You are on page 1of 20

TAWURAN PELAJAR DITINJAU DENGAN PERSPEKTIF PERILAKU AGRESI TUGAS KEPERAWATAN ANAK

Disusun oleh: Puput Candra Kharisma NIM: P 27220010 111

DIII BERLANJUT DIV KEPERAWATAN KRITIS POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masa remaja awal mempunyai fungsi pada tiga bidang utama yaitu keluarga, kelompok sebaya dan sekolah. Pada setiap bidang ini terdapat hubungan yang kompleks dan saling mempengaruhi agar dapat berfungsi dengan berhasil. Fungsi utama masa remaja awal adalah dimulainya kebebasan dari lingkungan keluarga dan pada masa inilah hubungan dalam keluarga mulai terlihat merenggang. Sering pula pada masa ini secara bersamaan terlihat tanda perkembangan pubertas berupa keinginan untuk keleluasaan pribadi, dan tidak jarang disertai keengganan yang makin nyata serta menjaga jarak keakraban fisis dari orang tua yang berbeda jenis kelamin dengan anak. Keinginan remaja yang tidak terucapkan pada orang tua untuk membuat batas tersebut sesuai dengan keinginan mereka untuk autonomi, dan hal ini sering menimbulkan konflik dengan orangtua yang bila tidak terselesaikan akan menimbulkan stress. Hasil akhirnya remaja cenderung untuk berpaling pada kelompok sebaya yang sejenis. Persahabatan pada masa remaja awal secara khas menumbuhkan kelompok yang sama jenis kelaminnya dengan kecenderungan lebih meningkatkan aktivitas bersama ketimbang interaksinya sendiri (Pandapotan, 2011). Dalam usia remaja ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu tawuran (Pandapotan, 2011). Tawuran mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di media massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal

mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalanjalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua. Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, dalam (Pandapotan, 2011) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain (Pandapotan, 2011).

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang tersurat dalam pendahuluan di atas dapat ditarik suatu rumusan masalah pokok sebagai berikut:
1. Bagaimana teori agresi memandang tawuran pelajar dan bagaimana cara

mencegah terjadinya tawuran pelajar? 2. Bagaimana perawat ikut andil dalam menanggulangi tawuran?

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Agresi Walaupun merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresi (Pandapotan, 2011). Perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain. Jenis Agresi digolongkan menjadi dua, yaitu (1) agresi permusuhan (hostile aggression) semata- mata dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2) agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup perkelahian untuk membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika terjadi perampokan, perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang (Myers dalam Pandapotan, 2011). Perbedaan kedua jenis agresi ini terletak pada tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata- mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain (Pandapotan, 2011).

B. Bentuk-bentuk Agresi Bentuk atau ekspresi agresi dapat berupa fisik maupun verbal. Agresi yang berbentuk fisik seperti memukul, menendang, melempar, merusak serta bentuk- bentuk lain yang dapat mengakibatkan sakit/ luka pada objek atau sumber frustasi. Sedangkan bentuk agresi yang bersifat verbal seperti mencacimaki, berteriak-teriak, mengeluarkan kata- kata yang kasar/ kotor dan bentukbentuk lain yang sifatnya verbal/ lisan (Pandapotan, 2011).

C. Teori-Teori Agresi 1. Teori Frustrasi Agresi Teori frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustrationaggression hypothesis) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk Pandapotan, 2011). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal,agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan (Pandapotan, 2011). 2. Teori Belajar Sosial Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa (dalam Pandapotan, 2011). 3. Teori Kualitas Lingkungan Strategi diprioritaskan yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang atau

diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara

mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok, keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku (dalam Pandapotan, 2011).

