You are on page 1of 33

I.

PENDAHULUAN Latar Belakang Penduduk Indonesia menurut sensus yang telah dilakukan pada tahun 2010 oleh Biro Pusat Stastisik tercatat sebanyak 234.000.000 jiwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan tingkat kualitas hidup yang sangat beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya terutama ditinjau dari penggunaan sumber daya alam yang ada. Jumlah penduduk Indonesia meningkat sebesar 13,44% (27.735.405 jiwa) dibandingkan dengan tahun 2000, (Anonimus, 2010a) Sementara jumlah penduduk dunia berjumlah 5.868.638.152 jiwa menurut data International Data Base (IDB) Biro Sensus Amerika Serikat. Jumlah penduduk tersebut akan membutuhkan pendayagunaan sumber daya alam sebagi penopang kehidupan. Penggunaan sumber daya alam pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehingga kehidupan dapat berlangsung dengan baik. Kebutuhan hidup manusia selalu berhubungan dengan tingkat peradabannya, semakin tinggi tingkat peradaban manusia maka penggunaan sumber daya alam akan semakin tinggi. Tingginya peradaban manusia menyebabkan banyaknya aktivitas manusia dalam penggunaan sumber daya alam di muka bumi untuk menjaga pemenuhan kebutuhan hidup. Aktivitas manusia tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi emisi enam gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global (global warming) yaitu karbondioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksa fluorida, HFC dan PFC seperti disimpulkan oleh kelompok peneliti di bawah naungan Badan Peserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Panel Antar Pemerintah Tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC). Salah satu penyumbang terbesar karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil (fosil fuel) seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam yang juga merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, (Anonimus, 2010b). Sementara itu menurut Anonimus (2010c), budidaya ternak menjadi salah satu kontributor paling signifikan bagi masalah lingkungan yang paling serius saat ini. Dengan meningkatnya kesejahteraan maka penduduk dunia mengkonsumsi lebih banyak daging dan produk susu setiap tahunnya. Produksi daging global

diproyeksikan lebih dari dua kali lipat, dari 229 juta ton pada tahun 1999/2001 menjadi 465 juta ton pada tahun 2050, sementara konsumsi susu diperkirakan naik hingga 580-1043 juta ton. Sektor peternakan tumbuh lebih cepat dari sektor pertanian lainnya. Sektor ini memberikan mata pencaharian bagi sekitar 1,3 miliar orang dan memberikan kontribusi sekitar 40 persen terhadap pertanian global. Banyak petani miskin di negara-negara berkembang yang masih menganggap ternak sebagai sumber energi yang penting dan sumber pupuk organik untuk tanaman mereka. Bidang peternakan menghasilkan 37 persen dari semua metana yang dihasilkan oleh manusia, dimana metana mempunyai efek pemanasan 23 kali lebih kuat dari CO2. Metana tersebut sebagian besar dihasilkan oleh sistem pencernaan hewan pemamah biak (ternak ruminasia). Selain itu peternakan juga menghasilkan 64 persen amonia yang secara signifikan menghasilkan hujan asam. Penggunaan sumber daya alam khususnya bahan bakar fosil dan budidaya ternak ruminansia yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia menjadi salah satu pemicu terbentuknya gas rumah kaca. Gas rumah kaca yang terbentuk menyebabkan terjadinya pemanasan global. Pemasanan global yang terjadi saat ini telah banyak membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia seperti menyebabkan iklim tidak stabil, peningkatan suhu permukaan laut, suhu global akan cenderung meningkat, gangguan ekologis serta berdampak pada kehidupan sosial dan politik. Oleh karena hal tersebut maka perlu dilakukan berbagai cara ataupun upaya-upaya yang sistematis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk menghambat terjadinya pemanasan global yang telah diikrarkan dalam Protokol Kyoto tahun 1997 adalah mengurangi emisi gas rumah kaca. Bioenergi menjadi salah satu cara yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi alternatif energi ramah lingkungan dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas. Menurut berbagai hasil studi yang telah dilakukan, penggunaan energi terbarukan dapat menghemat energi sekitar 10% hingga 30%, (Sumiarso , 2010). Pertumbuhan permintaan energi di Indonesia terus bertambah, bahkan dalam

kurun waktu 10 tahun pertumbuhannya mencapai 7%, dimana sektor yang paling mempunyai andil besar dalam pertumbuhan ini yaitu sektor industri karena sektor ini merupakan konsumen utama energi. Pemenuhan kebutuhan energi ini hampir semuanya dipenuhi oleh bahan bakar fosil seperti minyak, gas dan batubara. Untuk menekan permintaan energi yang sangat besar tersebut diperlukan pencarian energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di segala sektor seperti sektor rumah tangga, industri dan sektor transportasi yang salah satunya adalah bioenergi. Bioenergi selain dapat dihasilkan dari tanaman yang memang sengaja dibudidayakan untuk produksi bioenergi juga dapat diusahakan dari pengolahan limbah yang dihasilkan dari aktivitas kehidupan manusia. Penggunaan bioenergi dari limbah peternakan selain dapat mengurangi emisi gas efek rumah kaca, juga mengurangi masalah lingkungan dan meningkatkan nilai dari limbah itu sendiri. Dan salah satu limbah yang dihasilkan dari aktifitas kehidupan manusia adalah limbah dari usaha peternakan sapi yang terdiri dari feses, urin, gas dan sisa makanan ternak. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dll (Sihombing, 2000). Limbah peternakan sapi merupakan bahan buangan dari usaha peternakan sapi yang selama ini juga menjadi salah satu sumber masalah dalam kehidupan manusia sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui pencemaran lingkungan, menggangu kesehatan manusia dan juga sebagai salah satu penyumbang emisi gas efek rumah kaca. Secara umum limbah peternakan hanya digunakan untuk pembuatan pupuk organik padahal disisi lain limbah tersebut dapat dimafaatkan sebagai biogas. Pengolahan limbah peternakan melalui proses anaerob atau fermentasi perlu digalakkan karena dapat menghasilkan biogas yang menjadi salah satu jenis bioenergi. Pengolahan limbah peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas,

