You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas perairan ditentukan oleh faktor biologis, faktor kimia, dan faktor fisika.

Salah satu faktor kimia adalah kelarutan oksigen (DO) dan derajat keasaman (pH). Menurut Yuliani dan Raharjo (2013), fluktuasi kualitas air dipengaruhi antara lain oleh agitasi udara, fotosintesis tumbuhan air, dan aktivitas mikroba dekomposter. Kadar oksigen rendah dan pH yang rendah akan berpengaruh terhadap aktivitas respirasi ikan. Kadar kelarutan oksigen menentukan kualitas suatu perairan, semakin tinggi kualitas air semakin baik kehidupan ikan dan organisme air lain di dalamnya. Proses metabolisme ikan membutuhkan oksigen untuk menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. Sumber utama oksigen dalam perairan berasal dari proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis tumbuhan yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara, kadar garam (salinitas), luas daerah permukaan perairan yang terbuka, tekanan atmosfer, dan prosentase oksigen di sekelilingnya (Edward dan FS. Pulumahuny, 2003). Ph sangat penting sebagai parameter kualitas air karena dapat mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air, selain itu ikan dan mahluk-mahluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan organisme air termasuk di dalamnya ikan dan tumbuhan air. Ikan akan melakukan mekanisme homeostasi yaitu dengan berusaha untuk membuat keadaan stabil sebagai akibat adanya perubahan variabel lingkungan. Mekanisme homeostasis ini terjadi pada tingkat sel yaitu dengan pengaturan metabolisme sel, pengontrolan permeabilitas membran sel dan pembuangan sisa metabolisme. Reaksi enzimatis sangat bergantung pada suhu, karena aktifitas metabolisme di berbagai jaringan atau kehidupan suatu organism bergantung pada kemampuan untuk mempertahankan suhu yang sesuai dengan dalam tubuhnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan praktium dengan judul Pengaruh Kadar Oksigen Terlarut (DO) dan Derajat Keasaman (pH) terhadap Aktivitas Ikan Nila (Oreochromis niloticus) untuk mengetahui pengaruh DO dan pH terhadap aktivitas ikan nila dan mempelajari hubungan antara oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman (pH) di suatu ekosistem. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh kadar oksigen terlarut (DO) dan kadar pH terhadap aktivitas ikan nila merah (Oreochromis niloticus) di kondisi terang maupun gelap? 2. Bagaimana hubungan antara oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman (pH) di suatu ekosistem? C. Tujuan Adapun tujuan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh kadar oksigen terlarut (DO) dan kadar pH terhadap aktivitas ikan nila merah (Oreochromis niloticus) di kondisi terang maupun gelap. 2. Untuk mempelajari hubungan antara oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman (pH) di suatu ekosistem.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) Ikan nila (Oreochromis niloticus) termasuk dalam genus Oreochromis yang merupakan spesies yang berasal dari kawasan sungai Nil dan danau-danau sekitarnya di Afrika. Jenis ini merupakan ikan konsumsi air tawar yang banyak dibudidayakan di lebih dari 85 negara. Saat ini telah tersebar ke negara beriklim tropis dan subtropis, sedangkan di wilayah iklim dingin tidak dapat hidup dengan baik (Sugiarto,1988 dalam Suyono, dkk 2011). Ikan nila merah mempunyai sifat omnivora yang dapat memanfaatkan plankton dan perifiton, serta dapat mencerna alga biru dan alga hijau sebagai makanan alaminya. Ikan nila merah mempunyai ciri-ciri morfologi seperti bentuk tubuh memanjang, pipih ke samping, dan warna putih kehitaman. Selain itu, mempunyai garis vertikal sepanjang tubuh sebanyak 9 11 buah, garis-garis pada sirip ekor bewarna merah, dan berjumlah 6 12 buah, pada sirip punggung terdapat garisgaris miring, mata tampak menonjol dan besar, gurat sisi (linea lateralis) terputus di bagian tengah badan kemudian berlanjut tetapi letaknya lebih ke bawah daripada letak garis yang memanjang diatas sirip dada, sirip punggungnya bewarana hitam, tetapi bagian pinggir bewarna abu-abu hitam (Khairul dan Khoiruman, 2008 dalam Suyono dkk, 2011).

