You are on page 1of 85

PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA KELUARGA SAKINAH

Skripsi Ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S. Pd.I)

Oleh:

Asral Puadi NIM. 104011000046

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008/1429 H

LEMBAR PERNYATAAN
Bismillahirrahmanirrahim Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Nim Jurusan Fakultas : Asral Puadi : 104011000046 : Pendidikan Agama Islam : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dengan ini saya menyatakan 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi berdasarkan Undang-undang yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Juli 2008

Asral Puadi

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA KELUARGA SAKINAH

Skripsi Ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S. Pd.I)

Oleh:

Asral Puadi NIM. 104011000046

Di bawah bimbingan

Prof. Dr. H. Salman Harun, M. A NIP. 150 062 568

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/1429 H

Lembar Pengesahan Panitia Ujian

LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul: Peranan Suami dalam Membina Keluarga Sakinah diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada 22 Juli 2008 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S. Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 22 Juli 2008 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi) Dr. H. Abd. Fatah Wibisono, M. A NIP. : 150 236 009 Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi) Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag NIP. : 150 299 477 Penguji I Dr. H. Abd. Fatah Wibisono, M. A NIP. : 150 236 009 Penguji II Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag NIP. : 150 299 477 Mengetahui: Dekan, . .. . .. . Tanggal .. Tanda tangan .

Prof. Dr. Dede Rosyada, M. A. NIP. 150 231 356

ABSTRAK
Asral Puadi Peranan Suami dalam Membina Keluarga Sakinah Islam telah menetapkan bahwa suami merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap apa yang ia pimpin. Namun, tidak semua suami mengerti dan memahami tentang peranannya dalam rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya, terkadang suami cenderung ingin lepas dari peranannya itu, bahkan tidak mau peduli sama sekali. Selain itu dampak dari ketidak mengertian dan pemahaman suami tentang peranannya sebagai kepala rumah tangga, terutama dalam membina keluarga yang sakinah juga akan terlihat pada masyarakat. Oleh sebab itu dirasa sangat perlu adanya pemahaman tentang peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. Peranan suami dalam hal ini memegang kedudukan yang sangat penting dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, sesuai dengan kedudukan suami dalam rumah tangga. Peranan suami, yang akhirnya menjadi tanggung jawabnya harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab agar suami tidak merasa sebagai kepala rumah tangga yang berhak melakukan apa saja terhadap keluarganya sesuai dengan yang ia inginkan, apalagi melakukan kekerasan dalam rumah tangga, yang umumnya dilakukan oleh kaum pria, yaitu suami. Justru sebaliknya suami harus bisa menjaga dan mengayomi seluruh anggota keluarganya, serta mendidiknya, sehingga angota keluarga itu merasa tentram berada di dalam keluarganya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. Dengan menggunakan metode Tafsir Maudhui (Tematik), maka diperoleh data-data bahwa Islam telah menetapkan peranan-peranan yang dimiliki oleh suami, dimana peranan itu akan menjadi tangung jawab suami dan akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah di akhirat kelak. Menghadapi kenyataan tersebut suami terlebih dahulu harus mengetahui kedudukan dan fungsinya dalam keluarga, baru kemudian suami itu akan mengetahui peranan yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga suami akan lebih mudah dalam melaksanakan peranannya dalam membina rumah tangga yang sakinah.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya milik Allah Tuhan Semesta Alam, berkat Rahmat, Taufik dan Inayah-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada kekasih Allah pejuang agama Islam dan teladan teladan yang terbaik Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, sahabat-sahabatnya dan kepada seluruh umat Islam di seluruh alam. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, walaupun waktu, tenaga dan pikiran telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, demi selesainya skripsi ini dan agar bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Sebelumnya penulis mengucapkan jazakumullah khairan katsiran kepada kedua orang tua tercinta, dengan curahan cinta dan kasih sayangnya, kerja kerasnya, serta doa yang selalu dipanjatkan, telah mengantar penulis menyelesaikan pendidikan S1 di UIN Jakarta, semoga Allah selalu menjaga serta memberikan rahmat, nikmat beserta karunia-Nya kepada mereka. Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam, penulis banyak mendapatkan bantuan, motivasi serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 3. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis selama menjalankan kuliah.

ii

4. Bapak Prof. Dr. H. Salman Harun, MA., sebagai dosen pembimbing materi dan teknik penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu, mencurahkan tenaga, perhatian, pengertian, dan kemudahan dalam memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga bagi penulis dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 5. Bapak Drs. Elman Sadri, sebagai penasehat akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa. 6. Seluruh keluarga di rumah khususnya orang tua tercinta My Endless Love Apak (Muris) dan Amak (Nurisna) yang telah mencurahkan segala kasih sayang dan tenaganya, serta yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Kepada segenap teman-teman seperjuangan PAI kelas B-04 dan temanteman kosan di Bait An-Najwa, serta special for Vera Fauziah yang selama ini selalu saling melengkapi, memberikan pengalaman dan motivasi serta doa kepada penulis. Kepada semuanya yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah swt. membalas kebaikan dan bantuan yang telah mereka berikan selama penulisan. Apabila terdapat kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini mohon dimaafkan. Semoga skripsi ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca serta menambah pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin Jakarta, 15 Juli 2008

Penulis

iii

DAFTAR ISI
Abstrak ......................................................................................................... Kata Pengantar .............................................................................................. Daftar Isi ....................................................................................................... i ii iv

BAB I

PENDAHULUAN ....................................................................... A. Latar Belakang Masalah.......................................................... B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................ D. Metode Pembahasan .............................................................. E. Tinjauan Pustaka ....................................................................

1 1 11 12 12 13

BAB II

SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA . ................ A. Fungsi Suami ......................................................................... B. Kedudukan Suami .................................................................. C. Kewajiban Suami ...................................................................

15 15 23 29

BAB III PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA RUMAH TANGGA YANG SAKINAH ...................................................................... A. Memberikan Teladan ............................................................. B. Bertanggung Jawab ................................................................ C. Menciptakan Rumah Tangga Sakinah .................................... 45 45 58 67

BAB IV

PENUTUP .................................................................................. A. Kesimpulan ............................................................................ B. Saran-saran ............................................................................

73 73 74

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

75

LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan risalah terakhir dari langit ke bumi yang universal. Dan Islam pulalah yang telah membawa dunia menuju revolusi besar dalam berbagai aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan sebagainya.1 Aturan itu diramu dengan sangat sempurna, sehingga umat yang patuh pada aturan yang dibuat akan menemukan suatu kebahagiaan dan kedamaian. Islam menata hidup perkawinan dengan sempurna, karena masalah ini adalah masalah pokok yang sangat vital. Melalui perkawinan manusia dapat saling mengasihi, menjalin hubungan kekeluargaan dan meneruskan keturunan. Kehidupan perkawinan merupakan industri pertama bagi umat sesudahnya untuk

meningkatkan industri selanjutnya. Bayangkan, dengan perantaraan seorang suami dan istri, dengan perantaraan hubungan material dan individual, maka lahirlah putera-puteri yang mungil, dengan izin Allah.2

Nasyat Al-Masri, Nabi Suami Teladan, Terj. Salim Basyarahil. (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), Cet. Ke-8, h. 11.
1 2

Nasyat, Nabi Suami Teladan, h. 11

Hikmah diciptakan oleh Allah manusia berpasang-pasangan yang berlainan bentuk dan sifat, adalah agar masing-masing saling membutuhkan, saling memerlukan, sehingga dapat hidup berkembang selanjutnya.3 Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya perkawinan dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketentraman dan sakinah.4 Menurut pasal 1 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang lakilaki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim untuk menjadikan seorang muslimah sebagai istri, merupakan perjanjian yang dibuat atas nama Allah. Karena itu hidup sebagai suami istri bukanlah semata-mata sebuah ikatan yang dibuat berdasarkan perjanjian dengan manusia, yaitu dengan wali dari pihak perempuan dan dengan keluarga perempuan itu secara keseluruhan, serta dengan perempuan itu sendiri, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah membuat perjanjian dengan Allah. Karena itu, pernikahan adalah salah satu di antara tandatanda kekuasaan Allah.6

                    

Allah Swt. berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21:

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam: Tuntunan Keluarga Bahagia (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. Ke-3, h. 1.
4

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. Ke-11, h. 192. Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. Ke-1, h. 14.

Rusli Amin, Rumahku Surgaku: Sukses Membangun Keluarga Islami, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), Cet. Ke-11, h. 24.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q. S. Ar-Rum: 21). Ayat tersebut menggambarkan jalinan ketentraman, rasa kasih dan rasa sayang sebagai suatu ketenangan yang dibutuhkan oleh masing-masing individu lakilaki dan perempuan - ketika jauh dari pasangannya. Setiap suami istri yang menikah, tentu sangat menginginkan kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka, ada ketenangan, ketentraman, kenyamanan dan kasih sayang. Rumah tangga yang menjadi surga dunia! tidaklah identik dengan limpahan materi, kebahagiaan bukanlah sebuah kemustahilan untuk dicapai, sebab kebahagiaan merupakan pilihan dan buah dari cara berfikir dan bersikap. Maka dari itu, hanya dengan pasangannyalah ia dapat menikmati manisnya cinta dan indahnya kasih sayang dan kerinduan.7 Islam menjadikan keluarga sebagai tempat untuk menjaga diri, yaitu menciptakan ketentraman dan keselamatan dari segala bentuk kejahatan yang ditimbulkan oleh orang lain, sehingga keluarga harus dijadikan tempat tinggal yang penuh dengan kebahagiaan agar seluruh anggota keluarga betah di rumah dan selalu merindui. Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 80:

Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal ... (Q. S. An-Nahl: 80). Untuk mewujudkan keluarga seperti yang di atas, haruslah bersama-sama antara suami dan istri untuk mengekalkan cinta yang merupakan anugerah dari Allah, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas hubungan suami dan istri dalam rumah tangga sangat mempengaruhi keluarga menjadi sakinah mawaddah wa rahmah.8
Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj. A. Chumaidi Umar, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke-1, h. 82.
8 7

       

Sholeh Gisymar, Kado Cinta untuk Istri, (Yogyakarta: Arina, 2005), Cet. Ke-1, h. 91.

Kehidupan suami istri itu adalah rumus dari kebahagiaan dunia. Maka ciptakanlah keluarga yang bahagia agar hidup di dunia juga bahagia.9 Oleh sebab itu, suami istri harus sama-sama menjaga dan menghormati ikatan perkawinan yang telah dibuat sebagai sebuah ikatan yang suci. Agar perkawinan itu menjadi kuat, diperlukan pengikat yang kuat pula. Adapun pengikat perkawinan yaitu: 1. Mawaddah Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: Mawaddah adalah cinta plus. Orang yang di dalam hatinya ada mawaddah tidak akan memutuskan hubungan, seperti apa yang terjadi pada orang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunya pun tertutup untuk dimasuki keburukan.10 2. Rahmah Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: Rahmah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan. Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu buta, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak menjadi pemarah apalagi pendendam.11 Kualitas mawaddah wa rahmah di dalam rumah tangga, yang dipupuk oleh suami dan istri sangat menentukan bagaimana kondisi rumah tangga tersebut, apakah bahagia atau tidak. Lebih tegas Dr. Yusuf Al-Qardlawy mengatakan bahwa tidak ada artinya hubungan suami istri yang tidak didasarkan pada cinta dan kasih sayang, badan berdekatan namun ruh berjauhan. Jadi, tidak bisa kita
Abu Mohammad Jibril Abdurrahman, Karakteristik Lelaki Shalih, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), Cet. Ke-3, h. 21.
10 9

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 195. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 196.

11

sangkal bahwa istri tidak hanya membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhan material belaka, namun istri juga sangat mengharapkan dari suami perhatian yang tulus, perkataan yang halus, wajah yang cerah, senyum yang ceria, senda gurau yang menyenangkan, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra serta berbagai perilaku mulia yang menyejukkan hati dan mendinginkan gundahnya, bahkan itu semua melebihi daripada kebutuhan material12. Pernikahan dalam Islam menawarkan ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran, sehingga laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama dalam cinta, kasih sayang, kepahitan dalam hidup, harmonis, kerjasama, saling menasehati dan toleran meletakkan pondasi mengangkat keluarga Islam dalam suatu lingkungan yang lestari dan sehat.13 Untuk mewujudkan itu, tidak hanya perempuan yang harus dipilih oleh lakilaki, tetapi perempuan pun diberi hak untuk memilih laki-laki yang akan dijadikannya suami. Dan yang terbaik itu adalah yang bagus agamanya.

  

Sebagaimana Rasulullah. saw. bersabda:

Jika datang seorang pelamar yang bagus agamanya kepadamu, maka kawinkanlah dia. Karena jika tidak, akan terjadi fitnah di atas bumi dan banyak kerusakan (H. R. Ibnu Hibban).14 Selama ini, orang yang selalu di sorot dalam kehidupan rumah tangga adalah seorang istri, karena dia memang dianggap sebagai yang paling bertanggung

 

jawab tentang kehidupan di dalam rumah, mulai dari melayani suami, merawat

Adil Fathi Abdulloh, Menjadi Suami Tercinta, Terj. Bukhori Abu Syauqi, (Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007). Cet. Ke-1, h. xiii.
12

Muhammad Ali Al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi, (Jakarta: PT Mitra Pustaka, 1999), Cet. Ke-1, h. 93.
14

13

Jalaluddin Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis, (Beirut: Daar Al-Fikr), Juz. 1. h. 144.

dan mendidik anak, ini berakibat ketika ada sesuatu kesalahan di rumah tangga itu, istri lah yang sering disalahkan. Sejujurnya tidaklah pantas untuk selalu menyalahkan istri, karena suami pun ikut bertanggung jawab. Tidak becusnya seorang istri dalam melayani suami, tidak berhasil dalam mendidik anak dan lain sebagainya, juga menggambarkan bahwa suami tidak bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga tersebut, sehingga ia tidak bisa membimbing istrinya. Dalam kehidupan rumah tangga adakalanya laki-laki menjadi pemimpin bagi keluarganya, menjadi bapak bagi anak-anaknya, menjadi teman hidup serta sebagai saudara bagi istrinya. Dengan demikian, istri bukanlah menjadi saingan bagi suami, apalagi sebagai musuh. Tetapi suami dan istri itu akan jalan bersama, saling melengkapi untuk tercapainya cita-cita menjadi keluarga yang sakinah15. Suami istri adalah pondasi dasar bagi sebuah bangunan rumah tangga, karena itulah Islam menetapkan kriteria khusus baginya, hingga menimbulkan rasa cinta, kasih sayang, nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran serta saling keterikatan.16 yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan17. Sedangkan Peranan adalah dari kata dasar peran yang ditambahkan akhiran an, peran memiliki di masyarakat. Sedangkan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.18 Dan sakinah disini adalah kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan.19 Jadi, peranan suami dalam membina keluarga sakinah adalah
15

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud suami yaitu Laki-laki

arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan

Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 1.

Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Terj. Ida Nursida, (Bandung: Al-Bayan, 1996), Cet. Ke-3, h. 21. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 860. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996). Edisi ke-2, h. 751.
19 18 17

16

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 769.

bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh suami (laki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan) untuk mewujudkan keluarga yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan. Pada diri manusia mempunyai kelebihan dan juga kekurangan, kelebihan. Dan kekurangan itu membuktikan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan sifat yang sempurna itu hanyalah ada pada Allah swt. untuk itulah manusia hidup di dunia ini harus saling tolong menolong dan lengkap melengkapi. Allah swt. juga telah menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dalam susunan badannya, bentuk dan sifatnya, kulit dan dagingnya, tulang dan darahnya, kepala dan rambutnya, akal dan pikirannya, kekuatan tubuh dan anggotanya, jenis kelamin dan seterusnya.20 Perbedaan-perbedaan itu tentu mempunyai hikmah yang banyak dan laki-laki maupun perempuan tidak akan dapat membantah dan menyangkalnya, sehingga dengan perbedaan itu, mereka dapat saling mengerti, cinta mencintai, sayang menyayangi dan selanjutnya mereka juga dapat saling kuasa menguasai. Maka dari itu pendamping istri yang baik adalah suami yang bertanggung jawab.21 Menurut Al-Quran, suami yang bertanggung jawab adalah suami yang bergaul dengan istrinya secara baik dan sabar atas apa yang tidak disukai darinya.22 Sesuai

              

dengan firman Allah swt. dalam surat An-Nisa ayat 19:

          
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak
20

         

Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 12. Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 12.

21

Majdi Fathi Al-Sayyid, Bingkai Cinta Sepasang Merpati: Bahagia Menjadi Suami Ideal dan Istri Ideal, Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), Cet. Ke-1, h. 185.

22

menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q. S. An-Nisa: 19). Pandangan Al-Quran di atas tentang suami yang bertanggung jawab, sama dengan pandangan hadis dari Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:

Sesungguhnya mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah kalian yang baik terhadap istriistri kalian (H. R. Timidzi).23 mengatakan bahwa suami akan menjaga istrinya, dan memperlakukannya dengan patut seperti yang diperintahkan oleh Allah.24 Ahmad Kusyairi, yang menyebut suami dengan istilah Suami yang Shalih Sejalan dengan Al-Quran dan hadis di atas, Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi

 

mengatakan: Yang selalu menunaikan kewajiban-kewajiban Allah, keluarga dan semua orang yang ada dalam tanggungannya, dengan ikhlas penuh semangat dan lapang dada, yang selalu berusaha membahagiakan istrinya.25 Penuturan Ahmad Kusyairi tersebut, hampir sama dengan pendapat Kasmuri Selamat: yang melaksanakan kewajiban terhadap keluarganya dengan penuh tanggung jawab, bersemangat, penuh perhatian serta berlapang dada.26 Di lain pihak Sholeh Gisymar menyebut suami sebagai suami yang dapat

mendidik dan mengarahkan istri pada kebaikan yang dapat menuntunnya menggapai ridha Ilahi.27
23

Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis , Juz. 2. h. 63.

Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi, Kado Pernikahan, Terj. Abdul Roysad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), Cet. Ke-8, h. 83.
24

Ahmad Kusyairi Suhail, Menghadirkan Surga di Rumah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), Cet. Ke-1, h. 109. Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian: Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), Cet. Ke-6, h. 1.
27 26

25

Sholeh Gisymar, Kado Cinta untuk Istri..., h. 9.

Berdasarkan dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat penulis simpulkan bahwa ada peranan yang harus dilakukan oleh suami. Ketika peranan itu dilakukan, maka hadirlah di tengah-tengah keluarga kebaikan dan keberkahan. Berbicara tentang keluarga, tentu kita tidak bisa melupakan sosok anak. Dalam Islam, anak dipandang sebagai amanat dari Allah swt. Amanat yang wajib dipertanggung jawabkan. Jelas sekali tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil, secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga.28 Dengan demikian, pertanggung jawaban amanat tersebut, langsung berhubungan dengan Allah swt. sebagai pemberi amanat. Dalam dunia pendidikan, keluarga merupakan salah satu lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan anak selain sekolah dan masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara, dikenal adanya Tri Logy Pendidikan atau Tri Pusat Pendidikan, yaitu 3 (tiga) lingkungan (lembaga) pendidikan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian anak didik. Tiga lembaga pendidikan tersebut adalah: pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat. Di antara 3 (tiga) lingkungan tersebut, lingkungan keluarga yang paling penting pengaruhnya dalam pendidikan agama. Karena dalam proses pendidikan, sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapat bimbingan dari sekolah, seorang anak lebih dulu memperoleh bimbingan dari keluarganya. Dari kedua orang tua, terutama dari ibunya, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan watak (kepribadian) dan mendapatkan pengarahan moral. Walaupun demikian peran dari seorang ayah tidak bisa dilupakan, karena ayah lah yang membimbing Istri tersebut dan dia menjadi figur sebagai seorang pemimpin sekaligus pembimbing bagi anak-anak, dimana segala tingkah lakunya akan ditiru. Apalagi dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan pertama dan yang utama serta merupakan

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), Cet. Ke-2, h. 160.

28

10

peletak pondasi dari watak dan pendidikan setelahnya. Demikianlah keluarga mempunyai peranan penting dalam proses pendidikan anak. Karena itu, orang tua yang berperan dan bertanggung jawab atas kehidupan keluarga harus memberikan dasar dan pengarahan yang benar terhadap anak, yakni dengan menanamkan ajaran agama dan akhlak karimah.29 Ketika kita membicarakan pendidikan keluarga merupakan pendidikan awal yang sangat penting, ini sangat sesuai dengan hadis Rasulullah saw.:

            

Tidak ada seorang anak pun kecuali dilahirkan sesuai dengan fitrah, lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya beragama Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi (H. R. Al-Bukhari dan Muslim).30 pada skripsi ini dengan judul PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA KELUARGA SAKINAH. Adapun alasan penulis memilih judul skripsi ini sebagai berikut:



Atas pemikiran di atas, penulis mencoba menuangkan permasalahan tersebut

1. Suami merupakan pemimpin dalam kehidupan rumah tangga yang memiliki peranan yang sangat besar dalam membimbing istri dan mempersiapkan pendidikan untuk anak-anaknya. 2. Inti dari sebuah keluarga itu adanya suami, istri dan anak, maka suami yang bertanggung jawab sangat mutlak diperlukan untuk mencapai citacita dari perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, penuh dengan mawaddah wa rahmah. 3. Melihat realita yang ada, banyaknya suami yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

29 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet. Ke-1, h. 21.

Muslim. Shahih Imam Muslim. Terj. Rais Lathief, dkk. (Jakarta: Keluarga Lathief, 2003). Cet. Khusus. h. 869.

30

11

4. Untuk memperkaya khazanah keilmuan tentang konsep-konsep Islam, diharapkan menjadi sumbangan pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang membutuhkan.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi di atas, kiranya harus dicarikan jawaban dari masalah-masalah tersebut dan

menyelesaikannya. Untuk dapat menjadikan sebuah karya tulis yang baik pembatasan terhadap masalah yang akan dikaji merupakan salah satu bagian penting demi terciptanya fokus pembahasan, untuk itu objek kajian yang akan dituangkan ke dalam skripsi ini diidentifikasikan pada hal-hal berikut: 1. Suami yang dimaksud adalah yang berstatus sebagai individu dan anggota masyarakat yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan yang diikat dengan tali pernikahan. 2. Peranan yang dimaksud adalah bagian dari tugas utama (kepala keluarga) yang harus dilakukan oleh suami. 2. Pembatasan Masalah Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis merasa perlu untuk memberikan suatu pembatasan masalah agar tidak melebar, yaitu: 1. Suami sebagai kepala rumah tangga. 2. Peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. 3. Karakteristik Suami yang bertanggung jawab 3. Perumusan Masalah Dari pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah menjadi: 1. Bagaimana peranan suami sebagai kepala rumah tangga dalam membina keluarga sakinah? 2. Bagaimana peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah? 3. Bagaimana karakteristik suami yang bertanggung jawab?

12

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan Setiap karya tulis yang bernilai ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penulisan skripsi ini. Berdasarkan seluruh permasalahan yang dirumuskan dalam perumusan masalah, maka secara spesifik tujuan yang akan dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi suami sebagai kepala rumah tangga. b. Untuk mengetahui peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. c. Untuk mengetahui kriteria suami yang bertanggung jawab. Sedangkan tujuan akademis dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperluas paradigma berpikir dan wacana keilmuan dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan keluarga. 2. Manfaat penulisan Adapun hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Dari tulisan ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan para orang tua dalam upaya membentuk keluarga yang sakinah. b. Memberi acuan bagi para pelajar laki-laki untuk menjadi laki-laki yang shaleh/bertanggung jawab dan mampu mengatasi berbagai masalah dalam rumah tangga.

D. Metode Pembahasan Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode maudhui (tematik). Yaitu cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara tertentu31. Untuk itu harus dilakukan komparasi dan

Ahmad Syadali, Ahmad Rofii., Ulumul Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke1, h. 115.
31

13

penghimpunan ayat yang saling berkaitan, kemudian dibahas atau ditafsirkan sesuai dengan kaedah yang berlaku. Dr. M. Quraish Shihab, di dalam karyanya Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan), memberikan defenisi tafsir maudhui secara lebih rinci: menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh32. Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah al-Jalil Ahmad As-Said al-Kumi, ketua jurusan tafsir di Universitas al-Azhar33. Adapun pedoman yang di jadikan sandaran penulis dalam penulisan skripsi ini adalah pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata 1 (S1). Maka tidak menutup kemungkinan ketika skripsi yang disusun oleh penulis ini memiliki kemiripan dengan skripsi penulis lainnya. Dalam beberapa buku dan skripsi yang saya baca, banyak hal khususnya teori dan pendapat yang menjadi perhatian penulis untuk dijadikan penunjang penulisan dan menjadi perbandingan bagi penulis selanjutnya. Dan sebagai tinjauan pustaka penulis dalam menyusun teori-teorinya mengambil dari buku-buku dan skripsi yang bersangkutan dengan kewajiban suami dalam pandangan Islam. Husain Syahatah merupakan penulis sebuah buku dengan judul Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga; Antara Kewajiban dan Realitas yang menjadi referensi penulis dalam rangka mengetahui berbagai teori tentang peranan
http://www.qalam.or.id/?pilih=news&aksi=lihat&id=341, Pengenalan Singkat Tentang Metode Tafsir Tematik Sebagai Salah Satu Metode Tafsir Terbaru. oleh Hamid. Selasa, 20 Nopember 2007.
33

32

Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1, h. 161.

14

suami dalam membina keluarga yang sakinah. Dalam buku ini dijelaskan bahwa peranan suami itu tidak jauh berbeda dengan peranan istri dalam Islam, perbedaannya adalah suami merupakan pemimpin di dalam keluarga dan besar larangannya jika suami tidak memperhatikan urusan keluarga (istri dan anak), apalagi tidak memberi nafkah kepada mereka. Dari skripsi yang penulis susun ini terdapat perbedaan dengan tinjauan pustaka yang penulis tunjukan yaitu karya Husain Syahatah Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga; Antara Kewajiban dan Realitas perbedaan tersebut terletak pada penjabaran teori yang lebih melihat dengan jelas kepada kewajiban suami sebagai kepala, pendidik dan pendamping istri dalam rumah tangga.

BAB II SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA

A. Fungsi Suami Sudah jamak dipahami bahwa suami adalah kepala rumah tangga, dan istri adalah ibu rumah tangga. Logika ini tidak bisa diganti dengan sebaliknya. Problemya adalah apa yang dimaksud dengan kepala rumah tangga dan apa yang dimaksud dengan ibu rumah tangga. Disini, yang berlaku umum dalam masyarakat kita adalah bahwa kepala rumah tangga mengurusi urusan-urusan besar dalam rumah tangga, yakni yang menyangkut pencarian nafkah, penjagaan hubungan rumah tangga dengan masyarakat, dan urusan-urusan lain yang melibatkan rumah tangga dengan kehidupan sosial. Sementara, defenisi ibu rumah tangga adalah bahwa seorang ibu mempunyai tugas-tugas pengaturan rumah tangga berskala kecil, seperti pengaturan rumah dan perabotan, pengaturan urusan dapur, pengaturan urusan keuangan rumah tangga, pengaturan kesejahteraan anggota-anggota rumah tangga dan pengaturan anak.1 Tampaknya, tugas ibu rumah tangga tersebut ringan dan kecil, tetapi pada kenyataannya, seorang ibu rumah tangga dihabiskan waktunya untuk disibukkan dalam rumah tangga tersebut. Di sinilah kadang seorang kepala rumah tangga kurang menyadari tugas-tugas ibu rumah tangga.
1

Majid Sulaiman Daudin, Hanya untuk Suami, (Jakarta: Gema Insani, 1996), Cet. Ke-1, h.

276.

15

16

Jadi, kalau para suami mau jujur terhadap dirinya sendiri, maka suami akan menyadari bahwa tugas-tugas konkrit seorang istri lebih berat daripada tugastugas seorang suami. Maka, kerelaan seorang istri untuk menjadi ibu rumah tangga dan keikhlasannya menganggap suami menjadi kepala rumah tangga, adalah penghormatan yang setinggi-tingginya yang dapat diberikan oleh seorang istri kepada suaminya. Dan hal ini memang telah dimekanismekan oleh alam, bahwa pembagian yang seperti itu adalah pembagian yang alamiah2. Keluarga bisa dianggap sebagai miniatur dari sebuah sistem pemerintahan, yang memerlukan seseorang pemimpin, bertujuan untuk menciptakan negara yang maju, aman dan sejahtera. Begitu juga dengan keluarga, yang memerlukan seorang pemimpin yang biasa disebut dengan kepala rumah tangga untuk menciptakan keluarga yang diimpikan yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Agama Islam menganggap bahwa pemimpin atau kepala dalam rumah tangga

            

itu adalah seorang suami, ini tergambar jelas dalam firman Allah:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (Q. S. An-Nisa: 34).

