You are on page 1of 13

WACANA A.

Pendahuluan Dalam praktek berbahasa ternyata kalimat bukanlah satuan sintaksis terbesar seperti banyak diduga atau diperhitungkan orang selama ini. Kalimat atau kalimat-kalimat ternyata hanyalah unsur pembentuk satuan bahasa yang lebih besar yang disebut wacana( inggris:discourse) bukti bahwa kalimat bukan satuan terbesar dalam sintaksis, banyak kita jumpai kalimat yang jika kita pisahkan dari kalimat-kalimat yang ada di sekitarnya, maka kalimat itu menjadi satuan yang tidak mandiri. Kalimat-kalimat itu tidak mempunyai makna dalam kesendiriannya. Mereka baru mempunyai makna bila berada dalam konteks dengan kalimat-kalimat yang berada disekitarnya. Kalau kalimat itu adalah unsur pembentuk wacana, maka persoalan kita sekarang apakah wacana itu, apakah cirri-cirinya, bagaimana wujudnya, atau bagaimana pembentukannya. Berbagai macam definisi tentang wacana telah dibuat orang. Namun, dari sekian banyak definisi yang berbeda-beda itu, pada dasarnya menekankan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap. Sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina yang disebut kekohesian, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut. Bila wacana itu kohesi, akan terciptalah kekoherensian, yaitu isi wacana yang apik dan benar.

B.

Pengertian Wacana Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.1 Pendapat lain dari Chaer mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.2 Menurut Edmonson dalam Juita, wacana adalah satu peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku linguistic yang lainnya.3 Istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan. Wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar di gunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase, kata dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi merupakan bentuk kata. Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana.

Gillian Brown dan George Yule, Analisis Wacana, diterjemahkan oleh I. Soetiko, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), hlm. 1. 2 Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 267. 3 Novia Juita, Wacana Bahasa Indonesia. (Padang: DIP Universitas Negeri Padang, 1999), hlm. 3

C. 1. 2.

Ciri-ciri wacana Adapun ciri-ciri wacana meliputi; Dalam wacana perlu ada unsur-unsur susun atur menurut sabab, akibat, tempat, waktu, keutaamaan dan sebagainya. Wacana harus mempunyai andaian dan inferensi. Maklumat pertama dalam wacana di gelar andaian manakala maklumat berikutnya disebut inferensi. 3. Setiap kata dalam wacana harus ada maklumat baru yang ada dalam kata sebelumnya.

D.

Klasifikasi Wacana Wacana yang merupakan suatu disiplin ilmu yang luas dan kompleks memiliki bagian-bagian yang kecil atau klasifikasinya, berikut akan diuraikan klasifikasi menurut para ahli. Chaer mengatakan bahwa pelbagai jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana wacana itu dilihat, di antara lain: 1. Wacana lisan dan tulisan, hal ini berkenaan dengan sarananya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis. 2. Wacana prosa dan wacana puisi, dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian ataukah dalam bentuk puitik. Selanjutnya, wacana prosa ini dilihat dari penyampaian isinya dan dibedakan lagi menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi, dan wacana argumentasi.4 Pendapat lain dari Juita menggolongkan wacana lebih terperinci dan berkelompok-kelompok, yaitu:5 1. Klasifikasi Wacana Berdasarkan tujuan Maksudnya adalah si pembuat wacana membuat waca untuk tujuantujuan tertentu, mungkin untuk pemuasan atau pengekspresian dirinya, untuk
4 5

Abdul Chaer, Op.cit., hlm. 272 Novia Juita, Op.cit., hlm. 50-55.