Gambar 2.1 Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) Sumber: (http://bisnisukm.com/sukses-budidaya-ikan-nila.html)

Ikan nila merah merupakan ikan tropis yang menyukai perairan yang dangkal. Ikan nila merah dikenal sebagai ikan yang tahan terhadap perubahan lingkungan tempat hidupnya. Ikan nila merah hidup di lingkungan air tawar, air

payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0 35 ppt. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi bertahap. Kadar garam air dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan ikan nila secara mendadak ke dalam air yang kadar garamnya sangat berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Suyanto, 2004 dalam Jaya, 2012). Tempat hidup ikan nila merah biasanya berada pada perairan yang dangkal dengan arus yang tidak begitu deras, ikan ini tidak suka hidup di perairan yang bergerak (mengalir), akan tetapi jika dilakukan perlakuan terhadap ikan nila seperti pengadaptasian terhadap lingkungan air yang mengalir maka ikan nila juga bisa hidup baik pada perairan yang mengalir. (Djarijah, 2002 dalam Jaya, 2012). Lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 14C 38C, atau suhu optimal 25C 30C. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang dari 14C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 30C akan menghambat pertumbuhan nila. Ikan nila merah memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Batas bawah dan batas atas suhu yang mematikan ikan nila berturut-turut adalah 11 12C dan 42C. Keadaan pH air antara 5 11 dapat ditoleransi oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7 8. Ikan nila merah masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada salinitas 0 35 ppm. Oleh karena itu, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997 dalam Jaya, 2012).

B. Fisiologi Respirasi Ikan Sebagai biota perairan, Ikan merupakan mendapatkan Oksigen terlarut dalam air. Pada hampir semua Ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas, insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya (Fujaya. 2004). Menurut Sukiya (2005), Setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan masuk menuju farink kemudian keluar lagi melalui melewati celah insang, peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya Sukiya menambahkan

bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang diselubungi epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam air. Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk mengeluarkan air dari insang yang disebut operculum yang membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral insang. Laju gerakan operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan (Fujaya. 2004). C. Pengaruh Kelaruan Oksigen Terhadap Fisiologi Ikan Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/L. Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang larut di perairan bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Effendi, 2003). Kandungan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) minimal 4 ppm. Beberapa ikan hidup dengan baik pada kandungan oksigen kurang dari 4 ppm, terutama ikan-ikan yang mempunyai alat pernafasan tambahan, yang memungkinkannya mengambil oksigen langsung dari udara bebas seperti lele (Clarias sp.), sepat (Trichogaster sp.), gabus (Channa striata), gurami (Osphronemus gouramy) (Effendi, 2003). Kelarutan oksigen yang rendah dalam air dapat menghambat aktivitas ikan. Oksigen diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh. Kebutuhan oksigen pada masing-masing spesies berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini karena perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempunyai hubungan antara tekanan partial oksigen dalam air dan dengan keseluruhan oksigen dalam sel darah (Brown and Gratzek, 1980). Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya sangat kecil sehingga tidak menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo et al, 1995). Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme perairan. Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan dalam Effendi (2003) sebagai berikut:

Tabel 2.1. Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruhnya pada Kelangsungan Hidup Ikan

D. Hubungan pH dan DO dengan Aktivitas Ikan Suatu komunitas yang berinteraksi dengan komunitas lainnya dan dengan lingkungannya (air, udara, suhu,cahaya) disebut ekosistem. Ekosistem berjalan dinamis, karena komunitas tumbuhan dan hewan yang terdapat dalam beberapa ekosistem secara gradual selalu berubah karena adanya perubahan komponen ligkungan fisiknya. Organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem mempunyai kemampuan untuk melawan atau mengatasi perubahan atau tekanan dari luar. Dengan kata lain ekosistem itu memiliki beberapa tingkatan stabilitas. Setiap organisme mempunyai kisaran toleransi tertentu terhadap faktor lingkungan fisik dan kimia. Adapun sifat-sifat kimianya antara lain pH dan DO.

