You are on page 1of 6

Identifikasi Masalah-Masalah Manajemen Pendidikan Dalam Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional

Teguh Triwiyanto Ahmad Yusuf Sobri


Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang Korespondensi: Jl. Dewi Sartika 3H No. 5B Kec. Batu Kota Batu. Email: teguhtri_um@yahoo.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi masalah-masalah manajemen pendidikan dalam penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif melalui pendekatan studi kasus (case studies) jenis multi-situs induksi analitis termodifikasi. Teknik pengambilan data melalui metode snowball sampling. Hasil penelitian menunjukkan Keberadaan pendidikan yang pada saat ini berkompetisi secara global ini sangat terasa dengan kehadiran era komunikasi digital. Keberadaan internet memberikan sumbangan besar terhadap kondisi ini. Mudah dan murahnya akses terhadap informasi dan pengetahuan menjadikan sumber-sumber belajar variatif, tidak sekedar guru atau buku teks semata-mata. Teknologi digital mampu menjadikan buku-buku tebal dan banyak jenisnya bisa tersimpan dengan ukuran kecil dan dapat diakses kapanpun. Keberadaan teknologi informasi menjadikan praktek pendidikan bisa terjadi di mana saja. Walaupun begitu, hilangnya batas-batas wilayah teritorial tersebut akan menjadi ancaman serius bagi sebuah negara, terutama negara dengan posisi konsumen dan bukan produsen ilmu dan teknologi. Sayangnya Indonesia rentan terhadap ancaman serius tersebut. Selain ancaman tersebut, hilangnya batas-batas negara (internasionalization) juga sangat memungkinkan terpangkasnya akses pendidikan masyarakat kelas menengah ke bawah. Perspektif internasional menurut Mutrofin (2007:112) meliputi beberapa determinan yang layak mendapat perhatian serius. Determinan pertama adalah intensitas revolusi geostrategis, kedua yaitu revolusi teknologi informasi dan determinan ketiga yaitu revolusi dalam pemerintahan. Ketiganya merupakan unsur kapitalisme yang dipelopori Amerika Serikat dan negara-negara

Eropa Barat. Tentu saja internasionalisasi tersebut mengandung paradoks, terutama kesempatan mendapatkan pendidikan (Darmaningtyas, 2009:325). Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dengan sistem internasional memperlihatkan betapa kekuasaan negara memiliki pengaruh sangat kuat terhadap setiap kebijakan. Sirozi (2005) menyebut bahwa terdapat dinamika hubungan antara kepentingan kekuasaan dan praktik penyelenggaraan kekuasaan, dengan kata lain terdapat politik pendidikan. Kekuasaan yang merupakan representasi dari kekuatan politik dalam masyarakat memberikan warna pada kebijakan pendidikan yang dibuat. Hubungan antara pendidikan dan pembangunan dikatakan Alhumami (Wicaksono, 2004:5) sangat kuat dan saling mempengaruhi. Pendidikan sebagai medium bagi proses transmisi teknologi dianggap sebagai pendorong pembangunan. Disiplin ilmu pembangunan sendiri mengalami banyak perubahan, indikator sosial telah menggantikan GNP yang digunakan sebagai indikator utama dianggap mempunyai banyak kelemahan. Kelemahan yang sering dikemukakan adalah tidak memasukkan produksi yang tidak melalui pasar seperti dalam perekonomian subsistem, jasa ibu rumah tangga, transaksi barang bekas, kerusakan lingkungan, dan masalah distribusi pendapatan (Mudrajat,1097:23). Tahun 1970 UNSRID ( United Nations Research Institut on Sosial Development) mengembangkan indikator sosial-ekonomi pembangunan, Morris D. Morris memperkenalkan Physical Qualty Life Index (PQLI), dan upaya terbaru dalam menganalisa perbandingan status pembangunan sosial-ekonomi UNDP menerbitkan seri tahunan dalam publikasi berjudul Human Development Reports. Human Development Reports yang diterbitkan sejak tahun 1990, adalah penyusunan dan perbaikan Human Development Index (HDI). HDI merangking semua negara atas 3 tujuan atau produk pembangunan, yaitu: (1) usia panjang yang diukur dengan tingkat harapan hidup; (2) pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang dapat membaca; dan (3) penghasilan yang diukur dengan pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu disesuaikan menurut daya beli mata uang masing-masing negara dan asumsi menurunnya utilitas marginal penghasilan dengan cepat. Selain itu, pembangunan perlu menempatkan manusia atau warga masyarakat dalam kedudukan sentral, dan menempatkan lingkungan sebagai satu sistem dengan manusia sebagai pusatnya.

