You are on page 1of 8

Infeksi Trypanosoma TRYPANOSOMIASIS Oleh : Junto Julianto

Gambar 1. Trypanosoma sp. Trypanosomiosis merupakan penyakit akibat infeksi dari protozoa genus Trypanosoma. Trypanosoma sp merupakan parasit obligat intercellular, yang berpredileksi pada plasma darah (Levine, 1994). Menurut Carlton dan McGavin (1995), trypanosomiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa berflagel yang terdapat di dalam darah . Penularan penyakit antar hewan melalui vektor arthropoda, seperti lalat tsetse. Penularan penyakit trypanosomiosis antar hewan terjadi melalui darah yang mengandung parasit Trypanozoma sp. Penularan yang paling utama terjadi secara mekanis di Indonesia oleh lalat penghisap darah seperti Tabanus sp., Haematopota sp., dan Chrysops (Reid et al. 2001). Setelah infeksi biasanya trypanosoma bertambah dalam darah secara berkala dan hal ini disertai demam hewan. Bentuk-bentuk trypomasgote masuk ke dalam sistem sel-sel retikulo endothelial, otot-otot bergaris, dan terutama otot jantung menjadi bentuk amastigote. Bentuk ini berkembang biak merusak sel-sel endotel (epimastigote). Kerusakan endotel mengakibatkan perdarahan yang mungkin disebabkan oleh zat toksin dari trypanosoma. Bentuk amastigote berubah menjadi bentuk-bentuk trypomastigote yang masuk kembali ke dalam darah. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi trypanosoma umunya pada segala jenis hewan sama pascamati (Ressang 1984). Sapi yang mengalami trypanosomiasis akut akan menunjukkan gejala anemia yang signifikan, macrocytosis, reticulocytosis, dan hyperplasia marrow erithroid. Temuan nekropsi pada sapi yang mengalami trypanosomiasis antara lain yaitu kaheksia, edema seluruh tubuh dengan meningkatnya cairan di rongga tubuh, pembesaran limfonodus, bronchopneumonia, flabby heart, atropi pericardium, ginjal membesar, hati membesar, dan limpa membesar. Pembesaran limfonodus mencapai empat kali lipat dari ukuran normal, dan lemak sumsum tulang sebagian besar digantikan jaringan hemopoietic merah. (Carlton dan McGavin 1995).

Gambar 2. Siklus hidup Trypanosoma (sumber :http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Trypanosoma) Trypanosoma cruzi (Chagas disease) terjadi pada anjing di Amerika selatan. Inang reservoir meliputi raccon, opossums, armadillos, dan skunks dan transmisinya ke anjing melalui serangga hemiptera. Gejala klinis yang terjadi tachycardia, membrane mukosa pucat, dan pembesaran limfonodus. Pengujian laboratorium ditemukan beberapa tripanosoma diantara sel darah, dan buffy coat smears. Pemeriksaan postmortem ditemukan adanya gagal jantung, edema paru-paru, ascites, dan hati mengalami kongesti. Lesio pada jantung banyak terjadi pada jantung kanan, termasuk keduanya terlihat fokus miokardium berwarna kuning-putih (myocarditis dan nekrosa miokardium) dan, pada kejadian kronis flaccidity dan dilatasi dari miokardium. Trypanosomiasis juga dapat menyebabkan lesio pada otot atau fokus myositis.(Carlton dan McGavin 1995).

1. Infeksi Trypanosoma (Siklus hidup dan Dampak Patologis) 1. A. Siklus Hidup Penularan trypnosoma ke tubuh hospes melalui dua cara, yaitu dengan penularan secara mekanik dan penularan secara biologi. Penularan secara mekanik merupakan penularan saat trypanosoma yang diisap artropoda penghisap darah tidak mengalami perkembangan apapun di dalam tubuh artropoda dan daya tahan hidupnya di dalam proboscis tidak terlalu lama kira-kira 10 15 menit. Penularan terjadi secara langsung dimana saat artropoda menghisap darah penderita yang mengandung Tripanosoma, kurang dari (10 15 menit) menghisap darah hewan lainnya, sehingga tripanosoma yang terdapat didalam proboscis pada saat menghisap darah akan terlepas mengikuti aliran darah dan terjadi penularan (Anonim, 2009).