E. Pengaruh pH terhadap Aktivitas Ikan Kondisi asam atau basa pada perairan ditentukan berdasarkan nilai pH (power of hydrogen). Nilai pH berkisar antara 0-14, yang mana pH 7 merupakan pH normal. Kondisi pH kurang dari 7 menunjukkan air bersifat asam, sedangkan pH di atas 7 menunjukkan kondisi air bersifat basa. Makhluk hidup atau biota perairan tawar masing-masing memiliki kondisi pH yang berbeda-beda. Pengaruh pH pada biota terletak pada aktivitas enzim, misalnya dalam pH asam, enzim akan mengalami protonasi. Keasaman juga berpengaruh pada tingkat kelarutan suatu nutrien dalam perairan, yang menentukan keberadaan suatu organisme. Polusi juga bisa diindikasi dari pH yang terkait dengan konsentrasi oksigen (pH rendah pada konsentrasi oksigen rendah). Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai pH netral. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat asam maupun basa membahayakan karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Nilai pH rendah dapat menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat semakin tinggi sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak akan terganggu sehingga dapat menyebabkan meningkatkan konsentrasi amoniak yang bersifat toksik bagi organisme (Barus, 2001). Derajat keasaman perairan juga dipengaruhi oleh keadaan tanah. Nilai pH asam tidak baik untuk budidaya ikan dimana produksi ikan dalam suatu perairan akan rendah. Pada pH air netral sangat baik untuk kegiatan budidaya ikan, biasanya berkisar antara 7 8, sedangkan pada pH basa dan asam tidak baik untuk kegiatan budidaya. Pengaruh pH air pada perairan dapat berakibat terhadap komunitas biologi perairan, untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2. Pengaruh pH Air Terhadap Komunitas Biologi Perairan (Effendi, 2003)

Perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tinggi atau rendahnya pH air dipengaruhi oleh senyawa / kandungan dalam air tersebut. Faktor yang mempengaruhi pH air yaitu sisa-sisa pakan dan kotoran yang mengendap di dasar kolam. Selain itu juga berasal dari kandungan CO2 yang tinggi hasil pernafasan (terjadi menjelang fajar sampai pagi hari). Dampak perubahan pH : a. Terganggunya proses metabolisme ikan b. Ikan mudah terserang penyakit c. Pertumbuhan menurun, stress d. pH tinggi dapat meningkatkan kandungan ammonia sehingga kualitas air terganggu. Cara mengatasi pH air, diantaranya yaitu : a. Sebelum pengisian air, kolam dikeringkan kemudian diberi kapur secara merata. b. Dilakukan pengendapan sebelum air dimasukkan ke dalam kolam

c. Penggantian air untuk membuang sisa-sisa pakan dan kotoran dari dasar kolam. Keasaman ditentukan dengan memakai kertas pH universal dan pH meter. Pengukuran dilakukan dengan variasi waktu siang dan malam. Langkah tersebut didasarkan pada perbedaan aktivitas biota pada siang dan malam hari. Pengambilan lokasi bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti transek pada kedalaman yang berbeda dan tempat-tempat yang memiliki potensi menimbulkan pencemaran (sumber pencemaran terpusat). Kisaran optimal fluktuasi nilai pH air pagi dan sore adalah 0,2-0,5. Fluktuasi nilai pH harian yang lebih dari 0,5 menunjukan bahwa karbonat dalam air sebagai penyangga adalah kurang. Sebaliknya bila fluktuasi kurang dari 0,2 atau bahkan sore hari sama dengan pagi hari, menunjukkan fotosintesis tidak berjalan normal. Kondisi lingkungan lebih berbahaya bila nilai pH pagi lebih tinggi dari sore hari. Fluktuasi harian kandungan oksigen terlarut ditentukan kepadatan biota yang ada dalam air terutama phytoplankton dan makroalga yang merupakan produsen primer. Untuk menjaga oksigen terlarut tetap pada kondisi optimal adalah dengan pemanfaatan proses fotosintesa, penggunaan aerasi dan mengatur jumlah densitas plankton dan tanaman air. Kedalaman air optimal tambak sederhana yang tidak menggunakan aerasi adalah 2 x nilai kecerahan. Hubungan pH dengan suhu adalah derajat keasaman air pH = -log (H)+. Ukuran konsentrasi ion Hidrogen (mol per Liter) menunjukkan suasana asam atau basa suatu perairan.