BAB III PEMBAHASAN


A. Tawuran

Tawuran merupakan Perilaku Agresif yang Marak dilakukan di Kalangan Pelajar. Tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku agresi, karena dalam tawuran terdapat perilaku baik fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain. Masa Remaja merupakan masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianallah yang akan mudah berbicara. Tawuran merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja, yaitu kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dankerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang umumnya dilakukan remaja remaja dibawah umur 17 tahun. Aspek kencenderungan kenakalan remaja terdiri dari (1) aspek perilaku yang melanggar aturan atau status, (2) perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, (3) perilaku yang mengakibatkan korban materi dan (4) perilaku yang mengakibatkan korban fisik (Mariah, 2007 dalam Bogor Agricultural University) Menurut Ridwan (2006), tawuran pelajar didefinisikan sebagai perkelahian massal yang dilakukan oleh siswa terhadap sekelompok siswa terhadap sekelompok siswa lainya dari sekolah yang berbeda. Tawuran terbagi dalam tiga bentuk: (1) tawuran antar pelajar yang telah memiliki rasa permusuhan secara turun temurun, (2) tawuran satu sekolah dan (3) tawuran

antar pelajar yang sifatnya insidensial yang dipicu oleh situasi dan kondisi tertentu (dalam Bogor Agricultural University) Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif (group deviation). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang sangat kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku. Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.
B. Pandangan teori Agresi terhadap Sebab Terjadinya Tawuran

Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial kolektif remaja dan perilaku agresif yang marak terjadi di daerah perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas. Disinilah uniknya, sampai sampai kelompok kerja (pokja) penanggulangan masalah tawuran ( 1999 ) tidak mampu memberi jawaban yang jelas mengenai apa penyebab tawuran. Mungkin dianggap telah menjadi tradisi. Kadang juga hanya sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk kekuatan saja. Tak jarang pula melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api ( bom molotov ) dan menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi-aksi yang dilakukan para pelajar dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu, tawuran juga melahirkan dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya dan sering berlanjut pada tahun tahun berikutnya. Kiranya, ada baiknya kita memahami sebab terjadinya tawuran dengan teori Agresi, karena tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku Agresi (Pandapotan, 2011).
1. Teori Frustrasi Agresi

Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan

tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi. Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya. Perspektif frustasi-agresi dipelopori oleh 5 orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939 (Brigham, 1991). Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap frstasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada yahun 1941, Miller menyatakn bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi. Perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson (1984), Kulik dan Brwn (dalam Worchel dan Cooper, 1986) menyatakan bahwa frustasi yang muncul dari akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan halangan yang diebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu.

Dollard dkk menyatakan bahwa walaupun frustasi menimbulkan perilaku agresi tetapi perilaku agresi dapat dicegah jika ada hukuman terhadap perilaku agresi. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku agresi dapat diarahkan pada sumber frustasi, sehingga orang akan mengarahkan (dalam Worchel dan Cooper, 1986)
2. Teori Belajar Sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi. Dalam penelitiannya Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi

yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif kognisi agresif. Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksiksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya, semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya. Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.
3. Teori Kualitas Lingkungan

Teori kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah Setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama adalah faktor fisik sekolah Seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem pengamanan

lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas interaksi edukatif di sekolah. Kedua dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif Pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta hubungan yang tidak harmonis antar anggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti perkelahian. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah. Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang. Seperti hasil penelitian M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13 .
C. Perilaku Agresi saat Tawuran

Perilaku agresi yang ditampilkan dalam tawuran menurut Hartati (2005) dan Anggereini (2005) adalah:

1. Berkelahi/memukul/melukai secara fisik 2. Berkata-kata kasar 3. Merusak barangbarang milik orang lain Berdasarkan definisi tawuran yang dilakukan secara massal, disimpulkan bahwa perilaku agresi yang sering ditampilkan dalam tawuran pelajar adalah tindakan yang dilakukan secara berkelompok dengan membahayakan atau merusak dari segi fisik dan material, seperti: 1. Menggunakan bahasa untuk memprovokasi lawan (verbal) 2. Berkelahi (tindakan fisik) 3. Berkelahi dengan bantuan senjata (menggunakan alat bantu) (dalam Bogor Agricultural University)
D. Gambar

tujuan

E. Upaya Mengatasi Tawuran 1. Dengan memandang masa remaja merupakan periode storm and drang

period (topan dan badai) dimana gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Maka pelajar sendiri perlu mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, Seperti Mengikuti kegiatan kursus, berolahraga, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, dll (Pandapotan, 2011).
2. Lingkungan keluarga juga dapat melakukan pencegahan terjadinya

tawuran, dengan cara:


a. Mengasuh anak dengan baik.