mengurangi pencemaran lingkungan serta dapat menekan terjadinya emisi gas rumah kaca khususnya dari sektor peternakan. Pengolahan limbah peternakan menjadi biogas dapat dilakukan pada seluruh wilayah potensi peternakan. Teknologi biogas yang berkembang sekarang ini sudah tersedia yang bisa didapatkan dari berbagai sumber. Namun bila dilihat pada kondisi lapang perkembangan teknologi biogas belum memasyarakat dan berkembang dengan baik. Kondisi tersebut disebabkan beberapa permasalahan yang dijumpai dalam pemanfaatan biogas antara lain yaitu : 1. Belum adanya Program Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten yang membuat suatu pilot proyek pengembangan biogas pada wilayah tertentu. 2. Sosialisasi dan pemasyarakatan pemanfaatan biogas pada wilayah yang memiliki potensi belum berjalan sebagaiman mestinya. 3. Kemampuan peternak dalam pengelolaan teknologi biogas masih kurang oleh karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan dana yang dimiliki.

II. BIOGAS DARI LIMBAH TERNAK SAPI SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN 2.1. Sumber Daya Energi Sumber daya energi mempunyai peran penting dalam semua aspek pembangunan ekonomi nasional. Energi diperlukan untuk pertumbuhan kegiatan industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga. Dalam jangka panjang, peran energi akan lebih berkembang untuk mendukung pertumbuhan sektor industri dan kegiatan lain yang terkait. Meskipun Indonesia adalah salah satu negara penghasil batu bara, minyak bumi dan gas, namun dengan berkurangnya cadangan minyak dan penghapusan subsidi menyebabkan harga minyak naik. Penggunaan sumber daya energi selama ini selalu tergantung pada sumber bahan bakar fosil yang ada. Ketergantungan ini tak dapat dihindarkan dengan peningkatan kualitas hidup yang semakin tinggi sehingga kebutuhan akan energi meningkat. Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan bakar minyak sangatlah besar. Berdasarkan data Sumiarso (2010), menyatakan minyak bumi mendominasi 43% pemakaian energi di Indonesia, gas bumi sebesar 19%, batu bara 34%, dan energi terbarukan (renewable) hanya sekitar 4% dari total penggunaan energi. Implikasi negatif dari penggunaan bahan bakar fosil terhadap lingkungan dan keterbatasan persediaan telah mendorong kepada pencarian sumber energi alternatif yang diharapkan juga ramah lingkungan dan bersifat dapat diperbaharui (renewable). Menurut data Direktorat Listrik dan Pemanfaatan Energi (2006), cadangan minyak bumi Indonesia hanya sekitar 9 miliar barel per tahun dan produksi Indonesia hanya sekitar 900 juta barel per tahun. Jika terus dikonsumsi dan tidak ditemukan cadangan minyak baru atau tidak ditemukan teknologi baru untuk meningkatkan recovery minyak bumi, diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia habis dalam waktu dua puluh tiga tahun mendatang. Posisi

ketersediaan sumber energi fosil terlihat pada Tabel. 1

Tabel 1. Ketersediaan energi fosil di Indonesia Energi Fosil Sumber daya Cadangan Produksi per tahun Cadangan/Produksi (Tahun) Minyak Bumi (Milyar Barel) 86,9 9 0,5 23 Gas (TSCF) 384,7 182 3 62 Batu Bara (Milyar ton) 57 19,3 0,13 146

Sumber : Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2006 Semakin melambungnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akibat tingginya harga BBM di pasar dunia sangat memberatkan masyarakat terutama bagi masyarakat yang berada di daerah terpencil yang merupakan kantongkantong masyarakat miskin karena harga BBM di lokasi ini bisa naik 2 8 kali lipat lebih tinggi dari harga di perkotaan. Belum lagi masalah BBM selesai, masalah listrik mencuat pula. Pemadaman listrik bergiliran menjadi konsumsi masyarakat di beberapa daerah. Perusahaan Listrik Negara (PLN) dihadapkan kepada masalah kesulitan membeli batu bara sebagai bahan bakar penggerak pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN. Kelangkaan batu bara untuk usaha listrik ini terjadi karena produksi batu bara Indonesia yang melimbah sebagian besar (75%) justru diekspor ke luar negeri. Permasalahan kehidupan masyarakat dan bumi tidak hanya pada kelangkaan bahan bakar fosil saja. Ternyata penggunaan bahan bakar fosil yang terus menerus dan jumlah besar memberikan implikasi negatif bagi masalah pencemaran lingkungan dan menyumbang terjadinya pemanasan global yang berdampak negatif kepada kehidupan makhluk hidup di bumi. Melihat perkembangan dunia pada saat ini termasuk di Indonesia maka sudah diperlukan upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak dengan mengembangkan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan (renewable). Salah satu jenis bahan bakar alternatif yang dimaksud adalah bioenergi. Menurut Hambali et al., (2007) bahwa ada beberapa jenis energi yang bias dijadikan pengganti bahan bakar fosil seperti tenaga baterai (fuel cells), panas bumi (geo-thermal), tenaga laut (ocean power), tenaga matahari (solar

