You are on page 1of 51

BAB I PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Prasarana transportasi merupakan infrastruktur yang sangat fital dalam melayani

pergerakan lalulintas, orang dan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa jalan melayani 80% s.d 90% dari seluruh angkutan barang dan orang Dengan prasarana berupa jalan raya yang memadai tentunya akan memperlancar pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dan mempermudah hubungan antar daerah secara nasional. Untuk memenuhi prasarana tersebut perlu tersedianya konstruksi jalan yang memenuhi persyaratan teknis dan disesuaikan dengan kondisi dan keadaan lingkungan yang ada. Salah satu jenis perkerasan yang paling umum digunakan adalah perkerasan lentur. Hampir 80% dari total panjang jalan di Indonesia merupakan perkerasan lentur (Hadihardja, J., 1997)[1]. Sebagaimana struktur perkerasan pada umumnya, perkerasan lentur juga akan mengalami defisiensi dan penurunan kinerja akibat pengaruh beban lalulintas dan lingkungan seiring dengan berjalannya umur rencana perkerasan. Sehingga struktur perkerasan akan membutuhkan upaya-upaya pemeliharaan untuk menjaga kinerjanya. Untuk mempertahankan kinerja perkerasan, diperlukan beberapa tindakan perbaikan kerusakan, baik berupa pemeliharaan rutin yang dilakukan setiap tahun maupun

pemeliharaan berkala yang biasanya dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Keseluruhan pemeliharaan tersebut bertujuan untuk menjaga kinerja perkerasan agar dapat memberikan pelayanan sampai akhir umur rencananya. Pada akhir umur rencana, dimana kondisi perkerasan telah mencapai kondisi kritis, maka jenis penanganan yang diperlukan adalah berupa peningkatan atau betterment, dalam hal ini dapat berupa pemberian lapis tambah maupun rekonstruksi perkerasan (Departemen Pekerjaan Umum, 1987)[2]. Sejalan dengan makin berkurangnya sumber-sumber material yang ada dialam bebas, yang diperlukan dalam pekerjaan perbaikan konstruksi jalan, sedangkan dilain pihak permintaan akan material perkerasan jalan juga semakin meningkat dengan semakin meningkatnya volume pembangunan prasarana jalan, maka dirasakan perlu untuk mencari teknologi baru ataupun material alternatif, sebagai pengganti teknologi perkerasan jalan yang dikenal saat ini. Maka salah satu alternatif solusi untuk permasalahan tersebut adalah mempertimbangkan teknik daur ulang atau recycling materials.

Teknik daur ulang perkerasan adalah suatu metode perbaikan jalan yang menggunakan kembali material perkerasan jalan eksisting sebagai material untuk perbaikan jalan tersebut, dengan penambahan beberapa material tambahan seperti agregat baru, rejuvenator atau recycling agents, semen, aspal emulsi, foamed asphalt (campuran aspal emulsi dan semen) dan material lainnya. Dengan teknik ini, material perkerasan lama diolah kembali menjadi material/agregat daur ulang untuk selanjutnya digunakan kembali dalam pekerjaan perbaikan jalan, baik langsung pada jalan yang diperbaiki tersebut maupun untuk pekerjaan perbaikan ruas jalan lain Jalur Pantura (Pantai Utara) Jawa merupakan salah satu jalur nasional yang sangat, dengan kondisi yang dapat mewakili kondisi keseluruhan ruas jalan nasional di Indonesia. Jalur pantura sebagai jalur transportasi ekonomi yang strategis dan ekonomis dengan kondisi lalulintas harian rata-rata yang padat, beban lalulintas dengan beban tinggi, dan lapis permukaan aspal yang telah dilapis berulang-ulang, sering terjadi kerusakan baik dalam kondisi ringan maupun sedang hingga berat. Pada penelitian ini penulis mencoba untuk melakukan penelitian pada salah satu ruas jalan di Jalur Pantura yang sering mengalami kerusakan, yaitu ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang Batas Kabupaten Kendal yang termasuk wilayah Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang Batas Kabupaten Kendal sering kali mengalami kerusakan. Jenis kerusakan jalan yang terjadi antara lain alur (ruting), amblas (settlement), dan jembul (upheaval or swell) ditandai dengan permukaan jalan bergelombang dengan tingkat kerusakan dari ringan hingga berat. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah dalam memelihara dan meningkatkan prasarana jalan ini. Namun kerusakan jalan tetap terjadi, sehingga diduga bahwa penyebabnya adalah akibat kurang padatnya lapis perkerasan dari jalan, terutama lapis pondasi atas, sehingga terjadi pemadatan tambahan pada lapis pondasi atas akibat repetisi beban lalulintas pada lintasan roda atau disekitarnya. Pada penelitian ini penulis menggunakan sistem daur ulang Cement Treated Recycling Base (CTRB) sebagai lapis pondasi atas. Sistem daur ulang ini digunakan karena di perkiraan tebal lapisan aspal yang mencapai 30 cm, yang terjadi karena proses overlay yang berulangulang di sebagian besar ruas jalan di Pantura dan volume material yang cukup besar yang dihasilkan dari proses daur ulang. Selain itu sistem daur ulang ini diharapkan mendapatkan stabilitas pondasi lapis atas yang lebih baik, karena tujuan utama dari penelitian ini adalah mengetahui apakah dan bagaimana material daur ulang secara teknis dapat digunakan sebagai stabilisasi lapis pondasi atas.
2

I.2

Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

dari penilitian ini adalah apakah material (aspal dan agregat) hasil daur ulang dari pekerjaan peningkatan ruas jalan yang akan diperbaiki dapat digunakan kembali sebagai material perkerasan dan sebagai material untuk stabilisasi pada lapis pondasi atas pada ruas jalan tersebut, baik secara langsung (tanpa tambahan material baru atau bahan kimia), dengan tambahan material baru atau tambahan bahan kimia dan bagaimana rencana desain campuran tersebut sehingga didapatkan kekuatan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dikemukakan adalah : a. Mengevaluasi sifat fisik aspal dan agregat yang diambil dari penggarukan perkerasan lama, b. Mengevaluasi sifat fisik agregat baru, aspal baru dan semen, c. Melakukan desain campuran (Job Mix Design) untuk CRTB (Cement Treated Recycling Base), sehingga diperoleh prosentase campuran yang optimal dan hasil daur ulang yang maksimal. 1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah : a. Memperluas pengetahuan penggunaan teknik daur ulang terhadap pekerjaan pemeliharaan jalan, terutama sebagai lapis pondasi atas, b. Dari hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengelola jalan atau pihak lain yang berkepentingan dalam penanganan kerusakan jalan diperiode selanjutnya. I.5 Pembatasan Permasalahan Untuk mendapatkan hasil penelitian yang telah ditentukan, maka perlu di berikan batasan masalah sebagai berikut : a. Wilayah penelitian dan bahan material yang didaur ulang berasal dari kegiatan pemeliharaan di ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang Batas Kabupaten Kendal (KM. SMG. 80+600 s/d 82+400), b. Penelitian kondisi material daur ulang dilakukan di lapangan (insitu) dan di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas
3

Diponegoro, Semarang serta di Laboratorium Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementrian Pekerjaan Umum, Surabaya.