mempengaruhi orang lain atau untuk menginformasikan sesuatu kepada orang lain. Berdasarkan pengelompokkan ini Kinneavy dalam Parera dalam Juita membedakan empat kelompok wacana berdasarkan tujuannya, yaitu:6 a. Wacana Ekspresif Wacana ekspresif adalah wacana yang lebih ditujukan kepada pembuat (penulis atau pembicara) itu sendiri. Wacana ini diciptakan oleh si pembuat untuk kepentingan dirinya sendiri. Tidak terlalu menghiraukan audiens. Wacana ini bersifat individual dan sosial. Misalnya, catatan harian, deklarasim dan lain-lain. b. Wacana Referensial. Wacana referensial adalah wacana yang lebih tertuju kepada penggambaran fakta atau realita dan data. Wacana ini tidak semata-mata ditujukan kepada decoder ataupun encoder, tetapi lebih mengutamakan kepada penyampaian fakta dan data secara akurat. Wacana ini dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu wacana referensial ekspositoris dan wacana referensial ilmiah. c. Wacana Susastra Wacana susastra berbicara sesuai dengan realitas untuk realitas itu sendiri. Dalam wacana ini yang dominan bukanlah realitas itu sendiri, akan tetapi paduan imajinasi pengarang hingga membentuk suatu rangkaian yang kompak . jadi, realitas objektif sudah diolah menjadi realitas imajinatif. Misalnya, novel, cerpen, dan lain-lain. d. Wacana persuasive Wacana persuasive adalah wacana yang memang diciptakan untuk decoder (pembaca atau pendengar). Tujuannya adalah untuk mempengaruhi. Misalnya iklan, pidato politik, khotbah, dan lain-lain.

Ibid.,

2. Klasifikasi Wacana Berdasarkan Cara Pemaparan Pengelompok berdasarkan pemaparan sama dengan tinjauan ini, cara penyususnan dan sifatnya. Wacana ini dapat digelongkan sebagai berikut: b. Wacana Naratif Wacana naratif adalah wacana yang lebih menonjolkan peran tokoh. Kejadian atau peristiwa dirangkai atau dijalin sedemikian rupa melalui peran-peran yang dimainkan oleh para tokoh. Urutan peristiwa dirangkai atau dijalin oleh pelaku secara kronologis. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita. c. Wacana Prosedural Wacana procedural adalah wacana yang menuturkan sesuatu secara berurutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Unsurunsur atau elemen-elemen yang ada tidak dapat dikacaukan urutanya, atau dibolak-balik. Urgensi unsur yang lebih dahulu merupakan landasan untuk unsur sesudahnya. Wacana ini dibuat untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara sesuatu bekerja, atau bagaimana proses terjadinya, atau bagaimana proses melakukan sesuatu. d. Wacana Hortatorik Wacana ini adalah wacana yang berisi ajakan atau nasehat, dan kadang-kadang bersifat memperkuat keputusan supaya lebih meyakinkan. Wacana ini merupakan hasil atau produksi suatu waktu, dan bukan disusun berdaarkan urutan waktu. e. Wacana Ekspositoris Wacana ekspositoris ini merupakan rangkaian tutur yang mengetengahkan atau memaparkan suatu pokok pikiran atau permasalahan yang dibahas dengan cara menguraikan bagian-bagian atau unsurunsurnya sedetail mungkin. Wacana ini memberikan berbagai informasi sehigga pembaca atau pendengar paham dengan baik tentang masalah yang dikemukakan. Wacana ini dilengkapi dengan ilustrasi atau contoh.

f. Wacana Deskriptif Wacana ini merupakan rangkaian tutur yang melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman ataupun pengetahuan encoder. Wacana ini meransang seluruh indra decoder sehingga decoder merasa betul-betul menyaksikan objek, peristiwa, atau kejadian tersebut. 3. Klasifikasi Wacana Berdasarkan Pelibat Berdasarkan pelibata atau individu yang ikut serta di dalam wacana tersebut, maka wacana ini dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu: a. Wacana Monolog Wacana monolog yaitu wacana yang secara langsung tidak menghendaki interaksi timbale balik antara encoder dan decoder. Wacana ini lebih didominasi oleh encoder, sedangkan decoder hanya bisa memberikan tanggapan, saran, ataupun pendapat. Akan tetapi, waktu tetap saja tersedia untuk decoder. b. Wacana Dialog Wacana dialog adalah wacana yang menghendaki terjadinya interaksi timbal balik antara encoder dan decoder. Pembagian jatah waktu di antara keduanya sama. Karena itu tidak ada dominasi satu pihak saja. Wacana dialog ini selanjutnya dapat lagi dibagi menjadi dua bagian, yaitu wacana dialog sesungguhnya dan wacana dialog teks. Wacana dialog sesungguhnya ini merupakan wacana dialog yang spontan dengan segala keadaan, tidak ada rekayasa dalam wacana tersebut. Wacana ini dapat pula dikatakan wacana alamiah, misalnya percakapan di warung kopi. Selanjutnya wacana dialog teks, yaitu wacana dialog yang direkayasa sedemikian rupa. Penutur tinggal menghafal apa yang tertera dalam teks percakapan. Misalnya teks drama. 4. Wacana Berdasarkan Media Berdasarkan media yang digunakan, wacana ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a.

