You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan penyakit yang hanya diderita kaum perempuan. Prevalensi endometriosis cenderung meningkat setiap tahun, walaupun data pastinya belum dapat diketahui. Menurut Jacoeb (2007), angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,669,5% pada kelompok infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk sekarang, maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta penderita endometriosis pada wanita usia produktif. Kaum perempuan tampaknya perlu mewaspadai penyakit yang seringkali ditandai dengan nyeri hebat pada saat haid ini (Widhi, 2007). Penyebab endometriosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik, gangguan sistem kekebalan yang memungkinkan sel endometrium melekat dan berkembang, serta pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Sumber lain menyebutkan bahwa pestisida dalam makanan dapat menyebabkan

ketidakseimbangan hormon. Faktor-faktor lingkungan seperti pemakaian wadah plastik, microwave, dan alat memasak dengan jenis tertentu dapat menjadi penyebab endometriosis (Wood, 2008b). Penyakit endometriosis umumnya muncul pada usia reproduktif. Angka kejadian endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya dan lebih dari 50% terjadi pada wanita perimenopause. Gejala endometriosis sangat tergantung pada letak sel endometrium ini berpindah. Yang paling menonjol adalah adanya nyeri pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus didiagnosa akibat keluhan nyeri kronis hebat pada saat haid, dan hanya 38% yang muncul akibat keluhan infertil (mandul). Tetapi ada juga yang melaporkan pernah terjadi pada masa menopause dan bahkan ada yang melaporkan terjadi pada 40% pasien histerektomi (pengangkatan rahim).

Selain itu juga 10% endometriosis ini dapat muncul pada mereka yang mempunyai riwayat endometriosis dalam keluarganya (Widhi, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi : Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan mirip dengan dinding rahim (endometrium) ditemukan di tempat lain dalam tubuh (Smeltzer, 2001). Endometriosis juga dapat berupa suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri dan diluar miometrium (Prawirohardjo, 2008). Definisi lain tentang endometriosis yaitu terdapatnya kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium pada tempat-tempat diluar rongga rahim. Implantasi endometriosis bisa terdapat pada ovarium, ligamen latum, Cavum Douglasi, tuba Falopii, vagina, serviks, pada pusat, paru-paru, dan kelenjar-kelenjar limfa (Rayburn, 2001). Etiologi : Ada teori penyebab endometriosis yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut (Wood, 2008a):

1. Metaplasia Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium.2 Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel selom yang sama.1 Teori Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi.2

Metaplasia yaitu perubahan dari satu tipe jaringan normal menjadi tipe jaringan normal lainnya. Beberapa jaringan endometrium memiliki kemampuan dalam beberapa kasus untuk menggantikan jenis jaringan lain di luar rahim. Beberapa peneliti percaya hal ini terjadi pada embrio, ketika pembentukan rahim pertama. Lainnya percaya bahwa beberapa sel dewasa mempertahankan kemampuan mereka dalam tahap embrionik untuk berubah menjadi jaringan reproduksi. 2. Teori implantasi dan regurgitasi Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis.1,2 Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.2 Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis. 3. Predisposisi genetik Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat keluarga menderita endometriosis lebih mungkin untuk terkena penyakit ini. Dan ketika diturunkan maka penyakit ini cenderung menjadi lebih buruk pada generasi berikutnya. Studi di seluruh dunia yang sedang berlangsung yaitu studi Endogene International mengadakan penelitian berdasarkan sampel darah dari wanita dengan endometriosis dengan harapan mengisolasi sebuah gen endometriosis. 4. Teori penyebaran secara limfogen (Halban) Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita endometriosis.7 5. Teori imunologik

Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan, bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.1

Gambar 5. Menstruasi Mundur dan Transplantasi (http://ezcobar.com/dokteronline/dokter15/index.php)