Gambar 1.1 Peta lokasi Penelitian

Gambar 1.2 Kondisi Jalan Eksisting 1.6. Keaslian Penelitian Agustine, J. (2012) dalam penelitian karakteristik marshall dan modulus resilien campuran laston lapis pengikat AC-BC hasil daur ulang (studi kasus : Proyek peningkatan
4

Jalan Palembang Tanjung Api Api), menjelaskan tentang penggunaan material dari lapisan aspal hasil daur ulang yang digunakan sebagai lapis perkerasan aspal yang baru. Penelitian ini menarik kesimpulan bahwa material dari lapisan aspal hasil daur ulang dapat digunakan sebagai lapis perkerasan aspal baru dengan beberapa perbaikan diantaranya penambahan material baru dan bahan kimia aditif dan nilai modulus resilien pada perkerasan aspal baru dengan material dari perkerasan aspal dari hasil daur ulang tidak terdapat perbedaan yang cukup besar dibandingkan dengan perkerasan aspal dengan material baru, sehingga masih dapat digunakan sebagai lapis perkerasan aspal.[3] Sunaryono (2009) tentang kajian penggunaan lapis pondasi agregat yang distabilisasi semen, penelitian ini membahas tentang penggunaan lapis pondasi, baik lapis pondasi atas maupun lapis pondasi bawah dengan agregat yang distabilisasi semen. Berdasarkan hasil kajian, diperolah bahwa penggunaan lapis pondasi yang distabilisasi semen memberikan beberapa keuntungan, antara lain memiliki keofisien kekuatan relatif yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai struktur dari perkerasan, dan keuntungan lainnya adalah mengurangi penggunaan material baru sehingga mencegah kerusakan lingkungan.[4] Dari dua penelitian diatas, penelitian yang dilakukan penulis memiliki perbedaan yaitu bahan yang digunakan adalah aspal dan material/agregat daur ulang pada lapis pondasi atas dan bukan pada lapis perkerasan aspal (lapis permukaan), dan selanjutnya penelitian yang dilakukan yaitu dengan penggunaan tambahan semen pada material agregat daur ulang. 1.7 Sistematika Penulisan Penulisan tesis sebagai laporan dari penelitian yang dilakukan akan mengikuti sistematika yang telah ditentukan sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan Latar Belakang Permasalahan, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat penelitian, Pembatasan Permasalahan, Keaslian Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan memperlihatkan teori-teori penunjang yang digunakan sebagai landasan konseptual dari penelitian. BAB III : METODOLOGI PENELITIAN Bab ini dikemukakan tahapan penelitian yang dilakukan agar lebih terarah serta memiliki langkah penyelesaian yang sistematis, meliputi penetapan tujuan penelitian, studi pustaka, identifikasi masalah, pengujian lapangan dan laboratorium, pengolahan data, evaluasi, kesimpulan serta rekomendasinya.
5

BAB IV

: HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini disajikan data-data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian, selanjutnya dilakukan pemilihan dan pengolahan data dengan metode tertentu.

BAB V

: KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan tahapan akhir dalam penyusunan tesis yang berisikan kesimpulan dan berbagai saran, serta disampaikan pula rekomendasi yang berkaitan dengan hasil penelitian.

BAB II TINJAUN PUSTAKA

II.1

Umum Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala

bentuk bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan pelengkapnya yang diperuntukkan bagi lalulintas. atau bisa di sebut juga jalan adalah suatu lintasan yang bermanfaat untuk melewatkan lalulintas dan satu tempat ketempat lain sebagai penghubung dalam satu daratan. Jalan raya sebagai sarana penghubung harus lancar dan aman untuk dilalui, serta memenuhi syarat-syarat secara teknis maupun ekonomis. Syarat-syarat umum jalan yang harus dipenuhi adalah : a. b. c. Segi konstruksi Segi pelayanan Segi ekonomis : jalan harus kuat, awet dan kedap air. : rata, tidak licin dan geometrik yang memadai. : jalan tersebut tidak mahal dan mudah dikerjakan.

Persyaratan tersebut dapat dipenuhi dengan adanya desain perkerasan yang sesuai dengan kondisi perencanaan (kelas jalan, moda yang lewat, waktu pelaksanaan, dan biaya) (Hadihardja, J., 1997)[1]. Lapis perkerasan aspal selama masa layannya akan mengalami penurunan kualitas dan kemampuan dalam fungsinya melayani lalulintas, disamping faktor cuaca yang diterimanya. Karena proses penurunan kualitas tersebut maka konstruksi perkerasan aspal membutuhkan pemeliharaan dan peningkatan ataupun rehabilitasi agar konstruksi perkerasan dapat berfungsi secara optimal. Konsep mendaur ulang perkerasan merupakan konsep yang sederhana namun sangat berarti. Mendaur ulang perkerasan eksisting untuk mendapatkan perkerasan baru sangat berarti dalam penghematan material, biaya dan energi. Selain itu, daur ulang juga membantu dalam permasalahan pembuangan limbah. Karena konsepnya menggunakan kembali material perkerasan lama, maka geometri dan tebal perkerasan dapat dipertahankan selama proses konstruksi. Dalam beberapa kasus, gangguan lalulintas selama konstruksi lebih kecil dibandingkan metode rehabilitasi lainnya. Berdasarkan beberapa alas an diatas, banyak peneliti tertarik pada pengunaan kembali material dari perkerasan lama dalam kegiatan peningkatan dan pemeliharaan perkerasan. Teknologi daur ulang ini sudah secara luas digunakan dibeberapa Negara di Eropa, Amerika, Hongkong dan Malaysia.

Dilihat dari material yang digunakan dalam konstruksi perkerasan yaitu batuan dalam bentuk agregat dan aspal sebagai bahan ikat, material perkerasan aspal termasuk pada bahan yang bisa dipergunakan kembali atau didaur ulang (Anas Ali, 2007)[5]. Material yang ada dan sudah rusak dapat digunakan kembali, karakteristiknya dapat diperbaiki, didaur ulang dan ditingkatkan. Material lama dapat digunakan dengan aplikasi yang sama dengan pemakaian awal, atau sebagai bagian untuk material baru (Fernandez del Campo, 2003)[6].

