Professional Documents
Culture Documents
Duraposita chemical
Kata Pengantar
Perkembangan industri dan transportasi akan membawa dampak secara langsung kepada
naiknya kebutuhan pelumas dan berkibat bertambahnya stok minyak pelumas bekas.
Proses daur ulang minyak pelumas bekas menjadi minyak yang lebih baik secara
langsung akan menyerap kebutuhan tenaga kerja masyarakat sekitarnya.
Sesuai dengan peraturan pemerintah tentang pengolahan limbah pelumas bekas agar
menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, maka pengolahan limbah pelumas ini
diusahakan semaksimal mungkin ramah lingkungan.
Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan untuk mengolah minyak pelumas bekas
membutuhkan investasi yang sangat besar, proses daur ulang dengan teknologi distilasi
vaccum, hydrotreating akan sulit untuk dijadikan model teknologi investasi rendah
apalagi industri skala kecil.Penggunaan teknologi acid clay yang berinvestasi rendah
sangat tidak ramah lingkungan walaupun dapat dilakukan untuk industri skala kecil.
Adanya produk sampingan pada proses acid clay yaitu tar ( sludge ) yang sangat
berbahaya pada lingkungan dan mengandung asam sulfat.
Teknologi pengolahan limbah pelumas untuk skala kecil dengan resiko pencemaran
lingkunagn yang kecil untuk proses daur ulang pelumas bekas dapat memanfaatkan
metode ekstraksi detergen, yaitu memberikan perlakuan awal terhadap limbah pelumas
sehingga kandungan logam baik organik maupun anorganik dalam limbah dapat
diturunkan, sehingga kebutuhan asam sulfat menjadi lebih minim atau ditiadakan.
Beberapa penelitian untuk menurunkan kandungan logam dalam limbah pelumas bekas
dengan pelarut air atau pelarut aktif permukaan menunjukkan adanya pengaruh yang
positif. Untuk limbah yang kandungan tar masih banyak maka penggunaan asam sulfat
adalah suatu kepastian.
Teknologi ini belum populer tetapi dapat dicoba sebagai titik awal untuk daur ulang
pelumas bekas yang berinvestasi skala kecil dengan visi ramah lingkungan.
Pakde jongko
08176540345
Daftar isi
1. Definisi limbah
2. Latar belakang
i. Potensi Minyak pelumas bekas
ii. Karateristik minyak pelumas
iii. Metode rerefining minyak pelumas bekas
3. Minyak pelumas
i. Asal muasal
ii. Tipe dan jenis minyak pelumas
iii. Aplikasi minyak pelumas
4. Teknologi penjernihan minyak pelumas
i. Acid clay treatment
ii. Ekstraksi detergen
5. Aplikasi produk
i. konversi ke bahan bakar cair
ii. minyak bakar
iii. bahan bakar emulsified
6. Quality kontrol
Daftar pustaka
Lampiran
1. Istilah
2. Glossary
1. Definisi limbah
1. Limbah
Pengertian limbah menurut PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 :
a. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
b. Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3,
adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung
bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan
lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk
hidup lain.
Minyak bumi (bahasa Inggris: petroleum, dari bahasa Latin petrus – karang dan
oleum – minyak), dijuluki juga sebagai emas hitam, adalah cairan kental,
coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar, yang berada di lapisan atas
dari beberapa area di kerak Bumi. Minyak bumi terdiri dari campuran kompleks
dari berbagai hidrokarbon, sebagian besar seri alkana, tetapi bervariasi dalam
penampilan, komposisi, dan kemurniannya.
Komponen kimia dari minyak bumi dipisahkan oleh proses distilasi, yang
kemudian, setelah diolah lagi, menjadi minyak tanah, bensin, lilin, aspal, dll.
Minyak bumi terdiri dari hidrokarbon, senyawaan hidrogen dan karbon.
Empat alkana teringan- CH4 (metana), C2H6 (etana), C3H8 (propana), dan C4H10
(butana) - semuanya adalah gas yang mendidih pada -161.6°C, -88.6°C, -42°C,
dan -0.5°C, berturut-turut (-258.9°, -127.5°, -43.6°, dan +31.1° F).
Rantai dalam wilayah C5-7 semuanya ringan, dan mudah menguap, nafta jernih.
Senyawaan tersebut digunakan sebagai pelarut, cairan pencuci kering (dry
clean), dan produk cepat-kering lainnya. Rantai dari C6H14 sampai C12H26
dicampur bersama dan digunakan untuk bensin. Minyak tanah terbuat dari
rantai di wilayah C10
Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa minyak adalah zat abiotik, yang berarti
zat ini tidak berasal dari fosil tetapi berasal dari zat anorganik yang dihasilkan
secara alami dalam perut bumi. Namun, pandangan ini diragukan dalam
lingkungan ilmiah.
Saat ini banyak dijumpai beragam jenis pelumas yang semuanya didasarkan
atas penggunaan dan klasifikasi. Jenis-jenis pelumas tersebut dibedakan
menurut sifat-sifat fisika maupun kimia dari komponen penyusunnya baik
minyak dasar (base oil) ataupun aditif. Sifat fisika dan kimia dari campuran
kedua komponen inilah yang akan menentukan unjuk kerja pelumas secara
keseluruhan. Dengan demikian keragaman jenis pelumas ditentukan dari
komponen-komponen penyusun pelumas sesuai dengan spesifikasi kegunaan
pelumas tersebut. Berdasarkan jenis base oilnya minyak pelumas
diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :
• Minyak pelumas mineral
• Minyak pelumas sintetis
• Minyak pelumas semisintetis
Sebenarnya base oil ini mempunyai segala kemampuan dasar yang dibutuhkan
dalam pelumasan. Tanpa aditifpun, sebenarnya minyak dasar sudah mampu
menjalankan tugas-tugas pelumasan. Namun unjuk kerjanya belum begitu
sempurna dan tidak dapat digunakan dalam waktu lama.
1. PELUMAS MINERAL
Pelumas mineral adalah semua pelumas yang dihasilkan dari refinery minyak
bumi. Yaitu dari pengolahan lanjut long residue yang merupakan fraksi berat
hasil destilasi minyak mentah jenis parafinik ataupun naphtenik. Disebut long
residue karena residu ini masih dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan
base oil. Pengolahan long residue menjadi base oil yang populer dilakukan
adalah melalui proses Solvent Refining. Tahapannya adalah sebagai berikut :
Dalam proses ini, fraksi long residue di destilasi di dalam kolom yang
bertekanan rendah atau vakum. Tujuan dari proses ini adalah untuk
memisahkan fraksi minyak pelumasnya. Fraksi-fraksi lanjutan yang dihasilkan
dalam distilasi vakum ini berturut-turut adalah :
• SPO (Spindle Oil)
• LMO (Light Machine Oil)
• MMO (Medium Machine Oil)
• BO (Black Oil) atau Short Residue (SR)
Unit yang melaksanakan proses ini disebut High Vacuum Unit (HVU). Pada
prinsipnya HMU tidak berbeda dengan proses distilasi biasa, dimana pemisahan
fraksi demi fraksi dilakukan berdasarkan titik didih masing-masing hidrokarbon
dalam fraksi tersebut. Karena long residue memiliki titik didih tinggi maka
pelaksanaannya harus dilakukan dengan tekanan hampa (vakum).
b. Furfural Extraction
Furfural adalah solven yang berfungsi memisahkan komponen base oil dari
komponen yang tidak dikehendaki berdasarkan perbedaan kelarutan tiap-tiap
komponen tersebut. Pemisahan dengan solven furfural inilah yang
menyebabkan keseluruhan proses pengolahan ini disebut Solvent Refining.