6. Pengaruh lingkungan Beberapa studi telah menunjuk bahwa faktor lingkungan dapat menjadi kontributor terhadap perkembangan endometriosis, khususnya senyawasenyawa yang bersifat racun memiliki efek pada hormon-hormon reproduksi dan respon sistem kekebalan tubuh, walaupun teori ini tidak terbukti dan masih kontroversial. Hipotesis berbeda tersebut telah diajukan sebagai penyebab

endometriosis. Sayangnya, tak satu pun dari teori-teori ini sepenuhnya terbukti, juga tidak sepenuhnya menjelaskan semua mekanisme yang

berhubungan dengan perkembangan penyakit. Dengan demikian, penyebab endometriosis masih belum diketahui. Sebagian besar peneliti, berpendapat bahwa endometriosis ini diperparah oleh estrogen. Selanjutnya, sebagian besar pengobatan untuk endometriosis saat ini hanya berupaya untuk mengurangi produksi estrogen dalam tubuh wanita untuk meringankan gejala (Smeltzer, 2001). Faktor Risiko Wanita yang beresiko terkena penyakit endometriosis, yaitu (Wood, 2008b): Wanita yang ibu atau saudara perempuannya pernah menderita endometriosis Memiliki siklus menstruasi kurang atau lebih dari 27 hari Menarke (menstruasi yang pertama) terjadi pada usia relatif muda (< 11 thn) Masa menstruasi berlangsung selama 7 hari atau lebih Orgasme saat menstruasi

Manifestasi Klinis : Menurut American Fertility Society (2007a), gejala endometriosis dapat berupa : Nyeri haid Banyak wanita mengalami nyeri pada saat haid normal. Bila nyeri dirasakan berat maka disebut dysmenorrhea dan mungkin menjadi penyebab endometriosis atau tipe lain dalam patologi pelvik seperti uteri fibroid atau adenomiosis. Nyeri berat juga dapat menyebabkan mual-mual, muntah, dan diare. Dysmenorrhea primer terjadi pada saat awal terjadinya menstruasi, kemudian cenderung meningkat selama masa reproduktif atau setelah masa reproduktif. Dysmenorrhea sekunder terjadi setelah kehidupan selanjutnya dan mungkin akan terus meningkat dengan umur.

Ini mungkin menjadi sebuah tanda peringatan dari endometriosis, walaupun beberapa wanita dengan endometriosis tidak merasa nyeri. Nyeri saat berhubungan Endometriosis dapat menyebabkan rasa nyeri selama dan setelah berhubungan, kondisi ini diketahui sebagai dyspareunia. Penetrasi dalam dapat menghasilkan rasa nyeri di batasan ovarium dengan jaringan otot di bagian atas vagina. Rasa nyeri juga disebabkan adanya nodul lunak endometriosis di belakang uterus atau pada ligamen latum, yang berhubungan dengan serviks. Klasifikasi endometriosis Berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume tiga dimensi dari endometriosis dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai-nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan (stadium II), 16-40 adalah sedang (stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat (stadium IV) (Rusdi, 2009).

Tabel 2. Derajat endometriosis berdasarkan skoring dari Revisi AFS Endometriosis Peritoneum Permukaan Dalam Ovarium Kanan Permukaan Dalam <1cm 1 2 1 4 1-3 cm 2 4 2 16 >1cm 4 6 4 20

Kiri

Permukaan Dalam

1 4 Sebagian 4

2 16 Komplit 40 1/3-2/3 2 8 2 8 2 8 2 8

4 20

Perlekatan kavum douglas

Ovarium

Perlekatan Kanan Tipis Tebal Kiri Tipis Tebal

<1/3 1 4 1 4 1 4 1 4

>2/3 4 16 4 16 4 16 4 16

Tuba

Kanan

Tipis Tebal

Kiri

Tipis Tebal

Sumber: American Fertility Society, 2007a. Skema klasifikasi berdasarkan beratnya penyakit endometriosis menurut American Fertility Society (2007a) dapat dilihat pada gambar dibawah.