Tujuan mulia pendidikan nasional akan tercapai bila kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia dapat sejajar atau lebih baik dengan negara-negara maju. Padahal kondisi pendidikan Indonesia kurang menggembirakan, mengutip hasil laporan UNDP, menyebutkan bahwa pada tahun 1999 tingkat HDI berada pada posisi urutan 105. Pada tahun 2000, HDI Indonesia menurun menjadi di posisi 109. Tahun 2002 turun lagi menjadi peringkat 110, dan data tahun 2003 menjadi posisi 112, tahun 2006 posisinya 109 dari 172 negara, dan tahun 2007 menempati posisi 111 dari 182 negara. Ini berarti kita berada dibawah Vietnam, Filipina, Malaysia, Thailand, Brunei Darusalam, dan Singapura. Salah satu faktor penting yang diukur dalam HDI adalah APM (Angka Partisipasi Murni) dan APK (Angka Partisipasi Kasar) yang berada dibawah negara tetangga kita. Demikian pula angka putus sekolah yang memprihatinkan, dan kemampuan membaca siswa SD tercatat terendah di kawasan ASEAN. Hasil studi IEA (International Educational Achievement) menunjukkan kita berada diperingkat 38 dari 39 negara yang diteliti. Di tingkat SMP, kemampuan Metamatika berada di peringkat 34 dari 38 negara yang diteliti, dan kemampuan IPA berada di peringkat 32 dari 38 negara yang diteliti. Kondisi pendidikan di Indonesia seperti digambarkan di atas memang menjadi persoalan tersendiri untuk dipecahkan. Berbagai jalan keluar tentu saja dilakukan pemerintah, tapi jika berlandaskan HDI di atas, maka usaha perbaikan sejak tahun 1999 sampai sekarang belum menunjukan hal yang menggembirakan. Kalau berdasarkan kondisi di atas juga, maka persoalan yang mendesak untuk dilakukan pemebenahan adalah perbaikan proses pembelajaran dan pengurangan angka putus sekolah. Tentu saja perbaikan tersebut menyangkut komponen pendidikan yang tidak sedikit. Kalau proses pembelajaran diperbaiki, maka komponen pendukungnya seperti; kurikulum, guru, buku-buku, laboratorium, dan lainnya perlu juga dibenahi dan diadakan. Sedangkan jika angka putus sekolah akan dikurangi, maka komponen makro dan mikro ekonomi Negara harus diperbaiki sebagai sistem pendukungnya. Sejalan dengan itu, terombang ambingnya dunia pendidikan Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi kekinian, termasuk kemudian lahir program sekolah bertaraf internasional. Waktu yang terus berjalan dan tantangan internasionalisasi semakin besar, maka sejalan dengan konsekuensi internasionalisasi tersebut, maka pemerintah membuat SBI yang merupakan sekolah nasional dengan standar mutu internasional. Proses pembelajaran di sekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksperimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada. Dengan mengadopsi standar pendidikan internasional, seperti

Cambridge atau IB (International Baccalaureate), sebenarnya, para murid dipersiapkan untuk memasuki jenjang perguruan tinggi di luar negeri. Siswa yang bisa masuk ke sekolah tersebut, adalah mereka yang dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah dilakukan diseleksi secara ketat dan akan diperlakukan secara khusus pada saat mengikuti proses pendidikan. Jumlah siswa di kelas akan dibatasi antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual. Ujung-ujungnya SBI sebenarnya berupaya untuk memperbaiki mutu sumber daya manusia Indoensia. Sekolah internasional sebelum ditetapkannya PP 17/2010 dan Permendiknas 18/2009 diartikan sebagai: Sekolah asing yang didirikan dan diselenggarakan oleh suatu Yayasan yang dibentuk berdasarkan peraturan perundangan Indonesia, untuk keperluan pendidikan dan pengajaran terutama bagi anak-anak warga negara asing bukan anggota perwakilan diplomatik/konsuler sesuatu negara lain di Indonesia,yang berada langsung di bawah pengawasan Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah ditetapkannya PP 17/2010 dan Permendiknas 18/2009: Sekolah Internasional menjadi Satuan Pendidikan Bersama, yakni satuan pendidikan hasil kerjasama antara lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau diakui di negaranya dan satuan pendidikan di Indonesia yang terakreditasi A. SBI diharapkan akan memperbaiki mutu pendidikan bagi generasi penerus bangsa, maka sejak tahun 2006 mulailah tampak berdiri RSBI dibeberapa kota/kabupaten. Hingga saat ini jumlah sekolah RSBI di Indonesia saat ini (tahun 2010) berjumlah 1.110 sekolah. Terdiri dari 997 sekolah negeri dan 113 sekolah swasta. Dari jumlah itu, jumlah SD RSBI tercatat sebanyak 195 sekolah, SMP RSBI sebanyak 299 sekolah, SMA RSBI sebanyak 321 sekolah,dan SMK RSBI sebanyak 295 sekolah. Manajemen pendidikan di SBI meliputi beberapa aspek, antara lain akreditasi, kurikulum, proses pembelajaran, penilaian, pendidik, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Aspek-aspek tersebut menjadi memiliki standar dalam pelaksanaan SBI. Secara rinci aspek-aspek tersebut akan dibicarakan satu persatu. METODE

