You are on page 1of 10

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK RUMAH TANGGA PERDESAAN Rita Hanafie1 Abstract: Food diversificalion as efort to increase food

security, one ofwhich is conducted by promoting the society's awareness in consuming varieties of food using a balance of nutrition principle. Though it has been implemenied for nearly 40 years, food consumption diversification as the main component of food security, especially for the poor families at villages, has not run as it has been expected. This study reveals that the food consumption of the poor households has not fulfilled the criteria of four healthy, the consumption of energt is 60,40 % AKE and the protein is 34,31% AKP, had not reflected the food security condition. The food consumption diversification quality score is only 23,69 %. Only one food group, namely beans was consumed with the proportion nearly PPH norm, two food groups, namely tubers and fruits/oily seed were consumed beyondthe normative proportion and the five groups of food, namely rice, animal food, fat oil, sugar and vegetables and fruits were consumed under the normative Proportion. Kata kunci: pola konsumsi pangan pokok, rumah tangga perdesaan Upaya mencapai manusia Indonesia yang berkualitas menuju Indonesia Sehat tahun 2010, sangat terkait dengan faktor pangan dan gizi. Hal ini sesuai dcngan arah kebijakan pemerintah yang mengembangkan sistem ketahanan pangan berbasis keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan, serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang. Kebijakan pembangunan pangan nasional diarahkan pada pemantapan ketahanan pangan (Hardinsyah, Kusno, dan Khomsan, 2000) yang salah satunya adalah penurunan tingkat konsumsi beras dan peningkatan skor mutu konsumsi pangan. Ketahanan pangan telah menggeser orientasi komoditas menjadi orientasi nutrisi (kecukupan gizi) yang sumbernya bisa dari berbagai komoditas. Hal ini membuka peluang adanya intervensi kebijakan untuk merubah pola beras menjadi pola yang lebih beragam, yang merupakan salah satu agenda utama dalam strategi ketahanan pangan nasional. Sampai saat ini implementasi lnpres No. 20/1979 tentang Penganekaragaman Menu Makanan Rakyat dan Perbaikan Gizi belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ini terlihat dengan masih tingginya tingkat konsumsi beras masyarakat yaitu 120-130 kg/kapita/tahun (Saragih, 2001). Pada rumahtangga miskin yang bagian terbesar pendapatannya (60 %) masih dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan sumber karbohidrat
1

Rita Hanahe adalah Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang

(Gunawan, 1991), upaya pemenuhan kebutuhan gizi tubuh dari sumber-sumbcr protein, mineral dan vitamin merupakan pennasalatran yang memprihatinkan, dan kondisi ini akanberakibat lebih lanjut pada kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan (Wibowo, 2000). Partisipasi dan produktifitas masyarakat dengan derujat ketahanan pangan rendah sangat tidak menguntungkan dalam rangka pembangunan di segala bidang.

KERANGKA PEMIKIRAN Pola Konsumsi Pangan Kemampuan menyediakan pangan oleh rumahtangga tercermin dalam pola konsumsi pangan yang merupakan susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi setiap hari dalam kurun waktu tertentu. Diversifikasi konsumsi pangan merupakan implementasi dari pola konsumsi.pangan dalam menu makanan sehari-hari. Diversifikasi konsumsi pangan adalah.beranekaragamnya bahan pangan yang dikonsumsi, mencakup pangan sumhr energi dan zat gizi lainnya, dalam bentuk maupun olahan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan pangan baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Pentingnya diversifikasi konsumsi pangan ini terlihat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 1411974 yang kemudian disempurnakan dengan Inpres No 2011979. Tujuan Inpres ini bukan saja mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap satu jenis komoditas pangan tertentu, yaitu beras, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan masyarakat. Penilaian konsumsi pangan dilalcukan untuk menentukan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, baik dari sisi konsumsi energi maupun protein. Apabila tingkat konsumsi energi dan protein lebih besar atau sama dengan 75 % Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan yaitu energi sebesar 2.200 kkal/kap/hari, maka dikatakan rumahtangga berada dalam kondisi yang tahan pangan. Sementara itu dari diversifikasi konsumsi pangan juga dapat diketahui banyaknya jenis pangan yang dikonsumsi dan mutu konsumsi pangan, yang dihitung dasarkan Norma Pola Pangan Harapan (PPFI), yang dinyatakan dengan skor. Karena pangan merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang berarti bahwa pemerintahpun bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, maka tercapainya ketahanan pangan merupakan indikator keberhasilan pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional. Upaya mencapai ketahanan pangan melalui swasembada pangan dengan peningkatan produksi dalam negeri maupun impor pangan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Alternatif yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi konsumsi pangan. Kurva Engel Kurva pendapatan-konsumsi dapat dipergunakan untuk mengungkap hubungan antara tingkat pendapatan dan kuantitas optimum (yang menghasilkan kepuasan maksimum) pembelian suatu barang atau komoditas. Kurva yang melambangkan hubungan antara tingkat