Wacana Lisan Wacana lisan adalah wacana yang menggunakan bahasa lisan sebagai penyampaiannya. Wacana ini pada dasarnya diciptakan dalam waktu dan situasi yang nyata. Oleh karena itu wacana ini dikaitkan dengan wacana interaktif.

b.

Wacana Tulisan Wacana tulis adalah wacana yang menggunaka bahasa tulis sebagai media penyampaiannya. Wacana tulis ini dapat pula berwujud sepenggal ikatan percakapan dalam rangkaian percakapan yang lengkap yang telah menggambarkan suatu situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa. Wujud lain dari wacana tulis ini dapat berupa teks atau bahan tertulis yang bebentuk paragraf.

E.

Syarat Terbentuknya Wacana Adapun persyaratan gramatikal dalam wacana dapat di penuhi atau dalam wacana itu sudah terbina yang di sebut adanya keserasian hubungan antara unsurunsur yang ada dalam wacana tersebut. Bila wacana itu kohesif , akan terciptalah kekoherensian yaitu isi wacana yang apik dan benar. Kekohesifan itu dicapai dengan cara pengacuan dengan menggunakan kata ganti nya mari kita lihat! Kalimat (1) adalah kalimat bebas, kalimat utama yang berisi pernyataan, bahwa sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk. Kalimat (2) adalah kalimat 3terikat, yang di kaitkan dengan kalimat (1) dengan menggunakan kata gantinya-nya pada kata ikannya dan telurnya yang jelas mencakup pada terubuk pada kalimat (1). Kalimat (3) juga di kaitkan dengan kalimat (1) dan kalimat (2) dengan menggunakan kata ganti -nya pada kata harganya yang juga jelas mencakup pada kata terbuk pada kalimat (1). Lalu, kalimat (4) merupakan kesimpulan terhadap pernyataan pada kalimat (1), (2) dan (3), yang di kaitkan dengan bantuan konjungsi antar kalimat makanya.

Kekohesifan wacana itu di lakukan dengan mengulang kata pembaharu pada kalimat (1) dengan kata pembaharuan pada kalimat (2); serta mengulang frase perubahan jiwa pada kalimat (2) perubahan pada kalimat (3). Adanya pengulangan unsure yang sama itu menyebabkan wacana itu menjadi kekoherens dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang tampak kohesif, belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Jadi syarat terbentuknya wacana apabila adanya kohesif dan koherensi. Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif, antara lain adalah; 1. Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagianbagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraph. Dengan penggunaan konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi. Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal. Pada contoh diatas, hubunngan antara kalimat pertama dengan kalimat kedua itu tidak jelas: apakah hubungan penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan menjadi jelas, misalnya diberi konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut: a. Raja sakit dan pernaisuri meninggal. b. Raja sakit karena permaisuri meninggal. c. Raja sakit ketika permaisuri meninggal. d. Raja sakit sebelum permaisuri meninggal e. Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal. f. Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal. 2. Menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis. Dengan menggunakan kata ganti sebagai rujukan anaforis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di ulang, melainkan dig anti dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga, kalimat-kalimat tersebut saling berhubungan.

3.

Menggunakan ellipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain. Dengan ellipsis, karena tidak di ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung kalimat di dalam wacana itu. Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan

koherens dapat juga di buat dengan bantuan berbagai aspek semantik. Caranya, antara lain: 1. Menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana. Misalnya: a. Kemarin hujan turun lebat sekali. Hari ini cerahnya bukan main. b. Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa bicara. 2. Menggunakan spesifik-generik. Misalnya: a. Pemerintah berusaha menyediakan kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan akan berupaya mengurangi mobil-mobil pribadi. b. Kuda itu jangan kau pacu terus. Binatang juga perlu beristirahat. 3. Menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya: a. Dengan cepat di sambarnya tas wanita pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar anak ayam. b. Lahap benar makanannya. Seperti orang yang sudah satu minggu tidak ketemu nasi. 4. Menggunakan hubungan sebab-akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atai isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya: a. Dia malas, dan sering kali bolos sekolah. Wajarlah kalau tidak naik kelas. b. Pada pagi hari bus selalu penuh sesak. Bernafas pun susah di dalam bus itu. hubungan generik-spesifik; atau sebaliknya

5. Misalnya:

Menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana. a. Semua anaknya di sekolahkan. Agar kelak tidak seperti dirinya. b. Banyak jembatan layang di bangun di Jakarta. Supaya kemacetan lalu lintas teratasi.