- Penuh kasih sayang - Penanaman disiplin yang baik - Ajarkan membedakan yang baik dan buruk - Mengembangkan kemandirian, memberi kebebasan bertanggung jawab - Mengembangkan harga diri anak, menghargai jika berbuat baik atau mencapai prestasi tertentu.

b. Ciptakan suasana yang hangat dan bersahabat: Hal ini membuat anak rindu untuk pulang ke rumah.
c. Meluangkan waktu untuk kebersamaan Orang tua menjadi contoh yang

baik dengan tidak menunjukan perilaku agresif, seperti: memukul, menghina dan mencemooh.
d. Memperkuat kehidupan beragama

Yang

diutamakan

bukan

hanya

ritual

keagamaan,

melainkan

memperkuat nilai moral yang terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari hari (Pandapotan, 2011).
e. Melakukan pembatasan dalam menonton adegan film yang terdapat

tindakan kekerasannya dan melakukan pemilahan permainan video game yang cocok dengan usianya (Pandapotan, 2011).
f. Orang tua menciptakan suasana demokratis dalam keluarga, sehingga

anak memiliki keterampilan social yang baik. Karena kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku normatif (misalnya, asosial ataupun anti-sosial).Bahkan lebih ekstrem biasa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb (Pandapotan, 2011).
3. Sekolah juga memiliki peran dalam mengatasi pencegahan tawuran,

diantaranya:
a. Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik adalah yang bisa

Mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan (Pandapotan, 2011).
b. Pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk

kegiatan olahraga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas remaja (Pandapotan, 2011).
c. Sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi

dan

koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara "tradisional bermusuhan" itu (Pandapotan, 2011). 4. LSM dan Aparat Kepolisian LSM disini dapat melakukan kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah mengenai dampak dan upaya yang perlu dilakukan agar dapat menanggulangi tawuran. Aparat kepolisian juga memiliki andil dalam menngulangi tawuran dengan cara menempatkan petugas di daerah rawan dan melakukan razia terhadap siswa yang membawa senjata tajam (Pandapotan, 2011).
F. Peran Perawat

Selain SLM, polisi, TNI dsb, perawat juga dapat ikut andil dalam menangulangi tawuran remaja. Sebab, salah satu tatanan tempat dimana perawat komunitas bekerja adalah di Sekolah. Menurut Logan (1986), Keperawatan sekolah adalah keperawatan yang difokuskan pada anak ditatanan pendidikan guna memenuhi kebutuhan anak dengan mengikut sertakan keluarga maupun masyarakat sekolah dalam perencanaan pelayanan (dalam Andaners, 2009). Perawatan kesehatan sekolah mengaplikasikan praktek keperawatan untuk memenuhi kebutuhan unit individu, kelompok dan masyarakat sekolah. Keperawatan kesehatan sekolah merupakan salah satu jenis pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk mewujudkan dan menumbuhkan kemandirian siswa untuk hidup sehat, menciptakan lingkungan dan suasana sekolah yang sehat. Fokus utama perawat kesehatan sekolah adalah siswa dan lingkunganya dan sasaran penunjang adalah guru dan kader (Andaners, 2009). Maka, sebagai seorang perawat dapat ikut andil dalam mengatasi masalah tawuran yang terjadi pada remaja atau para pelajar melalui ruang