Gambar 9. Skema klasifikasi stage 1 sampai stage 3. (American Fertility Society, 2007a)

Gambar 10. Skema klasifikasi stage 3 sampai stage 4. (American Fertility Society, 2007a)

Klasifikasi endometriosis menurut Acosta (1973)3 1) Ringan Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau posterior kavum Douglasi atau permukaan ovarium atau

peritoneum pelvis. 2) Sedang Endometriosis pada satu atau kedua ovarium disertai parut dan retraksi atau endometrioma kecil. Perlekatan minimal juga di sekitar ovarium yang mengalami endometriosis. Endometriosis pada anterior atau posterior kavum Douglasi dengan parut dan retraksi atau perlekatan, tanpa implantasi di kolon sigmoid. 3) Berat

Endometriosis pada satu atau dua ovarium, ukuran lebih dari 2 x 2 cm2. Perlekatan satu atau dua ovarium atau tuba atau kavum Douglasi karena endometriosis. Implantasi atau perlekatan usus dan/ atau traktus urinarius yang nyata.

Diagnosis Banding Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala, yakni 4: 1) Dismenorea : dismenorea primer, dismenorea sekunder yang disebabkan antara lain adenomiosis, mioma, infeksi, dan stenosis servikalis. 2) Dispareunia : kurangnya lubrikasi,kelainan gastrointestinal (irritable bowel syndrome), kongestif vaskular pelvik, dan sebagainya. 3) Infertilitas : anovulasi, defisiensi fase luteal, infeksi atau penyakit tuba.

Diagnosis :

Endometriosis dapat dicurigai berdasarkan pada gejala-gejala dari nyeri pelvis dan penemuan-penemuan selama pemeriksaan-pemeriksaan fisik di tempat praktek dokter. Adakalanya, sewaktu suatu pemeriksaan rectovaginal (satu jari tangan dalam vagina dan jari tangan lain dalam rektum), dokter dapat merasakan nodul-nodul (endometrial implants) dibelakang kandungan dan sepanjang ligamen-ligamen yang menempel pada dinding pelvis. Pada waktu-waktu yang lain, tidak ada nodul-nodul yang dirasakan, namun pemeriksaannya sendiri menyebabkan nyeri yang tidak biasa atau ketidaknyamanan. Namun,tidak satupun gejala-gejala atau pemeriksaan-pemeriksaan fisik dapat dipercayakan untuk menegakkan secara yakin diagnosis dari endometriosis. Studistudi imaging, seperti ultrasound, dapat berguna dalam menyampingkan penyakitpenyakit pelvis lainnya dan mungkin menandakan kehadiran endometriosis pada

10

area-area vagina dan kantong kemih, namun masih belum bisa mendiagnosa endometriosis secara definitif. Untuk suatu diagnosa yang akurat, pemeriksaan visual langsung bagian dalam dari pelvis dan perut, serta biopsi jaringan dari implant-implant diperlukan. Sebagai akibatnya, satu-satunya cara untuk mendiagnosa endometriosis adalah pada saat operasi, dengan membuka perut dengan sayatan besar laparotomy atau sayatan kecil laparoscopy. Laparoscopy adalah prosedur operasi yang paling umum untuk diagnosis dari endometriosis. Laparoscopy adalah prosedur operasi minor (kecil) yang dilakukan dibawah pembiusan total, atau pada beberapa kasus-kasus dibawah pembiusan lokal. Ia biasanya dilakukan sebagai suatu prosedur pasien rawat jalan. Laparoscopy dilakukan dengan pertama memompa perut dengan karbondioksida melalui sayatan kecil pada pusar. Sebuah alat penglihat (laparoscope) yang panjang dan tips kemudian dimasukan kedalam rongga perut yang sudah dipompa untuk memeriksa perut dan pelvis. Endometrial implants kemudian dapat dilihat secara langsung. Selama laparoscopy, biopsi-biopsi (pengeluaran dar contoh-contoh jaringan kecil untuk pemeriksaan dibawah mikroskop) dapat juga dilakukan untuk diagnosis. Adakalanya biopsi-biopsi yang diperoleh selama laparoscopy menunjukan endometriosis meskipun tidak ada endometrial implants yang terlihat selama laparoscopy. Ultrasound pelvis dan laparoscopy juga adalah penting dalam menyampingkan penyakit-penyakit yang berbahaya (seperti kanker indung telur) yang dapat menyebabkan gejala-gejala yang meniru gejala-gejala endometriosis. Visualisasi endometriosis diperlukan untuk memastikan diagnosis. Cara-cara yang biasa dilakukan untuk mendiagnosis adalah dengan melakukan pemeriksaan laparoskopi untuk melihat lesi (Rayburn, 2001). Diagnosa laparoskopi dilakukan setiap hari dari siklus menstruasi dengan pasien dibawah pengaruh anestesia (obat bius). Diagnostik endometriosis