( 

   ,

Para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami

adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita. Ibnu Abbas pakar tafsir yang terkenal di kalangan sahabat menafsirkan bahwa laki-laki (suami) adalah pihak yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk mendidik perempuan (istri). Kemudian Az-Zamaksyari menjelaskan bahwa laki-laki berkewajiban melaksanakan amar makruf nahi mungkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa terhadap raknyatnya. Al-Alusi menyatakan hal yang senada bahwa tugas laki-laki adalah memimpin perempuan, sebagaimana
2

Majid Sulaiman, Hanya untuk Suami.., h. 277.

17

pemimpin memimpin raknyatnya dalam bentuk perintah, larangan dan semacamnya. Jalaluddin as-Suyuthi memaknainya dengan laki-laki sebagai penguasa (musallithun) atas perempuan, sedangkan Ibnu Katsir memaknainya perempuan.3 dengan laki-laki adalah pemimpin yang dituakan dan pengambil kebijakan bagi Kata ( ) ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata

yang

diterjemahkan lelaki, walaupun Al-Quran tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Dalam buku wawasan Al-Quran, dikemukakan bahwa ar-rijalu qawwamuna ala an-nisa, bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah karena mereka mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata lelaki adalah kaum pria secara umum, maka tentu konsiderannya tidak demikian4. Tetapi kemudian M. Quraish Shihab menemukan bahwa Muhammad Thahir Ibn Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ar-rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab, bahkan bahasa Al-Quran dalam arti suami. Berbeda dengan kata ( an-nisa atau (para suami) menafkahkan sebagian dari harta mereka yakni untuk istri-istri

imraah yang digunakan untuk makna istri5. Namun, kata ar-rijal

yang dimaksud oleh Quraish Shihab dalam bukunya wawasan al-Quran adalah lelaki secara khusus, yaitu suami, karena konsideran dengan lanjutan ayat yaitu karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian dari harta mereka yakni istri-istri mereka. Kata

yang terambil dari kata ( qama. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat misalnya juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti
Sri Mulyati, Relasi Suami dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h. 42.
4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-X, Jil. 2, h. 424. 5 3

qawwamun adalah bentuk jamak dari kata

qawwam,

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 424

18

perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunah-sunahnya. Seorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamai

( qaim. Kalau dia melaksanakan

tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia dinamai qawwam. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak, yakni qawwamun sejalan dengan makna kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi seperti terbaca dari maknanya

ar-rijal yang berarti banyak lelaki. Seringkali

di atas agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan marupakan satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan6. Seiring dengan pendapat di atas, Ahmad Mustafa Al-Maragi juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Qiyam ialah kepemimpinan, yakni orang yang dipimpin bertindak sesuai dengan kehendak dan pilihan pemimpin. Sebab makna Al-Qiyam tidak lain adalah bimbingan dan pengawasan di dalam melaksanakan apa-apa yang ditunjukkan oleh suami dan memperhatikan segala perbuatannya7. Lebih tegas lagi, Sayyid Quthub menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan ayat yang mengatur organisasi dalam keluarga, kemudian menjelaskan keistimewaan-keistimewaan peraturannya agar tidak terjadi keberantakan antar anggotanya, yaitu dengan mengembalikan mereka semua kepada hukum Allah, bukan hukum hawa nafsu, perasaan dan keinginan pribadi, memberikan batasan bahwa kepemimpinan dalam organisasi rumah tangga ini berada di tangan lakilaki8. Dengan ditunjuknya suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga, maka suami harus mampu membimbing keluarga tersebut dan menjaganya dari keberantakan yang akan menyebabkan kehancuran rumah tangga.
6

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,h. 424

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terj. Hery Noer Aly, dkk, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), Jil. 5, Cet. Ke-2, h. 42. Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al-Quran. Terj: Asad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2000) Jil. 2, Cet. Ke-2, h. 353 354.
8

19

Allah telah menetapkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu, disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, suamilah yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut, karena suami merupakan pemimpinnya. Persoalan yang dihadapi suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tapi boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan. Allah swt. menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu9: Pertama, sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki lelaki, lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Disisi lain keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Murthadha Muthahhari seorang ulama terkemuka Iran dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Abu Az-Zahra An-Najafi ke dalam bahasa Arab dengan judul Nizham Huquq al-Marah menulis bahwa keistimewaan antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut10:
9

    

karena Allah telah melebihkan

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 425. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,h. 426.

10

20

1. Dari segi fisik Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi dari perempuan; suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak tangan perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari lelaki, tetapi perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki, dan lebih cepat berbicara, bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara lebih besar/banyak dari perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki. Sangat adil pula jika Allah melengkapi laki-laki dan wanita dengan perangkat reproduksi yang berbeda, termasuk tanda-tanda seksual keduanya11.

2. Dari segi psikis Secara umum lelaki lebih cenderung kepada olahraga, berburu, pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada perdamaian dan keramahan; lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tentram. Perempuan menghindari penggunaan kekerasan terhadap dirinya atau orang lain, karena itu jumlah wanita yang bunuh diri lebih sedikit dari jumlah pria. Caranya pun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara yang keras pistol, tali gantungan atau meloncat dari ketinggian sementara wanita menggunakan obat tidur, racun, dan semacamnya. Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki, yang biasanya lebih berkepala dingin. Perempuan biasanya lebih cenderung kepada upaya menghiasi diri, kecantikan, dan mode yang beraneka ragam serta berbeda bentuk. Di sisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten
11

Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 197.

21

dibanding dengan lelaki. Perempuan lebih berhati-hati, lebih tekun beragama, cerewet, takut, dan lebih banyak berbasa-basi. Perasaan perempuan lebih keibuan, ini jelas nampak sejak kanak-kanak. Cintanya kepada keluarga serta kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga lebih besar dari lelaki.

Perbedaan antara laki-laki dan wanita secara fisik dan psikis serta fenomena kodrati di atas sesungguhnya diatur sedemikian rupa oleh Allah untuk menunjang tugas masing-masing. Perlu dicatat bahwa walaupun secara umum pendapat di atas sejalan dengan petunjuk ayat yang sedang ditafsirkan ini, namun adalah sewajarnya untuk tidak menilai perasaan wanita yang sangat halus itu sebagai kelemahan. Justru itulah salah satu keistimewaan yang tidak dan kurang dimiliki oleh pria. Keistimewaan itu amat dibutuhkan oleh keluarga, khususnya dalam rangka memelihara dan membimbing anak-anak12. Kedua,

   ,

disebabkan karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebahagian harta mereka. menafkahkan menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut, sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini13. Wanita secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami, bahkan kekasihnya, di sisi lain pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama Islam yang tuntunanBentuk kata kerja past tense/masa lampau yang digunakan ayat ini telah

12

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 427-428. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 428.

13

22

tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia, mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya14. kewajiban memenuhi kebutuhan dan anak-anak lahir hak-hak suami yang harus pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri. Perlu digarisbawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami, tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Paradigma pemimpin kaum adalah pelayan mereka, harus dipraktekkan oleh laki-laki dalam memimpin kaum perempuan atau keluarga, agar ia tidak mengembangkan kepemimpinan yang diktator, otoriter dan zalim. Sebab, sebagaimana dijelaskan Taqiyyuddin an-Nabhani dalam buku an-Nizham alIjtimai, bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga bukanlah akad syirkah (perusahaan), akad perdata yang berkonsentrasi pada kawin kontrak atau akad ijarah (sewa menyewa) sehingga istri ibarat budak bagi suami untuk dipekerjakan. Bukan pula seperti hubungan polisi dan pencuri, sehingga istri selalu terancam dan diteror, dan suami selalu merasa superior. Tetapi hubungan keduanya adalah hubungan sakinah, mawaddah dan rahmah. Yaitu hubungan untuk saling mengondisikan munculnya sakinah (ketentraman dan ketenangan) jiwa, mawaddah (cinta kasih), dan rahmah (rasa sayang)
15

Dari kedua faktor yang disebut di atas keistimewaan fisik dan psikis, serta

Dengan demikian, suami akan menjadi pengayomi yang baik, serta akan mendapatkan pelayanan baik dari istri dan anggota keluarga, bahkan akan mendapatkan lebih baik dari apa yang telah diberikan oleh suami terhadap istri dan anggota keluarganya. aimmat an-nisa, melainkan berbunyi ar-rijalu qawwamuna ala an-nisa padahal kedua redaksi mempunyai pengertian yang hampir sama. Hal ini tidak
14

Disinilah barangkali hikmah mengapa redaksi atas tidak berbunyi ar-rijalu

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 428 Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 199.

15

23

lain karena makna yang terdapat dalam kata qawwamah jauh lebih mendalam dan integral daripada kata imamah. Termasuk dalam makna qawwamah adalah memimpin, meluruskan jika ia (perempuan) itu bengkok (salah), mengayomi, menjaga, melindungi, membina dan mendidik16. Maka jelaslah bahwa suami menjadi pemimpin, bukan berarti ia harus menjadi otoriter dalam memimpin, tanpa memikirkan apa yang diinginkan oleh istri dan anggota keluarganya.

B. Kedudukan Suami Walaupun suami merupakan pemimpin dalam keluarga, kepemimpinan suami di sini tidak sampai memutlakkan seorang istri tunduk sepenuhnya. Istri tetap mempunyai hak untuk bermusyawarah dan melakukan tawar menawar keinginan dengan suami berdasarkan argumen-argumen rasional-kondisional.

Kepemimpinan suami atas keluarganya tidak menghilangkan hak-hak mereka dalam berbagai hal. Hal ini selain selaras dengan realitas, juga lebih sesuai dengan

            
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q. S. Al-Baqarah: 228).

firman Allah:



seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. Sebagaimana pria mempunyai hak untuk rujuk kepada istri yang diceraikannya, sang istri pun mempunyai hak untuk diperlakukan secara maruf, yakni sesuai dengan tuntunan agama, sejalan dengan akal sehat, serta sesuai dengan sikap orang yang berbudi17.

   

Para wanita mempunyai hak yang

16

Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 199. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 490.

17

24

Mendahulukan penyebutan hak wanita atas kewajiban wanita dinilai sebagai penegasan tentang hal tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak itu diperhatikan, apalagi selama ini, pada beberapa suku masyarakat Jahiliyah, wanita hampir dapat dikatakan tidak mempunyai hak sama sekali. Ayat ini secara tegas menyatakan adanya hak tersebut18. Adapun hak dan kewajiban istri kepada suami adalah19: 1. Hak istri Mendapatkan mahar Hak istri yang pertama kali yang harus dipenuhi oleh seorang suami adalah diberi mahar dengan penuh kerelaan. Ketika istri

menghendaki mahar tertentu suami harus memenuhinya tanpa menguranginya sedikit pun. Bahkan istri berhak menolak ketika suaminya ingin menyentuhnya apabila mahar belum diberikan. Namun, jika ingin menjadi perempuan yang shalehah, sebaiknya mempermudah lamaran dan tidak memberatkan mahar. Mendapatkan pergaulan dengan sebaik-baiknya Secara naluri perempuan memang memiliki perasaan yang halus, tetapi ia mudah marah. Oleh karena itu, perempuan berhak mendapatkan perlakuan yang lembut dari suaminya saat

menghadapinya. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap istri-istrinya. Mendapatkan nafkah Istri sangat berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya, meskipun misalnya istri tersebut adalah orang yang kaya. Secara umum termasuk nafkahnya ialah memberi makan dan pakaian.

18

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 490. Syaikh Hafiz Ali. Kado Pernikahan..., h. 117-137.

19

25

Mendapatkan pendidikan Pendidikan juga menjadi hak istri, apalagi seorang istri nantinya akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan apabila ibunya tidak berpendidikan, bagaimana nanti nasib dari anak-anaknya.

2. Kewajiban istri Seorang istri harus mengatur urusan rumah tangga dan

mempersiapkan kebutuhan hidup sehari-hari. Sudah menjadi rahasia umum bahwa istri mempunyai kewajiban mengatur urusan rumah tangga dan mempersiapkan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti mengatur keuangan rumah tangga, menyiapkan makanan untuk anak dan suaminya, serta yang lainya. Berkewajiban menjaga kehormatan dan ridha suami Suami merupakan surga dan sekaligus juga neraka bagi istri, untuk itulah istri harus menjaga kehormatan dan ridha suami. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

Pikirkanlah sikapmu kepadanya, karena sesungguhnya ia adalah surgamu dan juga nerakamu (H. R. Ahmad).20 Wajib taat dan patuh kepada suami

 

Secara mutlak seorang istri wajib taat kepada suaminya terhadap segala yang diperintahkannya, asalkan tidak termasuk perbuatan durhaka kepada Allah. Sebab memang tidak ada alasan sama sekali bagi makhluk untuk taat kepada sesama makhluk dalam berbuat durhaka kepada Allah. Setiap istri yang taat kepada suaminya yang mukmin, ia akan masuk ke surga Tuhannya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

20

Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Daar Al-Fikr), Jilid. 4. h.

341.

26


Apabila seorang wanita sudah menjalankan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia inginkan (H. R. Ahmad).21 Membantu suami bertakwa dan taat kepada Allah Seorang istri wajib membantu suaminya untuk taat kepada Allah, dan memberinya nasehat demi mencari keridhaan Allah.

  

    

  

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

Allah merahmati seorang suami yang bangun tengah malam untuk melakukan shalat, lalu ia membangunkan istrinya agar ikut shalat, dan jika istrinya tidak mau bangun, ia memercikkan air pada wajahnya. Dan Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun tengah malam untuk shalat, lalu ia membangunkan suaminya agar ikut shalat, dan jika suaminya tidak mau bangun, maka ia memercikkan air pada wajahnya (H. R. Ahmad).22 Setia dan ikhlas kepada suami

Setia adalah bukti keikhlasan dan cinta sejati. Seorang istri yang sholehah akan selalu ikhlas kepada suaminya dan menjaga perasaannya. Ia tidak mau membebani suaminya dengan tuntutantuntutannya. Ia rela menghadapi kesulitan dengan sabar dan ridha. Jika ia kaya, ia mau membantu suaminya yang miskin.

21

Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal , Jilid. 1. h. 191. Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis, Juz. 4. h. 416.

22

27

Tidak menyakiti suami Seorang istri tidak boleh menyakiti suaminya, misalnya dengan cara membangga-banggakan kecantikannya, atau membangga-banggakan harta kekayaannya di hadapannya sampai menyinggung

perasaannya.