lingkup sekolah. Prasetyo (2009), mengungkapkan bahwa perawat sekolah berada pada posisi ideal untuk meningkatkan dan untuk meningkatkan mengkoordinasi pelayanan kesehatan di sekolah, pendidikan kesehatan adalah aktivitas penting yang harus dilakukan oleh perawat sekolah (Prasetyo, 2010). Hal yang dapat dilakukan pertama adalah galang kerjasama dengan komite sekolah maupun orangtua murid untuk mencari jalan keluar bersama dengan komite sekolah maupun orang tua murid untuk mencari jalan keluar bersama terhadap murid-murid yang melakukan penyimpangan seperti tawuran. Peran orang tua dalam mengatasi masalah ini sangat diperlukan, karena terkadang tindakan kejahatan yang dilakukan pelajar di luar jam sekolah. Sedangkan bila pelajar di sekolah menjadi tugas guru untuk mendidik. Ada baiknya, pihak sekolah memberitahukan orang tua atau wali mengenai perilaku anaknya disekolah. Sehingga sama-sama saling memperhatikan pendidikan anak baik di sekolah maupun diluar sekolah. Sebagian besar orangtua di jaman sekarang sangat sibuk mencari nafkah. Mereka sudah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk dapat mengikuti terus kemana pun anak-anaknya pergi. Padahal kenakalan remaja banyak bersumber dari pergaulan. Oleh karena itu, orang tua hendaknya dapat memberikan inti pendidikan kepada para remaja. Inti pendidikan adalah sebuah pedoman dasar pergaulan yang singkat, padat dan mudah diingat serta mudah dilaksanakan. Pedoman dasar pergaulan yang singkat, padat, dan mudah diingat serta mudah dilaksanakan. Pedoman ini telah diberikan inti pendidikan ini, kemana saja anak pergi ia dan dapat dipercaya, karena diri sendirinyalah yang akan mengendalikan dirinya sendiri, selama seseorang masih memerlukan pihak lain untuk mengendalikan dirinya sendiri, selama itu pula ia akan berpotensi melanggar peraturan bila si pengendali tidak berada di dekatnya. Jadi, disini perawat dapat memberikan pendidikan atau promkes kepada pelajar di Sekolah, juga terhadap pihak sekolah maupun keluarga atau orang tua untuk turut serta dalam membina remaja yang berperilaku menyimpang, khususnya tawuran. Ini berarti bahwa perawat melakukan peran nya sebagai

pendidik. Pendidik (teacher) merupakan kombinasi dari semua peran yang lain. Perawat harus berupaya memberikan pendidikan, pelatihan, dan bimbingan pada klien/keluarga terutama dalam mengatasi masalah kesehatan. Jadi disini perawat sebagai perawat komunitas menjadi fasilitator untuk menyelesaikan masalah dengan promkes dan pembentukan kader.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresi. Tawuran merupakan Perilaku Agresif yang Marak dilakukan di Kalangan Pelajar. Tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku agresi, karena dalam tawuran terdapat perilaku baik fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain. Masa Remaja merupakan masa manusia mencari jati diri. Dalam usia remaja ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu tawuran Selain SLM, polisi, TNI dsb, perawat juga dapat ikut andil dalam menangulangi tawuran remaja. Sebab, salah satu tatanan tempat dimana perawat komunitas bekerja adalah di Sekolah. Menurut Logan (1986),
B. SARAN

Hal yang dapat dilakukan perawat adalah galang kerjasama dengan komite sekolah maupun orangtua murid untuk mencari jalan keluar bersama dengan komite sekolah maupun orang tua murid untuk mencari jalan keluar bersama terhadap murid-murid yang melakukan penyimpangan seperti tawuran. DAFTAR PUSTAKA

Andaners.

2009.

Konsep

Keperawatan

Komunitas

(online)

(http://andaners.wordpress.com/2009/04/28/konsep-keperawatankomunitas/, diakses 25 September 2012) Bogor Agricultural University. 2011. Fenomena Tawuran sebagai Bentuk Agresivitas Remaja (pdf) (Kasus Dua SMA Negeri di Kawasan Jakarta Selatan) Pandapotan, Pahala Junedi. 2011. Tawuran Pelajar: Ditinjau dengan perspektif September 2012) Prasetyo, Yoyok Bekti. 2010. Keperawatan-Kesehatan-Sekolah. (online). (http://yoyokbektiprasetyo.staff.umm.ac.id/files/2010/01/KEPERAWAT AN-KESEHATAN-SEKOLAH-Compatibility-Mode.pdf, September 2012). diakses 25 perilaku Agresi (online) (http://pahalajunedipandapotanhutauruk.blogspot.com/., diakses 18

You might also like