F. Pengaruh DO (Oksigen Terlarut) terhadap Aktivitas Ikan Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan

anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang, dan pasang surut. Odum (1993) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahanbahan organik dan anorganik. Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktivitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm di dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme. Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70%. Menurut Boyd (1990) dalam Fika (2009), jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh organisme akuatik tergantung spesies, ukuran, jumlah pakan yang dimakan, aktivitas, suhu, dan lain-lain. Konsentrasi oksigen yang rendah dapat menimbulkan anorexia, stress, dan kematian pada ikan. Bila dalam suatu kolam kandungan oksigen terlarut sama dengan atau lebih besar dari 5 mg/l, maka proses reproduksi dan pertumbuhan ikan akan berjalan dengan baik. Pada perairan yang mengandung deterjen, suplai oksigen dari udara akan sangat lambat sehingga oksigen dalam air sangat sedikit. Oksigen terlarut yang terkandung di dalam air, berasal dari udara dan hasil proses fotosintesis

10

tumbuhan air. Oksigen diperlukan oleh semua mahluk yang hidup di air seperti ikan, udang, kerang dan hewan lainnya termasuk mikroorganisme seperti bakteri. Oksigen merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran makhluk hidup di dalam air. Kepekatan oksigen terlarut bergantung kepada : a. Suhu. b. Kehadiran tanaman fotosintesis. c. Tingkat penetrasi cahaya bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air. d. Tingkat kederasan aliran air. e. Jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri (Sastrawijaya, 2000). Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm (5 part per million atau 5 mg oksigen untuk setiap liter air). Selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar, suhu, pH, ketersediaan bahan organik, mineral, dan sebagainya. Rusaknya kadar kimia air akan berpengaruh terhadap fungsi dari air. Besarnya beban pencemaran yang ditampung oleh suatu perairan, dapat diperhitungkan berdasarkan jumlah polutan yang berasal dari berbagai sumber aktivitas air buangan dari proses-proses industri dan buangan domestik yang berasal dari penduduk. Telah banyak dilakukan penelitian tentang pengaruh air buangan industri dan limbah penduduk terhadap organisme perairan, terutama pengaruhnya terhadap ikan. Akibat yang ditimbulkan antara lain dapat menyebabkan kelumpuhan ikan, karena otak tidak mendapat suplai oksigen serta kematian karena kekurangan oksigen (anoxia) yang disebabkan jaringan tubuh ikan tidak dapat mengikat oksigen yang terlarut dalam darah (Sastrawijaya, 2000). Untuk mengetahui kualitas air dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan mengamati beberapa parameter kimia, seperti oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dan kebutuhan oksigen biologis (Biological Oxygen Demand = BOD). Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan cara metode titrasi dengan cara WINKLER. Metode titrasi dengan cara WINKLER secara

11

umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH - KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atau HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standart natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji encer). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut: a. MnCl2 + NaOH Mn(OH)2 + 2 NaCl b. 2 Mn(OH)2 + O2 2 MnO2 + 2 H2O c. MnO2 + 2 KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH d. I2 + 2 Na2S2C3 Na2S4O6 + 2 NaI Penentuan oksigen terlarut (DO) dengan cara titrasi berdasarkan metode WINKLER lebih analitis apabila dibandingkan dengan cara alat DO meter.

12

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Praktikum Jenis praktikum ini bersifat eksperimen karena menggunakan variabelvariabel praktikum, yaitu variabel manipulasi, variabel kontrol, dan varibel respon serta adanya perlakuan. B. Waktu dan Tempat Praktikum Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 29 dan 30 April 2013 di Laboratorium Fisiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya. C. Variabel Praktikum 1. Variabel kontrol 2. Variabel manipulasi 3. Variabel respon D. Alat dan Bahan 1. Alat a. Botol winkler c. Erlenmeyer d. Pipet e. Gelas ukur 2. Bahan a. Air kolam bersih b. Air isi ulang c. Ikan nila d. MnSO4 e. KOH-KI 1000 ml 2000 ml 9 ekor 20 ml 20 ml f. H2SO4 g. Na2S2O3 i. Hydrilla sp j. Pakan ikan 20 ml 40 ml 3 buah 3 buah 5 buah 3 buah f. Kertas lakmus g. Gelas beker h. Alat pemanas air (hitter) 3 buah 1 buah b. Toples plastik transparan 3 buah : Volume air dan ukuran toples. : Sumber cahaya, jumlah ikan, pakan ikan, dan media air. : Kadar DO dan kadar PH