Gambar 2.1 Ilustrasi Kondisi Perkerasan Jalan II.2 Perkerasan Jalan Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun diatas lapisan tanah dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalulintas. Lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalulintas tanpa menimbulkan kerusakan pada konstruksi jalan itu sendiri. Jenis konstruksi perkerasan jalan umumnya ada dua jenis, yaitu : a. b. Perkerasan lentur (flexible pavement), dan Perkerasan kaku (rigid Pavement) Selain dari dua jenis tersebut, sekarang telah banyak digunakan jenis gabungan (composite pavement), yaitu perpaduan antara lentur dan kaku. Perencanaan konstruksi perkerasan juga dapat dibedakan antara perencanaan untuk jalan baru dan untuk peningkatan (jalan lama yang sudah pernah diperkeras).[1]

Gambar 2.2 Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


8

Gambar 2.3 Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Gambar 2.4 Perkerasan Gabungan (Composit Pavement) II.3 Lapis pondasi

II.3.1 Umum Menurut PU (2006)[2], lapis pondasi merupakan bagian perkerasan jalan raya yang terletak antara lapis permukaan jalan dan tanah dasar dimana salah satu fungsi utamanya pada perkerasan lentur adalah untuk menyebarkan beban kendaraan agar tegangan yang sampai ke tanah dasar tidak melampaui tegangan yang dapat menimbulkan deformasi berlebih. Pada perkerasan kaku, fungsi utama lapis pondasi adalah untuk mencegah pemompaan. Atas pertimbangan efisiensi bahan, lapis pondasi dapat terdiri atas dua bagian, yaitu lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah. Pada perkerasan kaku, istilah lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah kadang-kadang digunakan secara bergantian. Karena letaknya yang langsung di bawah lapis permukaan sehingga menerima tegangan yang besar akibat beban roda kendaraan, maka lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah pada perkerasan lentur harus mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap deformasi. Karena posisinya yang terletak dibawah lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah dapat mempunyai mutu yang lebih rendah daripada mutu untuk lapis pondasi. Untuk memenuhi fungsi di atas, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah dapat dibuat dari berbagai jenis bahan, tergantung pada ketersediaan bahan, efisiensi pengerjaan serta fungsi lainnya. Posisi dan skema pembagian beban pada lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah, baik pada perkerasan lentur maupun perkerasan kaku, ditunjukkan pada gambar 2.5 dan 2.6 sebagai berikut.

Gambar 2.5 Potongan melintang tipikal jalan

Gambar 2.6 Skema Pembagian Beban Pada Perkerasan Jalan Raya II.3.2 Lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah pada perkerasan lentur Sebagaimana disebutkan diatas bahwa fungsi utama lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah pada perkerasan lentur adalah sebagai media untuk menyebarkan tegangan yang ditimbulkan oleh beban kendaraan yang bekerja pada permukaan perkerasan. Dengan demikian, maka tegangan yang sampai pada permukaan tanah dasar tidak mengakibatkan deformasi yang berlebih. Lapis pondasi pada perkerasan lentur biasanya terdiri atas lapisan hasil pemadatan batu pecah, kerikil atau slag yang bergradasi tertentu, lapis pondasi bawah dapat terdiri atas bahan yang atau bahan hasil stabilisasi, sedangkan sama seperti untuk lapis pondasi, tetapi dengan mutu yang lebih rendah. Untuk memastikan bahwa tanah dasar tidak menerima tegangan berlebih, maka lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah harus mempunyai tebal memadai.

10

a.

Lapis pondasi atas Untuk mencegah terjadinya keruntuhan akibat tegangan yang terjadi langsung di bawah permukaan, lapis pondasi atas harus terdiri atas bahan bermutu tinggi. Apabila lapis pondasi atas terdiri atas agregat, maka agregat tersebut harus gradasi yang sesuai dengan gradasi yang dicantumkan dalam spesifikasi. Untuk kondisi lalulintas dan cuaca tertentu, penentuan persyaratan gradasi harus mempertimbangkan berat isi dan stabilitas. CBR yang harus dipenuhi bahan lapis pondasi biasanya ditetapkan 100 persen. Namun demikian, lapis pondasi pada perkerasan yang melayani lalulintas rendah mungkin tidak menuntut bahan bermutu tinggi, tetapi cukup bahan bermutu lebih rendah. Penggunaan bahan bermutu rendah untuk lapis pondasi dapat

dikompensasikan dengan mempertebal lapis permukaan. Lapis pondasi yang terdiri atas bahan yang distabilisasi aspal atau semen dapat menghemat biaya, karena lapis pondasi dengan bahan tersebut akan menjadi lebih tipis. b. Lapis pondasi bawah Untuk lapis pondasi bawah dapat digunakan bahan pilihan, misal kerikil alam. Bahan pilhan biasanya mempunyai stabilitas cukup tinggi, tetapi mempunyai karakteristik lain yang menjadikan bahan tersebut tidak sepenuhnya memenuhi syarat sebagai lapis pondasi atas. Agar dapat dijadikan lapis pondasi bawah, bahan pilihan mungkin perlu distabilisasi atau mungkin langsung digunakan dalam kondisi aslinya. Tujuan pemasangan lapis pondasi bawah adalah untuk mendapatkan perkerasan yang relatif tebal tetapi dengan biaya yang lebih murah. Oleh karena itu, bahan untuk lapis pondasi bawah dapat mempunyai mutu yang rentang batas-batasnya lebar, sejauh persyaratan tebal dipenuhi. Persyaratan berat isi dan kadar air seharusnyaa ditetapkan berdasarkan pengujian laboratorium atau lapangan. Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar, dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam tipe tanah setempat (CBR > 20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur dan semen Portland dalam beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yag efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.
11

II.4

Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Lapis Keras Sejak perkerasan jalan dibuka untuk melayani lalu-lintas kendaraan, perkerasan jalan

akan mengalami pembebanan akibat lalu-lintas kendaraan, pengarah kondisi lingkungan serta proses daur ulang lapis keras itu sendiri. Lapis keras akan mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas , yang berarti lapis keras akan mengalami peningkatan kerusakan. Selain itu kerusakan lapis keras dapat juga diakibatkan oleh adanya kesalahan perencanaan atau pelaksanaan, sehingga kadang-kadang sebelum digunakan Jalan sudah mengalami kerusakan. Lapis keras jalan akan selalu menerima gaya - gaya lalu-lintas dan faktor regional (pengaruh lingkungan). II.4.1 Lalu lintas Akibat kendaraan yang melewati permukaan jalan, lapis keras akan mengalami dua macam beban kendaraan, yaitu pada saat kendaraan dalam keadaan berhenti (beban statis) dan pada saat kendaraan dalam keadaan bergerak (beban dinamis). a. Beban dinamis Beban dinamis pada lapis keras terjadi akibat beban lalu-lintas yang bergerak melintasi permukaan jalan. Gaya akibat beban dinamis ini bersifat lebih komplek dibanding dengan gaya akibat beban statis. Gaya-gaya tersebut dapat berupa gaya vertikal seperti halnya beban statis serta gaya horizontal berupa gaya hisap, gaya pengereman, traksi dan lain sebagainya. Gaya tekan vertikal yang dialami lapis keras akibat lalu-lintas yang bergerak mempunyai pengaruh yang lebih kecil dibanding dengan gaya vertikal akibat kendaraan dalam keadaan berhenti (beban statis), hal ini disebabkan karena pendeknya waktu pembebanan. Semakin tinggi kecepatan kendaraan, waktu pembebanan semakin rendah, tetapi karena frekuensi pembebanan yang lebih banyak atau terjadi repetisi lenturan berulang-ulang, oleh karena itu dibutuhkan lapis keras yang memiliki fleksibilitas tinggi agar lapis keras tidak mudah mengalami retak. Kecepatan kendaraan juga dapat menimbulkan gaya tarikan pada lapis keras yang besarnya tergantung pada kecepatan dan dimensi kendaraan, sehingga semakin tinggi kecepatan dan semakin besar dimensi kendaraan semakin besar pula gaya tarikan yang dialami oleh lapis keras. Pengereman kendaraan mengakibatkan terjadinya gesekan antara roda dan permukaan lapis keras. Akibatnya tahanan gesek (skid resistance) lapis keras akan semakin berkurang, akibat adanya pengausan yang disebabkan oleh gesekan roda
12