pembelanjaan dan tingkat pendapatan konsumen disebut Kurva Engel (Miller dan Meiners, 1986) Teori Engel menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtanga maka semakin kecil proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan.Walaupun proporsinya semakin kecil, tetapi pengeluaran secara absolut belum tentu lebih kecil, bahkan dapat lebih besar. Rumahtangga yang berpendapatan tinggi akan membeli pangan dengan harga yang lebih mahal persatuan grartr dan akan mengalokasikan lebih besar pengeluarannya untuk non-pangan. Sebaliknya rumahtangga berpendapatan rendah akan mengalokasikan sebagian besar pengeluarannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok dan membeli pangan dengan harga persatuan gmm yang lebih murah. Kuantitas makanan yang dikonsumsi antara rumahtangga dengan pendapatan rendah dan tinggi mungkin tidak berbeda jauh, karena tubuh memiliki batas maksimum untuk mencerna makanan. Oleh karena itu teori Engel lebih melihat kepada pengeluaran untuk pangan daripada kuantitasnya. Kuantitas pangan yang dikonsumsi memiliki batas, akan tetapi pengeluaran untuk pangan tidak memiliki batas. Hubungan antara pendapatan dan tingkat diversifikasi digambarkan oleh Miller and Meiners (1986) sebagai terlihat pada Gambar 1. M* adalah tingkat pendapatan minimurn konsumqn diinana kebutuhan beras terpenuhi. Pada tingkat pendapatan kurang dari M*, sebagian sumber pangan pokok terdiri dari bahan non beras, oleh karena itu peningkatan pendapatan akan mengakibatkan konsumsi beralih dari pangan non beras ke beras. Pada pendapatan lebih dari M*, konsumsi beras cenderung konstan sehingga peningkatan pendapatan akan mengakibatkan kenaikan konsumsi bahan pangan lain yang kualitasnya lebih tinggi dan ini ditunjukkan oleh tingkat diversifikasi yang makin meningkat.

Gambar 1. Hubungan antara pendapatan dan tingkat diversifikasi konsumsi pangan Keterangan: a. Kelompok pangan sumber energi, protein dan lemak b. Pangan pokok sumber energi (padi-padian dan umbi-umbian) Disebutkan bahwa kebijakan diversifikasi konsumsi pangan merupakan konsep kesejahteraan karena diversifikasi konsumsi pangan memperluas pilihan masyarakat dalam

kegiatan konsumsi. Secara implisit, upaya diversifikasi konsumsi pangan identik dengan perbaikan gizi karena upaya tersebut mencakup peningkatan konsumsi bahan pangan bergizi tinggi. Mengingat harga pangan bergizi tinggi sumber protein yang relatif tinggi dibandingkan dengan pendapatan masyarakat, terutama kelompok miskin, maka diversifikasi konsumsi pangan hanya dapat dicapai jika pendapatan masyarakat meningkat secara substansial.