power), tenaga angin (wind power), nuklir dan bioenergi. Bioenergi merupakan jenis energi alternatif yang cocok untuk mengatasi masalah energi karena beberapa kelebihannya. Bioenergi selain bisa diperbaharui bersifat ramah lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumak kaca dan kontiniuitas bahan baku cukup terjamin. Bahan baku bioenergi dapat diperoleh dengan cara sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan memanfaatkan limbah yang ada di sekitar kehidupan manusia (Setiawan, 2008). Bioenergi yang dikenal sekarang ada dua bentuk yaitu tradisional dan modern. Bioenergi tradisional yang sering ditemui yaitu kayu bakar, sedangkan bioenergi modern diantaranya adalah bioetanol, biodiesel, PPO atau SVO dan biogas. Bioenergi diturunkan dari biomassa yaitu material yang dihasilkan oleh mahluk hidup (tanaman, hewan dan mikroorganisme). Indonesia memiliki banyak sumber daya alam hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bionergi. Pengembangan bioenergi sebagai sumber energi alternatif sangat cocok diaplikasikan karena didukung dengan oleh ketersediaan lahan yang mencukupi untuk membudidayakan tanaman dan ternak penghasil biofuel. Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Luas daratan Indonesia mencapai 188,20 juta ha, yang terdiri atas 148 juta ha lahan kering dan 40,20 juta ha lahan basah, dengan jenis tanah, iklim, fisiografi, bahan induk (volkan yang subur), dan elevasi yang beragam.Kondisi ini memungkinkan untuk pengusahaan berbagai jenis tanaman,termasuk komoditas penghasil bioenergi (Mulyani dan Las, 2008). Dan beberapa bahan baku bioenergi adalah kelapa sawit, sagu, kelapa, ubi kayu, jarak pagar, tebu, jagung dan limbah peternakan (Hambali et al., 2007).

2.2. Limbah Peternakan Sapi Limbah peternakan seperti feses, urin beserta sisa pakan ternak sapi merupakan salah satu sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Namun di sisi lain perkembangan atau pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah bagi lingkungan seperti menumpuknya limbah peternakan termasuknya di dalamnya limbah peternakan sapi. Limbah ini menjadi polutan

karena dekomposisi kotoran ternak berupa BOD dan COD (Biological/Chemical Oxygen Demand), bakteri patogen sehingga menyebabkan polusi air

(terkontaminasinya air bawah tanah, air permukaan), polusi udara dengan debu dan bau yang ditimbulkannya. Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Manure yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah

menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000). Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat (Suryahadi dkk., 2002). Pada peternakan di Amerika Serikat, limbah dalam bentuk feses yang dihasilkan tidak kurang dari 1.7 milyar ton per tahun, atau 100 juta ton feces dihasilkan dari 25 juta ekor sapi yang digemukkan per tahun dan seekor sapi dengan berat 454 kg menghasilkan kurang lebih 30 kg feses dan urine per hari (Dyer, 1986). Sedangkan menurut Crutzen, Aselman dan Seiler, (1986), kontribusi emisi metan dari peternakan mencapai 20 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di ndonesia, emisi metan per unit pakan atau laju

konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi et al., 2002). Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badannya 5000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang

paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat,

sementara

kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat (Dyer, 1986). Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m3) (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986). Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Farida, 1978). Hasil penelitian Wibowomoekti (1997) dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung, Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun, yang disebabkan oleh kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar maksimum kriteria kualitas air. Selain itu adanya Salmonella spp. yang membahayakan kesehatan manusia. Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Kasus anthrax sporadik pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002). Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan limbah. Penanganan limbah padat dapat diolah menjadi

kompos, yaitu dengan menyimpan atau menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan ini akan mempercepat proses

pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa waktu sampai kira-kira terlihat kering. Dampak limbah ternak memerlukan penanganan yang serius. Skema berikut ini (Gambar 1) memberi gambaran akibat yang ditimbulkan oleh limbah secara umum dan manajemennya (Chantalakhana dan Skunmun, 2002). Peternakan Sapi

Limbah (feces, Urine, dll)

Limbah Padat

Limbah Cair

Penggunaan langsung

Dikeringkan utk dijual

Penimbunan Manure

Tangki Penampungan

Pupuk Tanaman

Ditimbun di Area pemukiman

Saluran Air

Polusi Gambar 1. Dampak Umum dan Manajemen Limbah Ternak Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisik disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini merupakan proses termurah dan termudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi. Metode ini hanya digunakan untuk memisahkan

partikel-partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam pengolahan secara fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi. Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang bisanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini umumnya digunakan untuk mengendapkan

10

bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam limbah cair menjadi padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi, flokulasi, koagulasi, dan ekstrasi. Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung bahan organik saja dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung digunakan atau didahului dengan pengolahan secara fisik. Beberapa cara penanganan limbah ternak sudah diterapkan menurut Chang, Sommerfeldt dan Entz, (1988) diantaranya : a. Solid Liquid Separator. Pada cara ini penurunan BOD dan SS masingmasing sebesar 15-30% dan 40-60%. Limbah padat setelah separasi masih memiliki kandungan air 70-80%. Normalnya kompos mempunyai kandungan uap air yang kurang dari 65%, sehingga jerami atau sekam padi dapat ditambahkan. Setelah 40-60 hari, kompos telah terfermentasi dan lebih stabil. b. Red Mud Plastic Separator (RMP). RMP adalah PVC yang diisi dengan limbah lumpur merah (Red Mud) dari industri aluminium. RMP tahan pada erosi oleh asam, alkalis atau larutan garam. Satu laporan mengklaim bahwa material RMP dengan tebal 1,2 mm dapat digunakan sekitar 20 tahun. Bila limbah hog dipisahkan dengan menggunakan separator liquid, bagian cair akan mengalir ke dalam digester anaerobik pada kantong RMP. Pada suatu seri percobaan di Lembaga Penelitian Ternak Taiwan, didapatkan bahwa ukuran optimum kantong dihitung dengan mengalikan jumlah hogs dengan 0,5 m3. Pada suhu ambien di Taiwan, jika waktu penyimpanan hidrolik selama 12 hari, BOD biasanya turun menjadi 7085% dan kandungan SS menjadi 80-90%. c. Aerobic Treatment. Perlakuan limbah hog pada separator liquid-solid dan RMP bag digestor biasanya cukup untuk menemukan standart sanitasi. Jika tidak, aliran (effluent) selanjutnya dilakukan secara aerobik. Perlakuan aerobik meliputi aktivasi sludge, parit oksidasi, dan kolam aerobik. Rata-rata BOD dan SS dari effluent setelah perlakuan adalah sekitar 200-800 ppm. Setelah perlakuan aerobik, BOD dan SS akan turun