Proses ini bertujuan untuk menaikkan indeks viskositas dari destilat pada HVU
melalui penghilangan senyawa aromat yang memiliki indeks viskositas rendah,
peningkatan mutu dan kestabilan terhadap oksidasi sekaligus mengurangi
kemungkinan terbentuknya lumpur (sludge), deposit karbon, dan varnish. Unit
yang melaksanakan proses ini disebut FEU (Furfural Extraction Unit).
c. Prophane Deasphalting
Digunakan untuk menghilangkan wax, sehingga pour point dari base oil yang
dihasilkan dapat diturunkan hingga 5 – 15°F. Pelarut yang digunakan dalam
proses ini adalah MEK (Metil Etil Keton). Proses dewaxing dilakukan pada suhu
10 – 25°C sehingga lilin akan mengkristal dan dapat dipisahkan dengan
penyaringan biasa. Filtrat yang diperoleh adalah produk akhir dari base oil.
e. Finishing
Tahap ini dilakukan untuk memperbaiki warna minyak pelumas dan stabilitas
pelumas.
2. PELUMAS SINTETIS
Minyak pelumas sintetis dibuat dari hidrokarbon yang telah mengalami proses
khusus. Khusus yang dimaksud adalah bahwa minyak ini dibuat tidak hanya
sama dengan minyak mineral akan tetapi melebihi kemampuan minyak mineral.
Melalui proses kimia dihasilkan molekul baru yang memiliki stabilitas termal,
oksidasi dan kinerja yang optimal. Sehingga harga minyak sintetis lebih mahal
daripada minyak mineral. Pada kenyataannya minyak pelumas sintetis memang
lebih unggul dalam unjuk kerja, baik respon terhadap mesinnya maupun umur
pemakaiannya. Hal ini dikarenakan pembuatan minyak pelumas sintetis
dirancang sesuai dengan tujuan penggunaannya. Untuk itu pemilihan minyak
pelumas yang tepat sangatlah penting. Dalam pembuatannya minyak pelumas
sintetis dikontrol struktur molekulnya dengan sifat-sifat yang dapat diprediksi.
Adapun jenis minyak sintetis yang banyak digunakan adalah sebagai berikut :
a. Diester
Diester merupakan salah satu bahan yang menonjol dari minyak pelumas
sintetis. Diester mempunyai struktur yang paling sederhana untuk digunakan
sebagai minyak pelumas. Bahan ini banyak digunakan sebagai minyak pelumas
atau pelumas gemuk yang mempunyai titik penguapan rendah pada mesin gas
turbin. Diester diperoleh dari reaksi sintesa produk minyak bumi, dan sebagian
dari lemak binatang dan minyak tumbuh-tumbuhan. Keuntungan diester adalah
mempunyai viskositas yang relatif konstan terhadap suhu yang cukup baik,
penguapannya sangat rendah, dan mempunyai stabilitas thermal yang bagus.
Biasanya bahan ini tidak korosif terhadap logam, tidak beracun dan stabil
terhadap hidrolisa. Sifat yang merugikan dari bahan ini adalah dapat bereaksi
terhadap karet. Karena sifat fire-resistant dan stabilitas oksidasinya, maka
pelumas diester banyak dipakai untuk kompresor udara.
b. Fosfat Ester
Fosfat ester telah lama digunakan sebagai aditif di dalam minyak pelumas
mineral sebagai pelindung terhadap terjadinya pelumasan batas. Fosfat ester
merupakan senyawa biodegradable yang disintesa dari komponen yang didapat
dari coal tar. Karena natural ester merupakan campuran yang komplek dan
sering mengandung ortho cresol yang beracun, maka diupayakan untuk
mensintesa ester dengan bahan kimia murni untuk membentuk minyak dasar
sintetis yang tidak mengandung cresol yang beracun. Sehingga natural ester
dikombinasikan dengan fosfat. Fosfat ester memberikan ikatan yang cukup
mantap dan stabil secara kimia yang memungkinkan untuk digunakan sebagai
komponen utama dari minyak pelumas sintetis. Disamping itu fosfat ester biasa
digunakan sebagai aditif EP. Stabilitas terhadap oksidasi dari bahan ini cukup
baik yaitu sampai dengan F. Penggunaannya yang utama adalah sebagai minyak
hidrolik di dalam pesawat°300 udara karena memberikan sifat anti api yang
baik.
c. Ester Silikat
Mempunyai IV yang tinggi yaitu 150 – 200 dan mempunyai penguapan yang
rendah. Ketahanan terhadap oksidasi pada suhu tinggi tidak begitu baik, tetapi
hal ini dapat diperbaiki dengan penambahan aditif. Ester silikat tidak korosif
terhadap logam, plastik maupun karet. Tetapi pada suhu yang tinggi akan
mengeraskan karet.
Aplikasi dari glikol polialkilena (polieter) sangat luas yaitu sebagai pelumas
pada motor bakar, roda gigi, kompressor, pompa. Bahan ini tidak begitu mahal
dan mudah diperoleh di pasaran.
e. Silikon
Sifat utama dari senyawa ini adalah dapat memberikan respon yang baik
sebagai aditif EP dan low flammability. Aktifitas yang tinggi dari atom khlor
dapat terbebaskan pada kondisi beban yang berat dan suhu tinggi. Dan hal ini
menghasilkan produk yang korosifitasnya tinggi dan beracun sehingga
penggunaannya dalam industri dibatasi.
Produksi komersialnya dibuat sekitar tahun 1930 an sebagai penganti castor oil
pada rem mobil. Polyalkylglycol dibuat dengan reaksi polimerisasi
menggunakan katalis. Reaksi dapat dikontrol untuk mendapatkan range
viskositas 8 – 19000 cSt. Biasa digunakan di industri baja dan tekstil. Semua
polyalkylglycol dapat menyerap air dari atmosfer sehingga harus dijaga dari
kemungkinan kontaminasi. Akan tetapi kandungan air sampai 5% masih dapat
ditoleransi. Pada temperatur rendah polyalkylglycol mempunyai karakteristik
yang bagus, tetapi C membutuhkan aditif untuk meningkatkan°pada temperatur
tinggi sampai 250 stabilitas thermalnya. Pelumas sintetis ini tidak dapat
digunakan di atas temperatur tersebut. Polyalkylglycol mempunyai
karakteristik yang bagus sekali pada viskositas 160 – 400 yang tergantung sekali
pada cara memproduksinya. Polyalkylglycol sangat rentan terhadap oksidasi
sehingga perlu ditambahkan aditif antioksidan. Umur pemakaian aditif pada
polyalkylglycol lebih lama bila dibandingkan dengan mineral oil pada kondisi
yang sama. Polyalkylglycol lebih polar sintetis ini tidak dapat digunakan di atas
temperatur tersebut. Polyalkylglycol mempunyai karakteristik yang bagus sekali
pada viskositas 160 – 400 yang tergantung sekali pada cara memproduksinya.
