You are on page 1of 8

KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Tugas Mid Semester Mata Kuliah: Fiqh Mawaris Dosen Pengampu : Suhadi, M. SI

Disusun Oleh: Saiful Huda (209060)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS JURUSAN SYARIAH/AS TAHUN 2013

KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN

I.

PENDAHULUAN Islam bagi umatnya bukan hanya mengandung ajaran tentang keimanan dan apa-apa

yang harus dilakukan untuk Khaliq (Pencipta) dalam rangka pelaksanaan ibadah, namun juga mengatur aturan tentang pergaulan mereka dalam kehidupan di dunia yang disebut muamalat dalam artian umum, termasuk aturan tentang pembagian warisan atau ilmu faraid. Aturan-aturan yang ditetapkan Allah dimana ilmu faraid termasuk di dalamnya, diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi umat manusia. Rahmat ini dalam bahasa hukum berarti kemaslahatan ummat baik dalam bentuk memberi manfaat bagi manusia atau menghindarkannya dari mudharat (bahaya). Sehingga dengan adanya aturan Allah tersebut seseorang yang berhak menerima warisan kepadanya harus diberikan haknya sesuai dengan kadarnya masing-masing. Salah satu ahli waris yang berhak menerima warisan adalah anak. Anak baik laki-laki maupun perempuan adalah ahli waris, bahkan ia adalah ahli waris yang paling dekat dengan pewaris. Namun yang menjadi pertanyaan apakah anak dalam kandungan termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau tidak. Bagaimana Fiqh Islam dan hukum positif di Indonesia menempatkan posisi anak dalam kandungan sebagai ahli waris. Lalu bagaimana seharusnya Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang mempunyai wewenang

menyelesaikan perkara kewarisan umat Islam, memperhatikan haknya anak dalam kandungan atau justru mengabaikan. II. RUMUSAN MASALAH 1. 2. Bagaimana pendapat para ulama tentang kewarisan anak dalam kandungan? Bagaimana hak kewarisan anak dalam kandungan menurut hukum positif di indonesia.? 3. Bagaimana contoh pembagian kewarisan anak dalam kandungan?

III.

PEMBAHASAN 1. Pendapat Para Ulama Tentang Kewarisan Anak Dalam Kandungan

Para ulama Ushul Fiqh dalam membicarakan orang-orang yang pantas menjadi subjek hukum atau mahkum fih, membaginya kepada dua katagori yaitu pantas menerima hukum dan pantas menjalankan hukum. Mereka kemudian membagi yang pantas menerima hukum itu menjadi dua, pertama pantas menerima hukum secara tidak sempurna, kedua orang yang pantas menerima hukum secara sempurna. Orang yang pantas menerima hukum secara tidak sempurna itu ialah bila ia hanya pantas menerima hak-hak saja tetapi tidak pantas memikul kewajiban atau sebaliknya; sedangkan yang sempurna itu adalah bila ia pantas menerima keduanya. Dalam mencontohkan orang yang pantas menerima hukum yang tidak sempurna itu yang biasa dikemukakan ialah anak dalam kandungan. Ia pantas menerima hak-hak namun ia belum mampu menerima kewajiban. Oleh karna bayi yang dalam kandungan itu dinyatakan sebagai orang yang pantas menerima hak, maka ia ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari pewaris bila telah terdapat sebab dan syarat kewarisan pada dirinya. Disamping itu, para ulama menetapkan pula syarat-syarat seseorang dapat menguasai atau mengendalikan harta yang dimilikinya itu, yaitu setelah ia mencapai taraf yang disebut rasydu dalam arti cerdas, yang pada umumya dicapai seseorang dinyatakan dewasa. Oleh karna masalah kewarisan itu hanya berkaitan dengan mendapatkan hak dan bukan menguasai atau mengendalikan hak, maka ditetapkan bahwa bayi dalam kandungan adalah ahli waris yang berhak.1 Apabila ada seorang laki-laki meninggal pada saat istrinya sedang hamil, maka jika memungkinkan diperoleh kejelasan tentang bayi yang ada dalam kandungan itu, diberikanlah untuk bayi dalam kandungannya itu bagian warisnya sesuai dengan hasil pembuktian yang dilakukan. Tetapi apabila tidak mungkin melakukan pembuktian maka disisakanlah bagian tertentu untuk bayi yang masih dalam kandungan tersebut. Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang berapa besarnya bagian yang dipisahkan untuknya itu. Imam Hanafi mangatakan: Disisakanlah untuknya satu bagian sebesar bagian seorang anak laki-laki, sebab lazimnya seorang anaklah yang dilahirkan, sedangkan lebih dari seorang masih praduga. Imam Malik dan Imam Syafii mengatakan: Disisakan untuk bayi yang ada dalam kandungan itu sebesar empat orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan.

Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum kewarisan islam, hal, 125

Imamiyah mengatakan: Disisakan untuk bayi dalam kandungan itu bagian untuk dua orang laki-laki semata-mata untuk berhati-hati saja, lalu kepada setiap ahli waris yang menerima fardh, seperti suami istri, bagian minimalnya dari dua kemungkinan bagiannya (seperempat untuk suami dan seperdelapan untuk istri). Selanjutnya, anak dalam kandungan itu bisa menerima waris dengan syarat dia dilahirkan dalam keadaan hidup dan kelahiran itu terjadi kurang dari enam bulan sesudah wafat, bahkan boleh pula dalam waktu persis enam bulan, yaitu manakala suami wanita hamil tersebut langsung meninggal dunia sesudah ia mencampuri istrinya. Selain itu, hendaknya kelahiran bayi tersebut tidak melampaui batas maksimal kehamilan sesudah kematian suami, tapi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan mazhab fiqih, jika bayi tersebut dilahirkan lewat batas maksimal kehamilan sesudah kematian suami, maka ia tidak berhak menerima waris. Demikianlah kesepakatan para ulama mazhab2 2. Hak Kewarisan Anak dalam Kandungan menurut Hukum Positif di Indonesia Kedudukan anak dalam kandungan sebagai ahli waris dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia tidak dijumpai aturan yang jelas. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 174 ayat (1) yang berbicara tentang siapa-siapa yang berhak sebagai ahli waris :

Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : a. Menurut hubungan darah : golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Kata-kata anak laki-laki dan anak perempuan tidak dirinci secara jelas, apakah yang dimaksud anak yang sudah lahir atau masih dalam kandungan. Dalam penjelasan pasal inipun tidak dijumpai penjelasan masalah itu karena pasal ini dianggap cukup jelas, padahal ini menimbulkan ketidakpastian, bisa jadi yang dimaksud anak yang sudah lahir, bisa juga anak yang masih dalam kandungan. Namun pasal 186 KHI ketika menjelaskan kedudukan kewarisan anak luar nikah dirumuskan pasal sebagai berikut : Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Kata-kata anak yang lahir jika dianalogikan dengan pasal 174 ayat (1) KHI memberikan pengertian bahwa anak sebagai ahli waris adalah anak yang sudah lahir, tidak anak yang masih dalam kandungan. Begitu juga jika dianalogikan dengan
2

UU Nomor 1/1974 pasal 42

Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, hlm. 576-577.

ketika menjelaskan anak sah ditemukan rumusan pasal sebagai berikut : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dalam UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak terdapat pengertian yang agak luas tentang anak. Dalam pasal 1 Undang- Undang ini ditemukan rumusan : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adanya tambahan anak kalimat termasuk anak dalam kandungan memberikan pemahaman bahwa seseorang sejak masih dalam kandungan sampai berusia 18 tahun masih disebut anak. Oleh sebab itu apapun hak dan kewajibannya dalam undang-undang ini tetap berlaku selama seseorang masih disebut anak. Bab III UU Nomor 23/2002 menjelaskan tentang hak dan kewajiban anak. Bab III ini terdiri dari 16 pasal yaitu pasal 4 sampai pasal 19. Pasal 4 sampai pasal 18 menjelaskan hak seorang anak, dan pasal 19 menjelaskan tentang kewajiban seorang anak. Secara singkat dapat dijelaskan hak anak dalam UU Nomor 23/2002 sebagai berikut : 1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (pasal 4) 2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (pasal 5) 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. (pasal 6) 4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (pasal 7) 5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (pasal 8) 6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9) 7. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya (pasal 10) 8. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (pasal 11) 9. Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf

kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat (pasal 12)

10.