11

dibutuhkan untuk melihat keberadaan dari satu atau lebih lesi kebiru-biruan atau hitam. Stadium endometriosis menurut revisi klasifikasi dari American Fertility Society (R-AFS). Implantasi endometriosis pada peritoneum atau ovarium nilainya ditentukan dari diameter dan kedalaman, yang mana nilai perlekatan digunakan dalam lampiran catatan kepadatan dan derajat. Total RAFS nilai (implan dan perlekatan) berurutan dari 1-5, 6-15, 16-40, dan 41150 dapat disamakan dari minimal (stadium I), ringan (stadium II), sedang (stadium III), dan berat (stadium IV) endometriosis (Marcoux, 1997) (Tabel 2 dan Gambar 9). Pendapat klinik saat ini bahwa prosedur pembedahan seperti laparoskopi dibutuhkan untuk menentukan diagnosa endometriosis.

Laparoskopi dilakukan untuk melihat keberadaan endometriosis. Pemeriksaan riwayat dan pemeriksaan badan dapat menemukan nyeri pelvik kronik dan dysmenorrheal, pemunduran uterus, penebalan ligamen uterosakral tidak sama sekali terdiagnostik. Proses diagnostik lain (American Fertility Society, 2007b).

Gambar 11.

Gambar laparoskopi organ reproduksi internal wanita (http://www.asrm.org/endometriosis/laparoscopy.pdf)

12

Gambar

12.

Diagnosa

laparoskopi

(http://www.asrm.org/endometriosis/laparoscopy.pdf)

Dokter mungkin akan memutuskan untuk mengobati endometriosis selama laparoskopi. Dilakukan pembedahan kecil tambahan untuk

memasukan alat bedah. Endometriosis mungkin jadi menggumpal, menguap, terbakar atau dipotong, dan jaringan otot atau kista ovarium mungkin dikeluarkan. Selama laparoskopi, dokter memutuskan membuka dan memasukan alat tersebut lewat tuba Falopii untuk melihat serviks di dalam uterus (American Fertility Society, 2007b). Proses diagnosa lain dilakukan pada kasus yang lebih khusus, dokter mungkin akan menggunakan teknik pengambilan gambar yang khusus seperti ultrasound, Computerized Tomography (CT scan), atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menambah informasi tentang pelvis. Prosedur ini dapat mengidentifikasi kista dan mengetahui karekteristik cairan dengan kista ovarium, kista endometrioma dan kista korpus luteum mungkin serupa kelihatannya. Uji ini digunakan bila menilai seorang wanita infertil atau nyeri pelvis kronis. (American Fertility Society, 2007b). Komplikasi : Fakta-fakta menunjukan adanya hubungan antara endometriosis dengan infertilitas. Endometriosis ditemukan 50% pada wanita infertil. Pasien infertil dengan endometriosis ringan tanpa perawatan dapat hamil dengan rata-rata 2% sampai 4,5% perbulan, dibandingkan pada normal fertilitas dari 15% sampai 20% perbulannya. Pasien infertil dengan endometriosis sedang dan berat memiliki rata-rata kehamilan tiap bulannya kurang dari 2%. Endometriosis berhubungan dengan infertilitas, tidak semua wanita yang memiliki endometriosis adalah infertil. Sebagai contoh banyak wanita menjalani sterilisasi tuba tercatat mengalami endometriosis. Penyebab dan