Polyalkylglycol sangat rentan terhadap oksidasi sehingga perlu ditambahkan
aditif antioksidan. Umur pemakaian aditif pada polyalkylglycol lebih lama bila
dibandingkan dengan mineral oil pada kondisi yang sama. Polyalkylglycol lebih
polar dibandingkan dengan senyawa ester, dan cocok sekali untuk seal dan
plastik. Tetapi tidak untuk cat.
Polyalphaolefin dibuat pertama kali di Jerman pada masa Perang Dunia Kedua
untuk menghemat pemakaian minyak mineral. Dan ternyata memberikan unjuk
kerja pada range temperatur yang luas. Polyalphaolefin merupakan hidrokarbon
sintetis, tidak seperti hidrokarbon pada minyak pelumas mineral. Karena
polyalphaolefin merupakan cairan kimia murni yang dibuat dari polimerisasi
katalitik ethylene. Produk yang dihasilkan dipisahkan dari komponen yang
reaktif dan selanjutnya dipisahkan sesuai dengan viskositasnya. Dengan
penambahan sedikit aditif antioksidan, polyalphaolefin menjadi lebih stabil bila
dibandingkan dengan minyak mineral pada temperatur yang sama.
Polyalphaolefin menunjukkan lebih tahan bereaksi dengan air bila dibandingkan
dengan minyak mineral dan minyak sintetis yang lain. Polyalphaolefin juga
sangat cocok bila diblending dengan minyak mineral. Sifat PAO yang menonjol
adalah sebagai berikut :
- Titik tuangnya rendah
- Volatilitasnya rendah
- Good software compatibility
- Stabilitas thermalnya bagus
- Hidrolytic stability
- Merupakan bahan kimia yang inert
- Daya pelumasannya bagus
Karenan PAO mempunyai titik tuang yang rendah, maka PAO digunakan pada
kompressor pendingin, kompressor amonia dan kompressor fluorokarbon.
i. Polyolester
Sangat cocok digunakan untuk pelumasan batas. Mempunyai IV yang tinggi bila
dibandingkan dengan minyak mineral. Mempunyai stabilitas thermal dan
membuat mesin menjadi lebih bersih dan lebih sedikit depositnya.
Volatilitasnya paling rendah dibandingkan dengan minyak pelumas sintetis yang
lain. Polyolester dengan C hanya menguap sekitar 2 %. Polyolester
relatif°viskositas 4,4 cSt pada 100 biodegradable tetapi prosesnya sangat
lambat dibawah kondisi normal. Produk yang dihasilkan tidak beracun.
Keuntungan polyolester adalah dapat digunakan dengan nitril rubber, yaitu tipe
yang paling umum digunakan dengan minyak mineral. Juga sangat compatible
apabila dicampur dengan minyak pelumas mineral. Banyak digunakan di
berbagai industri. Hampir semua aditif larut dalam polyolester (POE). Dapat
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan minyak pelumas sintetis lain
atau minyak pelumas mineral. POE mempunyai high temperatur properties yang
sangat bagus dan mampu meningkatkan properties pelumas melebihi diester.
Meskipun harganya relatif lebih mahal, namun minyak pelumas sintetis dewasa
ini lebih banyak digunakan. Hal ini disebabkan karena :
Minyak pelumas mesin atau yang lebih dikenal dengan nama oli atau oli mesin
memang banyak ragam dan macamnya. Bergantung jenis penggunaan mesin itu
sendiri yang membutuhkan oli yang tepat untuk menambah atau mengawetkan
usia pakai (life time) mesin.
Semua jenis oli pada dasarnya sama. Yakni sebagai bahan pelumas agar mesin
berjalan mulus dan bebas gangguan. Sekaligus berfungsi sebagai pendingin dan
penyekat. Oli mengandung lapisan-lapisan halus, berfungsi mencegah
terjadinya benturan antar logam dengan logam komponen mesin seminimal
mungkin, mencegah goresan atau keausan. Untuk beberapa keperluan tertentu,
aplikasi khusus pada fungsi tertentu, oli dituntut memiliki sejumlah fungsi-
fungsi tambahan. Mesin diesel misalnya, secara normal beroperasi pada
kecepatan rendah tetapi memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Mesin bensin. Mesin diesel juga memiliki kondisi kondusif yang lebih
besar yang dapat menimbulkan oksidasi oli, penumpukan deposit dan
perkaratan logam-logam bearing.
Secara teknis minyak pelumas yang diperoleh dari proses penjernihan kembali
lebih superior daripada oli yang berasal dari base oli. Dengan penjelasan
bahwa dalam base oli orisinil ada banyak ikatan molekul yang lemah. Dalam
mesin dengan temperatur tinggi dapat memutuskan ikatan molekul tersebut.
Oli penjernihan kembali akan mempunyai molekul yang lebih kuat karena telah
lolos melewati proses break down dalam mesin tersebut.
Kontaminasi
Kontaminasi terjadi dengan adanya benda-benda asing atau partikel pencemar
di dalam oli. Terdapat delapan macam benda pencemar biasa terdapat dalam
oli yakni
Molybdenum
3. Bantalan Aluminium, Antimon, Al, Sb, Cd, Co, Cu, Pb,
Tin, Zinc
4. Silinder Liner Chromium, Iron Cr, Fe
3.Metode rerefining minyak pelumas bekas
Beberapa cara pemulihan kembali minyak pelumas bekas yang digunakan
untuk industri , antara lain ;
1. Acid clay treating.
Minyak pelumas bekas ditreating dengan asam sulfat pekat yang
berguna untuk mengendapkan kotoran yang ada sehingga kotoran
tersebut dapat dibuang. Selanjutnya di treating dengan clay yang
berguna untuk menyerap aroma yang masih tertinggal didalam
minyak oli bekas. Proses ini sederhana dengan biaya relatif murah.
Kelebihan ;
a) Sudah sejak lama dan sangat populer proses acid clay digunakan
untuk recycling oli bekas, merupakan teknologi yang sudah
terbukti dipakai bertahun tahun diseluruh dunia. Dapat diset up
untuk kapasitas yang kecil.
b) Modal investasinya rendah, membuatnya menjadi sangat efektif
untuk plant skala kecil dan menengah.
c) Prosesnya sangat sederhana, mudah dioperasikan, tidak ada
peralatan yang rumit dan tidak membutuhkan operator ahli.