h. Larutan amilum 1% 10 ml

13

E. Prosedur Kerja 1. Menyiapkan alat dan bahan praktikum. 2. Membuat media air. Pembuatan media air ini dilakukan 24 jam sebelum praktikum dengan terlebih dahulu menyiapkan toples yang telah diberi label huruf A, B, dan C pada masing-masing toples, air, dan ikan mas. Pembuatan media air pada tiap toples adalah sebagai berikut : a. Toples A diberi air kolam sebanyak 750 ml. Membiarkan toples dalam keadaan terbuka dan ditempatka di tempat yang terkena cahaya matahari dengan harapan terkena angin dan terjadi fotosintesis pada alga hijau atau biru. b. Toples B diisi air isi ulang sebanyak 750 ml dan memasukkan 1 ekor ikan. Kemudian toples ditutup dan ditempatkan di tempat yang teduh. c. Toples C diisi air isi ulang 750 ml dan memasukkan 2 ekor ikan dan diberi pakan ikan yang mudah hancur/ lembek dalam air. Kemudia toples ditutup dan diletakkan di tempat yang teduh. 3. Setelah 1 x 24 jam, mengamati semua toples dan melihat perubahan yang terjadi. Demikian pula mencatat jika terjadi perubahan pada ikan. Kemudian melakukan pengukuran DO dan pH dari masing-masing media air (A, B, dan C). a. Pengukuran kadar DO 1) Mengambil sampel air dengan botol winkler gelap, usahakan tidak ada O2 yang terperangkap 2) Menambahkan MnSO4 2 ml dan KOH-KI 2 ml (dengan membuka botol winkler secara kati-hati) kemudian dikocok pelan (membolak-balik botol secara hati-hati hingga perekasi tercampur dengan air sampel). Diamkan selama 10 menit sampai terbentuk dua lapisan. 3) Menambahkan H2SO4 pekat 2 ml ke dalam botol secara hati-hati, mengocok botol hingga larutan tercampur, kemudian melakukan titrasi. 4) Mengambil 100 ml sampel yang mendapat perlakuan tadi dan memasukkan ke dalam erlenmeyer. Melakukan titrasi dengan Na2S2O3 sampai terjadi perubahan warna (dari coklat menjadi kuning muda).

14

Kemudian menambahakan amilum (1%) 10 tetes hingga tampak warna biru dan melanjutkan titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna biru hilang. 5) Menghitung DO dengan rumus sebagai berikut :
DO = a.N .8000 vol.btl.Winkler 4

Keterangan : a N : volume titrasi yang dipakai : konstanta 0,025

6) Mencatat hasil ke dalam tabel. b. Pengukuran pH 1) Mengambil sampel air. 2) Mengukur derajat keasaman dengan menggunakan kertas lakmus. 4. Setelah dilakukan pengukuran DO dan pH, kemudian pada masing-masing air diberi perlakuan sebagai berikut: a. Pada toples A, memasukkan 2 ekor ikan yang baru. b. Pada toples B, mengambil ikan yang telah dipelihara selama 24 jam, kemudian memasukkan lagi 2 ekor ikan yang baru. c. Pada toples C, mengambil ikan yang telah dipelihara selama 24 jam, kemudian memasukkan lagi 2 ekor ika yang baru. 5. Selanjutnya mengamati ventilasi respirasi ikan yang dipelihara pada ketiga toples tersebut. Selain itu melakukan penghitungan membuka dan menutupnya operkulum ikan per satuan waktu (menit I, II, III). F. Rancangan Penelitian Menyiapkan 3 percobaan masing-masing terdiri dari 1 toples. Tandai toples dengan kode A, B, dan C.

Mengisi setiap toples dengan air kira-kira 750 ml

15

Toples A diisi air kolam sebanyak 750 ml

Toples B diisi air isi ulang sebanyak 750 ml, memasukkan 1 ekor ikan.