METODE ANALISIS Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Sumber Rejo Kecamatam Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang. Populasi adalah semua rumah tangga dan sampel penelitian sebanyak 70 rumah tangga secara Proportional Stratified Random Sampling (Singarimbun dan Efflendi, 1987) berdasarkan luas pemilikan lahan pertanian. Data primer diperoleh dengan metode Recall 2 x 24 jam terhadap pangan yang dikonsumsi (jumlah dan jenis) oleh seluruh anggota rumahtangga dan kebiasaan makan. Data sekunder adalah informasi-informasi yang diperoleh dari pihak lain diantaranya instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kantor Desa Sumber Rejo, Kantor Kecamatan Tulang Bawang dan para Informan Kunci. Untuk mengetahui pola konsumsi pangan dan mutu konsumsi pangan dilakukan perhitungan skor PPH dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. menghitung energi masing-masing kelompok bahan makanan dengan bantuan DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan). Rumus umum yang digunakan adalah (Hardinsyah dan Martianto,1992). X = A/B x100 x 100/C Keterangan: K = Komoditas yang akan disetarakan kembali kpdalam bahan mentah (misal beras) A = Jumlah kalori dan protein yang dibutuhkan B = Kandungan kalori atau protein dari komoditas yang akan dihitung 100 = Angka yang dipakai dalam pengntuan nilai gizi setiap 100 gram bahan. 100 = Presentase keutuhan bahan (100%) C = Presentase bagian yang dapat dimakan b. menghitung persentase energi masing-masing kelompok bahan pangan tersebut terhadap AKE yang dianjurkan dengan mmus (Muhilal dkh., 1998, Soekirman, 1996 dan Soehardjo,1998)

Energi masing masing kelompok BM AKE

x 100%

c. menghitung skor PPH tiap kelompok bahan makanan, dengan rumus sebagai berikut (FAO-RAPA, 1989; suhardjo, 1998; BPKP, 2000 dan Hardinsyah dkk., 2001) Skor PPH kelompok pangan = % terhadap AKE x bobot d. menjumlahkan skor PPH semua kelompok bahan makanan, sehingga diperoleh skor PPH Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan dengan pola konsumsi pangan pokok, dipergunakan rumus (Soepeno, 1997)
AD BC 2 X2= A+B A+C B+D (C+D) N
N 2

Keterangan A,B,C,D =Frekuensi pada sel-sel N/2 = Faktor frekuensi yates

HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pola Konsumsi Pangan Pokok Berdasarkan Metode Recall 2 X 24 jam diketahui bahwa rumahtangga di Desa sumber Rejo. Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang mengkonsumsi dua jenis pangan pokok, yaitu beras (dari kelompok padi-padian) dan gaplek (dari kelompok umbi-umbian). Enampuluh satu rumahtangga (87 %) mengkonsumsi campuran antara beras dan gaplek, sementara sembilan rumahtangga lainnya (13 %) hanya mengkonsumsi beras saja. Tabel l. Pola Konsumsi Pangan Pokok Rumahtangga di Desa Sumber Rejo, 2008

Pada Tabel 1 terlihat bahwa dari kelompok pangan pokok sumber karbohidrat, rumahtangga di desa penelitian mengkonsumsi 1.736,70 kkal/kaplhari atau sebesar 87,47% dari total energi normatif PPH Nasional tahun 2020. Rekomendasi norma PPH Nasional tahun 2020, konsumsi pangan pokok adalah sebesar 1.232 kkal/kap/hrari atau 56 % atau dalam kisaran setinggi-tingginya sebesar 68 % atau 1.496 kkal/kaplhari. Inipun dengan