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif melalui pendekatan studi kasus (Nasir, 1998:12). Jenis studi kasus (case studies) yang digunakan yaitu multi-situs induksi analitis termodifikasi. Teknik pengambilan data melalui metode snowball sampling. Lokasi penelitan di Kota Malang dengan menjadikan sekolah (SD,SMP,SMA/SMK) yang menerapkan RSBI dijadikan situs penelitian. Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan perlu digunakan metode yang tepat. Adapun metode-metode yang digunakan adalah: Focus Group Diskussion (FGD), wawancara, observasi (pengamatan), dan dokumentasi. Analisis data ini dilakukan selama proses penelitian. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilapangan, dan ia dikerjakan secara intensif, yaitu setelah meninggalkan lapangan. Sementara analisis akhir, yaitu setelah semua data-data yang dibutuhkan terkumpul atau setelah berakhirnya masa-masa penelitian lapangan juga dilakukan. Validitas data dari lapangan dilakukan dengan pengecekan ulang sebelum data tersebut dianalisis dan ditafsirkan sebagai simpulan akhir. Dalam menguji keabsahan data ini peneliti menggunakan beberapa metode, diantaranya: triangulasi, perpanjangan keikutsertaan peneliti, ketekunan pengamatan merupakan tindak lanjut dari perpanjangan keikutsertaan, pemeriksaan sejawat, dan konsultasi dengan para ahli dalam bidang ini yaitu orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang penelitian dan pendidikan. HASIL Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari aspek-aspek manajemen penyelenggaraan SBI, yaitu: akreditasi, kurikulum, proses pembelajaran, penilaian, pendidik, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Aspek-aspek tersebutlah yang kemudian dianalisis dan disimpulkan. Dalam mempersiapkan akreditasi timbul beberapa masalah yang dihadapi sekolah. Masalah-masalah tersebut antara lain: belum adanya pengakuan (akreditasi) dari negara lain; pelaksanaan dolumentasi kegiatan yang belum optimal; dan pengakuan(SK) dari pemerintah yang sangat membatasi keberadaan status RSBI. Ironisnya masih terdapat sekolah menggunakan embel-embel RSBI atau SBI hanya untuk mengeruk keuntungan materi semata-mata. Memang ada sekolah ketika mempersiapkan akreditasi tidak terdapat masalah, karena memang secara

umum warga sekolah, komite sekolah mendukung demi pengembangan sekolah dan status sekolah. Walaupun memang dipersipakan secara khusus, masalah juga kerap muncul dari aspek kurikulum SBI ini. Masalah yang muncul dari pelaksanaan kurikulum SBI antara lain yaitu sekolah belum memiliki internasional partnership untuk penyetaraan atau penyesuaian kurikulum sekolah dengan kurikulum internasional sebagai salah satu penjaminan mutu RSBI; belum diterapkannya sistem kredit semester; muatan pelajaran yang ada belum lebih tinggi dari muatan pelajaran dari negara maju. Aspek proses pembelajaran juga memiliki peran penting dalam program SBI ini. Sebaliknya usaha tersebut terkadang terkendala oleh beberapa guru mata pelajaran yang tidak menguasai bahasa Inggris atau kurang terampil berkomunikasi dengan bahasa Inggris; karena itu maka pembelajaran mata pelajaran sains, matematika dan lainnya belum sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Selain itu model pembelajaran yang dilakukan selama ini cenderung monoton (kurang variatif) dan agaknya sekolah dan guru sulit melakukan perubahan. Sementara itu persoalan yang muncul dari kegiatan dengan perbaikan penilaian pendidikan dan akses guru terhadap TI banyak terkendala persoalan ekonomi. Selain itu belum adanya pelaksanaan penilaian kompetensi siswa dari mitra internasional. Sebaliknya dari usaha sekolah tersebut di atas, bahwa belum semua pendidik dan tenaga kependidikan memperolah kesempatan yang sama mengembangkan kompetensinya dikarenakan persyaratan yang ditentukan. Hal ini membawa implikasi bagi sekolah untuk melakukan pembinaan teknis profesi dan komptensi guru dan tenaga kependidikan secara berkala serta memberikan dukungan untuk setiap pendidik dan tenaga kependidikan untuk memperkaya kompetensi. Terdapat beberapa persoalan yang dirasakan oleh sekolah dalam upayanya memenuhi standar sarana dan prasarana ini. Keluhan yang sering didengar dari pemenuhan standar sarana dan prasarana yaitu fasilitas praktek yang masih minimal dan belum mencapai standarisasi SBI; serta layanan informasi dan data belum sepenuhnya berbasis TI. Memang, alih-alih memperbaiki mutu pendidikan, terdapat beberapa pihak yang tidak sepakat bahwa SBI berupaya untuk memperbaiki dan mampu mendongkrak mutu sumber daya manusia Indonsia, umumnya mereka melakukan keritik keras. Bahkan ada yang menilai SBI atau rintisan SBI adalah inkonstitusional, karena melanggar Pasal 31 ayat (3) UUD 1945.

You might also like