11

pada level standar yang memenuhi standart dari kumpulan air limbah oleh aturan pencegahan polusi air. BOD maksimum air limbah dari suatu

peternakan besar dengan lebih dari 1000 ekor babi adalah 200 ppm, sedangkan untuk peternakan kecil BOD yang dijinkan 400 ppm.

2.3. Biogas dari Limbah Peternakan Sapi Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar gasbio. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986). Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Menurut Maramba (1978) produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari. Bahan gasbio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan (manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti

kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang diperoleh memuaskan (Harahap, Apandi dan Ginting,

12

1978). Perbandingan kisaran komposisi gas dalam gasbio antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi gas dalam gasbio (%) antara kotoran sapi dan campuran Kotoran ternak dengan sisa pertanian. Jenis gas Kotoran sapi Campuran kotoran ternak dan sisa pertanian 54-70 45-27 0.5-3.0 0.1 6.0 sedikit sekali 4800-6700

Metan (CH4) 65.7 Karbondioksida (CO2) 27.0 Nitrogen (N2) 2.3 Karbonmonoksida (CO) 0.0 Oksigen (O2) 0.1 Propen (C3H8) 0.7 Hidrogen sulfida (H2S) tidak terukur Nilai kalor (kkal/m3) 6513 Sumber : Harahap et al. (1978)

Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik (FAO, 1978). Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amoniak. Sedangkan pada tahap metanogenik adalah proses pembentukan gas metan. Sebagai ilustrasi dapat dilihat salah satu contoh bagan perombakan serat kasar (selulosa) hingga terbentuk gasbio (Gambar 2). Sedangkan bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam ketiga fase di atas terdiri dari : 1. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik, CO2, H2, H2S. 2. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik, dan senyawa netral yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan hidrogen.

13

3. Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asamasam lemak dan alkohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri

pembentuk metan antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanosarcina.


Selulosa 1. Hidrolisis (C6H10O5)n + nH2O selulosa Glukosa (C6H12O6)n + nH2O glukosa 2. Pengasaman CH3CHOHCOOH asam laktat CH3CH2CH2COOH + CO2 + H2 asam butirat CH3CH2OH + CO2 etanol n(C6H12O6) glukosa

Asam Lemak dan Alkohol 4H2 + CO2 2H2O + CH4 CH3CH2OH + CO2 CH3COOH + CH4 CH3COOH + CO2 CO2 + CH4 CH3CH2CH2COOH + 2H2 + CO2 CH3COOH + CH4

3. Metanogenik

Metan + CO2

Gambar 2. Tahap Pembentukan Gasbio (FAO, 1978) Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam (Houdkova et al., 2008). Biogas juga sebagai salah satu jenis bioenergi yang didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami proses metanisasi (Hambali et al., 2007). Gas metan ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan

14

proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas metan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta pada tahun 1776. Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806. Dan Becham tahun 1868 murid Louis Pasteur dan Tappeiner tahun 1882 adalah orang pertama yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan. Gas ini berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion (Pambudi, 2008). Biogas yang terbentuk dapat dijadikan bahan bakar karena mengandung gas metan (CH4) dalam persentase yang cukup tinggi. Komponen biogas tersajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komponen penyusun biogas Jenis Gas Metan (CH4) Karbondioksida (CO2) Air (H2O) Hidrogen sulfide (H2S) Nitrogen (N2) Hidrogen Sumber : Bacracharya et al., 1985 Persentase 50-70 30-40 0,3 Sedikit sekali 1- 2 5-10

Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan 60 100 watt lampu selama 6 jam penerangan. Kesetaraan biogas dibandingkan dengan bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan Aplikasi 1 m3 biogas Sumber : Wahyuni, 2008 Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat menjawab kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari pupuk cair dan padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek rumah kaca. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif dapat mengurangi penggunaan kayu bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha penebangan hutan, sehingga ekosistem hutan terjaga. Biogas menghasilkan api biru yang bersih dan tidak menghasilkan asap. 1m3 Biogas setara dengan Elpiji 0,46 kg Minyak tanah 0,62 liter Minyak solar 0,52 liter Kayu bakar 3,50 kg

15

Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan kerena produksi biogas peternakan ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangkan dunia peternakan sapi di Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG (Liquefied Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi elternatif yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan (Nurhasanah et al., 2006). Peningkatan kebutuhan susu dan pencanangan swasembada daging tahun 2010 di Indonesia telah merubah pola pengembangan agribisnis peternakan dari skala kecil menjadi skala menengah/besar. Di beberapa daerah telah berkembang koperasi susu, peternakan sapi pedaging melalui kemitraan dengan perkebunaan kelapa sawit dan sebagainya. Kondisi ini mendukung ketersediaan bahan baku biogas secara kontinyu dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi biogas. Pemanfaatan limbah peternakan khususnya kotoran ternak sapi menjadi biogas mendukung konsep zero waste sehingga sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat dicapai.

