You are on page 1of 18

Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Republik Arab Mesir, lebih dikenal sebagai Mesir, (bahasa Arab: Mar) adalah sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika bagian timur laut. Mesir juga digolongkan negara maju di Afrika. Mesir juga merupakan Negara pertama di dunia yang mengakui Kedaulatan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan luas wilayah sekitar 997.739 km Mesir mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur. Mayoritas penduduk Mesir menetap di pinggir Sungai Nil (sekitar 40.000 km). Sebagian besar daratan merupakan bagian dari gurun Sahara yang jarang dihuni.Mayoritas penduduk negara Mesir adalah Islam. Mesir terkenal dengan peradaban kuno dan beberapa monumen kuno termegah di dunia, misalnya Piramid Giza, Kuil Karnak dan Lembah Raja serta Kuil Ramses. Di Luxor, sebuah kota di wilayah selatan, terdapat kira-kira artefak kuno yang mencakup sekitar 65% artefak kuno di seluruh dunia. Kini, Mesir diakui secara luas sebagai pusat budaya dan politikal utama di wilayah Arab dan Timur Tengah. Bizantium mampu membangun kontrol di negara itu setelah invasi singkat Persia pada awal abad ke-7, sampai 639-42, ketika Mesir diinvasi dan ditaklukkan oleh Khalifah oleh Muslim Arab. Ketika mereka mengalahkan tentara Bizantium di Mesir, orang Arab membawa Islam Sunni kesana. Pada awal periode, orang Mesir mulai membaurkan iman mereka kepercayaan adat dan

praktik, yang menyebabkan berbagai tarekat Sufi berkembang sampai hari ini. Ritus-ritus ini selamat dari Gereja Ortodoks Koptik Alexandria. Penguasa Muslim ditunjuk kekhalifahan Islam untuk tetap ingin menguasai Mesir selama enam abad berikutnya, dengan Kairo sebagai pusat kekhalifahan dibawah Fatimiyah. Agama memiliki peranan besar dalam kehidupan di Mesir. Secara tak resmi, adzan yang dikumandangkan lima kali sehari menjadi penentu berbagai kegiatan. Kairo juga dikenal dengan berbagai menara masjid dan gereja. Menurut konstitusi Mesir, semua perundang-undangan harus sesuai dengan hukum Islam. Negara mengakui mazhab Hanafi lewat Kementerian Agama. Imam dilatih di sekolah keahlian untuk imam dan di Universitas Al-Azhar, yang memiliki komite untuk memberikan fatwa untuk masalah agama.90% dari penduduk Mesir adalah penganut Islam, mayoritas Sunni dan sebagian juga menganut ajaran Sufi lokal. Sekitar 10% penduduk Mesir menganut agama Kristen; 78% dalam denominasi Koptik (Koptik Ortodoks, Katolik Koptik, dan Protestan Koptik). Dari latar belakang diatas, pemakalah akan membahas tentang perkembangan islam di mesir pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah dan Mamalik/Mamluk.

II.2 Permasalahan 1. Latar belakang masuknya Islam di Mesir? 2. Bagaimana perkembangan Islam di Mesir masa pemerintahan Fathimiyah? 3. Bagaimana perkembangan Islam di Mesir masa pemerintahan Mamalik?

Bab II Pembahasan

II.1 Latar belakang masuknya Islam di Mesir Islam menyentuh wilayah Mesir pada 628 Masehi. Ketika itu Rasulullah mengirim surat pada Gubernur Mukaukis -yang berada di bawah kekuasaan Romawi-mengajak masuk Islam. Rasul bahkan menikahi gadis Mesir, Maria. Pada 639 Masehi, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan pihak Islam. Di masa kekuasaan keluarga Umayah, dan kemudian Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula. Mesir baru menjadi pusat kekuasaan dan juga peradaban Muslim baru pada akhir Abad 10. Muiz Lidinilah membelot dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, untuk membangun kekhalifahan sendiri yang berpaham Syiah. Ia menamai kekhalifahan itu Fathimiah dari nama putri Rasul yang menurunkan para pemimpin Syiah, Fatimah. Pada masa kekuasaannya (953-975), Muiz menugasi panglima perangnya, Jawhar al-Siqili, untuk membangun ibu kota. Di dataran tepi Sungai Nil itu kota Kairo dibangun. Khalifah Muiz membangun Masjid Besar Al-Azhar (dari Al-Zahra, nama panggilan Fatimah) yang dirampungkan pada 17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian bekembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang, yang juga merupakan universitas tertua di dunia saat ini.