Agama Islam telah mengangkat derajat kaum wanita pada suatu tingkatan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain dan syariat-syariat lain sebelumnya. Bahkan belum pernah dicapai oleh satu umat pun yang menganggap diri mereka telah mencapai puncak peradaban dan kebudayaan. Meskipun mereka telah menghormati dan memuliakan kedudukan wanita serta memberikan pendidikan kepada mereka dalam bidang sains dan ilmu kemasyarakatan.

  Para suami mempunyai satu derajat (tingkatan) atas

mereka para istri. Derajat yang dimaksud adalah derajat kepemimpinan. Tetapi kepemimpinan yang berlandaskan kelapangan dada suami untuk meringankan sebagian kewajiban istri, karena itu Ath-Thabari menulis, walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah perintah bagi para suami untuk memperlakukan istri mereka dengan sikap terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu23. Jadi, ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa suami itulah yang memimpin istri, bukan istri yang memimpin suami. Dan terlihat juga bahwa dibebankannya kepemimpinan kepada suami, bukan diberikan kepada wanita, sifatnya fitrah.24 Adapun hak dan kewajiban atas kedua belah pihak harus seimbang, maksudnya, jika suami meminta sesuatu dari istrinya, ia pun harus mengingat bahwa ia mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap istrinya. Jika tidak, ingatlah

  Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dengan dibebankannya kepemimpinan kepada suami itulah, maka Kasmuri Kasim, dalam bukunya Suami Idaman Istri Impian mengemukakan empat sifat
23

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 491-492. Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 302.

24

28

yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki yang membuatnya layak menjadi pemimpin di dalam rumah tangga: a. Berpengetahuan agama dan mengamalkannya secara sempurna Yang akan dipercayai sebagai kepala rumah tangga ialah suami, oleh karena itu ia harus mempersiapkan dirinya dengan memperbanyak pengetahuan agama. Disamping mengerjakan perintah agama yang mendasar seperti, shalat, puasa, zakat dan lain-lain, kemudian harus memahami pula bidang yang lain, karena Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan sesuai untuk seluruh zaman.

b. Sempurna akal dan pemikiran Jika seorang itu ingin menjadi suami maka hendaklah ia berpikiran positif. Karena apabila telah berumah tangga, seorang suami harus memikirkan cara yang terbaik dalam memenuhi segala keperluan rumah tangganya, baik secara lahiriah maupun batiniah.

c. Sehat lahir dan batin Bagi seorang laki-laki yang ingin berumah tangga, haruslah terlebih dahulu memperhatikan kemampuan fisiknya, karena lemahnya kemampuan tenaga batin akan membawa rumah tangga menjadi tidak bahagia. Begitu juga jika sekiranya tidak mampu untuk bekerja karena penyakit dan sebagainya akan menjadikan laki-laki tersebut tidak dapat memberikan nafkah dan tanggung jawab lainnya kepada keluarganya.

d. Memberikan nafkah sesuai dengan kesanggupan Dalam kehidupan berumah tangga, Islam tidak membebankan kaum wanita supaya mencari nafkah, akan tetapi kewajiban ini harus dilaksanakan oleh kaum laki-laki untuk menyediakan sesuai

kesanggupannya.

29

Pada hakikatnya, kehidupan rumah tangga adalah sebuah kerajaan iman. Dalam artian, suami adalah rajanya, istri adalah ratunya dan anak-anak adalah raknyatnya. Suami adalah raja yang memimpin kerajaan dan mengendalikan semua urusannya, karena dialah yang menerima beban tanggung jawab serta amanat25.

C. Kewajiban Suami Suami adalah kepala rumah tangga. Pada dirinya terletak responsibilitas yang besar, kewajiban yang bermacam-macam terhadap keluarganya, dirinya dan agamanya yang harus ia letakkan secara seimbang, sehingga satu kewajiban tidak mengurangi kewajiban yang lain. Sesungguhnya Allah swt. Telah berkehendak memberikan amanah kepada perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui tugas yang amat besar. Karenanya sangat adil, jika kemudian Allah membebankan tugas kepada laki-laki untuk mencari nafkah, untuk memenuhi kebutuhan utama keluarganya dan memberikan perlindungan kepada perempuan sehingga dapat berkonsentrasi menjalankan tugas mulianya. 1. Memberi nafkah lahir dan batin/pergaulan suami istri Ajaran Islam menetapkan bahwa suami bertanggung jawab untuk menafkahi istrinya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. a. Nafkah lahir Allah swt. telah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 233

         

           

yaitu:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
Majid Sulaiman, Hanya untuk Suami, h. 9.

25

30

cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.... (Q. S. Al-Baqarah: 233).

         
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dengan menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan dengan sangat kukuh kepada para ibu agar menyusukan anak-anaknya. Kata ( ) al-walidat dalam penggunaan Al-Quran berbeda dengan kata () ummahat yang merupakan bentu jamak dari kata () umm. Kata ummahat digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedang kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ayat ini menggunakan kata al-walidat, karena dalam hal ini adalah seorang ibu yang telah diceraikan oleh suaminya itu masih mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu. Itu suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dan tidak dibiarkan-Nya meskipun fitrah dan kasih sayangnya mengalami kerusakan oleh pertengkaran urusan rumah tangganya, sehingga merugikan si kecil ini26. Ini berarti bahwa Al-Quran sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, tentunya air susu ibu kandung lebih baik dari selainnya. Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tentram; sebab menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi mendengar suara detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut27.

       

Sejak

kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk


Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jil. I, Cet. II, h. 301 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, h. 503-504.

26

27

31

menyusui anak-anaknya. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga

mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang telah mengakibatan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusunya28.

    

Dan merupakan

kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang disusukannya itu telah diceraikannya secara bain, bukan rajiy. Adapun jika ibu anak itu masih berstatus istri walau telah ditalak secara rajiy, maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami istri, sehingga bila mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai wajar29. Maka diwajibkanlah kepada seorang ayah menanggung kebutuhan hidup istrinya berupa makanan dan pakaian, dengan tujuan sang ibu bisa melakukan kewajibannya terhadap bayinya dengan sebaikbaiknya dan menjaganya dari serangan penyakit30. Jatuhnya kewajiban memberikan kebutuhan hidup sehari-hari bagi istri, dikarenakan anak itu membawa nama ayah, seakan-akan anak itu lahir untuk ayahnya, nama ayah pun akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya.

    Seseorang tidak dibebani melainkan menurut


kadar kesanggupannya. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan cara yang maruf. Dalam ayat lain yang berhubungan dengan ayat di atas yaitu dalam
28

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 504. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 504. Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 2, h. 321.

29

30

32

            ...

Q. S. Al-Ahqaf ayat 15, menjelaskan:

            

          

Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo`a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (Q. S. Al-Ahqaf: 15).

   ,

ayat ini mengisyaratkan bahwa masa

kandungan minimal adalah enam bulan, karena pada Q. S. Al-Baqarah ayat 2, telah dinyatakan bahwa masa penyusuan yang sempurna adalah dua tahun, yakni 24 bulan. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa penyusuan minimal adalah sembilan bulan, karena masa kandungan yang normal adalah sembilan bulan. Betapapun ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya ibu menyusukan anak dengan ASI (Air Susu Ibu). Ayat di atas juga menunjukkan betapa pentingnya ibu kandung memberikan perhatian yang cukup terhadap anak-anaknya, khususnya pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan jiwanya. Sikap kejiwaan seorang dewasa banyak sekali ditentukan oleh perlakuan yang dialaminya pada saat kanak-kanak, karena itu tidaklah tepat membiarkan mereka hidup terlepas dari ibu bapak kandungnya. Betapapun banyak kasih sayang yang dapat diberikan oleh orang lain, tetap saja kasih sayang ibu bapak masing sangat mereka butuhkan.

33

   ,

Banyak ulama yang menyatakan bahwa itu

terpenuhi pada usia 33 tahun. Betapapun maknanya, yang jelas ayat di atas menuntut peningkatan pengabdian dan bakti kepada orang tua dari saat ke saat, dan bahwa walaupun seseorang telah mencapai usia kedewasaan dan memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anakanaknya, namun bakti tersebut harus terus berlanjut dan terus meningkat. Dengan tuntutan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia31. Untuk masalah pemberian nafkah ini, Allah lebih menjelaskannya lagi

             

pada surat At-Talaq ayat 7:

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q. S. At-Talaq: 7).

()          

   

Hendaklah yang lapang, yakni mampu dan

memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya dari yang sebatas kadar kemampuannya dan dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula kelapangan dan keluasan berbelanja32.

31

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, h. 505. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

32

34

      

Dan siapa yang disempitkan

rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Jangan sampai ia memaksakan diri untuk nafkah itu dengan mencari rezeki dari sumber yang tidak direstui Allah33.

     
itu janganlah wahai istri

Allah tidak akan memikulkan beban

kepada seseorang sesuai apa yang Allah berikan kepadanya. Karena menuntut terlalu banyak dan

pertimbangkanlah keadaan suami atau bekas suami kamu. Di sisi lain hendaklah semua pihak selalu optimis dan mengharap kiranya Allah memberinya kelapangan34. Tidak ada jumlah tertentu untuk kadar nafkah bagi keluarga. Ini kembali kepada kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada satu masyarakat35. Suami yang tidak dapat menutupi biaya hidup keluarganya, mestinya memperoleh sumbangan dari Bait al-Mal atau kini dikenal dengan Departement Sosial. Tetapi kalau seandainya suami tidak mendapatkannya, maka istri yang rela hidup bersama suami yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara wajar dapat menuntut cerai36.

   

Allah akan memberikan kelapangan

sesudah kesempitan, ada ulama yang memahaminya sebagai janji yang pasti terlaksana. Al-Biqai mengomentari penggalan ayat ini bahwa:

33

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

34

35

36

35

karena itu tidak ada seseorang yang terus menerus sepanjang usia hidupnya dalam keadaan kesempitan37. Kemudian Rasulullah saw. juga bersabda:

           

Apabila seorang suami memberi nafkah kepada keluarganya dengan mengharap pahala, maka nafkah tersebut termasuk sedekah. (H. R. Bukhari).38

 
Sungguh, tidak ada nafkah yang kamu berikan dengan maksud mendapatkan ridha Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahalaNya, termasuk juga makanan yang kamu berikan ke mulut istrimu. (H. R. Bukhari dan Muslim).39 Seorang ibu mengandung demi seorang ayah (suami) dan menyusui juga demi sang suami. Oleh karena itu wajib bagi suami memberi nafkah secukupnya kepada istriya berupa sandang dan papan, agar ia dapat melaksanakan kewajibannya dalam menjaga dan memelihara bayinya. Walaupun memberi nafkah itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang merupakan kepala rumah tangga, tetapi sesuai dengan dalil yang di atas, memberi nafkah itu tidak boleh berlebih-lebihan, dalam artian melewati batas kemampuan suami itu, yang nantinya akan membuat suami itu sengsara. Dan tidak boleh juga kurang, yang nantinya akan berakibat memberatkan sang istri. Sesungguhnya Islam melarang seorang suami menikmati hasil usaha istrinya. Akan tetapi, aturan ini tidaklah kemudian menjadikan seorang
37

  

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

38 Ahmad bin Ali bin Hajr Asqalani, Fathu Bari: Sarah Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Kutab Alamiya), Juz. 2. h. 1135. 39

Abi Husain Muslim, Shahih Muslim. (Beirut: Daar ibn Hazm), Juz. 3. h. 1013.

36

istri tidak bekerja mencari nafkah, sekiranya memang nafkah yang diberikan oleh suaminya tersebut tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Dan pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri itu terwujud karena dua hal40: Pertama, ia wajib mencari nafkah bersama-sama suaminya demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Jadi, prinsip yang harus dipegang di sini adalah bahwa walaupun nafkah itu diberikan oleh seorang suami kepada istrinya sebagai hak bagi istrinya, tetapi kegunaan nafkah itu tidak semata-mata untuk kebutuhan istrinya saja (misal, untuk membeli perhiasan atau pakaian), melainkan juga untuk kegunaan suaminya (misal, makan dan minum). Dengan demikian, harta yang diberikan oleh seorang suami pada intinya merupakan harta yang digunakan untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, pemenuhan akan kebutuhan bersama ini tidak mencukupi, maka seorang istri tidak boleh harus memaksakan diri untuk tidak mau tahu terhadap kekurangan tersebut dengan hanya mengharapkan pemberian nafkah suaminya saja. Dan sang suami pun harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan istri agar dalam memenuhi kebutuhan itu cukup untuk istri, karena kalau tidak itu akan memberatkan istri. Kedua, pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri hanya bersifat membantu suaminya, dan bukan merupakan kewajiban. Bantuan dalam pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya di sini tidak penting untuk dilakukan (yakni tidak sebagaimana dalam kasus yang pertama), karena nafkah yang diberikan oleh suaminya telah mencukupi kebutuhan istri dan kebutuhan rumah tangga mereka.

Muhammad Muhyidin, Meraih Mahkota Pengantin: Kiat-kiat Praktis Mendidik Istri & Mengajar Suami, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2003), Cet. Ke-I. h. 260-261.

40

37

b. Nafkah batin / Pergaulan Suami Istri Tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki nafsu syahwat, dengan adanya nafsu syahwat itu maka setiap orang ingin memiliki keturunan, yang akhirnya disyariatkanlah perkawinan. Ada ulama berpendapat bahwa hukum memberikan nafkah batin (hubungan suami istri) bagi seorang suami apabila tidak ada halangan adalah wajib. Ada juga yang mengatakan bahwa melakukan hubungan suami istri itu wajib dilakukan setiap empat hari sekali, tetapi ada juga yang berpendapat enam hari sekali41. Sebenarnya berbagai macam pendapat ulama di atas itu sejalan dengan anjuran Rasulullah saw. yang melarang setiap suami meninggalkan istrinya dalam waktu yang terlalu lama, walaupun untuk tujuan berzikir, beribadah dan jihad. Karena perbuatan yang demikian itu pada hakikatnya akan menyiksa perasaan istri42. Selain hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu syahwat, memiliki keturunan merupakan salah satu tujuan dari ikatan perkawinan. Oleh karena itu, salah satu dari suami atau istri tidak boleh menghalangi yang lainnya untuk memenuhi hak berhubungan suami istri. Hak berhubungan suami istri ini ditetapkan oleh syara. Allah swt.