dengan lapis keras. Dengan berkurangnya skid resistance ini akan memudahkan terjadinya penggelinciran pada saat dilakukan pengereman, terutama pada saat permukaan jalan dalam keadaan basah. Selain berpengaruh pada pengereman tahanan gesek juga mempengaruhi traksi antara roda dan permukaan lapis keras. Pada saat kendaraan bergerak di atas lapis keras akan timbul gaya horizontal yang berlawanan arah dengan arah gerak kendaraan. Traksi antara roda kendaraan dengan lapis keras dipengaruhi oleh tahanan gesek permukaan dan luas bidang kontak antara roda kendaraan dan permukaan lapis keras. Permukaan yang kasar mempunyai tahanan gesek yang tinggi dibanding permukaan yang halus. Sedangkan luas bidang kontak dipengaruhi oleh berat roda kendaraan, tekanan angin roda dan keadaan kebersihan permukaan lapis keras. Gaya horisontal akibat traksi dapat mengakibatkan pengausan permukaan lapis keras menjadi licin dan tahanan gesek berkurang. Gaya-gaya tersebut akan selalu diterima oleh lapis keras selama lapis keras masih dibuka untuk melayani lalu-lintas, selanjutnya meningkatnya kerusakan akan terjadi akibat adanya gaya-gaya tersebut secara terus menerus. Kerusakan utama akibat lalu-lintas adalah (OECD, 1978): 1) Retak kelelahan (fatigue cracking), 2) Usang karena aus atau lepasnya agregat, 3) Deformasi. b. Beban Statis Beban statis terjadi pada saat kendaraan berhenti dalam waktu yang lama pada lapis keras, beban ini menimbulkan gaya tekan vertikal statis pada lapis keras. Semakin besar beban yang bekerja pada permukaan jalan, gaya tekan akan semakin besar pula. Beban ini akan menimbulkan lenturan pada lapis keras, sedangkan besarnya lenturan tergantung pada besarnya beban dan Kekakuan lapis keras. Kekakuan lapis keras dipengaruhi oleh kekakuan bahan, terutama aspal sebagai bahan pengikat lapis keras. Lama pembebanan akan mempengaruhi kekakuan bahan dan lapis keras. Semakin lama kendaraan berada di atas permukaan lapis keras tegangan lentur yang terjadi semakin besar, berarti kekakuan lapis keras makin kecil, sehingga semakin besar deformasi lapis keras akibat beban yang terjadi. Hal ini berkaitan dengan sifat tegangan dan regangan bahan yang dipengaruhi oleh intensitas pembebanan.
13

Pengaruh beban statis dari kendaraan ini semakin .besar jika terdapat sederetan kendaraan yang berhenti pada tempat-tempat tertentu dalam periode waktu yang cukup lama, misalnya pada tempat parkir, persimpangan jalan dengan traffic light dan terminal. II.4.2 Faktor Regional Faktor regional yang berpengaruh terhadap kerusakan lapis keras meliputi kondisi iklim setempat berupa temperatur udara, curah hujan dan sebagainya, serta kondisi lingkungan antara lain tanah dasar, muka air tanah, bangunan pelengkap dan sebagainya. Pengaruh iklim dan kondisi lingkungan ini akan selalu dialami oleh lapis keras, hal ini disebabkan karena jalan dalam keadaan terbuka. a. Temperatur udara Temperatur udara merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap lapis keras lentur, hal ini disebabkan karena aspal sebagai salah satu bahan utama lapis keras lentur merupakan bahan yang sangat peka terhadap temperatur (thermoplastic). Pada saat temperatur tinggi aspal akan bersifat lunak, hal ini akan mengganggu fungsi aspal sebagai bahan ikat agregat, sehingga tahanan ikat aspal menjadi lebih kecil. Dengan demikian nilai stabilitas perkerasan menjadi lebih kecil, sehingga memudahkan terjadi deformasi pada lapis keras saat menerima beban. Temperatur yang tinggi juga akan mempercepat terjadinya penguapan dan oksidasi. Proses penguapan terjadi pada komponen aspal yang ringan (oils), sehingga terjadi perubahan perbandingan fraksi komponen aspal yang berarti akan mengubah sifat aspal dari sifat semula. Dengan menguapnya komponen yang ringan, aspal menjadi lebih mudah mengalami proses pengerasan (hardening) dan bersifat getas (brittle), sehingga permukaan lapis keras mudah retak. Proses oksidasi akan mengakibatkan adanya lapisan film tipis keras pada permukaan lapis keras yang dapat larut dalam air. Apabila suatu saat terkena air lapisan tersebut akan terlarut dalam air dan apabila terjadi terus-menerus kadar aspal akan berkurang, sehingga dapat mengurangi stabilitas lapis keras. Dengan demikian lapis keras akan mudah mengalami retak. b. Curah hujan Curah hujan berpengaruh terhadap kadar air lapis keras maupun tanah dasar. Seperti uraian diatas, adanya air pada permukaan lapis keras akan melarutkan lapisan film tipis yang keras pada permukaan lapis keras. Selain itu air akan mengganggu ikatan antara aspal dan batuan apabila berhasil masuk dalam lapis keras karena adanya retak
14

pada bagian lapis keras. Selanjutnya air akan menggusur batuan lepas dari ikatan semula. Jika terdapat aliran air pada permukaan lapis keras yang telah lepas, maka akan dapat mempengaruhi perbandingan material pembentuk lapis keras. Apabila air dapat meresap sampai ke tanah dasar, maka tanah dasar akan mengalami penurunan daya dukung. Kerusakan akibat pengaruh iklim yang sering terjadi adalah (OECD, 1978): 1) Striping, 2) Deformasi dan retak khususnya karena pengaruh temperatur, 3) Turunnya daya dukung tanah dasar karena kandungan air yang terlalu tinggi. [11] II.5 Kerusakan Jalan Asphalt Institute (1997)[11] dalam MS-16, menjelaskan kerusakan jalan dapat disebabkan oleh : a. b. c. Beban lalu lintas, Lingkungan, merupakan pengaruh dari suhu udara dan curah hujan yang tinggi, Drainase yang tidak baik, drainase jalan yang tidak baik dapat menyebabkan naiknya air ke lapisan perkerasan akibat kapilaritas, d. Material konstruksi perkerasan. Dapat berupa sifat material yang tidak baik atau pengolahan material yang tidak baik, e. Kasus lainnya. Dapat berupa penurunan akibat penanaman utilitas dibawah lapis permukaan, f. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh sistem pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat tanah dasarnya yang memang jelek. Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi dapat merupakan gabungan penyebab yang saling kait mengkait. Jenis kerusakan jalan dapat berupa : a. Retak (Cracking) Retak dapat dibedakan atas : 1) Retak reflektif (reflective crack). Retak reflektif dapat berupa longitudinal, memanjang, diagonal atau membentuk kotak. Terjadi akibat gerakan vertikal atau gerakan horisontal di bawah lapis tambahan (overlay) akibat tidak dilakukan perbaikan sebelum overlay dilaksananakan. Retak reflektif dapat juga terjadi