13

efek endometriosis diperkirakan berhubungan antara berkurangnya fertilitas namun tidak terbukti. Ini diperkirakan bahwa endometriosis merubah secara tidak langsung keadaan rongga pinggang dengan menimbulkan perlekatan pada organ-organ rongga pelvik sehingga mengganggu fungsi dari organ tersebut. Teori mencakup inflamasi, perubahan sistem imun, perubahan hormon, ganguan fungsi tuba Falopii, fertilitas dan implantasi. Itu lebih mudah untuk dipahami bagaimana endometriosis sedang dan berat dapat mengurangi fertilitas, karena sebagian besar perlekatan di rongga pinggang menyebabkan tidak terjadinya ovulasi, menghalangi sperma masuk ke tuba Falopii, dan menghalangi kemampuan tuba Falopii menangkap ovum selama ovulasi (American Fertility Society, 2007a). Tabel 3. Jenis ganguan sistem yang disebabkan oleh endometriosis

No 1 2

Sistem Fungsi Koitus Fungsi Sperma Fungsi Falopii Fungsi Ovarium

Jenis Gangguan Dyspareunia (menurunkan frekuensi sanggama) Inaktivasi sperma Fagositosis sperma dengan makrofag

Tuba Kerusakan fimbriae Penurunan motilitas tuba akibat prostaglandin Anovulasi Pelepasan gonadotropin yang terganggu

Sumber: Widjanarko, 2009.

Endometriosis dapat menyebabkan gangguan pada fungsi sistem organ reproduksi yaitu fungsi koitus, sperma, tuba Falopii, ovarium. Pada fungsi koitus menyebabkan rasa nyeri saat senggama (dyspareunia) sehingga mengurangi frekuensi senggama. Pada fungsi sperma, endometriosis akan menghambat sperma dengan antibodi tertentu. Hal ini didasari dari hasil penelitian dimana terhadap antibodi yang memiliki efek menghambat gerakan sperma sehingga berakibat terjadinya infertilitas (Rusdi, 2009). Pada

14

penderita endometriosis dibandingkan wanita normal, makrofag teraktifasi oleh adanya kista, hal ini menyebabkan makrofag pada penderita infertil dengan endometriosis membunuh lebih banyak sperma. Jika makrofag ini memasuki sistem reproduksi melalui tuba, maka akan terbentuk antibodi terhadap sperma yang akhirnya mematikan sperma sehingga terjadi infertilitas (Abdullah, 2009). Endometriosis pada tuba Falopii akan menyebabkan kerusakan pada fimbriae sehingga tidak dapat menangkap sel telur yang dilepaskan oleh ovarium. Endometriosis juga menyebabkan penurunan silia pada tuba Falopii sehingga sel telur tidak dapat turun ke uterus. Pada fungsi ovarium terjadi anovulasi sehingga folikel yang telah matang langsung membentuk korpus luteum tanpa melepaskan sel telur. Hal ini juga berpengaruh terhadap hormon gonadotropin dan mengakibatkan terganggunya siklua ovarium selanjutnya. Menurut Abdullah (2009) perlengketan tuba yang luas akan menghambat motilitas dan kemampuan fimbre untuk menangkap sel telur. Sedangkan berkurangnya motilitas tuba dan transportasi ovum mungkin disebabkan oleh sekresi prostaglandin oleh jaringan endometritik. Endometriosis berhubungan dengan perubahan-perubahan fisiologis alat reproduksi yang dapat menghambat terjadinya kehamilan. Derajat keterlibatan organ-organ pelvik merupakan faktor utama dalam menentukan kemampuan reproduksi penderita. Di bawah ini beberapa fenomena yang mungkin mengurangi kemampuan reproduksi pada penderita endometriosis sesuai dengan letak jaringan endometriotik berimplantasi (Abdullah, 2009): Endometriosis pada serviks: Kekakuan dan penyempitan serviks, akibat endometriosis akan mengurangi laju pergerakan sperma sehingga mengurangi fertilitas. Endometriosis pada Cavum Douglas: Melibatkan ligamentum sakrouterina dan bagian posterior uterus akan menyebabkan dispareni, sehingga mengurangi frekuensi koitus.