          

berfirman:

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Q. S. Al-Baqarah: 223).
41

     

Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian, h. 79. Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian, h. 80

42

38

      

tidak ada dosa bagi kalian

untuk mendatangi istri-istri kalian dengan cara apapun yang kalian sukai, jika hal ini kalian lakukan untuk mendapatkan keturunan dan kalian melakukannya pada tempat yang sebenarnya. Sebab, syariat agama tidak bermaksud memberati kalian dan melarang kalian untuk menikmati kelezatan ini. Sebaliknya syariat justru ingin mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi kalian43. Ayat di atas, yang menegaskan bahwa istri adalah tempat bercocok tanam, bukan saja mengisyaratkan bahwa anak yang lahir adalah buah dari benih yang ditanam ayah. Istri hanya berfungsi sebagai ladang yang menerima benih44. Karena istri adalah ladang tempat bercocok tanam, maka datangilah, garaplah tanah tempat bercocok tanam kamu. Datangi ia kapan dan dari mana saja, asal sasarannya ke arah sana, bukan arah yang lain. Arah yang lain berfungsi mengeluarkan najis dan kotoran, bukan untuk menerima yang suci dan bersih. Sperma adalah sesuatu yang suci dan menumpahkannya pun harus suci, karena itu lakukanlah ia dengan tujuan memelihara diri dari terjerumus kepada dosa. Berdoalah ketika melakukannya. Ciptakanlah suasana kerohanian agar benih yang diharapkan berbuah itu, lahir, tumbuh dan berkembang, disertai oleh nilai-nilai suci45.

Dan kedepankanlah hubungan seks dengan tujuan

kemaslahatan untuk diri kamu di dunia dan akhirat, bukan semata-mata untuk melampiaskan nafsu46.
43

Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 2, h. 274. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, h. 480. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1. h. 481. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1. h. 481.

44

45

46

39

Serta bertakwalah kepada Allah dalam hubungan suami

istri, bahkan dalam segala hal. Jangan menduga Allah tidak mengetahui keadaan kamu tentang segala sesuatu yang kamu rahasiakan47.

 

Ketahuilah, bahwa kamu kelak akan menemui-

Nya. Jika demikian, jangan sembunyikan sesuatu terhadap pasangan yang seharusnya ia ketahui, jangan membohonginya. Di sisi lain, jangan membongkar rahasia rumah tangga yang seharusnya

dirahasiakan. Kalaupun ada cekcok selesaikan ke dalam, dan jangan selesaikan melalui orang lain, kecuali kalau terpaksa. Allah kelak akan menyelesaikannya, karena kelak kamu akan menemui-Nya. Demikian kesan Al-Harrali, seorang ulama dan pengamal tashawuf (w. 637 H.) yang banyak dikutip pendapatnya oleh Al-Biqai. Berilah kabar gembira orang-orang yang beriman yang imannya mengantarkan mereka mematuhi tuntutan-tuntutan ini48. Ayat ini menjelaskan bahwa hikmah menggauli wanita adalah untuk menjaga kelestarian jenis manusia melalui kelahiran, bukan sekedar untuk memperoleh kelezatan semata-mata. Karena itulah dilarang untuk menggauli wanita yang sedang haid dan pada tempat yang lain, sebab keadaan keduanya itu tidak akan pernah menghasilkan keturunan49. Penyebutan istri sebagai ladang secara tidak langsung juga mengatakan bahwa suami itu adalah petani untuk itulah petani bebas mendatangi ladangnya kapan pun dan darimana pun, yang penting tujuan dari petani tercapai. Dan petani harus bisa menggarap ladangnya dan menjaganya dari segala hama, serta ciptakanlah suasana
47

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1. h. 481. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1. h. 481-482. Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 2, h. 274.

48

49

40

kerohanian yang agar benih yang diharapkan berbuah itu lahir, tumbuh dan berkembang, disertai dengan nilai-nilai suci50. Untuk menciptakan itu, maka kedepankanlah hubungan seks dengan tujuan kemasalahatan untuk dunia dan akhirat, bukan hanya untuk memuaskan nafsu yang tidak pernah kenyang, serta bertakwalah kepada Allah dalam hubungan suami-istri, bahkan dalam segala hal. Dengan melihat kedua ayat di atas, maka seks merupakan kebutuhan laki-laki dan perempuan. Karena itu suami dan istri saling membutuhkan, dan memberikan yang terbaik, sebagaimana petani membutuhkan ladang dan ladang membutuhkan petani. Ketika nafkah bathin ini tidak dilaksanakan oleh seorang suami dan jiwa terlalu lama menantikan belaian cinta dari suami, air mata bisa mengalir karena tidak kuat menahan rasa sepi yang mencekam. Sementara tidak ada kekasih yang menguak hasratnya. Bahkan pada tingkat tertentu bisa menyebabkan munculnya ketegangan rumah tangga. Oleh karena itu, nafkah batin harus diberikan oleh suami dengan baik.51 Adapun tentang berapa lama boleh suami meninggalkan istri, Saib bin Jubair berkata52: Pada suatu malam, khalifah Umar bin Khattab berjalan-jalan keliling kota Madinah dan hal yang demikian itu sering ia lakukan. Secara kebetulan di dekat rumah salah seorang wanita yang pintunya terkunci, dari luar ia mendengar wanita tersebut mendendangkan syairnya, yang isinya tentang keluhan kesedihan karena sudah terlalu lama ditinggalkan oleh suaminya. Kemudian Umar pun bertanya tentang kemana suaminya. Perempuan itu menjawab bahwa suaminya sedang berjihad fi sabilillah. Besoknya Umar mengirim surat kepada suaminya dan menyuruhnya pulang. Kemudian kepada anaknya Hafsah, Umar bin Khattab bertanya: Wahai anakku, berapa lamakah kaum wanita boleh bersabar apabila ditinggal oleh suaminya? Hafsah Menjawab: Subhanullah, orang seperti ayah bertanya kepadaku
50

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, h. 481.

51 Mohammad Fauzil Adhim, Mencapai Pernikahan yang Barakah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), Cet. Ke-XXI. h. 193. 52

Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian, h. 81-82.

41

tentang perkara ini? Umar menjawab: Kalau bukan karena saya ingin memperhatikan permasalahan kaum muslimin, tentu saya tidak akan bertanya tentang masalah ini kepadamu. Hafsah menjawab: Lima bulan atau enam bulan. Mendengar jawaban dari anaknya itu, maka mulai saat itu khalifah Umar bin Khattab menetapkan untuk mujahidin berperang waktunya paling lama enam bulan, waktu berangkat sebulan, tinggal di medan perang selama empat bulan dan kembali pulang selama sebulan. 2. Mempergauli istri dengan baik Islam memandang rumah tangga dengan mengidentifikasinya sebagai tempat ketenangan, keamanan dan kesejahteraan. Islam juga memandang hubungan dan jalinan suami-istri dengan menyifatinya sebagai hubungan cinta, kasih dan sayang, dan menegakkan unsur ini di atas pilihan dan kemauan mutlak agar semuanya dapat berjalan dengan sambut menyambut, sayang menyayangi dan cinta mencintai. Kewajiban yang harus selalu diperhatikan oleh suami sebagai kepala rumah tangga adalah menjaga kemuliaan istrinya dari hal-hal yang menyebabkan kehormatannya dihina atau hal-hal yang merendahkan martabatnya sebagai manusia. Sang suami harus menjauhi hal-hal yang bisa melukai perasaannya dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengingkari janji yang telah dibuat bersama53.

         

Tentang hal ini Allah swt. Berfirman:

...Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q. S. An-Nisaa: 19).

    

 

Dan bergaullah dengan mereka secara makruf,

ada ulama yang memahaminya dalam arti perintah untuk berbuat baik
53

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jil 2, h. 306.

42

kepada istri yang dicintai maupun tidak. Kata

maruf mereka

pahami mencakup tidak menganggu, tidak memaksa, dan juga lebih dari itu, yakni berbuat ihsan dan berbaik-baik kepadanya. Asy-Syarawi memiliki pandangan lain. Dia menjadikan perintah di atas tertuju kepada suami yang tidak mencintai lagi istrinya. Ulama Mesir yang meninggal tahun 1999, membedakan antara mawaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami istri dengan maruf yang diperintahkan di sini. Almawaddah menurutnya adalah berbuat baik kepadanya, merasa senang bersamanya serta bergembira dengan kehadirannya, sedang maruf tidak harus demikian. Mawaddah pastilah disertai dengan cinta, sedang makruf tidak mengharuskan adanya cinta54. Asy-Syarawi merujuk kepada firman Allah yang menafikan adanya mawaddah atau cinta kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak, anak atau saudara-saudara. Padahal katanya; dalam ayat yang lain, Dia memerintahkan anak untuk bergaul dengan makruf kepada ibu bapak yang memaksa anak untuk tidak percaya keesaan Allah. Ini berarti berbeda antara makruf dengan cinta55. Apa yang dikemukakan Asy-Syarawi di atas, sungguh tepat. Bahkan mawaddah yang diharapkan terjalin antara suami istri, bukan saja dalam arti cinta, tetapi ia adalah cinta plus56. Penggalan ayat di atas melarang menyusahkan atau menyakiti istri oleh sebab apapun, kecuali istri tersebut melakukan perbuatan yang keji yang nyata, seperti berzina atau nusyuz. Asy-Syarawi mengatakan, agar kehidupan rumah tangga tidak berantakan hanya karena cinta suami istri telah pupus. Walau cinta pupus, tetapi berbuat baik masih harus diperintahkan. Sebagaimana ketika seseorang yang ingin menceraikan istrinya karena tidak mencintainya lagi, Umar bin
54

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, h. 382. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, h. 383. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, h. 383.

55

56

43

Khatab mengecamnya sambil berkata: Apakah rumah tangga hanya dibina atas dasar cinta? Kalau demikian mana nilai-nilai luhur? Mana pemeliharaan, mana amanah yang engkau terima?57 Suami harus memperbaiki pergaulannya dengan istri, untuk itu harus menggauli mereka dengan cara yang mereka senangi. Jangan memperketat nafkah mereka, jangan menyakiti mereka melalui perkataan maupun perbuatan. Atau menyambut mereka dengan wajah yang muram dan menyambut mereka dengan mengerutkan dahi58. Dan apabila suami tidak menyenangi istrinya karena keaiban akhlak atau fisik mereka yang tidak menyenangkan, bersabarlah, karena Allah menjadikan kebaikan itu menyeluruh, menyangkut segala sesuatu, termasuk pada mereka yang tidak disukai itu59. Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang, Apa hak istri yang wajib kita penuhi? Rasulullah saw. menjawab,



Kamu memberi makan kepadanya apabila kamu makan. Kamu memberi pakaian kepadanya apabila kamu berpakaian. Jangan kamu pukul wajahnya! Jangan kamu cela! Dan, jangan kamu pisah ranjang (hajr) kecuali di dalam rumah. (H. R. Ahmad Daud dan Nasaai).60 Orang-orang saleh pernah berkata, Seorang istri itu laksana botol, maka yang lain pernah berkata, Dalam menghadapi seorang wanita, kita

  

penuhilah botol itu dengan minuman yang engkau sukai. Orang saleh memerlukan sedikit humor, tutur kata yang lembut, melipur lara, dan perhatian yang cukup. Juga diingat, tutur kata yang baik termasuk sedekah.
57

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, h. 383. Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil 4, h. 384. Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil 4, h. 384. Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal , Jilid. 4. h. 447.

58

59

60

44

Dengan melihat hadis di atas, secara tidak langsung Islam melarang suami melukai perasaan istri dengan perkataan. Karena hal itu yang akan membuka terjadinya pemukulan dan kekerasan lain oleh suami kepada istri, akibatnya istri akan tersakiti secara fisik juga mentalnya, walaupun dalam batas-batas yang dibenarkan oleh syariat karena istri tidak taat kepada suaminya boleh memukulnya. Karena memukul merupakan perubahan hukum dari kesulitan kepada kemudahan karena suatu alasan disebabkan latar belakang hukum asli. Sebab larangan itu merupakan rasa kasihan dan sayang kepada mereka. Menegakkan keadaan yang membolehkan karena suatu alasan, yaitu demi kelanggengan suami istri dan terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta menunaikan hak-haknya ketika hak-hak mereka ditinggalkan. Jadi, seorang kepala rumah tangga mempunyai kewajiban; selain harus memberikan nafkah kepada istrinya, baik lahir maupun batin, juga harus menjaga kehormatan dan perasaan istrinya itu.

BAB III PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA RUMAH TANGGA YANG SAKINAH

Peranan adalah dari kata dasar peran yang ditambahkan akhiran an, peran memiliki arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Sedangkan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan1. Dan suami memiliki arti pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita2. Sehingga yang dimaksud dengan peranan suami adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan oleh suami. Adapun peranan suami dalam rumah tangga menurut Ahmadi Sofyan dalam bukunya The Best Husband in Islam meliputi; memberikan teladan, bertanggung jawab, dan menciptakan rumah tangga teladan.

A. Memberikan Teladan Harus diakui, bahwa merosotnya moral generasi muda saat ini, tidak lepas dari kemerosotan akhlak para orang tua. Sesungguhnya orang tua adalah teladan yang paling dekat dengan anak-anaknya. Namun, sayangnya ternyata seringkali orang
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996). Edisi ke-2, h. 751.
2 1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 860.

45

46

tua lalai membimbing mereka dengan akhlak yang baik dalam perlakuan dan tindakan kita sehari-hari3. Membangun sebuah keluarga bukan hanya untuk sehari atau dua hari, akan tetapi sepanjang hayat dikandung badan. Keutuhan dan kesuksesan dalam berumah tangga akan menjadi cermin bagi anak-anak yang dilahirkan ketika mereka berkeluarga nantinya. Oleh karena itu memberikan teladan kepada anak merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan generasi yang dilahirkan orang tua dari benih-benih cinta mereka. Kelalaian ini terjadi ketika sang suami tidak mampu memberikan teladan kepada istrinya dalam mendidik sebuah keluarga bahagia yang didambakan, sedangkan sang istri pun lalai dalam memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik. Akibatnya anak-anak menjadi korban dari kelalaian seorang pendidik dalam rumah tangga4. Seorang suami diperintahkan untuk menasehati keluarganya, memerintahkan mereka untuk melakukan kebaikan, mencegah mereka dari kemungkaran. Di antara kewajiban seorang suami adalah mendidik keluarganya tentang hukumhukum agama5. Manusia dikatakan sebagai makhluk mulia di antara makhluk-makhluk ciptaan lainNya, karena Ia menganugerahkan dengan akhlak. Manusia yang tidak memiliki akhlak, maka ia tidak patut dikatakan sebagai manusia. Akhlak ini pun akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah swt. Begitu juga akhlak suami dalam rumah tangga terhadap isterinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Karena isteri dan anak adalah amanah Allah swt. yang harus diperlakukan dengan baik oleh seorang suami.

Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006). Cet. Ke-I, h. Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 29-30. Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 77.

29.
4

47

Adapun akhlak suami kepada istrinya adalah sebagai berikut6: 1. Memperlakukannya dengan baik Allah swt. berfirman:

Dan bergaulah dengan mereka dengan cara yang baik (Q. S. An-Nisa: 19). Seorang suami yang memiliki akhlak dan memahami sang isteri tercinta, maka ia memberi makan isterinya dengan makanan yang baik, memberinya pakaian yang sopan, dan mendidiknya dengan didikan Islam, agar isterinya tidak membangkang seperti yang diperintahkan Allah swt. kepadanya dengan menasehatinya tanpa mencaci-maki atau menjelekjelekannya. Jika isteri tidak taat kepadanya, ia pisah ranjang dengannya, jika isteri tetap tidak taat kepadanya, maka ia memiliki hak untuk memukul, yakni memukul bukan untuk menyakiti atau melukai, tidak mengucurkan darah, dan tidak meninggalkan bekas luka, dan tidak sampai membuat salah satu organ tubuhnya tidak dapat menjalankan tugas.

    

       
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya (Pembangkangannya), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka (Q. S. An-Nisa: 34). Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

Allah swt. berfirman:

            



  

Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam..., h. 34-38.

48

Kamu memberi makan kepadanya apabila kamu makan. Kamu memberi pakaian kepadanya apabila kamu berpakaian. Jangan kamu pukul wajahnya! Jangan kamu cela! Dan, jangan kamu pisah ranjang (hajr) kecuali di dalam rumah. (H. R. Ahmad, Daud dan Nasaai).7

           
Laki-laki mukmin tidak boleh membenci wanita mukminah, jika ia membenci sesuatu pada fisiknya, ia menyenangi yang lainnya (H. R. Muslim).8 2. Mengerjakan persoalan-persoalan yang urgen dalam agama kepada isterinya jika belum mengetahui Seorang suami wajib hukumnya memberikan kemudahan kepada isterinya dalam mempelajari agama. Jika tidak mampu untuk mengajari sendiri, maka hendaknya memberinya izin untuk menghadiri pengajian, majelis talim, forum-forum ilmiah dan lain-lain. Sebab kebutuhan untuk memperbaiki kualitas agama, dan menyucikan jiwanya itu tidak lebih sedikit dari kebutuhannya terhadap makanan, dan minuman yang wajib diberikannya.

 

           

Allah swt. berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q. S. At-Tahrim: 6).

.          

Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal , Jilid. 4. h. 447.

Muslim. Shahih Muslim. Terj. Adib Bisri Musthofa. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993) Juz. II. h. 871.

49

 Quu anfusakum, Jadilah dirimu yaitu suami pelindung dari api


neraka dengan meninggalkan maksiat9. Membentengi keluarga dari api neraka dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya10: Membentuk mereka menjadi manusia yang bertakwa pada Allah dengan senantiasa menyeru mereka untuk mentaati Allah dan melarang mereka dari maksiat kepadaNya. Ini berarti ia harus selalu mengondisikan dan memfasilitasi terwujudnya iklim yang mendorong semua anggota keluarga menjadi orang-orang yang bertakwa. Untuk itu, ketika orang tua membiasakan anak-anaknya shalat, puasa, membaca Al-Quran dan lain-lain sesungguhnya mereka telah membentengi anak-anak dari api neraka. Membina keluarga dengan pembinaan yang terpadu dan kontinyu. Menyiapkan sandang, pangan dan papan keluarga dengan cara yang halal. Sebab, harta yang haram di dapat dari cara yang haram justru menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw.

Setiap daging yang tumbuh (dalam tubuh manusia) dari sesuatu yang



haram, maka neraka lebih berhak untuk (tempat tinggal) nya.11 Wa ahlikum, yaitu suami harus membawa keluarganya kepada

penjagaan dari api neraka dengan nasehat dan pelajaran. Allah memerintahkan kaum mukmin pada umumnya untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan berhalaberhala pada hari kiamat.

Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 28. h. 259. Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 208-209. Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis , Juz. 9. h. 450.

10

11

50

          

Hai

orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani Nabi dan pelihara juga keluarga kamu yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala12. Wahai orang-orang yang percaya kepada Allah dan RasulNya hendaklah sebagian dari kamu memberitahukan kepada sebagian yang lain, apa yang dapat menjaga dirimu dari api neraka dan menjauhkan kamu daripadanya, yaitu ketaatan kepada Allah dan menuruti segala perintah-Nya. Dan hendaklah kamu mengajarkan kepada keluargamu perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka dan bawalah mereka kepada yang demikian ini melalui nasehat dan pengajaran13.

           Di
atasnya yakni yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya adalah Malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka14. Telah diriwayatkan, bahwa Umar berkata ketika turun ayat itu, Wahai Rasulullah, kita menjaga diri kita sendiri. Tetapi bagaimana kita menjaga
12

kendati mereka kasar tidak juga berlebih dari apa yang diperintahkan

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 14. h. 326. Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 28. h. 259 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 14. h. 326.

13

14

51

keluarga kita? Rasulullah saw. menjawab, Kamu larang mereka mengerjakan apa yang dilarang Allah untukmu, dan kamu perintahkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Itulah penjagaan antara diri mereka dengan neraka15. Di dalam ayat ini terdapat isyarat mengenai kewajiban seorang suami mempelajari fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya mengajarkannya pada keluarga mereka.16 Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis17. Ayat di atas juga secara langsung mengingatkan betapa tinggi dan penting kedudukan keluarga dalam Islam dan betapa perhatian terhadap keluarga harus diberikan dalam porsi yang besar. Al-Quran telah memberikan perhatian yang amat besar terhadap kehidupan keluarga, sehingga tidak berlebihan sampai ada yang menyebutnya sebagai kitab keluarga18. Berbeda dengan persepsi kebanyakan orang yang menilai kesuksesan seseorang dengan standar materi, seperti kekayaan tampilan fisik, gelar
15

dan

Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 28. h. 262 Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 28. h. 262 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 14. h. 327 Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 207.

16

17

18

52

serta jabatan, maka ayat di atas sesungguhnya juga memberikan pemahaman bahwa standar kesempurnaan dan kesuksesan seorang mukmin adalah sejauh mana ia sukses dalam menciptakan stabilitas keluarga setelah mampu menciptakan stabilitas diri. Karenanya ayat  tersebut diawali dengan panggilan,    (Hai orang-orang yang beriman)19. Wanita termasuk bagian dari keluarga laki-laki dan penjagaan dirinya dari api neraka ialah dengan iman, dan amal shaleh. Amal shaleh harus berdasarkan ilmu, dan pengetahuan sehingga ia bisa mengerjakannya seperti yang diperintahkan syariat.

3. Mewajibkan etikanya.

isterinya

melaksanakan

ajaran-ajaran

Islam

beserta

Sikap dan perilaku istri bisa menjadi cermin bagi kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu seorang suami berkewajiban untuk mengajarkan dan melaksanakan ajaran Islam beserta etikanya kepada isterinya.

Melarangnya untuk mengumbar aurat dan berhubungan bebas (ikhtilat) dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, memberikan perlindungan yang memadai kepadanya dengan tidak mengizinkannya untuk merusak akhlak atau agamanya, dan tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi wanita fasiq terhadap perintah Allah swt.

          

Selain itu, Allah swt. berfirman:

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa (Q. S. Taha: 132).

 

19

Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 207.

53

Pada ayat ini disebut pasangan orang-orang beriman dan keluarganya. Kenikmatan dari kehadiran mereka dalam satu rumah tangga diperoleh melalui hubungan harmonis masing-masing anggota keluarga satu dengan yang lain serta hubungan yang harmonis dengan Allah swt. yang tercermin antara lain dalam pelaksanaan shalat. Allah memerintahkan Nabi saw. dan setiap kepala keluarga muslim agar

   

dan perintahkanlah keluargamu

melaksakan shalat secara baik dan bersinambung pada setiap waktunya dan bersungguh-sungguhlah engkau wahai Nabi Muhammad dalam bersabar atasnya, yakni dalam melaksanakannya20. Suruhlah, hai Rasul keluargamu untuk mendirikan shalat, dan hendaklah kamu sendiri memeliharanya, karena nasehat dengan perbuatan akan lebih membekas dibanding dengan perkataan21.

     

Kami tidak meminta

kepadamu rezeki dengan perintah shalat ini, atau Kami tidak membebanimu untuk menanggung rezeki bagi dirimu atau keluargamu, Kamilah yang memberi jaminan rezeki kepadamu. Dan kesudahan yang baik di dunia dan di akhirat adalah bagi orang-orang yang menghiasi dirinya dengan ketakwaan. Kata

keluarga, jika ditinjau dari masa turunnya ayat ini, maka ia

hanya terbatas pada istri Nabi yaitu Khadijah ra. dan beberapa putera beliau bersama Ali ibn Abi Thalib ra. yang beliau pelihara sepeninggal Abu Thalib. Tetapi bila dilihat dari penggunaan kata ahlaka yang dapat mencakup keluarga besar, lalu menyadari bahwa perintah tersebut berlanjut sepanjang hayat, maka ia dapat mencakup keluarga besar Nabi Muhammad saw. termasuk semua istri dan anak cucu beliau. Bahkan
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8. h. 402. Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 28. h. 259.

20

21

54

sementara ulama memperluasnya sehingga mencakup seluruh umat beliau22. Kata

).

dari kata

()

bersabarlah, dengan penambahan huruf

Penambahan itu mengandung makna penekanan. Nabi saw.

diperintahkan untuk lebih bersabar dalam melaksanakan shalat, karena shalat yang wajib bagi beliau adalah shalat lima waktu, tetapi juga shalat malam yang diperintahkan kepada beliau. Ini memerlukan kesabaran dan ketekunan melebihi apa yang diwajibkan atas keluarga dan umat beliau23. Di antara hal yang dapat melanggengkan hubungan suami istri adalah saling membantu dalam ketaatan kepada Allah swt. dengan

mengalokasikan waktu khusus untuk beribadah secara berjamaah, belajar secara bersama.





Kemudian Rasulullah saw. juga bersabda:

Allah merahmati seorang suami yang bangun tengah malam untuk melakukan shalat, lalu ia membangunkan istrinya agar ikut shalat, dan jika istrinya tidak mau bangun, ia memercikkan air pada wajahnya. Dan Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun tengah malam untuk shalat, lalu ia membangunkan suaminya agar ikut shalat, dan jika suaminya tidak mau bangun, maka ia memercikkan air pada wajahnya (H. R. Ahmad).24 Jadi, seorang suami yang sukses dalam kehidupan berumah tangga adalah suami yang sukses dalam mengayomi keluarga, mampu menempatkan keluarganya untuk menjadi generator dan inspirator bagi dirinya dalam
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, h. 402 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8. h. 403. Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis, Juz. 4. h. 416.

  

22

23

24

55

memproduksi

beraneka

macam

kebajikan.

Mampu

mewujudkan

keluarganya menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.

4. Tidak membuka rahasia isterinya dan tidak membeberkan aibnya. Seorang suami hendaknya menjadi orang yang paling dipercaya oleh isteri, begitu pula sebaliknya. Tidak membuka rahasia dan tidak membeberkan aib isteri, sebab suami yang diberi kepercayaan terhadapnya, dituntut menjaga dan melindunginya.


Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah ialah suami yang menggauli isterinya, dan isterinya bergaul dengannya. Kemudian ia membeberkan rahasia hubungan suami isteri tersebut (H. R. Muslim).25 Hadist di atas merupakan dalil atas keharaman seseorang menyiarkan rahasia hubungannya di atas ranjang dengan istrinya baik berupa ucapan, perbuatan dan lain sebagainya26.

Rasulullah saw. bersabda:

  

5. Berlaku adil terhadap isteri-isterinya, jika memiliki isteri lebih dari satu orang. Seorang suami harus bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya supaya tidak timbul perpecahan di antara mereka. Jika seorang suami kebetulan memiliki isteri lebih dari satu orang, maka ia memiliki tanggung jawab yang sangat besar yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt. Suami berkewajiban untuk berbuat adil terhadap mereka dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal
25

Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis, Juz. 2. h. 398. Syaikh Hafiz Ali. Kado Pernikahan, h. 130.

26

56

dan tidur. Ia tidak boleh bersikap curang atau dzolim sedikit pun. Karena hal tersebut bisa menimbulkan kemurkaan Allah swt. Dalam Al-Quran Allah swt. berfirman:

Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah satu orang saja,.... (Q. S. An-Nisa: 3). Jelas sekali bahwa keadilan yang maksud oleh ayat di atas merupakan keadilan dalam hal material. Jadi apabila ada orang yang ingin menutup rapat-rapat pintu poligami dengan berdasarkan Q. S. An-Nisa: 129, tidaklah tepat karena keadilan yang dimaksudnya adalah dalam hal

      

                       

imaterial (cinta):

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q. S. An-Nisa: 129). Musuh-musuh Islam menuduh, bahwa sesungguhnya hanya Rasulullah saw. yang menganjurkan manusia untuk melakukan poligami, bukan Allah swt. yang menganjurkan. Tujuan mereka ialah untuk memperburuk citra Islam.27 Sebenarnya poligami sudah ada jauh sebelum Islam. Poligami sudah tersebar luas di kalangan bangsa-bangsa terdahulu; seperti bangsa Tibet, Mongol, Mesir, China, Persi dan Romawi. Pada zaman Nazi, poligami juga sudah dikenal di kalangan orang-orang Jerman. Bahkan para uskup
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi, Kado Pernikahan..., h. 15.

27

57

memperbolehkan poligami kepada beberapa orang raja setelah masuknya agama Kristen ke Eropa, seperti Napoleon. Jadi tidak benar tuduhan orang-orang yang mengatakan bahawa: Islam adalah yang mempelopori poligami28.

Sedangkan Rasulullah saw. memiliki beberapa orang isteri karena alasan untuk perlindungan terhadap janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Rasulullah saw. adalah sosok suami yang sangat adil terhadap isteri-isterinya. Dalam hal ini beliau mewasiatkan perlakuannya yang baik terhadap isteriisterinya:

Orang terbaik dari kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku orang yang terbaik dari kalian terhadap keluarganya (H. R. Ath-Thabrani).29 Selain itu, banyak kondisi yang merupakan alasan logis untuk tidak menutup pintu poligami dengan syarat-syarat yang tidak ringan, seperti: kemungkinan mandulnya seorang istri, atau terjangkiti penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh? Apakah jalan keluar bagi suami yang dapat diusulkan untuk menghadapi kemungkinan itu? Bagamana ia menyalurkan kebutuhan biologis atau memperoleh dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah jalan yang paling ideal, dan kemampuan untuk berbuat adil harus kepada semua istri harus dimiliki.