Toples C diisi air isi ulang 750 ml, memasukkan 2 ekor ikan dan diberi pakan.

Menutup semua toples rapat-rapat, usahakan agar tutup tersebut tidak bocor.

Menempatkan toples A di tempat yang terkena matahari. Menempatkan toples B dan C di tempat yang teduh.

Setelah 1 x 24 jam, amati semua toples dan lihat perubahan yang terjadi. Demikian pula catatlan bilamana terjadi perubahan pada ikan.

Setelah pengamatan selesai lakukan pengukuran terhadap kadar DO dan pH.

Pengukuran pH Mengambil sampel air kemudian mengukur derajat keasaman dengan menggunakan kertas lakmus.

16

Pengukuran DO

Botol winkler gelap diisi air sampel Kuning tua Langsung dibawa ke laboratorium Kuning muda

100 ml sample dititrasi Na2S2O3

Ditambah larutan MnSO4 2 ml

Kuning muda

Ditambah larutan KOH-KI 2 ml

Ditambah 10-20 tetes amilum Biru

Dihomogenkan dan di biarkan mengendap 1/3 botol

Dititrasi Na2S2O3

Ditambah larutan asam sulfat pekat 2 ml

Warna biru hilang

Volume titran Endapan hilang DO

17

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Tabel 4.1 Pengaruh DO dan pH Terlarut terhadap Aktivitas Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus)
Media Air DO (ppm) Ventilasi per menit Ikan 1 1 = 98 2 = 82 3 = 72 x = 84 Ikan 2 1 = 96 2 = 88 3 = 69 x = 83 Ikan lama : Ikan baru : Pergerakan ikan tenang, berenang di dasar dan jarang ke permukaan. Ikan lama : Ikan masih dapat hidup dengan normal dan keadaan air tetap jernih. Ikan baru : Ikan tidak selalu berada di dalam air tetapi terkadang muncul ke permukaan untuk bernafas. Keadaan air tetap jernih. Ikan lama : 1 ekor ikan mati dan 1 ekor lainnya selalu berenang ke permukaan untuk bernafas. Keadaan air berbusa dan berlendir. Ikan baru : Semua ikan selalu berenang ke permukaan untuk bernafas, pergerakan ikan cepat (agresif). Keadaan air berbusa dan keruh.

pH

Ciri-ciri ikan setelah 24 jam

2,28

Basa

0,98

Asam (+)

1 = 234 2 = 219 3 = 197 x = 216

1 = 220 2 = 211 3 = 182 x = 204

Asam (++)

1 = 270 2 = 269 3 = 256 x = 265

1 = 261 2 = 257 3 = 243 x = 253

Keterangan: A : Toples berisi air kolam sebanyak 750 B : Toples berisi air isi ulang sebanyak 750 ml dan 1 ekor ikan. C : Toples berisi air isi ulang 750 ml, 2 ekor ikan dan diberi pakan. B. Analisis Data Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan yang dibagi menjadi 3 perlakuan yaitu dengan menggunakan media A dengan air kolam, media B dengan air suling, dan media C dengan air suling yang diberi pakan, maka diperoleh data 18

mengenai pengaruh kadar DO dan pH terhadap aktivitas ikan nila merah serta hubungan antara DO dan pH dalam suatu komunitas seperti yang terdapat pada tabel 4.1 di atas. Pada media A yang berisi air kolam yang diletakkan di tempat yang terkena cahaya matahari dalam keadaan terbuka, setelah 24 jam diperoleh kadar DO sebesar 2,28 ppm dan mempunyai pH basa. Kemudian setelah dimasukkan 2 ekor ikan nila merah yang baru dan dilakukan pengamatan, didapatkan rata-rata respirasi ikan dari menit pertama sampai ketiga sebesar 84 kali/ menit pada ikan 1 dan 83 kali/ menit pada ikan 2. Aktivitas ikan setelah 24 jam adalah pergerakan
ikan tenang serta selalu berenang di dasar dan jarang ke permukaan.