15

akibat perubahan kadar air pada subgrade dengan kadar lempung yang tinggi atau jenis tanah ekspansif. 2) Retak pinggir (edge cracking). Berupa retak longitusinal sekitar 30 cm dari tepi perkerasa. Retak pinggir ini terjadi akibat tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadi penyusutan tanah atau terjadi shrinkage di bawah daerah tersebut dan akar tanaman tumbuh di tepi perkerasan. 3) Retak susut (shrinkage cracking). Retak ini berbentuk kotak-kotak yang saling bersambungan sepanjang 1 sampai 3 meter dan biasanya membentuk sudut tajam. Retak disebabkan oleh perubahan volume pada lapisan permukaan yang memakai aspal dengan penetrasi rendah atau perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar. 4) Retak kulit buaya (alligator crack/fatique cracking). Berupa retak-retak yang membentuk sebuah jaringan dari bidang bersegi banyak (polygon) menyerupai kulit buaya, lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. Ukuran bidang bisa berkisar antara 5 cm sampai sekitar 50 cm. Daerah dengan retak kulit buaya dapat atau tidak dapat di sertai oleh penyimpangan dalam bentuk penurunan dan dapat terjadi dimanapun pada permukaan perkerasan. Retak ini dapat disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan dibawah lapis permukaan kurang stabi, atau bahan lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah naik). 5) Retak garis (linier cracking). Merupakan retak-retak yang tampak pada permukaan sebagai akibat keretakan di lapisan bawah aspal. Biasanya tercermin dalam retak-retak memanjang dan melintang. Retak yang sejajar dengan dan dalam rentang 30 cm dari tepi perkerasan, keretakan dapat berupa suatu retak lurus yang hampir menerus, ataupun retak-retak yang terdiri dari suatu formasi berbentuk seperti bulan sabit. Retak ini terjadi akibat bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau base dan subbase yang kurang stabil. b. Distorsi (distorsion) 1) Alur (ruting). Dapat terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur ini dapat terjadi karena lapis perkerasan yang kurang padat, dengan demikian akan terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalulintas pada lintasan roda. 2) Keriting dan sungkur (corrugation and shoving). Kerusakan ini berupa alur dan deformasi Dapat terjadi karena rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasal dari terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak mempergunakan agregat halus,
16

agregat berbentuk bulat dan berpermukaan licin atau aspal yang dipergunakan mempunyai penetrasi yang tinggi. 3) Amblas (settlement or grade depressions). Kerusakan ini berupa penurunan bagian perkerasan yang dapat terjadi setempat dengan atau tanpa retak. Penyebabnya adalah overloading kendaraan atau penurunan bagian perkerasan karena tanah dasar mengalami settlement. 4) Jembul (upheaval or swell). Kerusakan ini terjadi setempat dengan atau tanpa retak. Penyebabnya karena adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar expansif. c. Disintegration (disintegration) Disintegration merupakan kehilangan material perkerasan bertahap dari lapisan permukaan kearah bawah. Perkerasan tampak seakan pecah kedalam bagian-bagian kecil seperti pengelupasan akibat terbakar sinar matahari, atau mempunyai garis-garis goresan yang berjalan sejajar terhadap garis tengah perkerasan pada suatu jalan dengan permukaan yang terawat. Pelepasan butir dapat terjadi diatas seluruh permukaan, tetapi jalur-jalur roda umumnya adalah daerah terburuk karena aksi lalulintas. Pelepasan butir permukaan dimana agregat kasar dan halus sudah terkikis dan kehilangan material. Tekstur kasar, meskipun dengan aspal hotmix, biasanya masih terdapat material halus permukaan. Dapat dibedakan atas : 1) Pelepasan butir (raveling/weathering). Kerusakan ini dapat terjadi secara meluas dan dapat meresapkan air kedalam lapis permukaan. Penyebabnya adalah campuran material lapis permukaan kurang baik. 2) Lubang (pothole). Kerusakan ini berupa lubang-lubang, amblas berbentuk mabgkuk (lubang) pada perkerasan dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan kerusakan permukaan lainnya. Penyebab kerusakan ini adalah campuran material lapis permukaan yang kurang baik. 3) Kegemukan (bleeding or flushing). Kerusakan ini menyebabkan permukaan jalan menjadi licin. Pada temperatur tinggi aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda. Penyebabnya adalah pemakaian kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada pekerjaan prime coat atau tack coat. 4) Pengausan (polished aggregate). Kerusakan ini menyebabkan permukaan jalan menjadi licin sehingga membahayakan kendaraan. Penyebabnya adalah agregat berasal dari material yang tidak tahan haus terhadap roda kendaraan atau agregat
17

yang dipergunakan menjadi berbentu bulat dan licin, tidak berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk kubikal. II.6 Rehabilitasi dan Pemeliharaan Lapis Perkerasan

II.6.1 Pemeliharaan. Pemeliharaan dan rehabilitasi dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan dan programnya yang biasanya dilaksanakan sesuai dengan kondisi di lapangan yang dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu: - Pemeliharaan Rutin, - Pemeliharaan Berkala. a. Berdasarkan tujuannya Berdasarkan tujuannya pemeliharaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Pencegahan (preventive) Pemeliharaan dimaksudkan untuk mengurangi tingkat memburuknya jalan dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah. serta mempertahankan tingkat keamanan, kenyamanan, kekedapan permukaan dan kelancaran arus lalu-lintas. Pemeliharaan ini dilakukan secara berkala pada kerusakan-kerusakan yang bersifat ringan dengan tingkat penyebaran luas. Pada umumnya kerusakan berupa kerusakan fungsional atau kerusakan non struktural seperti retak halus, pengausan, kegemukan dan lain-lain cacat permukaan. Pekerjaan pemeliharaan dilakukan pada lapis permukaan tanpa menambah kekuatan. Tambahan pada lapis permukaan dianggap tidak memiliki atau menambah nilai struktural jalan. 2) Pembetulan (corrective) Perbaikan atau pembetulan dilakukan untuk mengembalikan kekuatan jalan, tingkat keamanan kenyamanan dan kelancaran lalu- lintas. Perbaikan ini bertujuan agar setiap bagian lapis keras jalan mampu menjalankan fungsi strukturalnya menahan beban yang bekerja padanya sesuai dengan yang direncanakan, serta mengembalikan bagian lapis keras yang mengalami kerusakan agar berkemampuan seperti semula. Tindakan pemeliharaan ini dilakukan pada bagian lapis keras yang mengalami kerusakan berat. Kerusakan dapat terjadi pada lapis permukaan, lapis fondasi, bahkan sampai ke tanah dasar. Kerusakan yang memerlukan pemeliharaan ini merupakan kerusakan struktural yang membutuhkan perbaikan untuk menambahkan kemampuan strukturalnya. Perbaikan umumnya mencakup daerah yang terbatas/setempat sesuai dengan tingkat kondisi lapangan. Perbaikan ini dilaksanakan pada lokasi dengan
18