  

28

Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi, Kado Pernikahan..., h. 16. Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis, Juz. 4. h. 308.

29

58

B. Bertanggung Jawab Menjadi seorang suami bukanlah hal yang gampang, begitupula dalam masalah tanggung jawab yang harus diemban. Laki-laki adalah pemimpin, yang tentu akan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Sebelum menikah, seorang laki-laki bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan-tuntutan agama, pekerjaan dan dirinya secara seimbang. Tanggung jawab ini bertambah, setelah ia menyelesaikan masa lajangnya. Di samping itu harus bertanggung jawab atas isterinya, juga bertanggung jawab atas anak-anaknya. Pada saat itu, tuntutan yang menjadi beban bagi seorang laki-laki semakin menumpuk. Oleh karena itu ruang lingkup pertanggung jawabannya semakin luas. Ia harus mempertanggung jawabkan apa yang telah ia lakukan kepada dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan juga tentunya kepada Allah swt. Oleh sebab itu, seorang laki-laki harus mengetahui dengan baik karakter dan macam-macam tanggung jawab yang harus diembannya, sehingga tidak terjadi tindakan ekstrem dalam pengimplementasiannya, baik dengan berlebih-lebihan maupun sebaliknya. Dalam hal ini para ahli fiqih dan ulama telah membahas banyak masalah tanggung jawab laki-laki dalam Islam. Mereka menyimpulkan bahwa macam-macam tanggung jawab tersebut sebagai berikut30: 1. Tanggung jawab terhadap Allah swt dan agamanya Salah satu tanggung jawab seorang laki-laki adalah menegakkan dan menjaga agamanya, karena agama merupakan pilar utama dalam kehidupan seorang muslim31. Syariat Islam memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan mulia. Yang bisa menjadi indikasi terpenuhinya tanggung jawab, kategori ini adalah menjalankan ibadah, melakukan amal sholeh, dan berdakwah dengan bijaksana (bil hikmah) dan tutur kata yang ramah (mauizah hasanah).
30 Husain Syahatah. Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga: Antara kewajiban dan Realitas. (Jakarta: AMZAH, 2005), Cet. Ke-I. h. 4.

Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, Terj. Arif Chasanul Muna, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Ke-I, h. 10.

31

59

2. Bertanggung jawab terhadap anggota keluarga dalam posisinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga Tanggung jawab ini terbagi menjadi beberapa bagian32: Tanggung jawab terhadap isteri dengan memberikannya nafkah, menggaulinya dengan baik, dan membimbingnya dengan penuh kecintaan. Tanggung jawab terhadap anak-anaknya dan memberi mereka nafkah, memperhatikan pendidikan mereka, mempersiapkan kemampuan mereka dan mengemban tanggung jawab mereka di masa mendatang. Tanggung jawab terhadap kedua orang tua dengan berbakti, menjaga dan memberikannya nafkah kepada keduanya. Tanggung jawab terhadap sanak kerabatnya dengan menjalin silaturrahmi, menebarkan rasa kasih sayang, dan berbuat baik kepada mereka. 3. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dengan menjaga dan memenuhi tuntutan-tuntutannya33. Yang termasuk dalam kategori tanggung jawab ini adalah sebagai berikut: Pendidikan rohani untuk memperkuat intensitas dan kualitas ibadah kepada Allah swt. Pendidikan jasmani untuk memperkuat kemampuan jasmani. Dengan terjaganya kesehatan, ibadah, amal baik dan usaha mencari nafkah yang halal bisa terlaksana dengan baik. Memberikan waktu-waktu luang untuk istirahat. Dengan

memperhatikan hal ibadah, amal baik, dan usaha mencari nafkah yang halal, bisa dilakukan dengan semangat dan wacana baru. Mempererat hubungan baik dengan orang lain dengan memenuhi hakhaknya dan membantu penyelesaian kepentingan-kepentingan mereka.
32

Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, , h. 10. Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 41

33

60

4. Tanggung jawab terhadap profesi yang digelutinya dalam mencari rezeki yang baik dan halal. Yang termasuk dalam kategori ini adalah: Mencari pekerjaan yang halal yang akan menjadi sumber pendapatan finansial yang baik. Menjaga keikhlasan dalam bekerja dengan berniat untuk ibadah. Bekerja dengan optimal dan sempurna, dengan disertai niat beribadah. Menularkan keahlian yang dimiliki kepada orang lain (berbagi keahlian atau ilmu)34. Seiring dengan pendapat di atas, dalam Islam terdapat hukum-hukum tentang tanggung jawab suami terhadap rumah tangganya. Hukum itu meliputi poin-poin sebagai berikut: 1. Suami merupakan pemimpin dalam rumah tangga, dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya itu di hadapan Allah swt35. Sebagai dalil tentang hal itu, firman Allah swt:

Mereka akan ditanya tentang apa yang kalian pernah lakukan (Q. S. An-Nahl: 93). Dalam sabda Rasulullah saw. dari Ibnu Umar ra. disebutkan:

     

                                   

          

Masing-masing dari kamu adalah pemimpin dan masing-masing dari kamu bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam itu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang lakilaki pemimpin terhadap keluarganya dan bertanggung jawab atas
34

Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, , h. 11 Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 151.

35

61

kepemimpinannya. Perempuan itu pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab akan kepemimpinannya. Pelayan itu pemimpin dalam harta tuannya dan bertanggung jawab akan kepemimpinannya. Ia berkata: Dan saya menduga bahwa beliau teah bersabda: Seorang lakilaki (anak) adalah pemimpin dalam harta ayahnya dan bertanggung jawab akan kepemimpinannya. Dan masing-masing dari kamu adalah pemimpin da bertanggung jawab akan kepemimpinannya (H. R. Bukhari dan Muslim).36 2. Tanggung jawab suami dalam Islam memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi tanggung jawab terhadap agamanya, dirinya, istrinya, anaknya. Keluarganya, hartanya, ilmunya dan pekerjaannya37.

3. Suami hendaknya berusaha mewujudkan keseimbangan antara tugas dan tanggung jawab, jangan sampai tanggung jawab itu membuat pekerjaan lain terbengkalai38.

4. Seorang suami memiliki kewajiban dan tanggung jawab kepada istrinya, seperti membantunya melaksanakan ajaran agama, menggaulinya dengan baik, menafklahi, menjaga kehormatan dan menghiburnya, membantunya dalam urusan rumah tangga jika diperlukan, menyambungkan hubungan silaturrahim39. Semua itu merupakan dasar dalam mewujudkan keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Dalil tentang hal ini terdapat

            

dalam firman-Nya:

       

36

Bukhari. Shahih Bukhari. Terj. Sunarto, dkk. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993). Vol. 2. h. Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, h. 134. Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 152. Husain Syahatah. Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga, h. 113.

9-10.
37

38

39

62

Dari sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, diciptakanNya bagi kalian pasangan-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu dapat bersenangsenang dengannya, lalu menjadikan kalian karenanya berkasih sayang. Sesungguhnya hal itu menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q. S. Ar-Rum: 21).

5. Kewajiban-kewajiban istri terhadap suaminya menurut syariat adalah taat kepadanya selama bukan maksiat, menjaga kehormatan, melahirkan anak, menjaga harta, berdandan untuk suami, mengurus rumah, ikut

berpartisipasi dalam acara-acara kekeluargaan dan masyarakat, tidak keluar rumah tanpa izin suaminya, membantu suami mengeluarkan nafkah, seperti zakat atau sedekah40. Sebagai hasilnya nanti, akan tercipta

kedamaian, ketentraman, keharmonisan dan rasa cinta.



Hal itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw.:

        
Abu Huraira. ra. Bertanya kepada Rasulullah saw. Tentang bagaimanakan istri yang baik? Rasulullah menjawab: Jika disuruh dia taat, jika dipandang ia menyenangkan hati, jika diberi kebaikan dia membalas dengan kebaikan, jika ia ditinggal pergi oleh suami, ia menjaga diri dan harta suaminya (H. R. Ahmad).41

 

6. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai orang tua kepada anak, seperti memberikan pendidikan yang Islami, menjaga amalan ibadah, memberikan pendidikan moral, menafkahi dan menyekolahkan, memberikan latihan tentang urusan rumah tangga dan kehidupan, menurunkan bakat, dan

40

Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 154. Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal , Jilid. 2. h. 251.

41

63

mengajar berdakwah di jalan Allah swt42. Sebagai hasil dari tanggung jawab ini maka akan terlahir anak-anak yang shaleh.

7. Kewajiban anak terhadap orang tua dalam Islam adalah berbuat baik, berperilaku baik, taat selama tidak dalam kemaksiatan, menafkahi keduanya saat keduanya membutuhkan, menggantikannya dalam urusan agama, melakukan haji dan umrah untuk keduanya, memuliakan dan menghormatinya, serta berdoa untuk keduanya43.

                         

Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q. S. Al-Isra: 23).

          
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (Q. S. AlIsra: 24). 8. Menyia-nyiakan, mengurangi, dan melampaui batas dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawab, merupakan perbuatan yang bertentangan
42

Juga firmanNya:

 

Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 154. Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, h. 136.

43

64

dengan syariat. Sebagai contoh bentuk kemaksiatan, dosa dan kejahatankejahatan dalam rumah, serta beberapa kesalahan lain, adalah seperti berikut ini44: Pasangan suami istri dan anak-anak yang memiliki perangai jahat yang bertentangan dengan syariat Allah swt. Hilangnya tanggung jawab kepemimpinan suami terhadap keluarga dan anaknya. Adanya tekanan jiwa dan rusaknya urusan rumah tangga. Lemahnya keharmonisan, kasih sayang, kelembutan, dan sikap saling hormat dalam rumah tangga. Membuka rahasia rumah tangga. Menyebarluaskan kehormatan rumah tangga di antara keluargakeluarga dekat, tetangga, dan teman-teman. Membiarkan keluarga saat keluarga tertimpa bencana yang pelik, sakit, dan ditimpa masalah. Ia membiarkan begitu saja tanpa ada penyelesaian. Anak-anak lari dari rumah dan melenceng dari jalan yang lurus. Tersebarnya kejahatan sosial. Rusaknya nama baik Islam dan kaum muslimin.

Perangai-perangai di atas bertentangan dengan syariat Allah swt. akibatnya kehidupan menjadi sempit. Seperti dalam firmanNya:

Dan barang siapa yang menentang peringatanku, maka ia kan mendapatkan kehidupan yang sempit (Q. S. Thaha: 124). 9. Perangai-perangai yang tidak sesuai dengan syariat dan kelalaian tanggung jawab suami dalam rumah tangganya. Persoalan ini dapat diselesaikan

         

44

Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, h. 137.

65

dengan melakukan langkah-langkah penyelesaian secara Islami seperti berikut ini45: Memberikan pendidikan yang Islami untuk seluruh anggota keluarga, sesuai dengan ajaran dan cara-cara yang baik. Menerapkan prinsip musyawarah dalam urusan rumah tangga. Adanya aturan sebagai pengontrol dan pengawas untuk rumah tangga, setahap demi setahap. Adanya program untuk menenangkan jiwa, sesuai dengan aturan syariat. Adanya sanksi yang Islami dalam menindak sikap yang terlarang menurut syariat. Adanya sistem pahala dan sanksi, berlandaskan kepada asas pendidikan yang formal. Kebersamaan dan mengemban tanggung jawab masyarakat terhadap keluarga, teman-teman dan tetangga. Mengadakan silaturrahmi dan menunaikan hak-hak mereka.

Saran-saran ini dapat mewujudkan rumah tangga muslim yang harmonis dan penuh kasih sayang. Selain itu, dengan saran ini juga akan dapat menghindarkan perasaan takut dan akan memperoleh keberkahan hidup.

            
Dari sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, diciptakanNya bagi kalian pasangan-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu dapat bersenangsenang dengannya, lalu menjadikan kalian karenanya berkasih sayang. Sesungguhnya hal itu menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q. S. Ar-Rum: 21). 10. Langkah-langkah penyelesaian secara Islami yang dapat ditempuh untuk menanggulangi pengaruh kurangnya tanggung jawab suami terhadap
45

Allah swt. membenarkan dalam firmanNya:

       

Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 157.

66

rumah tangganya, adalah meningkatkan pendidikan rohani, pendidikan akhlak, konsistensi terhadap perangai-perangai yang baik, mendalami ajaran agama, menciptakan kelompok yang mengajak kepada yang baik dan mencegah yang mungkar yang dapat diterima oleh orang banyak dengan baik, dan terciptanya kepemimpinan yang senantiasa mengajak masyarakat kepada dakwah di jalan Allah swt46.

          

Allah swt. menjelaskan hal itu dalam firmanNya:

(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan (Q. S. Al-Hajj: 41). Alangkah lebih baik jika kami menutup hukum-hukum Islam tentang tanggung jawab suami terhadap rumah tangganya ini dengan firman Allah

       

          
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya (Q. S. AthThur: 21).

swt:

        

 
Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 158.

  

Rasulullah saw pun pernah berwasiat kepada seorang laki-laki:

  

46

67

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ialah orang yang apabila melihat suatu keadaan, ditanggapinya dengan kata yang baik, atau diam. Saya wasiatkan supaya kamu memperhatikan nasib kaum wanita, karena jenis itu diciptakan dari tulang rusuk yang terbengkok. Jika anda mencoba meluruskannya, dia akan patah, dan jika dibiarkan, dia akan tetap bengkok. Saya wasiatkan supaya kamu memperhatikan nasib kaum wanita sebaik-baiknya (H. R. Muslim).47 C. Menciptakan Rumah Tangga Sakinah Rumah tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan keluarga48. Sedangkan sakinah adalah kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan.49 Jadi menciptakan rumah tangga sakinah, yaitu menciptakan rumah tangga (sesuatu yang berkenaan dengan keluarga) yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan. Sesungguhnya membangun rumah tangga itu membutuhkan perjuangan yang luar biasa beratnya, dimulai dari pemancangan pondasi aqidah dan pilar-pilar akhlak. Sebelum menciptakan rumah tangga yang sakinah, seorang suami harus memiliki kepribadian suami yang shaleh, agar suami sukses membentuk keluarga sakinah. Berhubungan dengan itu, Kasmuri Selamat mengemukakan beberapa kepribadian suami shaleh50: 1. Berpegang Teguh Kepada Syariat Allah Laki-laki yang shaleh adalah seorang laki-laki yang senantiasa berpegang teguh kepada syariat Allah dalam segala urusan kehidupannya. Ia tunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah telah tentukan keduanya. Jika ia menjadi seorang suami, ia akan melaksanakan kewajiban terhadap keluarganya dengan penuh tanggung jawab, bersemangat, penuh perhatian serta berlapang dada.
47

Muslim. Shahih Muslim. Terj. Adib Bisri Musthofa , Juz. II. h. 870. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 758. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 769. Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian..., h. 1.