Muiz dan para penggantinya, Aziz Billah (975-996) dan Hakim Biamrillah (9961021) sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Peradaban berkembang pesat. Kecemerlangan kota Kairo -baik dalam fisik maupun kehidupn sosialnya-mulai menyaingi Baghdad. Khalifah Hakim juga mendirikan pusat ilmu Bait al-Hikam yang mengoleksi ribuan buku sebagaimana di Baghdad.

Di masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat 1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu yang menjadi dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan ibn Haitham menemukan penjelasan fenomena melihat. Sebelum itu, orang -orang meyakini bahwa orang dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata menuju obyek yang dilihat. Ibnu Haytham menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah dari mata ke benda tersebut, melainkan sebaliknya. Dari benda ke mata. Gangguan politik terus menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan perang salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah. Salahuddin tidak menghancurkan Kairo yang dibangun Fathimiyah. Ia malah melanjutkannya sama antusiasnya. Ia hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syiah menjadi Sunni. Sekolah, masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan banyak fasilitas sosial lainnya dibangun. Pada 1250 -delapan tahun sebelum Baghdad diratakan dengan tanah oleh Hulagu-kekuasaan diambil alih oleh kalangan keturunan Turki, pegawai Istana keturunan para budak (Mamluk). Di Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan yang baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat Kurdi. Tokoh militer Turki, Aybak bersekongkol dengan ibu tiri Turansyah, Syajarah. Turansyah dibunuh. Aybak dan Syajarah menikah.

Namun Aybak juga membunuh Syajarah, dan kemudian Musa, keturunan Ayyubiyah, yang sempat diangkat. Disaat Aybak menyebar teror itu, tokoh berpengaruh Mamluk bernama Baybars mengasingkan diri ke Syria. Ia baru balik ke Mesir, setelah Aybak wafat dan Ali anak Aybak mengundurkan diri untuk digantikan Qutuz. Qutuz dan Baibars bertempur bersama untuk menahan laju

penghancuran total oleh pasukan Hulagu. Di Ain Jalut, Palestina, pada 13 September 1260 mereka berhasil mengalahkan pasukan Mongol itu. Baybars (1260-1277) yang dianggap menjadi peletak pondasi Dinasti Mamluk yang sesungguhnya. Ia mengangkat keturunan Abbasiyah -yang telah dihancurkan Hulagu di Baghdad-untuk menjadi khalifah. Ia merenovasi masjid dan universitas Al-Azhar. Kairo dijadikannya sebagai pusat peradaban dunia. Ibnu batutah yang berkunjung ke Mesir sekitar 1326 tak henti mengagumi Kairo yang waktu itu berpendudukan sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding London di saat yang sama. Ibnu Batutah tak hanya mengagumi rihlah, tempat studi keagamaan yang ada hampir di setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang sangat rapi dan gratis. Sedangkan Ibnu Khaldun menyebut: mengenai dinasti-dinasti di zaman kita, yang paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir.

Pusat peradaban ini nyaris hancur di saat petualang barbar Timur Lenk melakukan invasi ke Barat. Namun Sultan Barquq berhasil menahan laju pasukan Mongol tersebut. Dengan demikian Mamluk merupakan pusat kekuasaan yang duakali mampu mengalahkan tentara Mongol. Pada ujung abad 15, perekonomian di Mesir menurun. Para pedagang Eropa melalui Laut Tengah tak lagi harus tergantung pada Mesir untuk dapat berdagang ke Asia. Pada 1498, mereka menemukan Tanjung Harapan di Afrika

Selatan sebagai pintu perdagangan laut ke Asia. Pada 1517, Kesultanan Usmani di Turki menyerbu Kairo dan mengakhiri sejarah 47 sultan di Dinasti Mamluk tersebut.

II.2 Perkembangan Islam di Mesir masa Dinasti Fathimiyah Dinasti Fathimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri keduasekte Ismailiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah. Dinasti Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati. Afrika Utara sampai tahun 850 M dikuasai oleh Bani Aghlab, meliputi wilayah Ifriqyah(Tunisia) dan sebagian pulau Sisilia yang merupakan negara bagian daulah Abbasiyah. Wilayah disebelah baratnya berkuasa Bani Rustamiah

di Aljazair dan Bani idris di Maroko, sedangkan Spanyol berada dibawah kekuasaan Bani Umayyah II. Semua dinasti ini berkuasa sampai tahun 909 M. Namun sesudah tahun 909 M muncul sebuah dinamika baru, terbentuknya sebuah Negara Fatimiyah di Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567 H/1171 M yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya ; Pertama, pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW. Kedua, ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi . Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Said bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika,, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan . Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini

sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah. Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan. Menurut K. Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah dan rumah ibadah mereka dipugar oleh pemerintah.