Pada media B yang berisi air suling dan 1 ekor ikan nila merah yang diletakkan di tempat yang teduh dalam keadaan tertutup, setelah 24 jam diperoleh kadar DO sebesar 0,98 ppm dan mempunyai pH asam. Kemudian setelah dimasukkan 2 ekor ikan nila merah yang baru dan dilakukan pengamatan, didapatkan rata-rata respirasi ikan dari menit pertama sampai ketiga sebesar 216 kali/ menit pada ikan 1 dan 204 kali/ menit pada ikan 2. Aktivitas ikan setelah 24 jam adalah ikan tidak selalu berada di dalam air tetapi terkadang muncul ke permukaan
untuk bernafas.

Pada media C yang berisi air suling dan 2 ekor ikan nila merah yang diberi pakan yang diletakkan di tempat yang teduh dalam keadaan tertutup, setelah 24 jam diperoleh kadar DO sebesar 0 ppm dan mempunyai pH yang lebih asam daripada media B. Kemudian setelah dimasukkan 2 ekor ikan nila merah yang baru dan dilakukan pengamatan, didapatkan rata-rata respirasi ikan dari menit pertama sampai ketiga sebesar 265 kali/ menit pada ikan 1 dan 253 kali/ menit pada ikan 2. Aktivitas ikan setelah 24 jam adalah semua ikan selalu berenang ke
permukaan untuk bernafas dan pergerakan ikan cepat (agresif).

Dari data diatas, dapat diketahui bahwa semakin tinggi kadar oksigen terlarut maka makin tinggi pH pada media, dimana kedua faktor tersebut akan mempengaruhi aktivitas (respirasi) pada ikan nila merah.

19

C. Pembahasan Berdasarkan analisis diatas, maka dapat diketahui bahwa ada pengaruh antara oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman (pH) dalam suatu ekosistem. Pada media A yang berisi air kolam yang diletakkan di tempat yang terkena cahaya matahari dalam keadaan terbuka, setelah 24 jam diperoleh kadar DO sebesar 2,28 ppm dan mempunyai pH basa. Aktivitas ikan setelah 24 jam adalah pergerakan ikan tenang serta selalu berenang di dasar dan jarang ke permukaan. Hal ini berarti ikan bergerak dengan respirasi normal yang ditunjukkan dengan rata-rata penghitungan frekuensi ikan sebanyak 84 kali/ menit pada ikan 1 dan 83 kali/ menit pada ikan 2. Hal ini menunjukkan bahwa pada media ini kaya akan oksigen terlarut sehingga ikan tidak kesulitan dalam melakukan respirasi. Media A hanya diisi dengan air kolam yang di dalamnya terdapat berbagai macam alga yang akan berfotosintesis dengan meggunakan sinar matahari untuk mengubah CO2 mejadi O2 untuk respirasi ikan, dimana oksigen berfungsi dalam proses respirasi untuk mendapatkan energi berupa (ATP). Selain itu, kadar CO 2 semakin rendah akibat aktivitas dari alga tersebut berupa fotosintesis yang mengeluarkan O2 sebagai hasil ekskresinya dan dapat diketahui juga bahwa kadar O 2 yang tinggi akan memenuhi kebutuhan hidup organisme di dalamnya. Alga juga dijadikan sumber makanan bagi ikan sehingga ikan tetap sehat meskipun tidak diberi makan. Pada media B yang berisi air suling dan 1 ekor ikan nila merah yang diletakkan di tempat yang teduh dalam keadaan tertutup, setelah 24 jam diperoleh kadar DO sebesar 0,98 ppm dan mempunyai pH asam. Aktivitas ikan tidak selalu berada di dalam air tetapi terkadang muncul ke permukaan untuk bernafas. Hal ini menunjukkan aktivitas ikan yang lebih cepat dan aktif pada media B daripada media A yaitu rata-rata respirasi ikan sebanyak 216 kali/ menit pada ikan 1 dan 204 kali/ menit pada ikan 2. Hal ini dikarenakan tidak terdapat alga untuk mengubah CO2 mejadi O2 di dalamnya sehingga kadar oksigen terlarutnya lebih rendah dibandingkan media A, begitu juga pH yang semakin menurun dari basa menjadi asam. Hal ini disebabkan laju fotosintesis dan laju respirasi tidak sama dimana semakin tinggi respirasi berlangsung maka kadar oksigen terlarut dalam air semakin rendah sehingga mengakibatkan aktifitas operculum ikan lebih tinggi. 20