Kekurangan
2. Detergent Extraction.
Mengunakan konsumsi air yang sangat banyak untuk mencuci pelumas
bekas sehingga kandungan kontaminan yang berujud logam dapat
dipisahkan. Penambahan surfaktan atau detergen agar diperoleh
bentuk emulsi yang stabil. Emulsifier yang digunakan ABS, texafon,
tepool dan lain lain. Untuk memecah emulsi digunakan CaCl.
Proses ini serupa dengan memecah santan kelapa menjadi minyak
dan blondo, untuk memecah emulsi disamping digunakan bahan kimia
digunakan proses fisika juga, yaitu dengan mengalirkan sejumlah
minyak yang teremulsi melewati sepasang logam yang bermuatan
listrik maka akan terpisahkan dua komponen minya yang jernih dan
air yang sudah mengandung kotoran.
3. Clay Distillation
Minyak pelumas bekas didestilasi vacum sehingga diperoleh lumpur,
lube oil distillate, light oil, air. Lube oil distillate diproses lagi
dengan clay treating agar diperoleh lube oil stock (base oil).
Kelebihan
kekurangan:
a) Pengoperasian pada temperatur dan vakum yang tinggi
membutuhkan sistem pemanasan dan fluida pemanas yang
khusus.
b) Membutuhkan investasi modal yang sangat tinggi.
c) Plant harus yang berkapasitas sangat besar agar bisa
mendapatkan keuntungan.
d) Membutuhkan operator dan staf ahli yang sangat
berpengalaman.
e) Beaya bahan bakar yang lebih mahal. Disebabkan multiple
stage distilasi yang meliputi pemanasan dan pendinginan.
4. Hydrotreating
Setelah oli terpisah dari air kemudian oli masuk dalam tahap pengasaman yaitu
oli bekas dicuci dengan asam sulfat pekat, manakala terjadi pemisahan antara
tar (sludge) dan oli bagian atas oli yang mulai jernih ditransfer ke treatment
lempung (clay).
Pada tahap ini lempung (clay) digunakan untuk memudarkan warna minyak dan
menghilangkan kelebihan asam selain itu juga untuk menyerap partikel-partikel
karbon yang ada dalam minyak, kemudian oli dipompa dilewatkan dalam filter
pres yang hasilnya merupakan base oli yang telah jernih dan dapat digunakan
untuk produksi minyak mesin, minyak transmisi, minyak industri serta stempet.
No Proses Keterangan
1 Penampunagan minyak
pelumas bekas
4 Cooling, untuk
mendinginkan minyak
pelumas sampai suhu
kamar. Jika masih panas
masuk proses acid treatment
bisa meledak.
Decantasi, pengendapan.
Penambahan asam sulfat
digunakan untuk
mengendapkan kandungan
logam yang ada dalam
minyak pelumas bekas,
bagian atas yang jernih
diambil untuk proses
berikutnya.
Bagian bawah tempat
pengendapan dijadikan satu,
untuk dikumpulkan
lumpurnya ( sludge ).
Sludge sangat berbahaya
karena mengandung asam
sulfat pekat. Dadap diproses
menjadi aspalt asam.
Clay treatment,
Oli 1 drum, bentonite 1 sak
( 25 kg ), diputar selama 1
jam, 500 rpm, tempertur
150 der celsius
Filter press,
Bentonit berguna untuk
mengikat kandungan karbon
( ash ) yang ada dalam oli.
Setelah melalui filter press
oli menjadi sangat jernih
Penampungan sementara,
Dari filter press oli masuk
ke penampunagn sementara
Packaging
Tambahan
Alat yang digunakan untuk
memperbaiki drum yang
rusak
W C 2 1
3
1 2 9
1 5
A L A T 6
T E K N I K 4
1 4 2 0
1 7
5
7
1 1 8
G U D A N G
B E N T O N I T
1 8
1 9
1 0
1 3
1 2
1 6
Keterangan Gambar :
3
5
2
Keterangan Gambar :
1. Pintu pabrik
2. Bangunan pabrik
3. Halaman belakang pabrik
4. Kebun
5. Kebun
6. Kebun pabrik
Filtering Alat ;
1. Filter press 90 cm
2. Filter press 50 cm
3. Dinamo 3 pk 3 buah
4. Pompa 350 rpm 3 buah
Penampung Alat ;
1.Tangki kap 10 drum.
2.Dinamo 3 pk
3. Pompa 3 pk
Tanki minyak tanah Alat ;
1. Tanki besar kap. 5000 lt
2. tanki kecil kap. 400 lt
Pemadam kebakaran Alat :
2 buah alat peamdam kap. 2 kg
Packaging Alat :
1. Dinamo 2 pk
2. Pompa
3. Drum 200 lt 100 bh
Perawatan tangki Alat ;
1. Press tanki 1 buah
2. Bak pembersih tanki
Laboratorium Alat :
1. Timbangan
2. Gelas ukur
3. Gelas reaksi
4. Tempat sample
5. pH meter
6. Mixer
7. pemanas listrik
Pada proses acid treatment maka akan dihasilkan tar (sludge), dalam hal ini
sludge merupakan limbah yang sangat berbahaya maka perlu treatment kapur
agar limbah tersebut dapat menjadi padat yang mana selanjutnya dapat
digunakan untuk bahan bakar gamping.
3971713 Process for removing sulfur from crude oil Jul 27, 1976
4029569 Process for reclaiming spent motor oil Jun 14, 1977
4238241 Acidic asphaltic composition and method Dec 9, 1980
4331481 Acidic asphaltic composition and method May 25, 1982
4559128 Method for producing industrial asphalts Dec 17, 1985
5049256 Recovery of hydrocarbons from acid sludge Sep 17, 1991
5288392 Process for converting acid sludge to intermediate Feb 22, 1994
sludge
B. Ekstraksi detergen
1. Kandungan logam dalam minyak pelumas bekas
Pengolahan minyak pelumas biasanya mencakup beberapa tahap dan setiap
tahap bertujuan untuk menghilangkan komponen tertentu yang tidak
diinginkan agar didapat bahan minyak pelumas yang memenuhi syarat
utama. Persyaratan utama yang harus dipenuhi sebagian bahan dasar
minyak pelumas adalah indeks viskositas yang cukup tinggi, titik tuang yang
cukup rendah dan stabilitas terhadap oksidasi. Jenis hydrokarbon yang
mempunyai sifat-sifat tersebut terutama jenis karbon parafinik, dan dari
jenis isoparifinik atau berikatan naften atau aromat yang memiliki rantai
panjang parafin.
Hydrokarbon aromat, resin dan aspal dipisahkan dari bahan baku minyak
pelumas tersebut dengan ekstrasi pelarut, misalnya furfural untuk
mengeluarkan aromatnya dan menghilangkan aspal dengan pelarut propanal
agar terpisah produk aspal dari resin.