tingkat kerusakan yang berat antara lain lubang, amblas, alur dan retak bersama-sama dan lain-lain kerusakan struktural lapis keras. Perbaikan kerusakan struktural yang terjadi pada lapis keras dengan tingkat penyebaran yang meluas (seluruh permukaan jalan) sudah bukan termasuk dalam kategori Pemeliharaan lagi tapi merupakan tindakan rehabilitasi yang dapat dilakukan dengan rekonstruksi atau dengan metode daur ulang. b. Berdasar programnya Pemeliharaan berdasarkan programnya dapat diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu: 1) Pemeliharaan rutin atau menerus Pemeliharaan rutin dilakukan secara terus menerus yang meliputi semua pekerjaan pemeliharaan dan perbaikan yang dilakukan sebagai perawatan jalan. Pekerjaan ini dilakukan untuk mengontrol gangguan atau kerusakan pada lapis keras maupun samping jalan seperti pemotongan rumput, pembersihan endapan dan kotoran pada saluran diainase, tambal lubang dan sebagainya. Aktivitas yang dilakukan termasuk aktivitas kecil, karena bersifat setempat pada tempat di mana terdapat kerusakan jalan. 2) Pemeliharaan berkala atau periodik Pemeliharaan berkala merupakan tindakan yang telah direncanakan pada saat pembangunan jalan baru Biasanya berupa pemberian lapis permukaan untuk mempertahankan kualitas permukaan lapis keras khususnya kerataan, skid resistance, serta mencegah kerusakan struktur lebih lanjut. Jenis kerusakan yang memerlukan Pemeliharaan berkala (Soedarmanto dan Dardak, 1991)[12] : a) b) c) d) Lapis permukaan telah mengalami oksidasi, Skid resistance sudah tidak memadai, Terjadinya unexpected failure permukaan lapis keras secara menyeluruh, Lapis permukaan telah mengalami retak rambut secara merata akibat kelelahan (fatigue). Pekerjaan Pemeliharaan berkala umumnya dilakukan pada jalan dengan kondisi mantap pada lingkup dan tujuan pekerjaan sebagai berikut (Soedarmanto dan Dardak, 1991)[12]: a) Tidak meningkatkan kapasitas stuktur,

b) Mengembalikan pada kapasitas struktur semula, c) Terutama dilakukan pada lapis permukaan,
19

d) Dimaksudkan agar masa pelayanan yang direncanakan dapat tercapai. II.6.2 Rehabilitasi Rehabilitasi merupakan tindakan perbaikan pada jalan yang bersifat luas dan tidak termasuk dalam kategori Pemeliharaan (maintenance). Perbaikan dapat dilakukan dengan rekonstruksi, pelapisan ulang permukaan lapis keras (overlay) dan daur ulang. Rehabilitasi dimaksudkan untuk memulihkan atau memperbaharui karakteristik utama lapis keras seperti stabilitas, kerataan permukaan (evenness), kekasaran permukaan (roughness), dan profil permukaan atau meningkatkan kemampuan lapis keras untuk melayani perkembangan lalulintas. Sehingga tindakan ini disebut juga peningkatan jalan. Jenis-jenis kerusakan yang memerlukan peningkatan jalan yaitu (Soedarmanto dan Dardak, 1991)[12]: a. b. c. Lapis permukaan telah mengalami kerusakan merata berupa retak kulit buaya, Struktur lapis keras mempunyai lendutan lebih besar atau sama dengan 1,5 mm, Lapis permukaan mengalami perubahan kerusakan yang relatif cepat (lebih cepat dari yang direncanakan). Pekerjaan peningkatan jalan pada umumnya dilakukan pada jalan yang tidak mantap atau jalan dengan masa pelayanan yang telah tercapai, dengan lingkup dan tujuan sebagai berikut (Soedarmanto dan Dardak, 1991)[12]: a. b. Meningkatkan kapasitas struktur sesuai tuntutan lalu-lintas, Pada umumnya dilaksanakan pada lapisan permukaan saja (satu atau dua lapis), termasuk lapis fondasi atas dan jarang sekali sampai lapis fondasi bawah, c. d. Mencakup keseluruhan permukaan jalan, Dengan target masa pelayanan 10 tahun. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan pemilihan metode rehabilitasi yang sesuai. Riechert (1977)[13] memberikan beberapa alternatif yaitu : a . Membuat kembali (redoing) lapis permukaan untuk memperbaiki atau mencegah pengaruh cuaca terhadap permukaan lapis keras, b . c. d. Pemberian lapis permukaan baru di atas lapis keras lama, Membongkar lapis keras yang rusak dan menggantinya dengan lapisan baru, Pelaksanaan dengan teknik hot in-place recycling, antara lain dengan mencampur kembali ( remixing ) lapis permukaan lama dengan atau tanpa penambahan bahan additive dan menghampar kembali untuk mendapatkan profil yang diinginkan, e. Pelaksanaan dengan teknik cold in-place recycling dan rehabilitasi lapis pondasi.
20

II.7

Perkerasan Daur Ulang Rehabilitasi/peningkatan dan pemeliharaan dari sistem transportasi sekarang adalah

mahal, menghabiskan waktu dan pengadaan material yang banyak. Proses daur ulang mungkin memberikan beberapa keuntungan dari penggunaan cara konvensional. Diantara keuntungan utama adalah penghematan agregat, aspal, energi dan juga pemeliharaan serta kondisi asli dari geometrik jalan (Epps, 1981; Little, 1981; Little, 1982; Scherochman, 1979).[7] Konsep perkerasan daur ulang sudah ada dan bertahuntahun masih digunakan. Barubaru ini karena sangat tertarik dengan penghematan seperti faktor energi dan bahan, daur ulang menjadi suatu pilihan yang menarik untuk rehabilitasi perkerasan. Daur ulang meliputi penglupasan perkerasan, penghancuran, penambahan aspal atau bahan peremaja dan agregat baru jika diperlukan (Epps, 1980).[7] Jenis perkerasan daur ulang dapat dibagi dalam tiga golongan (Lida A and Maruyama M., 1983; Epps, 1980; Little, 1982; Scherochman, 1979)[7,8], seperti dibawah ini : a. Surface Recycling, cara ini terdiri dari pekerjaan ulang lapisan permukaan perkerasan yang ada dari ketebalan 25 mm atau kurang. Beberapa jenis peralatan yang digunkaan sekarang ini untuk daur ulang lapisan permukaan perkerasan, meliputi heater planers dan heater scarifiers, cold planning dan mesin cold milling serta hot millers, b. In place recycling, seperti pembangunan ulang yang umumnya dikerjakan dengan cara dingin yaitu menggunakan kembali agregat tanpa memanaskan. Cara ini terdiri dari penggarukan lapisan permukaan (surface) atau lapisan bawah (base) dari perkerasan aspal dengan kedalaman lebih dari 25 mm. Lapisan perkerasan itu biasanya dihancurkan ditempatnya. Untuk mencapai gradasi yang direncanakan, agregat baru ditambahkan pada bahan perkerasan yang sudah hancur (reclaimed) bila diperlukan. Bahan penstabilisasi seperti aspal keras, aspal emulsi, semen, kapur dan bahan peremaja kimia lainnya dapat ditambahkan setelah proses pulverisasi. Pencampuran ditempat dengan menggunakan stabilisator dan alat pulvimixer. Akhirnya bahan perkerasan dibentuk pada puncak dan kemiringan yang baik dan kemudian dipadatkan, c. Central plant recycling, cara ini dimana lapisan perkerasan digaruk dan dipindahkan dari jalan tersebut. Material ini kemudain dipecahkan dan dianalisa tingkah laku atau karakteristik hasil campuran dari perencanaan campuran lapisan perkerasan tersebut. Agregat dan aspal keras, dengan atau tanpa suatu bahan peremaja, ditambahkan pada bahan garukan melalui satu dari dua tipe aspal plant yaitu batch plant atau drum dryer