proporsi yang telah ditetapkan yaitu pangan pokok dari padi-padian (beras) maksimum 60 % atau 1.320 kkal/kap/hari dan pangan pokok umbi-umbian maksimal 8 % atau 176 kkal/kap/hari. Ini artinya konsumsi energi dari kelompok pangan padi-padian dan umbiumbian masih 31,47 % diatas normatif PPH Nasional tahun 2020 atau 18,53% diatas batas maksimum konsumsi pangan pokok. Untuk masing-masing kelompok pangan pokok, padipadian dikonsumsi kurang 351,5 kkal/kap/hari (15,98 %) dari normatif PPH Nasional tahun 2020, sementara kelompok pangan umbi-umbian dikonsumsi 856,2 kkal/kap/hari (38,92 %) jauh di atas normatif PPH Nasional tahun 2020. Dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan yaitu di sektor pertanian yang boleh dikatakan tidak mengenal waktu yang tertentukan dan lebih banyak berhubungan dengan dunia di luar rumah yang tentu saja membutuhkan ketahanan phisik yang jauh lebih kuat daripada orang-orang yang bekerja di dalam ruangan, maka pola konsumsi pangan yang berat pada bahan pangan penghasil karbohidrat sumber energi ini, sangat-sangat bisa dimaklumi. Apalagi pekerjaan dibidang pertanian yarrg dilakukan secara turun-temurun lebih banyak membutuhkan kerja otot daripada kerja otak. Energi yang dibutuhkan memang cukup besar untuk dapat menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Dilihat dari sisi lain, yang sebenarnya justru harus pula menjadi perhatian masyarakat secara umum, pola konsumsi pangan yang seperti itu, sangat tidak mendukung upaya pembentukan manusia sehat yang aktif dan produktif, karena kelebihan konsumsi energi akan lebih banyak menimbulkan obesitas manakala energi yang berlebih tersebut tidak segera dimanfaatkan atau dibakar melalui aktifitas. Untuk kelompok usia muda, pola konsumsi pangan yang terlalu berat pada pangan pokok sumber energi sangat tidak mendukung bagi proses pembangunan tubuh, sementara bagi kelompok usia dewasa, pola konsurnsi pangan yang seperti itu juga tidak mendukung bagi proses pemeliharaan jaringan tubuh (Almatsier, 2002). Mutu Konsumsi Pangan Rumahtangga Skor mutu konsumsi pangan rurnahtangga di Desa Sumber Rejo adalah 56,21. Dilihat dari sisi angka atau nilai, angka ini sudah relatif sama dengan skoimutu target PPH 2020 yaiu sebesar 100. Akan tetapi dilihat dari sisi proporsinya pola konsumsi pangan seperti ini sangat tidak rnendukung upaya pembentukan manusia sehat yang aktif dan produktif sebagaimana yang diharapkan. Untuk mencapai kesehatan yang optimal diperlukan sejumlah zat gizi, yang beragam, yang bergizi dan yang seimbang, yang harus didapatkan secara proporsional dari bahan makanan dalam jumlah tertentu sesuai kebutuhan tubuh yang dianjurkan tiap harinya. Apabila sesuatu zat berlebihan atau kurang maka akan mempengaruhi kondisi pada tubuh. Terdapat lima kelompok zat gizi esensial yang diperlukari tubuh manusia dalam pertumbuhanya yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Hardinsyah dkk, 2001). Dari lima macam zat gizi ini tubuh akan memperoleh energi sehingga manusia mampu melakukan aktivitas fisik sehari-hari. Berbagai zat gizi ini terdapat dalam bahan makanan yang dikonsumsi. Sejumlah golongan bahan makanan yang tersusun secara seimbang akan

mampu memenuhi kebutuhan zat gizi tersebut. Tabel 2 menunjukkan skor mutu konsumsi pangan rumahtangga di Desa Sumber Rejo. Tabel 2. Skor Mutu Konsumsi Pangan Rumahtangga Desa Sumber Rejo