Pada media C yang berisi air suling dan 2 ekor ikan nila merah yang diberi pakan yang diletakkan di tempat yang teduh dalam keadaan tertutup, setelah 24 jam diperoleh kadar DO sebesar 0 ppm dan mempunyai pH yang lebih asam daripada media B. Aktivitas ikan setelah 24 jam adalah semua ikan selalu berenang ke permukaan untuk bernafas dan pergerakan ikan cepat (agresif). Hal ini berarti bahwa aktivitas ikan pada media ini lebih cepat dan agresif dibanding dengan media B. Terlihat dari rata-rata respirasi sebesar 265 kali/ menit pada ikan 1 dan 253 kali/ menit pada ikan 2. Hal ini disebabkan tidak adanya proses fotosintesis dari alga seperti perlakuan A yang menyebabkan kadar oksigen terlarut rendah. Disamping itu, tingginya derajat keasaman disebabkan oleh tingginya kandungan limbah organik dari pakan yang diberikan. Oksigen terlarut pada media C lebih rendah dibanding perlakuan pada meidia A dan B dikarenakan proses respirasi lebih tinggi dan proses fotosintesis tidak terjadi. Oksigen terlarut yang ada digunakan respirasi dari ikan dan mikroba-mikroba aerob yang mengeluarkan CO2 .

21

BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil dan analisis di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Semakin rendah kadar pH pada suatu perairan maka semakin rendah pula kadar oksigen terlarut pada suatu perairan yang menyebabkan semakin cepat kegiatan ventilasi pernapasan ikan per menit sehingga menyebabkan pergerakan ikan menjadi sangat agresif dan selalu muncul di permukaan untuk bernafas. Meningkatnya kadar CO2 di perairan akan menurunkan kadar pH di perairan dan meningkatnya kadar oksigen terlarut di perairan akan meningkatkan kadar pH air. 2. Hubungan DO dan pH dengan respirasi ikan adalah berbanding lurus, semakin tinggi kadar DO di perairan maka semakin tinggi pula kadar pH di perairan, sedangkan kegiatan ventilasi pernapasan ikan berbanding terbalik dengan nilai DO dan pH, semakin rendah nilai DO dan nilai pH di perairan maka menyebabkan kegiatan ventilasi ikan semakin cepat. B. Saran Pada praktikum ini perlu dipilih ikan-ikan yang mempunyai umur dan ukuran yang sama agar presisi kebutuhan oksigennya seragam. Dalam pengukuran pH sebaiknya menggunakan pH meter agar diketahui pasti nilai pH-nya sehingga lebih mudah dalam menganalisis.

22

DAFTAR PUSTAKA Barus, T. A. 2001. Metode Ekologis untuk Menilai Kualitas Suatu Perairan Lotik . Medan: Fakultas MIPA USU Medan. Campbell. 2004. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta: Erlangga. Fika. 2009. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD). Diakses melalui http://biarkanakumenulis.blogspot.com/2009/10/oksigenterlarut-do-dan-kebutuhan.html pada tanggal 4 Mei 2013. Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta: Rineka Cipta. Jaya, K. 2012. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) . Diakses http://ikanmania25.blogspot.com/2012/03/ikan-nila-oreochromisniloticus.html pada tanggal 4 Mei 2013. melalui

Odum, E.P. 1993. Basic Ecologi (Dasar-dasar Ekologi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Sastrawijaya, A. Tresna. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Suyono, dkk. 2011. Laporan Praktikum Biologi Dasar. Diakses melalui http://www.scribd.com/doc/91366750/45/Deskripsi-Ikan-Nila pada tanggal 4 Mei 2013. Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Yuliani dan Raharjo. 2013. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Surabaya: Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Unesa.

23

LAMPIRAN Penghitungan DO Rumus DO = 8000 x N x a V4 1. DO media A = 8000 x 0,025 x 2,8 250 4 =


560 246

= 2,28 ppm 2. DO media B = 8000 x 0,025 x 1,2 250-4 =


240 246

= 0,98 ppm 3. DO media C = 8000 x 0,025 x 0 250 4 =


0 246

= 0 ppm

24

You might also like