6.

Menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana. Misalnya: a. Becak sudah tidak ada lagi di Jakarta. Kendaraan roda tiga itu sering di tuduh memacetkan lalu lintas. b. Kebakaran sering melanda Jakarta. Kalau dia datang si jago merah itu tidak kenal waktu, siang ataupun malam.

F.

Konsep Kohesi dalam Wacana Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan.7 Pengetahuan strata dan penguasaan kohesi yang baik memudahkan pemahaman tentang wacana. Wacana bernar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap konteks.8 Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan yang padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi adalah aspek internal dari struktur wacana. Tarigan menambahkan bahwa penelitian terhadap unsur kohesi adalah bagian dari kajian tentang aspek formal bahasa, dengan organisasi dan struktur kewacanaanya yang berkonsentrasi pada dan bersifat sintaksis gramatikal.
7 8

Henry Guntur Tarigan, Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Logos, 1987), hlm 96. Ibid., hlm. 97.

10

Wacana yang baik dan utuh adalah jika kalimat-kalimatnya bersifat kohesif. Hanya melalui hubungan yang kohesif, maka ketergantungannya pada unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif khusus yang bersifat lingual-formal.9 Unsur-unsur kohesi wacana terdiri atas dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference (referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi), sedangkan unsur-unsur kohesi leksikal terdiri atas reiteration (reiterasi) dan collocation (kolokasi). Referensi atau penunjukan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya . Dalam konteks wacana, penunjukan terbagi atas dua jenis yaitu penunjukan eksoforik (di luar teks) dan penunjukan endoforik (di dalam teks). Dalam aspek referensi, terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronomina (kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lainnya).10 Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Proses substitusi merupakan hubungan gramatikal dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Elipsis (penghilangan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan itu dapat diperkirakan ujudnya dari konteks luar.11 Konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan seterusnya. Kohesi leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya
9

Ibid., Eva Mulianti, ANALISIS WACANA, (Semarang: Indah Grafika, 1999), hlm. 99. 11 Susilo Supardo, Bahasa Indonesia Dalam Konteks. (Jakarta: P2LPTK, 1988), hlm. 54.
10

11

aspek-aspek leksikal diantaranya adalah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya. G. Kesimpulan Wacana banyak sekali ragam atau jenisnya. Pengelompokkannya antara lain berdasarkan tujuan, berdasarkan cara pemaparan, berdasarkan pelibat dan beradasarkan media. Berdasarkan tujuan wacana dapat dibai menjadi wacana ekspresif, wacana referensial, wacana susastra dan wacana persuasive. Berdasarkan cara pemaparan wacana ini terdiri atas narasi, eksposisi, deskripsi, hortatory, dan procedural. Berdasarkan pelibat wacana dapat dibgai menjadi wacana dialog dan monolog, berdasarkan media ada wacana lisan dan tulisan. Selain itu, wacana merupakan disiplin ilmu yang sudah banyak dibahas dan sedang berkembang pada masa ini. Wacana juga berkaitan erat dengan disiplin ilmu lain. Setelah dikaji lebih dalam mengenai jenis-jenis wacana ini dapat dilihat bahwa ilmu ini tidak hanya sebatas paragraf atau yang lebih besar. Bahkan wacana ini bisa berbentuk satu ujaran saja, hal ini terjadi karena wacana adalah satuan bahasa yang terikat konteks. Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Unsur-unsur kohesi wacana terdiri atas dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference (referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi), sedangkan unsur-unsur kohesi leksikal terdiri atas reiteration (reiterasi) dan collocation (kolokasi).

DAFTAR KEPUSTAKAAN

12

Brown, Gillian dan George Yule. Analisis Wacana, diterjemahkan oleh I. Soetiko, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983. Chaer, Abdul. Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Juita, Novia. Wacana Bahasa Indonesia. Padang: DIP Universitas Negeri Padang, 1999. Mulianti, Eva. ANALISIS WACANA, Semarang: Indah Grafika, 1999. Supardo, Susilo. Bahasa Indonesia Dalam Konteks. Jakarta: P2LPTK, 1988. Tarigan, Henry Guntur. Tata Bahasa Indonesia, Jakarta: Logos, 1987.

13

You might also like