Penularan secara biologi diawali saat trypanosoma dihisap oleh arthopoda dimana tripanosoma yang terisap oleh artropoda penghisap darah, di dalam tubuh artropoda mungkin hanya akan terjadi pendewasaan (siklo developmental), perbanyakan atau penggandaan (Siklo-propagatif) dan perkembangbiakan (propagatif). Di dalam tubuh artropoda penghisap darah, akan ditemukan stadium Leishmania, Leptomonad, Kritidia dan Trypanosoma Metasiklik. 1. Stadium Leismania atau Amastigot berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai satu inti dan satu kinetoplas serta tidak mempunyai flagela. Bersifat intraseluler. Besarnya 2-3 mikron. 2. Satdium Leptomonas atau prosmatigot berbentuk memanjang mempunyai satu inti di tengah dan satu flagela panjang yang keluar dari bagian anterior tubuh tempat terletaknya kinetoplas, belum mempunyai membran bergelombang, ukurannya 15 mikron. 3. Stadium Kritidia atau Epimastigot berbentuknya memanjang dengan kinetoplas di depan inti yang letaknya di tengah mempunyai membran bergelombang pendek yang menghubungkan flagela dengan tubuh parasit, ukurannya 15-25 mikron. 4. Stadium Tripanosoma metasiklik atau Tripomastigot berbentuk memanjang dan melengkung langsing, inti di tengah, kinetoplas dekat ujung posterior, flagela membentuk dua sampai empat kurva membran bergelombang, ukurannya 20-30 mikron Pada setiap stadium tersebut dapat terjadi (pendewasaan, perbanyakan atau penggandaan dan perkembangbiakan). Trypanosoma metasiklik merupakan bentuk infektif dari vektor dan vektor yang mengandung bentuk infektif ini akan tetap infektif seumur hidupnya dan waktu yang diperlukan parasit untuk membentuk bentuk inektif adalah 20-30 hari (Siahaan, 2004). Setelah terbentuk Trypanosoma metasiklik. Terdapat 2 tipe cara pembentukan dan penularannya antara lain : 1. 1. Salivari (Gerup Anterior station, Gerup B). Yaitu perkembangan Trypanosoma dimulai di mid-gut, lalu berlangsung di daerah proventrikulus untuk kemudian terjadi di kelenjar ludah. Penularan ke vertebrata terjadi melalui gigitan. Spesies yang penularannya secara salivari anatara lian : T. gambiense, T. Rhodesiense dan T. BruceiT. Vivax, T. Uniforme, T. Congolense, T. Dimorphon, T. Simiae, T. Suis, T. Brucei. 2. 2. Stercoraria (Posterior station Gerup, Lewisi Gerup, Gerup A), Yaitu trypanosoma yang mula mula berkembang di usus, kemudian akan mencapai hind-gut yang terletak di belakang. Penularan terjadi dengan melalui mulut, karena termakannya tinja serangga atau luka gigitan serangga yang tercemar dengan tinja serangga penular pada Cara penularan Posterior stasiun gerup untuk spesies antara lain : T. theileri, T. melaphagium, T. duttoni, T. nabiasi, T. rangeli dan T. Avium. T. Lewis. T. Cruzi (Anonim, 2009 ). Spesies yang sering menyerang hewan di Indonesia adalah Trypanosoma evansi. Hewan yang paling peka dengan spesies ini adalah kuda, sedang yang paling rentan adalah onta dan anjing, sedang ruminansia kurang begitu rentan. Predileksi di plasma darah. Spesies-spesies lainnya antara lain adalah : NO SUB GENUS SPESIES HEWAN TERSERANG

TRYPANOSOMA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Megatrypanum (siklus biologi) Megatrypanum (siklus biologi) theileri melophagium Sapi domba tikus mencit kelinci Manusia, anjing, kucing Anjing burung Sapi, domba, kambing Sapi, domba, kambing Sapi, kambing, domba,kuda, babi Sapi, domba, kuda, babi Babi, sapi, kuda babi

Herpetosoma (siklus biologi) lewisi Herpetosoma (siklus biologi) duttoni Herpetosoma (siklus biologi) nabiasi Schizotrypanum (siklus biologi) Schizotrypanum (siklus biologi) Schizotrypanum (siklus biologi) Duttonella (siklus biologi) cruzi rangeli avium vivax uniforme

10 Duttonella (siklus biologi)

11 Nannomonas (siklus biologi) congolense 12 Nannomonas (siklus biologi) dimorphon 13 Nannomonas (siklus biologi) simiae 14 Pyctomonas (siklus biologi) suis

15 Trypanozoon (siklus biologi) brucei 16 Trypanozoon (siklus biologi) rhodesiense 17 Trypanozoon (siklus biologi) gambiense Trypanozoon (silkus 18 equinum mekanis) 19 Trypanozoon (siklus mekanis) equiverdum

Ternak peliharaan Utamanya pada manusia dan juga pada antelop Utamanya pada manusia Bangsa kuda Bangsa kuda

(Soulsby, 1982)