15

Endometriosis pada ovarium: akan menyebabkan destruksi kortikal dan pada gilirannya menyebabkan oligo atau anovulasi, sehingga menghambat proses reproduksi.

Endometriosis tuba Falopii: Perlengketan tuba Falopii yang luas akan menghambat motilitas dan kemampuan fimbriae untuk menangkap sel telur. Penatalaksanaan : Penanganan endometriosis di bagi menjadi 2 jenis terapi yaitu terapi medik dan terapi pembedahan. a. Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan kesuburannya atau yang gejala ringan (Rayburn, 2001). Jenis-jenis terapi medik seperti terlampir pada Tabel. 3 dibawah ini (Widjanarko, 2009): Tabel 4. Jenis-jenis terapi medik endometriosis Jenis Kandungan Fungsi Mekanisme Dosis Efek samping Progestin Progesteron Menciptakan kehamilan palsu Menurunkan Medroxyprogest 30 mg/hari; Depo-Provera 150 mg setiap 3 bulan Danazol Androgen lemah Menciptakan menopause palsu Mencegah 800 mg/hari Jerawat, berat badan meningkat, perubahan suara Depresi,

kadar FSH, LH, eron acetate: 10 peningkatan dan estrogen berat badan

keluarnya FSH, selama 6 bulan LH, pertumbuhan endometrium dan

GnRH agonis

Analog GnRH

Menciptakan menopause palsu

Menekan sekresi Leuprolide 3.75 Penurunan hormon dan endometrium GnRH mg / bulan; densitas 200 tulang, rasa

Nafareline

mg 2 kali sehari; kering

16

Goserelin mg / bulan

3.75 mulut, gangguan emosi

b. Terapi pembedahan dapat dilaksanakan dengan laparoskopi untuk mengangkat kista-kista, melepaskan adhesi, dan melenyapkan implantasi dengan sinar laser atau elektrokauter. Tujuan pembedahan untuk mengembalikan kesuburan dan menghilangkan gejala (Rayburn, 2001). Terapi bedah konservatif dilakukan pada kasus infertilitas, penyakit berat dengan perlekatan hebat, usia tua. Terapi bedah konservatif antara lain meliputi pelepasan perlekatan, merusak jaringan endometriotik, dan rekonstruksi anatomis sebaik mungkin (Widjanarko, 2009). Penanganan endometriosis menurut Sumilat (2009, kom. pribadi) dapat dilakukan dengan terapi medik seperti pemberian analog general dan obat KB atau dengan terapi pembedahan menggunakan laparoskopi operatif yaitu pembakaran kista endometriosis dengan menggunakan laser. Tabel 5. Keuntungan dan kerugian terapi medik dan terapi pembedahan Jenis terapi Keuntungan Kerugian 1. Sering samping 2. Tidak memperbaiki fertilitas ditemukan efek

Terapi medik 1. Biaya lebih murah 2. Terapi empiris (dapat di modifikasi dengan mudah) 3. Efektif

untuk 3. Beberapa obat hanya dapat digunakan singkat untuk waktu

menghilangkan rasa nyeri

Terapi pembedahan

1. Efektif

untuk 1. Biaya mahal 2. Resiko medis penetapan kurang baik dan penaksiran kurang baik sekitar 3%

menghilangkan rasa nyeri 2. Lebih efisien dibandingkan terapi medis

17

3. Melalui

biopsi

dapat 3. Efisiensi

diragukan,

efek

ditegakkan diagnosa pasti

menghilangkan rasa nyeri temporer

Sumber: Widjanarko, 2009

3.1 Pencegahan Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang

endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupaka profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.2

Adenomiosis adalah penyakit jinak uterus yang dicirikan dengan adanya kelenjar dan stroma endometrium ektopik dalam myometrium. Hal ini terjadi akibat rusaknya batas antara stratum basalis endometrium dengan miometrium sehingga kelenjar endometrium dapat menembus miometrium. Selanjutnya, terbentuklah kelenjar intramiometrium ektopik yang dapat menyebabkan hipertrofi & hiperplasia miometrium (difus atau lokal). Pemicu terjadinya peristiwa ini sampai sekarang masih belum jelas.