Sumber: Data primer diolah, Tahun 2008 Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa konsumsi energi rumahtangga perdesaan sebesar 1.985,49 kkal/kap/hari (90,23% AKE) dengan skor mutu 56,21, masih jauh dari target PPH Normatif Nasional tahun 2020 yaitu sebesar 2.200 kkal/kap/hari, dengan skor mutu 100. Proporsi aktual yang ada sangat tidak sejalan dengan normatif PPH Nasional tahun 2020. Hanya satu kelompok pangan yang dikonsumsi relatif mendekati rekomendasi, yaitu kelompok buah dan sayuran. Kelompok pangan yang lain masih dikonsumsi jauh dari yaitu beras (padi-padian), pangan hewani, minyak lemak, kacang-kacangan, buah biji berlemak, gula dan pangan lain, sementara satu kelompok pangan dikonsumsi jauh melebihi rekomendasi, yaitu kelompok umbi-umbian, dalam hal ini gaplek yang terbuat dari ketela pohon dan dikonsumsi dalam bentuk tiwul. Meskipun skor aktual yang terlihat pada Tabel 2 adalah sebesar 22,46, namun karena skor maksimal untuk kelompok pangan umbi-umbian adalah 6, maka untuk kelompok pangan ini, angka 6 inilah yang diperhitungkan. Perlu diketahui bahwa didalam tubuh zat-zat gizi saling berinteraksi satu sama lain. Kehadiran suatu zat gizi pada makanan yang berlebihan atau kekurangan akan mempengaruhi ketersediaan penyerapan zat gizi yang lain. Dengan adanya interaksi tersebut maka perlu diupayakan suatu keseimbangan pada zat-zat gizi yang dikonsumsi oleh tubuh. Dengan demikian apabila zat-zat gizi sudah saling seimbang maka tubuh akan mencapai kesehatan yang optimal. Untuk itu maka makanan-makanan yang dikonsumsi harus sesuai dengan yang dianjurkan tiap harinya. Hubungan Pola Konsumsi pangan dengan Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan rumahtangga di Desa Sumber Rejo berkisar antara Rp. 24.000,sampai dengan Rp. 1.400.000,- perbulan dengan rata-rata sebesar Rp 113.346/bulan. Sebanyak 40 KK dengan tingkat pendapatan perkapita kurang dari rata-rata dan 30 KK sisanya berpendapatan lebih dari rata-rata. Selama ini ada pendapat yang menyebutkan bahwa

konsumsi pangan pokok beragam (campuran antara beras dengan non beras) dilakukan oleh rumahtangga dengan tingkat pendapatan rendah, dan sebaliknya rumahtangga dengan tingkat pendapatan relatif lebih tinggi akan mengurangi konsumsi pangan pokok non beras dan berangsur-angsur akan menggantinya dengan beras seluruhnya manakala tingkat pendapatan meningkat. Di daerah penelitian, survey membuktikan bahwa dari 30 rumahtangga dengan tingkat pendapatan diatas rata-rata, 24 rumahtangga diantaranya mengkonsumsi pangan pokok beragam (campuran beras dan gaplek) dan 6 rumahtangga sisanya mengkonsumsi hanya pangan pokok beras. Uji X-square (x2 = 3,84) membuktikan bahwa tinggi-rendahnya tingkat pendapatan tidak berhubungan dengan keragaman konsumsi pangan pokok. Artinya bukan hanya rumahtangga berpendapatan rendah saja yang rnengkonrumsi pangan pokok beragam, tetapi rumahtangga berpendapatan tinggipun tetap melakukan pola konsumsi pangan pokok beragam beras dan gaplek. Jenis pangan pokok yang dikonsumsi rumahtangga di daerah penelitian yaitu beras dan gaplek (dengan bahan dasar ketela pohon). Konsumsi kedua jenis pangan ini dilakukan dengan proporsi beras:gaplek mulai dari , , sampai dengan dibanding satu. Mayoritas mengkonsumsi dengan perbandingan l: untuk gaplek. Beberapa alasan kombinasi konsumsi pangan pokok ini dilakukan antara lain: (1) gaplek memberikan rasa kenyang yang lebih kuat dan lama daripada beras, (2) sudah menjadi budaya konsumsi pangan turun-temurun dari nenek moyang, (3) gaplek relatif mudah didapat di lingkungan sekitar, (4) harga gaplek relatif lebih murah daripada beras. Gaplek memberikan rasa kenyang yang lebih kuat dan lama daripada beras merupakan alasan terbanyak yang dikemukakan oleh rumahtangga di desa penelitian (87 %). Ini dapat dipahami karena kandungan karbohidrat dalam gaplek relatif lebih banyak daripada dalam beras, yaitu 363 kkal/gram, sementara beras hanya 360 kkal/gram (Supriasa, Bakri dan Fajar, 2002). Kebutuhan rumahtangga di desa penelitian akan lebih banyak sumber energi juga dapat dipahami mengingat pekerjaan di bidang pertanian yang dilakukan adalah pekerjaan berat yang banyak membutuhkan tenaga otot daripada tenaga otak Alasan harga gaplek relatif lebih murah daripada beras hanya dikemukan oleh 5 % responden. Ini artinya, meskipun harga gaplek relatif lebih mahalpun, kiranya tidak akan berpengaruh secara signifikan dalam pengurangan konsumsi gaplek sebagai pendamping pangan pokok beras.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pola konsumsi pangan pokok rumah tangga di Desa Sumber Rejo pada umumnya sudah beragam, yaitu beras (padi-padian) dan (ketela pohon) umbi-umbian. Rata-rata konsumsi energi sudah cukup tinggi yaitu sebesar 1.985,49 kkal/kapita/hari (90,23% AKE), terdiri dari padi-padian sebesar 748,50 kkal/kap/hr (37,69 % AKE) dan umbiumbian sebesar 988,20 kkal/kap/hr (49,77% AKE).

