memberikan hasil penelitian hanya resiko sistematis saham, pertumbuhan perusahaan dan variansi laba tahunan yang terbukti berpengaruh terhadap manajemen laba.

You might also like