Ada beberapa pendapat tentang batasan diagnosis adenomiosis. Secara tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika ditemukannya kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah endomyometrial junction. Sedangkan

18

menurut Zaloudek & Norris, disebut adenomiosis jika jarak antara batas bawah endometrium dengan daerah miometrium yang terkena + 2,5 mm. Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai invasi minimal kelenjar endometrium < 2 mm di bawah stratum basalis endometrium. Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih dari sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan Ferenczy tetap mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis adenomiosis jika jarak antara endomyometrial junction dengan fokal adenomiosis terdekat > 25% total ketebalan miometrium. Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan kedalaman penetrasi ke dalam miometrium, yaitu: Derajat 1, mengenai 1/3 miometrium (Adenomiosis superfisial) Derajat 2, mengenai 2/3 miometrium Derajat 3, mengenai seluruh miometrium (Deep adenomyosis) Selanjutnya adenomiosis juga dibagi berdasarkan jumlah pulau-pulau

endometrium pada pemeriksaan histologi menjadi ringan (1-3), sedang (4-9) & berat (>10). GAMBARAN MAKROSKOPIK & HISTOLOGIS Adenomiosis menyebabkan pembesaran miometrium yang globuler & kistik dengan beberapa kista yang berisi dengan extravasasi atau hemolisis dari sel-sel darah merah & siderofag. Gambaran mikroskopis adenomiosis dikelilingi secara melingkar oleh sel-sel otot polos yang hipertrofi (collar) sehingga adenomiosis fokal terlihat > 2 mm lebih dalam dari miometrium atau lebih dari 1 lapangan pandang dengan pembesaran 10X dari endomyometrial junction.

19

Adenomiosis (difus) berbeda dengan adenomioma. Adenomioma biasanya melingkar, agregasi noduler otot polos, jaringan endometrium dan biasanya dengan stroma endometrium. Lokasi adenomioma bisa di dalam miometrium atau tumbuh sebagai polip, 2% polip endometrium merupakan adenomioma. PATOGENESIS Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plica rectovagina, adenomiosis dapat berkembang de novo secara embriologis dari sisa ductus Muller. Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada manusia masih dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & ciliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma

pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam miometrium. Dalam studi menunjukkan yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih

mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH.

20

Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada Carsinoma endometrii dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada Choriocarsinoma. Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis. Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis.

Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea. Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma endometrii, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17-estradiol yang meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama

21

dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.

Gambar skematis mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogendependent. Di dalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase & sulfatase. Produksi estrogen lokal meningkatkan konsentrasi estrogen yang bersama-sama dengan estrogen dalam sirkulasi, merangsang pertumbuhan jaringan yang termediasi oleh reseptor estrogen. mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis. PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS & ADENOMIOSIS Hiperperistaltik uterus mempunyai peranan penting dalam perkembangan endometriosis & adenomiosis. Hiperperistaltik dapat dipicu oleh peningkatan kadar estradiol perifer di dalam darah. Namun, estradiol yang memicu hiperperistaltik ini dapat juga berasal dari endometrium itu sendiri. Adanya ekspresi P450 aromatase selama fase luteal, dimana lapisan basalis endometrium merupakan kelenjar endokrin yang memproduksi estrogen dari prekursor androgen. Pada wanita dengan adenomiosis dan endometriosis, konsentrasi estrogen dalam darah saat haid lebih tinggi dibandingkan wanita normal.