2.4. Pengolahan Limbah Peternakan Sapi Menjadi Biogas Menurut Anonimus (2010d), pengolahan limbah peternakan sapi menjadi biogas pada prinsipnya menggunakan metode dan peralatan yang sama dengan pengolahan biogas dari biomassa yang lain. Adapun alat penghasil biogas secara anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900. Pada akhir abad ke-19, riset untuk menjadikan gas metan sebagai biogas dilakukan oleh Jerman dan Perancis pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam memperoleh BBM dan harganya yang murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan. Tetapi, di negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia selalu ada. Oleh karena itu, di India kegiatan produksi biogas terus dilakukan semenjak abad ke-19. Saat ini, negara berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini telah melakukan berbagai riset

16

dan pengembangan alat penghasil biogas. Selain di negara berkembang, teknologi biogas juga telah dikembangkan di negara maju seperti Jerman. Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri metan sehingga dihasilkan gas metan. Menurut Haryati (2006), proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses pemecahan bahanorganik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara, bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik rumah tangga. Gas metan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas metan yang dihasilkan kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar terdiri dari kotoran dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan sebagainya serta air yang cukup banyak. Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C : N, temperatur, keasaman juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum yaitu pada temperatur sekitar 32 35C atau 50 55C dan pH antara 6,8 dan 8 . Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah bahan organik dengan adanya air menjadi energi gas. Jika dilihat dari segi pengolahan limbah, proses anaerobik juga memberikan beberapa keuntungan lain yaitu menurunkan nilai COD dan BOD, total solid, volatile solid, nitrogen nitrat dan nitrogen organic, bakteri coliform dan patogen lainnya, telur insek, parasit, dan bau. Menurut Haryati (2006), pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu: 1. Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan pemecahan bahan organik yang komplek menjadi sederhana dengan bantuan air (perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer). 2. Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi

17

bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana tadi yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan ammonia. 3. Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini yang akan mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfida. Tahapan proses tersebut di atas berlangsung dalam digester yang dirancang seseuai dengan kebutuhan tergantung jumlah sapi yang ada. Digester tersebut kemudian dirangkaikan dalam instalasi biogas yang utuh sehingga dapat berfungsi dengan baik. Model digester yang paling umum digunakan adalah model cina (FAO, 1978) seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Digester Fixed Dome Model Cina

Hasil identifikasi terhadap model digester yang telah dilakukan oleh Widodo et al., 2009 dari Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Pertanian melalui studi literature, konsultasi teknis dan kunjungan lapang diperoleh kesimpulan bahwa digester tipe fixed dome (China Type) dipilih untuk dapat dikembangkan di Indonesia. Model cina dikembangan oleh karena beberapa alasannya adalah: 1. umur ekonomis dapat mencapai 20-25 tahun,

18

2. terbuat dari bahan-bahan lokal, 3. konstruksi berupa dome sehingga mampu menahan beban baik di dalam maupun di atas permukaan tanah, 4. konstruksi terdapat dibawah permukaan tanah sehingga kestabilan suhu 5. bahan didalam digester dapat terjamin, 6. penghematan penggunaan lahan, 7. operasional alat mudah dilakukan, 8. perawatan relatif mudah dan murah. Model digester yang telah dikembangan dan cocok untuk diterapakan sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara sekitar 5 6 ekor per rumah tangga petani. Skema gambar digester untuk 5 -6 ekor sapi se[erti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Model Digester untuk 5 6 ekor Sapi

Digester dapat dibuat dari bahan plastik Polyetil Propilene (PP), fiber glass atau semen, sedangkan ukuran bervariasi mulai dari 4 35 m3. Cara Pengoperasian Unit Pengolahan (Digester) Biogas seperti terjabar dalam Seri Bioenergi Pedesaan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian Tahun 2009 sebagai berikut :

19

Buat campuran kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1 : 2 (bahan biogas). Masukkan bahan biogas ke dalam digester melalui lubang pengisian (inlet) hingga bahan yang dimasukkan ke digester ada sedikit yang keluar melalui lubang pengeluaran (outlet), selanjutnya akan berlangsung proses produksi biogas di dalam digester. Setelah kurang lebih 8 hari biogas yang terbentuk di dalam digester sudah cukup banyak. Pada sistem pengolahan biogas yang menggunakan bahan plastik, penampung biogas akan terlihat mengembung dan mengeras karena adanya biogas yang dihasilkan. Biogas sudah dapat digunakan sebagai bahan bakar, kompor biogas dapat dioperasikan. Pengisian bahan biogas selanjutnya dapat dilakukan setiap hari, yaitu sebanyak kira-kira 10% dari volume digester. Sisa pengolahan bahan biogas berupa sludge secara otomatis akan keluar dari lubang pengeluaran (outlet) setiap kali dilakukan pengisian bahan biogas. Sisa hasil pengolahan bahan biogas tersebut dapat digunakan sebagai pupuk kandang/pupuk organik, baik dalam keadaan basah maupun kering. Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau digunakan langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik, patromas biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur dan lain sebagainya. Keseluruhan langkah tersebut terjadi dalam instalasi biogas yang telah dibangun sesuai dengan kondisi dan kemampuan dana yang dimiliki. Instalasi biogas tersusun mulai dari diegester, penampungan gas serta pipa aliran hingga ke perlatan yang menggunakan biogas. Instalasi biogas terlihat seperti pada Gambar 5. Jika dilihat analisa dampak lingkungan terhadap lumpur keluaran (slurry) dari digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan perbandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair BOD/COD = 0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K (0,41%) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi: N (1,45%), P (1,10%) dan K (1,10%) (Widodo et al., 2006).

20

Berdasarkan hasil penelitian, hasil samping pupuk ini mengandung lebih sedikit bakteri patogen sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah, terutama untuk konsumsi segar (Widodo et al., 2006).