Hak

mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan

ekonomi

penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (pasal 13) 11. Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri (pasal 14) 12. Hak untuk memperoleh perlindungan dari : penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan social, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan (pasal 15) 13. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (pasal 16) 3. Contoh Pembagian Kewarisan Anak Dalam Kandungan

Seorang laki-laki wafat dengan meninggalkan harta Rp 216 juta. Ahli warisnya adalah isteri, bapak, ibu, anak perempuan, dan cucu (dari anak laki-lakinya yang telah meninggal lebih dahulu) yang masih dalam kandungan. Penyelesaian: a) Jika cucu tersebut diperkirakan laki-laki, maka bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut (di sini, asal masalah adalah 24, yaitu KPK dari 8, 6, dan 2): Isteri : 1/8 bagian = 3/24 bagian = 3/24 x Rp 216 juta = Rp 27 juta Bapak : 1/6 bagian = 4/24 bagian = 4/24 x Rp 216 juta = Rp 36 juta Ibu : 1/6 bagian = 4/24 bagian = 4/24 x Rp 216 juta = Rp 36 juta Anak perempuan : 1/2 bagian = 12/24 bagian = 12/24 x Rp 216 juta = Rp 108 juta Cucu laki-laki : Sisa = 1/24 bagian = 1/24 x Rp 216 juta = Rp 9 juta b) Jika cucu tersebut diperkirakan perempuan, maka bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut (dalam hal ini, asal masalah 27 setelah aul dari 24): Isteri : 1/8 bagian = >> 3/27 bagian = 3/27 x Rp 216 juta = Rp 24 juta Bapak : 1/6 bagian = >> 4/27 bagian = 4/27 x Rp 216 juta = Rp 32 juta Ibu : 1/6 bagian = >> 4/27 bagian = 4/27 x Rp 216 juta = Rp 32 juta Anak perempuan : 1/2 bagian = >> 12/27 bagian = 12/27 x Rp 216 juta = Rp 96 juta Cucu perempuan : 1/6 bagian = >> 4/27 bagian = 4/27 x Rp 216 juta = Rp 32 juta Dari kedua macam perkiraan ini, maka bagian warisan yang harus ditahan/disimpan untuk cucu adalah bagian yang terbesar untuk dua perkiraan, dalam hal ini adalah Rp 32 juta untuk perkiraan perempuan. Jadi, untuk kasus ini, harta warisan sudah dapat diberikan

kepada para ahli waris yang lain dengan bagian dan penerimaan seperti pada perkiraan kedua, yaitu untuk isteri, bapak, ibu, dan anak perempuan masing-masing diberikan 24 juta, 32 juta, 32 juta, dan 96 juta. Jika ternyata di kemudian hari bayi tadi lahir dengan selamat (hidup), tetapi berjenis kelamin laki-laki, berarti terjadi kekurangan penerimaan untuk keempat ahli waris ini dan harus diambil dari harta yang disimpan untuk bayi tadi, yaitu masing-masing harus diberikan tambahan sebesar 3 juta, 4 juta, 4 juta, dan 12 juta sehingga penerimaan mereka masingmasing adalah 27 juta, 36 juta, 36 juta, dan 108 juta, sementara penerimaan untuk cucu lakilaki menjadi 9 juta.

IV.

KESIMPULAN 1. Bahwa dalam Fiqh Islam anak dalam kandungan adalah ahli waris yang berhak

menerima warisan jika padanya terdapat sebab-sebab kewarisan (perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan budak). 2. Kedudukan anak dalam kandungan sebagai ahli waris dalam hukum positif di Indonesia kalau tidak boleh disebut terabaikan, sekurang-kurangnya terlupakan. Padahal ini adalah persoalan besar yang harus diselesaikan. Kelalaian terhadap kewarisan anak dalam kandungan akan mengakibatkan si anak akan terancam masa depannya. 3. Bahwa demi kepentingan anak dan keadilan masyarakat, jalan sebaiknya yang ditempuh Pengadilan Agama (hakim) adalah : segera menyelesaikan perkara pembagian harta warisan dengan memperhitungkan hak waris anak dalam kandungan, jika ada perkara

pembagian warisan yang kemungkinan ahli warisnya anak dalam kandungan. Jika ada masalah dengan kesamaran tentang kondisi anak, pendapat saksi ahli (dokter kandungan) dapat didengar dan diajadikan pertimbangan. V. PENUTUP Alhamdulillah ahkirnya saya dapat menyelesaikan makalah Fiqh Mawaris,walaupun jauh dari kata sempurna namun saya sangat berusaha untuk menjadi yang sempurna dan baik dalm membuat makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Ash Shiddieq, Tengku Muhammad Hasbi, Fifqh Mawaris, Semarang: Pt Pustaka Rizki Putra, 2001 Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media,2004

You might also like