Senyawa logam-logam dalam produk berat bahan baku minyak pelumas
merupakan senyawa logam organik dan anorganik. Logam organik biasanya
terikat pada ikatan yang komplek seperti senyawa porfirin, sedangkan
logam anorganik dapat berupa garam atau senyawa. Biasanya bahan minyak
pelumas ini memerlukan peningkatan kwalitasnya yaitu dengan
menambahkan zat tambahan (aditif) sebelum minyak tersebut siap pakai.
2. Ekstraksi.
Proses ekstraksi dengan larutan detergent sebagai pelarut dapat
menurunkan kandungan logam dalam minyak pelumas bekas. Ekstrasi
dilakukan dengan mendispersikan pelarut dalam minyak pelumas bekas,
dengan pengadukan dan pemanasan.
Kandungan logam dalam minyak lumas bekas bukan berasal dari bahan dasar
minyak pelumas, melainkan berasal dari aditif yang ditambahkan, logam
ausan, kontaminasi dari bahan bakar bensin yang memgandung logam timah
hitam, debu atau kotoran dari udara, zat pendingin serta air pendingin yang
dipakai untuk mendinginkan mesin. Daftar berikut ini merupakan sumber
asal unsur logam yang terdapat dalam minyak lumas bekas.
Tabel. Sumber asal unsur logam dalam minyak lumas bekas mesin
diesel dan mesin bensin.
UNSUR
No SIMBU SUMBER ASAL
LOGAM L
1. Aluminium A1 Piston, bantalan, kotoran dari udara
Bantalan
2. Antimony Sb Aditif, air pendingin
3. Barium Ba Aditif, zat pendingin
4. Boron Bo Bantalan
5. Cadmium Cd Aditif, air pendingin
6. Calsium Ca Liner silinder, ring piston, poros
7. Chromium Cr engkol, zat pendinginan
Bantalan
8. Cobalt Co Bantalan
9. Copper Cu
Liner silinder, poros engkol karat
10. Iron Fe Bantalan bahan bakar
Aditif, bantalan
11. Lead Pb Aditif, ring piston
12. Magnesium Mg Poros, ring piston
13. Molybednum Mo Aditif, zat pendingin
14. Nickel Ni Aditif, zat pendingin
15. Phosphorous P Kotoran dari udara
16. Potasium K Bantalan
17. Silicon Si Aditif, zat pendingin
18. Silver Ag Bantalan, zat pendingin
19. Sodium Na Aditif, bantalan
20. Tin Sn
21. Zinc Zn
Sistim emulsi yang terbentuk dapat berjenis air dalam minyak atau minyak
dalam air, tergantung perbandingan minyak - air dan jenis emulsifying agent
yang digunakan. Sabun logam alkali, misalnya natrium oleat lebih larut dalam
air dari pada benzene, sehingga akan membentuk emulsi dengan jenis minyak
dalam air. Sedangkan sabun logam yang bermartabat dua lebih larut dalam
minyak daripada dalam air, sehingga emulsi yang distabilisasi dengan calsium
oleat akan berjenis air dalam minyak.
Kestabilan sistim emulsi yang diperoleh tergantung pada volume pelarut yang
digunakan. Makin sedikit jumlah pelarut yang digunakan maka emulsi yang
diperoleh makin stabil, ini disebabkan karena fase terdispersi akan tersebar
dalam fase kontinyunya sehingga mempersukar terjadinya penggumpalan fase
terdispersi.
D = [ (w – w1) / s] (w1 – v)
W1 = w / [v/(Ds + v)]
Jika fraksi yang tertinggal ini dikontakkan lagi dengan s ml pelarut yang sama
maka jumlah yang tertinggal larutan 1 adalah :
W2 = w1 [v/(Ds + v)]
= w [v/(Ds + v)]2
Demikian seterusnya, bila yang ke-n kali maka ;
Wn = w [v/(Ds + v)]n
4. Adsorpsi
Treatment dengan lempung ini dimaksudkan untuk menyerap kotoran yang
masih tertinggal misalnya zat-zat karbon, air dan sisa asam. Selain itu juga
dimaksudkan untuk memperbaiki warna minyak dan menghilangkan bau.
Dengan menggunakan adsorbent dalam bentuk tepung yang halus yang
dicampurkan dalam cairan minyak pelumas bekas yang sudah melalui proses
acid treatment, campuran diagitasi dengan kecepatan dan dipanasi pada suhu
tertentu. Kemudian adsorbent dihilangkan dari cairan dengan penyaringan
dengan menggunakan filter press. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
proses kontak adalah ;
1. Lama waktu kontak antara bleaching earth dengan cairan yang
dijernihkan.
2. Kecepatan putaran agitasi.
3. Konsentrasi bleching earth.
4. Suhu operasi proses kontak.
5. Filtrasi
Dimaksudkan untuk memisahkan lempung dan minyak dengan menggunakan
filter press. Penyaringan dengan filter press dilakukan karena dipakai proses
kontak antara lempung dengan minyak lumas bekas dilakukan pada temperatur
120o C agar minyak lebih mudah melewati filter press.
Gambar filter press untuk menyaring dan memisahkan bentonit dari miyak
pelumas bekas.
Untuk minyak pelumas bekas yang lebih kental suhu operasi dapat mendekati
150 derajat. Apabila suhu kurang dari suhu operasi maka minyak akan sulit
untuk keluar dari filter press tetapi jika suhu sangat tiggi maka akan terjadi
reaksi oksidasi menyebabkan berwarna hitam.
6. Blending.
Aplikasi meliputi penggunaan untuk pelumas, bahan bakar dan bahan bakar
emulsi. Penggunaan bahan bakar emulsi belum begitu dikenal di indonesia,
padahal bahan bakar emulsi sudah dipakai dan diuji di eropa dan amerika.
Kasus pak joko dari nganjuk yang mencampur bahan bakar diesel dan bensin
dengan air bukan merupakan teknologi baru.
2. Minyak bakar
Method and apparatus for converting residual hydrocarbon oils to a fuel gas
which has essentially the same heating value and density as natural gas and
which may therefore be distribuied through the same lines. The residual
oil containing one or more metallic modifiers as catalysts, which may be
natnrally occurring in the oil or added thereto, is pyrolyzed at low
temperatures (up to 1400" F.) and low pressures (up to about 30 p.s.i.g.); and
from the products of pyrolysis a fuel gas is separated. The fuel gas is a mixture
of methane, hydrogen and ethane/ethylene wherein the molar ratio of
hydrogen to ethane/ethylene is about one-to-one. US Petent 3 712 800
Untuk bahan hidrokarbon yang lebih kental paten dibawah ini dapat
dipergunakan sebagai refernsinya.
Penemuan diatas menjelaskan emulsi bahan hidrokarbon yang kental dalam air
yang dipergunakan sebagai bahan bakar.