Vektor dari pembawa parasit ini oleh lalat penghisap darah (Tabanus, Chrysops, Stomoxys, Haematopota, Lyperosia, Haematobia), selain itu artropoda lain seperti nyamuk (anopheles), Lalat (Musca) Pinjal, Kutu dan sengkenit (Caplak) dapat sebagai vektor, secara mekanik murni (trypanosoma sp) tidak mengalami perkembangan di dalam tubuh lalat (4) dan tidak tahan hidup lebih dari 10 15 menit didalam proboscis vektor (Anonim, 2009). 1. Dampak Patologis 1. Pada Sapi dan Kerbau, Trypanosoma evansi dapat menyebabkan penyakit surra. Penyakit ini mempunyai sifat mortalitas rendah dan morbiditasnya tinggi. Kerbau diduga lebih peka daripada sapi terhadap T. evansi (Tampubolon, 1995). Pada hewan yang mempunayi kondisi tubuh baik, derajat parasitemianya lebih tinggi dan lebih lama dibandinkan dengan hewan yang mempunai kondisi tubuh jelek. Hal ini disebabkan karena pada hewan dengan kondisi tubuh yang aik mempunyai kadar glukosa darah yang lebih tinggi dan lebih baik, karena darah dengan makanan baik merupakan media yang baik bagi pertumbuhan parasit dibandingkan dengan darah dengan makanan yang jelek (Martindah, 2009). 1. Kambing, sapi, babi dan binatang liar lainnya, Trypanosoma Gambiense dapat menyebabkan penyakit Trypanosomiasis gambia. Penyakit ini dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia. Vektor dari pembawa parasit ini adalah lalat tsetse jantan maupun betina terutama Glossina palpalis. Hidupnya didalam darah (Haemoflagellates) (Siahaan, 2004). 2. 3. Trypanosoma equiperdum menyebabkan penyakit dourine pada kuda. 3. 4. Trypanosoma brucei menyebabkan penyakit nagana didaerah afrika pada binatang ruminansia dengan vector lalat tse-tse. 4. 5. Trypanosoma simiae menyebabkan infeksi pada biri-biri, babi hutan, monyet, kuda di daerah Afrika. 5. 6. Trypanosoma congolen menyebabkan penyakit yang melemahkan pada hewan memamah biak di daerah Afrika (Brown, 1982). 6. III. Diagnosis Trypanosoma Diagnosis secara klinis atau gejala secara klinis secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian, antara lain adalah 1. Fase awal (Initial stage)

Pada fase ini ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah gigitan lalat tsetse. Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk ulkus atau parut (primary chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya mereda dalam waktu 1-2 minggu. 1. Fase penyebaran (Haemoflagellates stage) Setelah fase awal mereda, parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah bening (parasitemia). Gejala klinis yang sering muncul adalah hewan terasa demam yang tidak teratur (kenaikan suhu badan 1-5 hari setelah infeksi, kepala pada hewan sakit, nyeri pada otot dan persendian hewan. Tanda klinis yang sering muncul antara lain : Lymphadenopati, lymphadenitis yang terjadi pada bagian posterior kelenjar cervical (Winterbottons sign), papula dan rash pada kulit. Pada fase ini juga terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel endotel, sel limfoid dan sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya pelunakan jaringan iskemik dan perdarahan di bawah kulit (ptechial haemorhagic). Parasitemia yang berat (toksemia) dapat mengakibatkan kematian pada hewan. 1. Fase kronik (Meningoencephalitic stage) Pada fase ini terjadi invasi parasit ke dalam susunan saraf pusat dan mengakibatkan terjadinya meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis. Demam dan sakit kepala menjadi lebih nyata. Terjadi juga gangguan ekstrapiramidal dan keseimbangan otak kecil menjadi nyata. Pada kondisi yang lain dijumpai juga perubahan mental yang sangat nyata. Gangguan gizi umumnya terjadi dan diikuti dengan infeksi sekunder oleh karena immunosupresi. Jumlah lekosit normal atau sedikit meningkat. Bila tercapai stadium tidur terakhir, hewan sukar dibangunkan. Kematian dapat terjadi oleh karena penyakit itu sendiri atau diperberat oleh kelemahan tubuh (Siahaan, 2004). Gejala-gejala klinis yang lain antara lain : 1. a. Pada ruminanssia, tanda yang paling utama adalah anemia, pembesaran glandula limfatik superficial, penurunan berat badan, demam dan kehilangan nafsu makan terjadi berselang-seling selama puncak parasitaemik. 2. b. Pada penyakit yang kronis, jika tidak diobati akan fatal. 3. c. Pada kasus yang berat, hewan muda tidak akan tumbuh dengan sempurna, hewan yang sudah tua akan mengalami penurunan fertilitas, dan pada hewan yang hamil dapat tterjadi abortus atau anak yang lahir lemah. 4. d. Pada tahap akhir, hewan akan sangat lemah, ukuran nodus limfatik berkurang dan pulsus jugularis juga berkurang. Gagal jantung yang berhubungan dengan anemia dan myokarditis dapat menimbulkan kematian. Pada beberapa strain dari T.vivax, penyakit menjadi akut dengan kematian terjadi 2-3 minggu. Infeksi diikuti dengan demam, anemia, dan hemorrhage. 5. e. Pada kuda, infeksi T.brucei biasanya akut atau kronik yang sering disertai dengan edema pada kaki dan genital.