48

49

50

68

2. Seimbang antara Hak dan Kewajiban Dalam kehidupan sehari-hari sikapnya tidak tamak, tidak menuntut lebih banyak dari yang semestinya, bahkan ia menerima dengan rela terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kewajibannya, kewajiban tersebut ia tunaikan sebelum menuntut haknya.

3. Berpedoman Kepada Petunjuk Rasulullah saw. Laki-laki yang shaleh tentu akan membahagiakan istrinya. Dalam kehidupan berumah tangga ia senantiasa berpedoman kepada hadis

        

Rasulullah saw. Yang maksudnya:

Sesungguhnya mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah kalian yang baik terhadap istriistri kalian (H. R. Timidzi).51

Orang terbaik dari kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku orang yang terbaik dari kalian terhadap keluarganya (H. R. Ath-Thabrani).52 Ituah kesaksian agung Rasulullah saw. bagi suami yang shaleh, kesaksian kebajikan yang diiringi dengan kesempurnaan iman serta akhlak yang mulia. Disamping itu ciri-ciri dari laki-laki shaleh yang membahagiakan kehidupan rumah tangga itu ialah53: Mendirikan rumah tangga semata-mata karena Allah swt.

  

51

Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis , Juz. 2. h. 63. Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis, Juz. 4. h. 308. Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian..., h. 2.

52

53

69

Melayani dan menasehati Istri dengan sebaik-baiknya. Menjaga hati dan perasaan istri. Senantiasa bertenggang rasa dan tidak menuntut sesuatu di luar kemampuan istri. Bersabar dan menghindari memukul istri dengan pukulan yang memudaratkan. Tidak mencaci istri di hadapan orang lain dan tidak memuji wanita lain di hadapannya. Bersabar dan menerima kelemahan istri dengan hati yang terbuka, serta meyakini bahwa segala sesuatu yang dijadikan Allah swt pasti terdapat hikmah yang tersembunyi di sebaliknya.

Mengelakkan agar jangan terlalu mengikuti kemauan istri, karena ia akan melunturkan nama baik dan prestasi suami selaku pemimpin rumah tangga.

Memberi nafkah kepada istri dan anak-anak menurut kadar kemampuan. Menyediakan keperluan dan tempat tinggal yang layak untuk mereka. Bertanggung jawab menidik akhlak istri dan anak-anak sesuai dengan kehendak Islam. Senantiasa menjaga tentang keselamatan mereka. Memberi kasih sayang dan rel berkorban apa saja demi kepentingan dan kebahagiaan bersama.

Menciptakan rumah tangga sakinah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membina sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, adalah dambaan dari setiap suami istri yang berikrar dalam cinta dan kasih sayang. Semua orang Islam berharap dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, agar mahligai rumah tangga yang dibangun dengan landasan cinta dan kasih sayang menjadi teladan bagi penghuninya maupun generasi yang akan lahirkan. Namun,

70

ternyata ketika bahtera itu mulai mengarungi lautan yang luas, seringkali kemudi menjadi rebutan antara suami istri. Mereka berusaha menjadi nakhoda yang handal, dan bersikeras menunjukkan arah tujuan yang diarungi. Begitu banyak di antara kita yang merindukan berumah tangga menjadi suatu yang teramat indah, bahagia, penuh dengan pesona cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, kenyataan yang ada, kita saksikan deretan antrian orang-orang yang gagal dalam menciptakan rumah tangga bahagia. Hari demi harinya hanya diisi kecemasan, ketakutan, kekerasan, kegelisahan dan penderitraan. Bahkan tidak jarang diakhiri dengan kenistaan yang berujung dengan perceraian sehingga melahirkan penderitaan yang berkepanjangan, terutama bagi anak-anak yang dilahirkan. Ternyata merindukan rumah tangga sakinah harus benar-benar disertai dengan kesungguhan, yakni mengerahkan segala daya dan upaya dalam pengertian yang sebenarnya. Ahmadi Sofyan mengatakan ada empat kiat minimal menuju keluarga yang sakinah54: 1. Jadikan rumah tangga sebagai pusat ketentraman bathin dan ketenangan jiwa. Keluarga/rumah tangga adalah sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggota-anggotanya55. Sesungguhnya rumah tangga itu bisa dijadikan pusat ketenangan, ketentraman dan kenyamanan bathin para penghuninya. Sehingga ketika sang suami sudah berlumuran keringat, bersimbah peluh, bekerja keras, ia akan selalu merindukan untuk pulang ke rumah.

54

Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam, h. 43-46. Sri Mulyati. Relasi Suami Istri dalam Islam, h. 39.

55

71

Ketika rumah mampu dijadikan sebagai pusat ketentraman bathin dan ketenangan jiwa, maka anak-anak pun akan rindu berkumpul bersama dengan orang tuanya. Menciptakan rumah sebagai pusat ketenangan bathin dan ketenangan jiwa, akan mampu menjadi pelepas dahaga.

2. Jadikan rumah tangga sebagai pusat ilmu Rumah tangga yang ditingkatkan derajatnya oleh Allah swt. bukanlah rumah tangga yang memiliki status sosial keduniawian. Tidak pula rumah tangga yang para penghuninya adalah penuh dengan deretan titel dan gelar. Bahkan justru hal seperti itu seringkali memisahkan kita dengan kebahagiaan bathin dan ketentraman jiwa. Tidak jarang pula rumah tangga yang berlimpah dengan kekayaan justru membuat penghuninya di miskinkan oleh keinginan-keinginan,

diperbudak dan dinistakan oleh apa yang dimilikinya. Hendaknya sesudah memantapkan niat kita kepada Allah untuk mengarungi bahtera rumah tangga, maka kekayaan yang harus dimiliki dalam berkeluarga adalah ilmu. Merawat dan mendidik anak merupakan tugas bersama suami istri56. Hal ini dapat dipahami dari teks-teks Al-Quran dan Hadis. Seperti yang terdapat dalam firman Allah Q. S. At-Tahrim: 6.

3. Jadikan rumah tangga sebagai pusat nasehat Suami istri hendaknya mengetahui bahwa semakin hari semakin banyak yang harus dilakukan. Untuk itulah kita membutuhkan orang lain agar bisa melengkapi kekurangan kita guna memperbaiki kesalahan kita. Rumah tangga bahagia adaah rumah tangga yang dengan sadar menjadikan sikap saling menasehati, saling memperbaiki, serta saling mengoreksi

56

Sri Mulyati. Relasi suami istri dalam Islam, h. 54

72

dalam kebenaran dan kesabaran sebagai kekayaan yang berharga dalam rumah tangga. Suami yang baik adalah suami yang mau dinasehatin oleh sang istri, begitupula sebaliknya. Karena keduanya tidaklah boleh merasa lebih baik dan lebih berjasa dalam membangun rumah tangga. Apabila sebuah rumah tangga mulai saling menasehati, maka rumah tangga tersebut bagaikan cermin, yang tentu cermin akan mampu membuat sebuah penampilan penghuninya menjadi lebih baik. Tidak ada koreksi yang paling aman selain koreksi dari keluarga kita sendiri.

4. Jadikan rumah tangga sebagai pusat kemuliaan Hendaknya suami istri mampu menjadikan rumah tangga seperti cahaya matahari. Menerangi kegelapan, menumbuhkan bibit-bibit, menyegarkan yang layu, selalu dinanti cahayanya dan membuat gembira bagi yang terkena pancaran cahayanya. Keluarga yang mulia adalah keluarga yang bisa menjadi contoh kebaikan bagi keluarga yang lainnya. Sehingga tidak ada yang diucapkan selain kebaikan tentang keluarga yang telah dibangun. Demikianlah empat kiat menuju keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah yang hendaknya dilakukan oleh keluarga muslim di era modern in. Karena betapa memilukan sekaligus memalukan jika ada keluarga muslim yang melakukan tindakan kekerasan rumah tangga seperti yang akhir-akhir ini terjadi.

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Dari uraian skripsi ini dapat ditarik tiga kesimpulan: Pertama: seorang suami yang sholeh, sebagai kepala rumah tangga pasti tahu fungsi, kedudukan dan kewajibannya, bahkan ia akan selalu lebih memperhatikan kewajibannya terlebih dahulu dibanding dengan haknya, karena ia tahu semua itu akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt. Apabila suami telah melaksanakannya dengan baik, maka suami itu akan sukses sebagai kepala rumah tangga dan rumah tangganya akan menjadi rumah tangga yang sakinah. Kedua: seorang suami yang shaleh pasti tahu peranannya, yang menjadi kewajibannya dan sangat menentukan akan terwujudnya rumah tangga yang sakinah, sehingga ia bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi peranannya, maka suami itu akan memimpin, mendidik dan memberikan teladan bagi anak-anaknya dalam segala hal. Walaupun peranan suami sangat menentukan, bukan berarti peranan istri tidak menentukan, karena antara suami dan istri akan saling melengkapi, jika demikian maka rumah tangga yang sakinah akan terwujud. Ketiga: Islam melalui Al-Quran dan Sunnah telah memberikan tuntunan yang sangat jelas bagi seorang laki-laki berupa karakter-karakter yang saling melengkapi

73

74

dalam membentuk laki-laki yang shaleh, yang akhirnya akan menjadi suami shaleh. Apabila laki-laki tersebut mampu memiliki karakter-karakter itu, rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah pasti akan terwujud.

B. Saran-saran 1. Sebelum melangsungkan pernikahan sebaiknya teliti dalam memilih pasangan, baik itu dari pihak laki-laki atau perempuan. Yang paling utama haruslah yang seagama, karena apabila rumah tangga yang dibangun berdasarkan beda agama maka akan menimbulkan berbagai masalah pemberian pendidikan agama pada anak dan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sulit, bahkan tidak mungkin untuk dicapai.

2. Hak memimpin keluarga yang dimiliki oleh seorang suami, tidak boleh disalahgunakan, sehingga suami semena-mena terhadap anggota keluarga, apalagi mentelantarkannya. Ingat semua itu akan dipertanggung jawabkan kepada Allah swt.

3. Dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, suami dan istri harus bisa bekerjasama dengan baik, saling melengkapi dan menghargai. Karena tanggung jawab suami dan istri sama besar dan beratnya.

4. Anak adalah amanah Allah yang harus dijaga dan dipelihara bersama. Amanah tersebut pun akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Untuk itu pendidikan harus menjadi suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi, apalagi pendidikan agama. Seperti memilih sekolah yang Islami, memperhatikan pergaulan anak dan menciptakan suasana keberagamaan di dalam rumah.

75

DAFTAR PUSTAKA

Abdulloh, Fathi, Adil, Menjadi Suami Tercinta, Terj. Bukhori Abu Syauqi, (Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007). Cet. Ke-1. Abdurrahman, Jibril, Mohammad, Abu, Karakteristik Lelaki Shalih, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), Cet. Ke-3. Adhim, Fauzil, Muhammad, Mencapai Pernikahan yang Barakah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), Cet. Ke-XXI. Ahmad bin Ali bin Hajr Asqalani, Fathu Al-Bari: Sarah Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Kutab Alamiya). Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Daar Al-Fikr). Amin, Rusli, M, Rumahku Surgaku: Sukses Membangun Keluarga Islami, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), Cet. Ke-11. Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1. Bukhari. Shahih Bukhari. Terj. Sunarto, dkk. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993). Daudin, Sulaiman, Majid, Hanya untuk Suami, (Jakarta: Gema Insani, 1996), Cet. Ke-1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1. Gisymar, Sholeh, Kado Cinta untuk Istri, (Yogyakarta: Arina, 2005), Cet. Ke-1. Hasyimi, Ali, Muhammad, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi, (Jakarta: PT Mitra Pustaka, 1999), Cet. Ke-1. Kisyik, Hamid, Abdul, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Terj. Ida Nursida, (Bandung: Al-Bayan, 1996), Cet. Ke-3. Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj. A. Chumaidi Umar, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke-1. Maragi, Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Terj. Hery Noer Aly, dkk, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), Cet. Ke-2. Masri, Nasyat, Nabi Suami Teladan, Terj. Salim Basyarahil. (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), Cet. Ke-8.

76

Muhyidin, Muhammad, Meraih Mahkota Pengantin: Kiat-kiat Praktis Mendidik Istri & Mengajar Suami, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2003), Cet. Ke-I. Mulyati, Sri, Relasi Suami dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), UIN Syarif Hidayatullah, 2004). Muslim, Husain, Abi, Shahih Muslim. (Beirut: Daar ibn Hazm). _________________, Shahih Muslim. Terj. Adib Bisri Musthofa. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993). Nasution, Taat, Amir, Rahasia Perkawinan dalam Islam: Tuntunan Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. Ke-3. Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al-Quran. Terj: RofiI, Ahmad., Syadali, Ahmad., Ulumul Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-1. Sabri, Alisuf, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. Ke-1. Sayyid, Fathi, Majdi, Bingkai Cinta Sepasang Merpati, Bahagia Menjadi Suami Selamat, Kasmuri, Suami Idaman Istri Impian, Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), Cet. Ke-6. Shihab, Quraish, M, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-X. ________________, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. Ke-11. Sofyan, Ahmadi, The Best Husband in Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006). Cet. Ke-I. Suhail, Kusyairi, Ahmad, Menghadirkan Surga di Rumah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), Cet. Ke-1. Suyuti, Abdurrahman, Jalaluddin, Jami Al-Hadis, (Beirut: Daar Al-Fikr). Syahatah, Husain, Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, Terj. Arif Chasanul Muna, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Ke-I. ______________, Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga: Antara kewajiban dan Realitas. (Jakarta: AMZAH, 2005), Cet. Ke-I. Ideal dan Istri Ideal, Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), Cet. Ke-1. Asad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2000), Cet. Ke-2.

77

Syuasyi, Ali, Hafizh, Kado Pernikahan, Terj. Abdul Roysad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), Cet. Ke-8. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), Cet. Ke-2. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet. Ke-1. www.qalam.or.id. Pengenalan Singkat Tentang Metode Tafsir Tematik Sebagai Salah Satu Metode Tafsir Terbaru. oleh Hamid. Selasa, 20 Nopember 2007.

You might also like