4. Gemuk pelumas
Merupakan dispensi dari sabun logam ( metalic soap) dalam minyak pelumas,
dan bervariasi dari yang agak cair sampai padatan yang keras biasanya
menggunakan sabun sodium atau kalsium tetapi untuk tujuan khusus digunakan
sabun aluminium atau lithhium. Gemuk pelumas digunakan untuk melumasi
bearing yang terbuka dan bagian yang bergerak dimana minyak pelumas tidak
dapat digunakan.
Komponen utama dari gemuk pelumas adalah minyak bumi dan sabun. Minyak
bumi mengandung bagian yang bervariasi dari parafinik, naptenik da aromatik.
Sabun yang digunakan untuk gemuk pelumas dapat berasal dari minyak
binatang , tumbuhan dan asam lemak, lemak wool / lanolin vesin atau asam
minyak bumi. Ada juga komponen tertentu yang ditambahkan pada gemuk
pelumas untuk menambahkan sifat-sifat khusus. Komponen tersebut adalah
rust inhibitor, ati oksidas, pacifator, colour stabiliser, VI improver dan agen
penjaga keausan. Gemuk produksi yang dipertebal secara baik agar gemuk
tetap kontak dengan bagian yang bergerak dan tidak bocor karena pengaruh
gravitasi atau oleh gaya sentrifugal, atau terdorong lepas karena tekanan dan
menimbulkan gesekan awal pada bearing.
Gemuk pelumas mempunyai konsistensi yang bermacam-macam dari cairan
yang bergerak bebas sampai yang berbentuk semi padat dengan berbagai
macam variasi derajat viscositasnya ditentukan sesuai dengan metode ASTM.
1. Kekentalan (Viskositas)
Kekentalan merupakan salah satu unsur kandungan oli paling rawan karena
berkaitan dengan ketebalan oli atau seberapa besar resistensinya untuk
mengalir. Kekentalan oli langsung berkaitan dengan sejauh mana oli berfungsi
sebagai pelumas sekaligus pelindung benturan antar permukaan logam. Oli
harus mengalir ketika suhu mesin atau temperatur ambient. Mengalir secara
cukup agar terjamin pasokannya ke komponen-komponen yang bergerak.
Semakin kental oli, maka lapisan yang ditimbulkan menjadi lebih kental.
Lapisan halus pada oli kental memberi kemampuan ekstra menyapu atau
membersihkan permukaan logam yang terlumasi. Sebaliknya oli yang terlalu
tebal akan memberi resitensi berlebih mengalirkan oli pada temperatur rendah
sehingga mengganggu jalannya pelumasan ke komponen yang dibutuhkan.
Untuk itu, oli harus memiliki kekentalan lebih tepat pada temperatur tertinggi
atau temperatur terendah ketika mesin dioperasikan. Dengan demikian, oli
memiliki grade (derajat) tersendiri yang diatur oleh Society of Automotive
Engineers (SAE). Bila pada kemasan oli tersebut tertera angka SAE 5W-30
berarti 5W (Winter) menunjukkan pada suhu dingin oli bekerja pada kekentalan
5 dan pada suhu terpanas akan bekerja pada kekentalan 30. Tetapi yang
terbaik adalah mengikuti viskositas sesuai permintaan mesin. Umumnya, mobil
sekarang punya kekentalan lebih rendah dari 5W-30 . Karena mesin belakangan
lebih sophisticated sehingga kerapatan antar komponen makin tipis dan juga
banyak celah-celah kecil yang hanya bisa dilalui oleh oli encer. Tak baik
menggunakan oli kental (20W-50) pada mesin seperti ini karena akan
mengganggu debit aliran oli pada mesin dan butuh semprotan lebih tinggi.
Untuk mesin lebih tua, clearance bearing lebih besar sehingga mengizinkan
pemakaian oli kental untuk menjaga tekanan oli normal dan menyediakan
lapisan film cukup untuk bearing. Sebagai contoh dibawah ini adalah tipe
Viskositas dan ambien temperatur dalam derajat Celcius yang biasa digunakan
sebagai standar oli di berbagai negara/kawasan.
1. 5W-30 untuk cuaca dingin seperti di Swedia
2. 10W-30 untuk iklim sedang seperti dikawasan Inggris
3. 15W-30 untuk Cuaca panas seperti dikawasan Indonesia
2. Kualitas
Kualitas oli disimbolkan oleh API (American Petroleum Institute). Simbol
terakhir SL mulai diperkenalkan 1 Juli 2001. Walau begitu, simbol makin baru
tetap bisa dipakai untuk katagori sebelumnya. Seperti API SJ baik untuk SH, SG,
SF dan seterusnya. Sebaliknya jika mesin kendaraan menuntut SJ maka tidak
bisa menggunakan tipe SH karena mesin tidak akan mendapatkan proteksi
maksimal sebab oli SH didesain untuk mesin yang lebih lama.
Ada dua tipe API, S (Service) atau bisa juga (S) diartikan Spark-plug ignition
(pakai busi) untuk mobil MPV atau pikap bermesin bensin. C (Commercial)
diaplikasikan pada truk heavy duty dan mesin diesel. Contohnya katagori C
adalah CF, CF-2, CG-4. Bila menggunakan mesin diesel pastikan memakai
katagori yang tepat karena oli mesin diesel berbeda dengan oli mesin bensin
karena karakter diesel yang banyak meng- hasilkan kontaminasi jelaga sisa
pembakaran lebih tinggi. Oli jenis ini memerlukan tambahan aditif dispersant
dan detergent untuk menjaga oli tetap bersih. Sebagai tambahan, bila oli yang
digunakan sudah tipe sintetik maka tidak perlu lagi diberikan bahan aditif lain
karena justru akan mengurangi kireja mesin bahkan merusaknya.
* SL (Current)
Merupakan katagori terakhir sampai saat ini. Diperkenalkan pada 1 Juni 2001.
Oli ini didesain untuk menjaga temperatur dan mengontrol deposit lebih baik.
Juga bisa mengkonsumsi oli lebih rendah. Beberapa oli ini juga cocok dengan
spesifikasi terakhir ILSAC sebagai Energy Conserving. Untuk mesin generasi 2004
atau sebelumnya
* CI-4
Diperkenalkan sejak 5 September 2002. Untuk mesin high speed, four stroke
engines yang didesain untuk memenuhi memenuhi standar emisi tahun 2004.
Oli CI-4 diformulasikan menjaga durabilitas mesin dimana gas buangnya
disirkulasi ulang. Digunakan untuk mesin yang meminta kandungan
belerang/sulfur 0.5%. Bisa dipakai pada oli CD, CE, CF-4, CG-4 dan CH-4.
* CH-4
Diperkenalkan sejak 1998. Untuk mesin high speed, four stroke engines yang
didesain untuk memenuhi memenuhi standar emisi tahun 1998. . Digunakan
untuk mesin yang meminta kandungan belerang/sulfur lebih besar 0.5%. Bisa
dipakai pada oli CD, CE, CF-4, dan CG-4.