Gambar 5. Instalasi Biogas

21

III. PENGGUNAAN BIOGAS LIMBAH SAPI MENGURANGI PEMAKAIAN BAHAN BAKAR FOSIL DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Pada umumnya peternak sapi di Indonesia mempunyai rata- rata 2 5 ekor sapi dengan lokasi yang tersebar tidak berkelompok. Sehingga penanganan limbahnya baik itu limbah padat, cair maupun gas seperti feses dan urin maupun sisa pakan dibuang ke lingkungan sehingga menyebabkan pencemaran. Pengolahan limbah secara sederhana hanya dengan pemanfaatannya sebagai pupuk organik. Diketahui sapi dengan bobot 450 kg menghasilkan limbah berupa feses dan urin lebih kurang 25 kg per ekor per hari. Dan apabila tidak dilakukan penanganan secara baik maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan udara, tanah dan air serta penyebaran penyakit menular. Sehingga sangat diperlukan usaha untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan peternakan sapi salah satunya dengan melakukan penanganan yang baik terhadap limbah yang dihasilkan melalui biogas. Hasil biogas dari rata 3 5 ekor sapi tersebut setara dengan 1-2 liter minyak tanah/hari. Dengan demikian keluarga peternak yang sebelumnya menggunakan minyak tanah untuk memasak bisa menghemat penggunaan minyak tanah 1-2 liter/hari. Pemanfaatan biogas di Indonesia sebagai energi alternatif sangat memungkinkan untuk diterapkan di masyarakat, apalagi sekarang ini harga bahan bakar minyak yang makin mahal dan kadang-kadang langka

keberadaannya. Besarnya potensi Limbah biomassa padat di seluruh Indonesia seperti kayu dari kegiatan industri pengolahan hutan, pertanian dan perkebunan; limbah kotoran hewan, misalnya kotoran sapi, kerbau, kuda, dan babi juga dijumpai di seluruh provinsi Indonesia dengan kualitas yang berbeda-beda. Teknologi biogas adalah suatu teknologi yang dapat digunakan dimana saja selama tersedia limbah yang akan diolah dan cukup air. Di negara maju perkembangan teknologi biogas sejalan dengan perkembangan teknologi lainnya. Untuk kondisi di Indonesia, teknologi biogas dapat dibangun dengan kepemilikan kolektif dan dipelihara secara bersama. Seperti yang dicanangkan oleh Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen

22

Pertanian Republik Indonesia melalui program Pengembangan Biogas Ternak bersama Masyarakat (BATAMAS) yang dimulai pada tahun 2006. Beberapa alasan mengapa biogas belum popular penggunaannya di kalangan peternak atau kalaupun sudah ada banyak yang tidak lagi beroperasi, yaitu kurang sosialisasi, teknologi yang diterapkan kurang praktis dan perlu pemeliharaan yang seksama dan kurangnya pengetahuan para petani tentang pemeliharaan digester. Teknologi biogas dapat dikembangkan dengan input teknologi yang sederhana dengan bahan-bahan yang tersedia di pasaran lokal. Energi biogas juga dapat diperoleh dari air buangan rumah tangga; kotoran cair dari peternakan ayam, babi; sampah organik dari pasar, industri makanan dan sebagainya. Disamping itu usaha lain yang dapat bersinergi dengan kegiatan ini adalah peternakan cacing untuk pakan ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat menghasilkan ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai bahan input produksi biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti industri bata merah, industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air dan sebagainya. Sehingga pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis pengolahan hasil pertanian dapat memberikan multiple effect dan dapat menjadi penggerak dinamika pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk meningkatkan nilai tambah dengan cara pemberian green labelling pada produk-produk olahan yang di proses dengan menggunaan green energy. Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau digunakan langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik, patromas biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur, dan lain sebagainya. Pengembangan biogas ini memiliki lima manfaat dan solusi permasalahan limbah sekaligus (Anonimus, 2010e). Manfaat tersebut antara lain adalah : 1. Alternatif pengelolaan dan pemanfaatan limbah peternakan. Dengan biogas ini, maka masalah lingkungan akibat limbah ternak selain dapat teratasi juga dapat dimanfaatkan secara lebih produktif

23

2.

Langkah antisipasi konkret dari terjadinya krisis energi fosil di tingkat daerah maupun nasional. Bila pemanfaatannya di berbagai daerah di Indonesia digalakkan dan dilestarikan, khususnya daerah yang tidak memiliki sumber daya energi fosil, maka biogas ini akan sangat membantu sekali dalam mengurangi pengeluaran warga terhadap kebutuhan minyak tanah atau gas elpiji yang harganya semakin melambung tinggi.

3.

Praktik keterampilan (life skill) dan pengetahuan para peneliti maupun warga masyarakat. Pengembangan biogas ini dengan sendirinya merupakan sebuah ajang peningkatan kapasitas bagi para peneliti dan warga masyarakat di bidang IPTEK. Keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh dari pengembangan ini pun nantinya dapat dijadikan bekal hidup mereka dan sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.

4.

Pengembangan biogas ini bisa digunakan sebagai sarana penelitian untuk dikembangkan lebih lanjut dan atau direplikasi di berbagai daerah atau perkotaan yang mengalami krisis energi. Proyek biogas ini membuka peluang terjadinya sebuah perbaikan secara terus-menerus bagi

kesempurnaan proyek energi terbarukan di masa depan. 5. Pengembangan biogas ini bisa dimanfaatkan sebagai kampanye edukasi aksi nyata dalam menyikapi isu pemanasan global akibat naiknya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Setidaknya, biogas ini dapat menjadi jawaban dari komunitas lokal terhadap berbagai tawaran untuk mengurangi naiknya gas rumah kaca (GRK) dari negara-negara maju dan berkembang. Di samping itu, manfaat atau usaha lain yang dapat bersinergi dengan adanya pengembangan biogas ini adalah peternakan cacing untuk pakan ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat menghasilkan ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai bahan input produksi biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti industri bata merah, industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air, dan sebagainya. Sehingga pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun

24

tidak langsung diharapkan dapat mengurangi ketergantungan akan bahan bakar fosil, mengurangi pencemaran lingkungan, menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan maupun di perkotaan serta sekaligus menjadi salah satu langkah untuk mengurangi pengangguran. Pemanfaatan limbah peternakan menjadi biogas akan mengurangi pencemaran lingkungan. Kotoran ternak sapi yang mengandung gas metan akan berkurang karena diproses dalam digester sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar. Dengan demikian konsentrasi gas metan yang dikeluarkan ke udara disekitar wilayah peternakan akan berkurang sehingga pada akhirnya mengurangi konsentrasi gas metan sebagai salah satu penyebab gas rumah kaca. Disisi lain lingkungan hidup disekitar wilayah peternakan akan terjaga dari bau kotoran ternak. Dengan memanfaatkan kotoran ternak maka pada wilayah-wilayah peternakan tertentu dimana kotoran bisa saja terbuang disembarang tempat tidak akan terjadi.

25

IV. STRATEGI DAN UPAYA PEMANFAATAN BIOGAS LIMBAH TERNAK SAPI Pemanasan global (global warming) telah menjadi masalah yang sangat mengancam bagi kehidupan manusia di muka bumi yang salah satunya disebabkan emisi gas efek rumah kaca akibat pemakaian bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam yang juga merupakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, telah menyebabkan tuntutan ke pencarian sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan bersifat dapat diperbaharui (renewable energi) sesuai dengan kesepakatan dalam Protokol Kyoto tentang pengurangan emisi gas efek rumah kaca. Biogas yang berasal dari limbah usaha peternakan sapi berupa kotoran ternak sapi beserta sisa pakan dapat dijadikan salah satu jenis sumber energi alternatif (bioenergi) untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mengurangi resiko pencemaran lingkungan. Dan memberikan hasil sampingan berupa pupuk cair dan padat. Indonesia memiliki prospek teknologi biogas cukup baik sejalan dengan program pemerintah tentang peningkatan kebutuhan susu dan swasembada daging tahun 2010, yang cukup memungkinkan penyediaan bahan baku biogas. Widodo et al., 2006 mengemukakan, upaya pemanfaatan limbah ternak untuk biogas memliki beberapa keunggulan antara lain sebagai berikut : 1. Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran udara (bau). 2. Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga. 3. Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak. 4. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas untuk menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum memiliki akses listrik.

26

5.

Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkan kegiatan ini sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism). Strategi untuk lebih memasyarakatkan penggunaan limbah ternak sebagai

sumber bahan baku biogas dapat diselaraskan dengan Program Pembangunan Pedesaan yang berkelanjutan serta dengan memantapkan Program BATAMAS yang diadopsi oleh masing-masing pengambil kebijakan di daerah. Pembinaan kepada kelompok-kelompok peternak dapat diintensipkan terutama untuk memanfaatkan limbah peternakan melalui bantuan pembangunan unit-unit instalasi biogas pada masing-masing daerah yang memiliki potensi populasi sapi yang terbanyak. Pembangunan unit instalasi biogas percontohan tersebut kemudian dapat disosialisasikan kepada seluruh masyarakat sehingga muncul keinginan dari masyarakat untuk membangun instalasi biogas sendiri setelah melihat keberhasilan dan keuntungan penggunaan biogas dari limbah peternakan tersebut. Pemanfaatan limbah peternakan untuk penggunaan biogas perlu

disosialisasikan kepada masyarakat sehingga pemahaman tentang upaya mengurangi penggunaan energi fosil serta pencemaran lingkungan akibat usaha peternakan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat. Selanjutnya akan timbul kesadaran dan keinginan dari masyarakat yang berusaha di bidang peternakan untuk menggalakkan penggunaan biogas dari limbah peternakan sapi. Agar pengembangan biogas sebagai salah satu energi alternatif dan langkah mengurangi pencemaran dari peternakan bisa berjalan lebih baik serta dipergunakan oleh masyarakat, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu : 1. Setiap wilayah Provinsi maupun Kabupaten membangun pusat percontohan (pilot proyek) pembangunan instalasi biogas skala pedesaan senbagai pemicu agar dapt dilihat dan dicontoh oleh masyarakat 2. Program penyuluhan tentang pemanfaatan biogas dari limbah peternakan perlu disusun serta disampaikan oleh intansi yang membidangi peternakan maupun pembangunan desa sehingga

27

pemahaman masyarakat tentang biogas lebih jelas dan baik. Pemahaman tersebut akan mendorong masyarakat untuk membangun instalasi biogas sendiri. 3. Perlu untuk memberikan instalasi atau menyalurkan pada dana program yang

pembangunan

biogas

wilayah-wilayah

memerlukan sehingga terjadi percepatan pemasyarakatan pemanfaatan biogas oleh masyarakat. Langkah langkah tersebut dapat dilakukan secara bertahap maupun simultan pada daerah dengan potensi pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai penghasil biogas. Pembangunan pilot proyek sangat berperan dalam menunjukkan contoh nyata bagi masyarakat. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat dengan melihat dan mengalami langsung terhadap contoh penggunaan biogas akan lebih kuat dan berkesan sehingga timbul keinginan untuk membuat sendiri. Pada wilayah yang belum mengenal dan belum ada contoh diperlukan upaya penyuluhan tentang pemanfaatan biogas. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang biogas dari limbah kotoran sapi akan lebih baik dari sebelumnya sehingga minat dan keinginan masyrakat timbul untuk menggunakan biogas. Sementara itu diperlukan juga dukungan pemerintah untuk menyediakan dana baik secara hibah maupun kredit lunak. Program ini dapat dijalankan pada wilayah yang sudah mengenal penggunaan biogas namun masih terhambat maslah dana. Apabila dukungan pemerintah dapat dilakukan dengan baik maka percepatan pemasyarakatan biogas dari kotoran sapi akan terjadi.