Akan tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Muiz yang dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah . Sementara itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman Syiah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa

kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Ismailiyah . Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak mau mengakui ajaran Syiah Ismailiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H, al-Hakim juga memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat . Jelasnya peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap orang yang tidak mau mengakui mazhab Ismailiyah dapat berupa apabila sikap seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang khusus mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga warga Syiah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan sunni. Sikap yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan Abdullah al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan masyarakat secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syiah Ismailiyah yang merupakan madzhab negara. Ketidak senangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak

menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jumat dan

mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya.

Pakaian

yang

dipakai

untuk

khutbah

adalah

berwarna

putih.

Meskipun al-Muiz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan selalu menempuh jalan damai terhadap pera pemimpin dengan Gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang bersedia mengikuti mazhab Ismailiyah, padahal mereka sebelumnya adalah Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab Ismailiyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam pemerintahan . Tindakan tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang yang menolak paham Ismailiyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan tegas terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham Ismailiyah, yaitu ketika raja muda Zarida di Afrika yang bernama Muiz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah dengan tidak menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat khutbah jumat melainkan menyebut -nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak diambinya tindakan tegas dikarenakan alMuntasir lebih tertarik pada pemberontakan Al-Bassasiri terhadap

pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai al-Muntasir sebgai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia Barat setelah Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.

II. 3 Perkembangan Islam di Mesir masa Dinasti Mamalik/Mamluk Mamalik adalah jamak dari Mamluk yang berarti budak. Dinasti Mamalik memang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang

terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, al-Malik alSalih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa ini, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material. Pada umumnya mereka berasal dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia. Di Mesir mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri Laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi. Ketika al-Malik al-Salih meninggal (1249 M), anaknya, Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada tahun 1250 M Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Istri al-Malik al-Salih, Syajarah al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu. Kepemimpinan Syajaruh al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan "syar'i" (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.

Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan diri ke Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik. Tidak lama setelah itu Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260- 1277 M. Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur diantara Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik. Sejarah dinasti yang berlangsung sampai tahun 1517 M, ketika dikalahkan oleh Kerajaan Usmani, ini dibagi menjadi dua periode. Pertama, periode kekuasaan Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M. Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem pemerintahan

oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu

pengetahuan. Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di 'Ayn Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulago di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatankekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia. Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo, sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.

Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwanilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal nama Nasir al-Din al- Tusi. Di bidang matematika Abu al-Faraj al-'Ibry . Dalam bidang kedokteran: Abu al-Hasan ' Ali al-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abd al-Mun'im al-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan al-Razi, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama Salahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama ibn Taimiyah, seorang pemikir reformis dalam Islam, al-Sayuthi yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Ibn Hajar al- 'Asqalani dalam ilmu hadits dan lain-lain. Dinasti Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini diantaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid. Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika faktor-faktor tersebut menghilang, dinasti Mamalik sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal dengan nama Mamluk Burji yang untuk pertama kalinya dibawa oleh Qalawun, solidaritas antar sesama militer menurun, terutama setelah Mamluk Burji berkuasa. Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa menyebabkan

pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Disamping itu, ditemukannya Tanjung Harapan oleh Eropa tahun 1498 M, menyebabkan jalur perdagangan Asia-Eropa melalui Mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit. Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran menentukan di luar kota Kairo tahun 1517 M. Sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah satu propinsinya.

Bab III Penutup

III.1 Kesimpulan Islam menyentuh wilayah Mesir pada 628 Masehi. Ketika itu Rasulullah mengirim surat pada Gubernur Mukaukis -yang berada di bawah kekuasaan Romawi-mengajak masuk Islam. Rasul bahkan menikahi gadis Mesir, Maria. Pada 639 Masehi, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan pihak Islam. Dinasti Fathimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri keduasekte Ismailiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Dinasti Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati. Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai warga negara

kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan. Menurut K. Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Mamalik adalah jamak dari Mamluk yang berarti budak. Dinasti Mamalik memang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu

pengetahuan.

PERKEMBANGAN ISLAM DI MESIR


(MASA PEMERINTAHAN DINASTI FATHIMIYAH DAN MAMALIK)

DISUSUN OLEH KELOMPOK 8 1. 2. 3. 4. DINNI MENTARI ENILIA RUKMANA ROHMAT MARGIONO SUSANTO 352010113 352010125 352010131 352010146

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYYAH PALEMBANG 2013

You might also like