* CG-4
Diperkenalkan sejak 1995. Untuk mesin kinerja sedang, high speed, four stroke
engines. Digunakan untuk mesin yang meminta kandungan belerang/sulfur
kurang 0.5%. Cocok untuk standar emisi 1994 Bisa dipakai pada oli CD, CE, dan
CF-4.
* CF-4
Diperkenalkan sejak 1990. Untuk mesin high speed, four stroke engines,
naturally aspirated dan mesin turbocharger. Bisa dipakai pada oli CD, dan CE.
* CF-2
Diperkenalkan sejak 1994. Untuk mesin kinerja sedang, two stroke engines.
Bisa dipakai pada oli CD-II.
* CF
Diperkenalkan sejak 1994. Untuk mesin off road, indirect injected dan
beberapa mesin yang memakai bahan bakar dengan kandungan belerang/sulfur
diatas 0.5%. Bisa mengganti pada oli CD.
Daftar pustaka
1. http://www.ccitonline.com/mekanikal/
2. Kotawa,A,1986, Studi awal Pengawal
logaman Minyak pelumas Bekas melalui
proses ekstraksi dengan detrgent sitetis
teepol sebagai pelarut. Lembaran
Publukasi Lemigas 4.
3. Yuliyati, Y.B,1992, Pemulihan minyak
pelumas bekas dengan cara ekstraksi dan
adsorbsi oleh zeolit. Lembaga Penelitian
UNPAD.
4. Gupta J.P. & Gupta R.P, Selected
industrial Chemicals, Small Business
Publication, PB No 2131, 4/45, Roop
Naper, Delhi 116007.
5. Andini Sundowo, Siti Yubaidah, 2003, “
Sintesa Polyolester Sebagai Bahan Dasar
Minyak Pelumas, Teknik Kimia, ITI.
6. PT. Hexindo Consult, 2000, “Prospek
Industri dan Pemasaran Pelumas di
Indonesia”, Jakarta.
7. Wartawan, AL, 1983, “ Minyak Pelumas
Pengetahuan Dasar & Cara Penggunaan,
Penerbit Gramedia, Jakarta.
1. appendiks
Karakter aditif dalam minya pelumas
Characteristics of Additives
Additive Name Characteristics
Detergency Interacts with varnish or
Phenaltes, Sulphonates,
& cleaning sludge to neutralise and
Naphthenates
action solubilise.
Dispersants are soluble in
the oil and have a polar end
PBI (Polyisobutylene) which attracts and binds to
Dispersancy
Succinimides contaminants preventing
settling and adhesion to
metal surfaces.
Not really necessary for
diesel engines in properly
Silicone Polymers (very low designed systems, but
Antifoaming
concentrations) provides anti-foam in
gearbox and also at the
refinery during blending.
Used in SAE 30 grades and
Pour Point Polymethylacrylate below to ensure point
criteria are met.
Chemicals react with
Anti-wear ZDTP
surfaces forming films
load (Zincdialkyldithiophosphate)ZDDP
which have a slower shear
carrying (Zincdiethlydithiophosphate)
strength than parent metal.
Increase in relative viscosity
VI Polymers of: Methacrylate
more at high than low
Improvers Acrylate Olefin Styrene-Butadiene
temperature.
Rust and Sulphates, Thiourea type Chemically absorbed onto
corrosion chemicals bare metal surfaces
providing protection and
inhibition
neutralisation.
5 39 1.40 44
7 45 1.56 51
9 51 1.75 58
11 57 1.93 65
API
American Petroleum Institute
ASTM
American Society for Testing and Material
BDR
Bunker Delivery Receipt
BSI
British Standards Institute
CCAI
Calculated Carbon Aromaticity Index
CCR
Conradson Carbon Residue
CII
Calculated Ignition Index
CIMAC
International Council on Combustion Engines
DM
Distillate Marine (as used in ISO 8217)
DnV
Det Norske Veritas
FOBAS
Fuel Oil Bunker Analysis and Advisory Service
H2S
Hydrogen Sulphide
IATA
International Air Transport Association
IBIA
International Bunker Industry Association
ICP
Inductively Coupled Plasma
IF
Inter Fuel
IMDG
International Maritime Agreement for the Carriage of Dangerous Goods
IMO
International Maritime Organisation
IP
Institute of Petroleum
IPA
Iso Propyl Alcohol
ISO
International Standards Organisation (International Organisation for Standardisation)
KOH
Potassium Hydroxide
LFL
Lower Flammability Limit
m/m
Mass for Mass (by proportion)
MCR
Micro Carbon Residue
MT
Metric Tonne
NOx
Nitrous Oxides
PSA
Port of Singapore Authority (fuel bunkering standard)
RCR
Ramsbottom Carbon Residue
RM
Residue Marine (as used in ISO 8217)
SAE
Society of Automotive Engineers
SAN
Strong Acid Number
SG
Specific Gravity
SI
International System of Units
SOx
Sulphurous Oxides
TAN
Total Acid Number
TBN
Total Base Number
TSA
Total Sediment Accelerated
TSE
Total Sediment Existent
TSP
Total Sediment Potential
V/V
Volume for Volume (by proportion)
VCF
Volume Correction Factor
VI
Viscosity Index
API Gravity
An arbitrary scale adopted by the American Petroleum Institute (API) for expressing the relative density of oils.
Its relation to relative density is:
141.5
Small quantity of residue, free from carbonaceous matter, remaining after burning in air, of oil fuel at a
prescribed temperature.
Asphaltenes
Those components of asphalt that are insoluble in petroleum naphtha but are soluble in carbon disulphide. (Other
solvents may be stipulated). Hard and brittle compounds, made up largely of high molecular weight polynuclear
hydrocarbon derivatives containing carbon, hydrogen, sulphur, nitrogen, oxygen and usually the three heavy
metals - nickel, iron and vanadium.
Ash
Non-combustible fuel residues usually containing a mixture of aluminium, calcium, iron, nickel, silicon, sodium
and vanadium. Contamination may be derived from the crude oil stock or from catalyst fines, downstream
storage and airborne dirt.
Barrel
Unit of volume measurement used for petroleum and petroleum products.
1 barrel = 42 US gallons, = 35 Imperial gallons, = 159 Litres
Blending
The intimate mixing of various components in the preparation of a product of specified properties.
Blow-by
Passage of combustion gases past the piston rings of an engine.
BN
See TBN.
Boundary Lubrication
Lubrication between 2 rubbing surfaces without development of a full lubricating film. It occurs under high loads
and low speeds.
Bulk Modulus
The reciprocal of compressibility of oil. The higher the BM, the less the fluid can be compressed.
Cams
Eccentric lobes typically used to open valves.
Calorific Value
See Specific Energy.
Carbon Residue
Residue left when an oil is heated under prescribed conditions. Hence carbon residue is an indicator of the coke-
forming tendencies of an oil.
Catalyst
A substance which accelerates or changes the course of a reaction without itself undergoing any chemical
change.