Rata-rata mutu konsumsi pangan rumah tangga di Desa Sumber Rejo sebesar 96,21, masih jauh dari target skor mutu normatif PPH Nasional tahun 2020. Tidak terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan pokok dengan tingkat pendapatan rumahtangga. Saran Dari hasil penelitian disarankan kepada para pihak terkait untuk secara terus-menerus mensosialisasikan konsep konsumsi pangan 3B serta meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gizi pangan, agar mampu mengkonsumsi pangan secara proporsional.

DAFTAR RUJUKAN Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka lJtama. Jakarta. FAO-RAPA. 1989. Report of The Regional Expert Consultation of The Asian Network for Food and Nutrition and Urbanization. Bangkok. Gunawan, M. 1991. Diversifikasi Pangan: Perlukan Mencari Bentuk Pola Pangan Ideal? Pangan Vol. II No. 9 Hardinsyah dan Briawan, D., 1990. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor Hardinsyah dan martianto, D. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Hardinsyah, Y.F. Baliwati, D. Martianto, H.S. Rachman, A. Widodo dan Subiyakto.2001.Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan Kerjasama antara Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor dengan Pusat Pengembagan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. Jakarta. Hardinsyah, Kusno, S.R., dan Khomsan, A., (2000). Ukuran Sederhana Diversifikasi Konsumsi Pangan untuk Identifikasi Keluarga Rawan Pangan dalam Media Gizi dan Keluarga. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tahun XXIV No. 1 - 2000. Lathief, D. Atmarita, Minarto, Basuni, A. dan Tilden, R., 1999. Konsumsi Pangan Tingkat Rumahtangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Makalah Disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII pada tanggal 29 Februari sampai dengan 2 Maret 2000 di Jakarta.

Miller, R.L. and Meiners, R.E., 1986. lntermediate Microeconomics Theory: lssues, Applications. Mc Graw Hill. Muhilal, F. Jalal dan Hardinsyah, 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Makalah disampaikan pada Widyakarya Nasinal Pangan dan Gizi ke VI tahun 1998. Sacchet, D.L., R. Brian,, H. Gordon and P. Tugwel, 1991. Clinical Epidemology: A Basic Science for Clinical Medicine. Second Edition. Little Brown and Company. Saragih, B.,2001, Suara Dari Bogor. Membangun Sistem Agribisnis Yayasan USESE bekerja sama dengan SUCOFINDO. Bogor. Sediaoetamu, A.D., 2000. Ilmu Gizi I. Dian Rakyat. Jakarta. Sediaoetama, A.D., 2001. Ilmtr Gizi II. Dian Rakyat. Jakarta. Soekirman, 1996. Ketahanan Pangan: Konsep, Kebijakan dan Pelaksanannya. Makalah disampaikan pada Lokakarya Dewan Ketahanan Pangan Rumahtangga. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Soepeno, Bambang, (1997), Statistik Terapan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Suhardjo, 1998. Konsep dan Kebijaksanaan Diversifikasi Konsumsi Pangan dalam rangka Ketahanan pangan. Makalah disampaikan pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, tanggal l7 - 20 Pebruari 1998. Jakarta Supariasa, I.D.N., Rakri, B. dan Fajar, 1., 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Wibowo, R, 2000. Pertanian dan Pangan. Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

You might also like