6. f. Pada babi, infeksi T.congolense biasanya kronis dan berkebalikan dengan T.simine dimana penyakit yang ditimbulkan biasanya hiperakut dan kasus kematian dapat terjadi hanya dalam sehari. 7. g. Pada anjing dan kucing, infeksi biasanya dilakukan oleh T,bucei dan T. congolense. Penyakitnya biasanya akut dan ditandai dengan demam, anemia, myokarditis, korneanya buram. Perubahan neurologist dapat terjadi dan menghasilkan keagresifan, ataxia, atau konvulsi (Kauffmann.1996) Apabila dilihat diagnose secara parasitoogi, apabila terjangkit atau terinfeksi Trypanosoma maka akan ditemukan trypanosoma metasiklik di dalam tubuh hospes tepatnya di darah perifer atau di plasma darah. Trypanosome metasiklik memiliki flagella, inti (besar dan lonjong) di sentral, serta kinetoplast (blat atau batang) di pingir, dan terdapat flegela. Gejala kronis pada kerbau apabila terinfeksi Trypanosoma evansi adalah, bulu dan kulit menjadi kasar, hewan menjadi kurus dan nampak lemah, dan menunjukkan tanda-tanda paresis. Gejala klinis pada kerbau lebih nampak dibandingkan dengan sapi, dan lebih jelas terhadap hewan muda daripada hewan tua (Martindah, 2009). 1. IV. Pengobatan dan Pencegahan Trypanosoma 1. A. Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara bervariasi, namun apabila telah megenai system saraf pusat pengobtan kuarng baik untuk dilakukan. Pengobatan dapat dilakukan antara lain 1. Eflornithine dengan dosis 400 mg/kg/hari IM atau IV dalam 4 dosis bagi, selama 14 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral 300 mg/kg/hari sampai 30 hari. 2. Suramin dengan dosis 1 gr IV pada hari ke 1,3,7,14,21 dimulai dengan 200 mg untuk test secara IV. Dosis diharapkan memcapai 10 gram. Obat ini tidak menembus blood-brain barrier dan bersifat toksis pada ginjal. 3. Pentamadine, dengan dosis 4 mg/kg/hari/hari IM selama 10 hari.4,7,8 4. Melarsoprol, dengan dosis 20 mg/kg IV dengan pemberian pada hari ke 1,2,3,10,11,12,19,20,21 dan dosis perharinya tidak lebih dari 180 mg. Enchephalopati dapat muncul sebagai efek pemberian obat ini . Hai ini terjadi oleh karena efek langsung dari arsenical (kandungan dari melarsoprol) dan juga oleh karena reaksi penghancuran dari Trypanosma (reactive enchepalopathy). Bila efek tersebut muncul, pengobatan harus dihentikan (Siahaan, 2004). 5. Pemberian Quinapyramin dosis 3 mg/kg bb dan pemberian suramin dosis 4 g intra vena. 6. B. Pencegahan Pencegahan infeksi ini dapat dilkukan ketika tahu terlebih dahulu faktor pemicu dari infekis ini, faktor pemicunya antara lain : 1. Stress 2. Cara pemeliharaan 3. Hewan dalam transportasi

4. Infeksi campuran (infeksi campuran antara T. evansi dengan kudis atau neoaskaris merupakan penyebab anak hewan menajdi kerdil. Karena terdapat imunosupresi dari infeksi ini sehingga hewan mudah terkena scabies. 5. Adanya perbedaan respon imunologik anatar hewan yang pernah terinfeksi dengan hewan yang belum pernah terinfeksi (Martindah, 2009). Maka, setelah diketahui faktor pemicu, jadi pencegahan yang harus dilakukan antara lain : 1. Mengurangi sumber ineksi Pengurangan sumber infeksi dapat dilakukan dengan cara melakukan pengobatan secara tuntas pada hewan yang terinfeksi 1. Melindungi hewan terhadap infeksi Melindungi hewan dapat dengan menjauhkan hewan dari habitat vector. Atau dapat dilakukan skrining serologi pada semua hewan yang berisiko dan yang berasal atau keluar dari daerah endemic. 1. Mengendalikan vector Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan mengurangi tempat hidup dan perindukan vektor. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida untuk mengurangi jumlah lalat dewasa. Profilaksis secara umum tidaklah direkomendasikan oleh para ahli dan sampai saat ini belum ditemukan vaksin bagi penyakit ini (Siahaan, 2004). http://imamabror.wordpress.com/2012/10/18/respon-imun-terhadap-trypanosoma/

You might also like