Catalyst Fines
Small (typically less than 50 micron) particles in the form of complex alumino- silicates which may be present in
residues from a catalytic cracking plant.
Catalytic Cracking
Process whereby cracking is accomplished by the use of heat and catalysts. Used primarily to convert high-boiling
distillate to gasoline, gas oil, butanes and lighter gases.
centiPoise (cP)
See Viscosity.
centiStoke (cSt)
See Viscosity.
Cetane Index
A measure of the ignition quality of a distillate fuel, indicating the relative ease with which the fuel will ignite
when injected into the combustion chamber of a compression-ignition engine. Higher cetane indices and numbers
indicate shorter ignition lags and are associated with better all-round performances in most types of
compression-ignition engines. Cetane Index is calculated from the API gravity and the boiling point characteristics
of the fuel.
Cetane Number
Cetane Number is measured from a prescribed engine test.
Cloud Point
The temperature at which a cloud or haze begins to appear when an oil, which has been previously dried, is
cooled under the prescribed conditions. Such cloud or haze is due to the separation of paraffin wax. Since a fuel
must be “clear and bright” for the clouding to be observed, this parameter is only applicable to some distillate
fuels. Clouding may be regarded as an advance warning of the onset of “pour” problems due to either low
temperature or high wax content of a fuel.
Compatibility
When blending two or more fuels of different crude oil origins and/or different refinery processes, the resultant
blend should be an homogeneous mixture in which asphaltenes remain in stable equilibrium. Conversely, when
blending two or more fuels of different crude oil origins and/or different refinery processes, should the resultant
blend precipitate asphaltenes, then the two or more fuels are incompatible.
Corrosion Inhibitor
A substance added to lubricating oil to protect active metal surfaces from corrosion.
Crown
The top of the piston of a diesel engine exposed to the cylinder.
Cylinder Oil
Lube oil used in the cylinders of cross head diesel engines. Usually high viscosity and TBN greater than 70.
Density
Mass per unit volume.
Detergent
The ability of a lubricant to keep oil-wetted parts clean. Commonly metallic soaps with an alkaline reserve.
Dispersant
The ability of an oil to hold debris in suspension and thus prevent deposition on oil-wetted surfaces.
Diesel Oil
Oil used as fuel in diesel and other compression-ignition engines.
Diluent
In fuel oil blending, low viscosity materials having suitably high flash points are used to reduce the viscosity of
residues.
Distillate
Any product obtained by condensing the vapours distilled from petroleum or its products.
Distillation Range
The range of temperature, usually determined at atmospheric (Boiling Range) pressure by means of standard
apparatus, over which boiling or distillation of a liquid proceeds. Only a pure substance has one definite boiling or
distillation temperature at a given pressure. Mixtures of substances such as petroleum distillates have a
distillation temperature range.
Emulsion
An intimate mixture of fine particles of one liquid in another. An emulsion is said to “break” when the particles
join and the liquids become separate.
End Point
The highest temperature is indicated on the distillation (Final Boiling Point) thermometer when a light distillate is
subjected to one of the standard laboratory methods of distillation.
Ester
Compounds of alcohol and fatty acid which form the major constituent of many synthetic oils.
EP additives
Additives provided to limit micro-seizure of contacting surfaces under Extreme Pressure lubricating conditions.
Fuels - Residual
The residue remaining after removal of the lighter products.
Fuel Oil
The result of selective blending of various residues and distillate cutter stocks.
Fuels - Marine
A distillate or blended product containing some residue. Diesel Oil.
Grease
A lubricant composed of oil, thickened with a metallic soap or other compound to produce a semi solid lubricant.
HydrocarbonsCompounds composed entirely of carbon and hydrogen. They form the basic building blocks of
most fuel and lubricating oils.
Inhibitor
A compound added to lubricant to prevent or retard undesirable changes.
Insolubles Contaminants that remain after extraction of the sample with a solvent.
KV
Kinematic Viscosity, measure of resistance to flow under gravity and at a specific temperature.
Lands
The vertical surfaces of a piston between the piston rings and or crown.
Mineral Oil
Lubricant derived from crude oil.
Multigrade
A term used to describe a lubricant where the viscosity temperature relationship has been altered by the addition
of polymers that control viscosity limits at different temperatures.
Nitration
The process whereby nitrous oxides attack petroleum fluids at high temperatures. Common in gas fuelled engines
and often associated with viscosity increase, deposits formation and oxidation.
Oxidation
A process whereby oxygen attacks the lubricant. Oxidation is continuous in the presence of air but greatly
speeded at high temperatures.
inhibitor pH
A measure of acidity or alkalinity expressed as the log of the hydrogen ion concentration. 0-acid, 7-neutral, 14-
alkali.
Petroleum
Crude Oil, i.e. oil in its natural state before it has been refined. Mineral Oil, normally a liquid mixture consisting
essentially of many different hydrocarbons, occurring naturally and having a wide range of colours from yellow to
black and characteristic odours. It is the raw material from which gasoline, kerosene, lubricating oil, fuel oil,
paraffin wax, bitumen, petro-chemical feedstocks, etc. are obtained.
Pour Point
The lowest temperature at which a petroleum oil is found to pour or flow when it has been chilled under
prescribed conditions.
Relative Density
The ratio of mass of a given volume of a substance to that of the same volume of pure water at constant
temperature. Relative density decreases with increase of temperature and increases with decrease of
temperature. It can only be compared at constant temperature. The standard temperature for quoting the
relative density for most petroleum products is 15°C. Density is also referred to in absolute terms in units of
kg/m3 at a particular reference temperature - usually 15°C.
Residue
The material remaining, as an un-evaporated liquid or solid, from a process involving distillation or cracking.
Scuffing
The abnormal wear that occurs due to seizure, micro-welding and subsequent tearing of the sliding surfaces.
Specific Energy
The amount of heat liberated by the combustion of a unit quantity under specified conditions. The gross specific
energy is the sum of the heat produced by the total combustion of the fuel and the heat released by the
condensation of the water formed by such combustion. This is applicable to a boiler. The net specific energy is
the gross value minus the heat released by condensation of the water vapour formed by the combustion. The net
value is applicable to a diesel engine.
Straight Run
Produced by distillation without cracking or alteration to the structure of the constituent hydrocarbons.
Thermal Cracking
A cracking process in which the reaction is prompted purely by the action of heat and pressure.
Viscosity
The measure of a fluid’s resistance to flow. With increasing temperature the viscosity decreases. There are two
types of viscosity: kinematic and dynamic or absolute. The more common is kinematic viscosity, which is
measured by the time taken for a fixed volume of oil to flow through a capillary tube.
The usual unit is the centiStoke (cSt); one cSt = mm2/s
Dynamic (absolute) viscosity is usually measured by a rotating viscometer and is commonly expressed in
centiPoise (cP). 1 cP = 1 mPa.s
VI Improver
A compound used to raise the VI of a mineral oil or other product (see also multigrade).