22

Konsep tentang hiperestrogenisme archimetrium non-ovarium merupakan salah satu kejadian awal dalam tahap perkembangan endometriosis yang dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lingkungan seperti perusak endokrin dan konsumsi makanan, tetapi hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Pada penelitian dengan hewan coba, dioxin meningkatkan aktivitas peristaltik tuba dan diaktifkan melalui reseptor estrogen. Faktor keturunan juga diteliti pada koloni monyet Rhesus yang menunjukkan ada kaitannya dengan endometriosis. Pada gambar berikut menerangkan konsep perkembangan endometriosis dan adenomiosis. Archimiometrium distimulasi oleh peningkatan lokal dari estradiol dan oksitosin endometrium beserta reseptornya. Kejadian yang menyebabkan hiperestrogenisme archimetrium sampai saat ini belum diketahui. Diduga karena peranan P450 aromatase yang karena aktivasi P450 aromatase menyebabkan peningkatan produksi lokal dari estrogen. Hiperestrogenisme archimetrium menghasilkan hiperperistaltik uterus dan peningkatan tekanan uterus.

Gambar skema patofisiologi endometriosis dan adenomiosis Hiperperistaltik menyebabkan trauma mekanik sehingga terjadi peningkatan deskuamasi fragmen endometrium basalis dan juga terjadi peningkatan kapasitas transport uterus retrograde sehingga terjadi diseminasi fragmen-fragmen tersebut melalui tuba. Fragmen-fragmen dapat berimplantasi dimanapun di dalam cavum

23

peritoneum. Setelah proses implantasi, terjadi proliferasi dan pertumbuhan infiltrative yang tergantung dari potensial proliferative dari fragmen basalis masing-masing. Gambaran endometriosis pelvis yang pleimorfik merupakan rantai yang panjang sejak gangguan awal pada tingkat archimetrium sampai berkembangnya lesi endometriosis. Dalam perkembangan adenomiosis, rantai kejadian ini lebih pendek. Adanya hiperperistaltik dan peningkatan tekanan uterus menyebabkan dehisiensi miometrium yang dapat terinfiltasi oleh endometrium basalis. Terbentuklah adenomiosis fokal atau difus. Adenomiosis fokal biasanya berada di dinding anterior dan atau posterior, namun terutama di dinding posterior dan tidak pernah berada di dinding lateral atau corpus uteri. GEJALA Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari specimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas. Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus. Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terusmenerus. Tabel 3. Presentasi klinis adenomiosis Gejala Klinis Adenomiosis 1. Asimtomatis Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal atau MRI; bersama dengan patologi yg lain)

24

2. Perdarahan uterus abnormal Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses adenomiosis (pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan berat) Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan adenomiosis 3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis 4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang) 5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang) Bird dkk melaporkan dari kasus adenomiosis 51,2% pasien mengeluhkan perdarahan banyak, 10,9% perdarahan ireguler, 28,3% dismenorea, 2,2% perdarahan postmenopause dan 23,9% asimtomatis. Benson & Snedon juga melaporkan temuan yang serupa. Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan strategi

penatalaksanaannya. McCausland & McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium. Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan banyak yang berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional yaitu

histerektomi. DIAGNOSIS

25

Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis (35%). Sehingga adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan MRI. Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara histologis setelah dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif. Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI. Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki sensitivitas yang rendah. Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang membesar berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik di miometrium dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada 2001 melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas

26

32,5% dan akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki kapasitas diagnostic yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada wanita yang terdapat fibroid. Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang

heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang tidak tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif & spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat melihat anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai perubahan fisiologis. Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium dengan intensitas yang tinggi dan penebalan junctional zone >12 mm. Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan USG transvaginal dalam mendiagnosisi adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI dibandingkan USG transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan tingkat akurasinya. DAFTAR PUSTAKA 1. Vercellini P, Vigano P, et al. Adenomiosis: epidemiological factors. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 465-477. 2. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update 1998; 4: 312-322.

27

3. Kitawaki J. Adenomyosis: the pathophysiology of an oestrogen-dependent disease. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 493-502. 4. Bergeron C, Amant F, Ferenczy A. Pathology and physiopathology of adenomyosis. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 511-521. 5. Leyendecker G, Kunz G, et al. Adenomiosis and reproduction. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 523-546. 6. Peric H, Fraser IS. The symptomatology of adenomyosis. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 547-555. 7. Balogun M. Imaging diagnosis of adenomyosis. Reviews in Gynaecological and Perinatal Practice 2006; 6: 63-69.

28

You might also like