28

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2010a. Publikasi Provinsi data Agregat SP 2010 http://www.bps.go.id/aboutus.php?hasilSP2010=1. (dikunjuingi 10 November 2010) _________, 2010b. Bahan Bakar Fosil. http://www.bolg.indonesia.com/blogarchives-1122-52.html (dikunjungi 13 November 2010) _________, 2010c. Peternakan adalah Ancaman Utama bagi Lingkungan. http://www.oneearthmedia.net/ind/?p=557. (dikunjungi 5 November 2010) _________, 2010d. Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan.http://www.rudyct.tripod.com/sem2_023/Kel4_ sem1_023.ht (dikunjungi 5 November 2010) __________, 2010e. Sepuluh Faktor Sukses Pemanfaaatn Biogas Kotoran ternak. http://www.agribisnis.deptanm.go.id/layanan.inf (dikunjungi 11 November 2010) Bajracharya, T.R., A. Dhungana., N. Thapaliya dan G. Hamal. 1985. Purification and Compression of Biogas : Research Experience. Journal of The Institute of Engineering 7 (1) : 1 9. Chantalakhana, Ch and P. Skunmun. 2002. Sustainable Smallholder Animal System in the Tropics. Kasetsart University Press, Bangkok. Chang C, T.G Sommerfeldt dan T. Entz. 1988. Long Term Annual Manure Applications Increase Soil Organic Matter and Nitrogen and Decrease Carbon to Nitrogen Ratio. Soil Science Social American Journal 52: 16681672. Crutzen P J, I Aselman and W. Seiler. 1986. Methane Production by Domestic Animals, Wild Ruminant, Other Herbivorous Fauna, and Humans. Tellus 38B:271-284. Departemen Pertanian. 2009. Pemanfaatan Limbah dan Kotoran Ternak Menjadi Energi Biogas. Seri Bioenergi Pedesaaan. Direktorat Jenderal Hasil Pertanian Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta. Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2006 Pokok-pokok Pikiran dan Permasalahan Pemanfaatan Biofuel. Makalah pada Seminar Nasional Biofuel Implementasi Biofuel sebagai Energi Alternatif Tgl 3 Juni 2006, Jakarta. Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi.

29

Departemen Pertanian. 2006. Pengembangan Biogas Ternak Bersama Masyarakat (BATAMAS). Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Jakarta. Dyer, L A. 1986. Beef Cattle. p 325-330. In Cole and Brander (Ed).: Ecosystem of The World 21-Bioindustrial Ecosystem. Elsevier, New York. FAO. 1978. China: Azolla Propagation and Small-Scale Biogas Technology. Roma. Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. IPB, Bogor. (tidak diterbitkan) Hambali, E., S. Mujdalipah., A.H. Tambunan., A.W. Pattiri dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia Pustaka, Jakarta. Harahap F M, Apandi dan S Ginting. 1978. Teknologi Gasbio. Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung, Bandung. Haryati, T., 2006. Biogas : Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Jurnal Wartazoa 6(3) : 160 169. Houdkova L., J. Boran., J. Pecek and P. Sumpela. 2008. Biogas-A Renewable Source of Energy. Journal of Thermal Science 12(4) : 27 -33. Lingaiah V. and P Rajasekaran . 1986. Biodigestion of Cowdung and Organic Wastes Mixed with Oil Cake in Relation to Energy. Agricultural Wastes 17(1986): 161-173. Maramba F D. 1978. Biogas and Waste Recycling. Maya Farm. Manila. Mulyani, A. dan I. Las. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi Pengembangan Komoditas Penghasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27 (1) : 31 41. Nurhasanah, A., T.W. Widodo., A. Asari dan E. Rahmarestia. 2006. Perkembangan Digester Biogas di Indonesia. http://www.mekanisasi.litbang.go.id. (dikunjungi 10 November 2010). Pambudi, N.A.2008. Pemanfaatan Biogas sebagai Energi Alternatif. http://www.dikti.org/?q=node/99 (dikunjungi 4 November 2010). Setiawan, A.I. 2008. Memanfaatkan Kotoran Ternak Solusi Masalah Lingkungan dan Pemanfaatan Energi Alternatif. Penebar Swadaya. Jakarta.

30

Simamora S. 1989. Pengelolaan Limbah Peternakan (Animal Waste Management). Teknologi Energi Gasbio. Fakultas Politeknik Pertanian IPB. Bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen P dan K. Jakarta Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soeharsono, 2002. Anthrax Sporadik Tak Perlu Panik. Dalam Kompas, 12 September 2002, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/12/iptek/anth29.htm (dikunjungi 2 November 2010). Sumiarso, L. 2010. Penggunaan Energi Terbarukan Hemat http://www.esdm.go.id/news-archives (15 November 2010). 10-30%.

Suryahadi, A R Nugraha, A Bey, dan R Boer. 2000. Laju Konversimetan dan Faktor Emisi Metan pada Kerbau yang diberi Ragi Tape Lokal yang Berbeda Kadarnya yang Mengandung Saccharomyces cerevisiae. Ringkasan Seminar Program Pascasarjana IPB, Bogor. Wahyuni, S. 2008. Biogas. Penebar Swadaya. Jakarta Widodo, T.W., A. Nurhasanah., A. Asari dan A. Unadi. 2006. Pemanfaatan Energi Biogas untuk Mendukung Agribisnis di Pedesaan. http://www.mekanisasi.litbang.go.id (3 November 2010). Wibowomoekti P S. 1997. Kandungan Salmonella spp. dari Limbah Cair Rumah Pemotongan Hewan (Studi Kasus RPH Cakung, Jakarta). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. (tidak diterbitkan)

31

32

Selasa, 16 November 2010

33

You might also like