21

mixer. Hasil dari hot mix ini kemudian dihamparkan pada jalan dengan menggunakan cara dan alat konvensional dan akhirnya dipadatkan seperti biasa oleh rollers. Berdasarkan metode pencampuran teknologi daur ulang dibagi menjadi 2 : a. Daur ulang campuran dingin (cold recycling), contohnya : CTRB (Cement Treated Recycling Base), CTRSB (Cement Treated Recycling Sub Base), Campuran dengan pengikat aspal emulsi, aspal cair, dan aspal bitumen atau CMRFB-Base (Cold Mix Recycling Base by Foam Bitumen), b. Daur ulang campuran panas (hot recycling), contohnya : daur ulang bahan garukan yang dipanaskan kembali di AMP (in plant) dan di permukaan (in place). Pemilihan dari jenis dan metode daur ulang yang akan digunakan akan sangat bergantung pada banyak faktor, diantaranya ketebalan lapis perkerasan yang didaur ulang, tingkat kerusakan, jenis konstruksi perkerasan, kondisi lalulintas dan ketersediaan alat. Pada penelitian ini metode yang di pergunakan oleh penulis adalah Cement Treated Recycling Base (CRTB). II.8 Metode Cement Treated Recycling Base (CTRB) CTRB dapat berupa campuran antara RAM (Reclaimed Agregate Material) dengan semen atau campuran antara RAM dan RAP (Reclaimed Asphalt Pavement) dan agregat baru dengan semen yang dicampur di unit produksi campuran beraspal sentral (in plant) atau di tempat (in place). Bahan dan cara pengerjaannya CTRB meliputi: a. Semen Hidrasi dari semen merupakan faktor penting pada perubahan sifat teknis dari material. Perubahan ini terwujud dari adanya pembentukkan sementasi material selama proses hidrasi. Ikatan yang kuat antara partikel secara terus menerus membentuk suatu rangkaian yang keras dan selanjutnya menjadi material kuat dan permanen. Faktor yang mempengaruhi stabilisasi bahan garukan dari semen adalah 1) Tipe campuran Untuk menurunkan indeks plastisitas material dibutuhkan kadar semen yang relatif kecil dibandingkan untuk meanmbah kekuatan dari campuran. Material berbutir, indeks plastisitas < 15 % akan menguntungkan apabila distabilisasi dengan semen (SNI 03-3438-1994). 2) Jumlah dan tipe dari semen - Penentuan prosentase dari semen ditentukan berdasarkan berat atau volume,
22

- Tipe semen terdiri dari type 1, 2, 3, 4 dan 5. Kriteria masing-masing tipe tergantung oleh proporsi bahan baku, suhu pembakaran dan kehalusan penggilingan. b. Pencampuran Homogenitas campuran sangat dibutuhkan untuk mencapai kekuatan maksimum. Waktu pencampuran yang dibutuhkan adalah dari saat air ditambahkan terhadap matrial bahan garukan dan semen hingga campuran terlihat homogen. Pemadatan segera dilakukan untuk menghindari proses hidrasi berlangsung karena keterlambatan akan mengakibatkan campuran menjadi sukar untuk dipadatkan. c. Pemadatan Pemadatan laboratorium untuk menentukan kadar air optimum dan kepadatan maksimum dilakukan dengan modified compaction test. Masalah yang sering timbul adalah waktu yang terbatas antara pencampuran dan pemadatan di lapangan. Hal ini terjadi karena proses ikat antara semen dan air dan material berlangsung sangat cepat sehingga apabila proses ini terlampaui sebelum pemadatan berakhir, campuran sudah bersifat semi plastis sehingga pemadatan kurang maksimal. d. Kadar Air Jumlah kadar air dalam campuran mempengaruhi kekuatan dan kepadatan dari campuran bahan garukan dan semen. e. Perawatan Merupakan proses pemeliharaan campuran pada masa dan temperatur tertentu guna menjamin hidrasi dari semen dan pengerasan campuran berlangsung secara normal. Pada masa perawatan air yang terkandung dalam campuran akan keluar perlahanlahan seiring dengan hal tersebut kekuatan campuran akan bertambah besar. f. Kriteria Kekuatan tanah yang distabilisasi akan meningkat sesuai dengan besar kadar semen yang ditambahkannya, sehingga bahan dapat dipergunakan sebagai lapis perkerasan dengan kualitas yang lebih tinggi sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Material daur ulang yang distabilisasi dengan semen masih mempunyai sifat linier elastis yang memungkinkan untuk dianalisa sebagai perkerasan aspal (Rusbintardjo, G, 1992 cc Djoko Widayat, 2007).

23

Kekuatan campuran CTRB dan CTRSB ditentukan berdasarkan kuat tekan, didalam spesifikasi khusus kekuatan minimum harus memenuhi persayatan dalam Tabel dibawah ini. Tabel 2.1 Kekuatan Campuran CTRB dan CTRSB
Kuat Tekan pada umur 7 hari (Kg/cm2) Peruntukan UCS (diameter 70 mm x tinggi 140 mm) Min. 30 Min. 20 Kuat Tekan Silinder Beton (diameter 150 mm x tinggi 300 mm) Min. 35 Min. 25 Sumber : Pustlitbang Jalan dan Jembatan PU, 2007

CTRB CTRSB

Pada Lokasi pekerjaan lalulintas tidak diijinkan lewat di atas CTRB atau CTRSB minimum 4 hari sesudah pemadatan terakhir dan mengalihkan lalu lintas dan membuat jalan alternatif (berdasarkan Spesifiaksi Umum pelaksanaan Cement Treated Base (CTB)).[10]

24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1

Lokasi dan Bahan Penelitian Lokasi studi dalam penelitian ini adalah ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang

Batas Kabupaten Kendal (KM. SMG. 80+600 s/d 82+400) dan Laboratorium Mekanika Tanah, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang serta Laboratorium Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementrian Pekerjaan Umum, Surabaya. Bahan atau material yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan yang diambil dari lapis perkerasan di ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang Batas Kabupaten Kendal (KM. SMG. 80+600 s/d 82+400) tersebut. III.2 Alat yang digunakan

Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan adalah : a. Penelitian dilapangan menggunakan : 1) Satu set alat Dynamic Cone Penetrometer (DCP), 2) Satu set alat uji California Bearing Ration (CBR), b. Pengujian sifat-sifat tanah dan material hasil daur ulang, terdiri dari : 1) Alat uji konsistensi tanah terdiri dari : alat uji kadar air, uji berat jenis (specific gravity) dan uji berat isi (natural density), 2) Alat uji atterberg limit yang terdiri dari : alat uji batas cair, batas susut, dan batas plastis, 3) Alat uji analisa saringan (sieve analysis) meliputi satu set ayakan standar dan analisa hydrometer berupa satu set alat analisa hydrometer untuk menentukan fraksi ukuran butir bahan uji, 4) Satu set alat geser langsung (direct shear test), c. Pembuatan desain campuran (job mix design) untuk CTRB, diperlukan alat berupa : 1) Alat uji analisa saringan (sieve analysis) meliputi satu set ayakan standar, 2) Alat uji tekan (Unconfined Compresive Strength (UCS)), 3) Alat pembuat benda uji tekan silinder beton dan alat uji tekan silinder beton, 4) Alat uji kadar air untuk menentukan kadar air optimum dan berat jenis kering maksimal dari agregat.

25

III.3 a.

Prosedur Penelitian Penyelidikan Lapangan Penyelidikan lapangan dilakukan terlebih dahulu sebelum penelitian di laboratorium dan pembuatan campuran (job mix design). Penyelidikan lapangan yang dilaksanakan antara lain : 1) Pekerjaan pembuatan test pit, 2) Pemeriksaan visual struktur perkerasan, 3) Pengambilan contoh tanah terganggu dan tidak terganggu pada tanah dasar (subgrade), 4) Pengujian DCP (Dynamic Cone Penetrometer) pada semua lapis struktur (base, sub base dan subgrade), dan 5) pengujian CBR (California Bearing Ratio) lapangan (CBR insitu).

b.

Penelitian sifat-sifat tanah dan material hasil daur ulang Penelitian sifat-sifat tanah dan material hasil daur ulang dilakukan untuk mengetahui konsistensi tanah dan batas-batas Atterberg, meliputi : 1) Pemeriksaan kadar air alami (natural water content), 2) Pemeriksaan berat jenis (specific gravity), 3) Pemeriksaan batas cair (liquid limit), 4) Pemeriksaan batas plastis (plastic limit), 5) Pemeriksaan gradasi tanah (grain size analysis), dan 6) Pemeriksaan geser langsung (direct shear). Dari hasil penelitian laboratorium ini digunakan untuk mengetahui sifat dasar (index properties) dan klasifikasi tanah tersebut. Jenis-jenis pengujian pendahuluan serta metode pengujian tercantum pada tabel 3.1. Tabel 3.1. Jenis dan Metode Pengujian Prosedur Pengujian Jenis Pengujian Bina Marga AASHTO Kadar air Berat jenis Berat isi Batas cair Batas plastis Distribusi ukuran partikel 0117-76 0108-76 2024-76 0109-76 0110-76 0105-76 dan T-100-90 T-100-90 T-88-90 T-90-90 T-88-81

No 1 2 3 4 5 6

ASTM D-265-86 D-854-92 D-2937-72 D-424-66 D-424-74 D4318-95a


26

0106-76 7 8 c. Hydrometer Geser langsung 0106-76 da 0107-76 0116-76 T-88-72 T-234-79 C-422-72 D3080-79

Pembuatan desain campuran (Job Mix Design) Pembuatan desain campuran (job mix design) dilakukan untuk mendapatkan formula campuran yang hasilnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

d.

Langkah-langkah penelitian 1) Dilakukan pengamatan lapangan secara visual di ruas Jalan Pantura Batang Weleri (KM. SMG. 82+950 s/d 84+000) untuk mengetahui permasalahan yang ada pada lapis perkerasan diruas jalan tersebut. 2) Dicari dan dipelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang diamati pada pengamatan dilapangan di ruas Jalan Pantura Batang Weleri (KM. SMG. 82+950 s/d 84+000), 3) Dilakukan persiapan-persiapan dan pengumpulan data yang berkaitan dengan keadaan jalan tersebut sebelumnya, 4) Dilaksanakan penyelidikan lapangan,dan pengambilan contoh tanah, aspal dan material yang ada dilapangan dan akan didaur ulang, dan pengujian dilapangan yaitu uji DCP dan CBR insitu, 5) Dilakukan pengujian sifat-sifat material dasar dari material daur ulang di laboratorium agar didapatkan data-data penelitian, dan selanjutnya dilakukan pengolahan data, 6) Pembuatan Job Mix Design di laboratorium untuk mendapatkan formula campuran CTRB yang sesuai dengan hasil yang telah ditetapkan, 7) Dilakukan analisa dari hasil uji sifat-sifat material daur ulang pembuatan job mix design, 8) Diambil kesimpulan dari penelitian yang sudah dilakukan. dan hasil dari

III.4 a.

Job Mix Design CTRB Urutan pembuatan job mix design CTRB Data laboratorium yang akan digunakan untuk pembuatan Job Mix Design CTRB terdiri dari beberapa hasil pengujian material. Dari data tersebut dapat digunakan untuk proses pembuatan Job Mix Design CTRB. Berikut adalah detail proses pembuatan Job Mix Design CTRB :
27

1) Bahan Bahan campuran terdiri atas bahan garukan perkerasan, semen dan air. Apabila bahan garukan tidak memenuhi persyaratan gradasi, maka harus ditambahkan agregat baru. a) Bahan garukan perkerasan Bahan garukan perkerasan digunakan sebagai agregat, diperoleh dari campuran lapis perkerasan lama yang digaruk dan di hancurkan hingga lolos saringan 1 inci (37,50 mm) untuk lapis pondasi dan lolos saringan 2 inci (50 mm) untuk lapis pondasi bawah. Bahan garukan perkerasan harus kering udara b) Agregat baru Agregat yang akan ditambahkan dapat berupa batu pecah, sirtu, sirtu pecah, slag, pasir, abu batu atau kombinasi dari beberapa bahan ini yang memenuhi persyaratan. Agregat baru terdiri dari agregat kasar dan halus. i. Agregat kasar

Agregat kasar yang tertahan pada ayakan No.8 (2,36 mm) dapat terdiri atas batu pecah, sirtu pecah atau slag yang keras, awet dan bersih. Agregat kasar yang berasal dari sirtu/kerikil, harus mempunyai paling sedikit satu bidang pecah. ii. Agregat halus

Agregat halus yang lol os ayakan No. 8 (2,36 mm) dapat terdiri atas pasir alam atau abu batu dan parti kel halus lainnya yang bersih. Fraksi yang lolos saringan No. 200 (0,075 mm) harus tidak lebih dari

dua pertiga fraksi yang l olos saringan No. 40 (0,425 mm). Agregat harus bebas dari gumpalan lempung atau bahan-bahan lain yang tidak dikehendaki dan memenuhi sifat-sif at yang diberikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Persyaratan mutu agregat

Sumber : Pd T-08-2005, Departemen Pekerjaan Umum

28

c) Semen Semen yang digunakan sebagai bahan tambah adalah semen Portland tipe I sesuai SII 13 - 1977. d) Air Air yang digunakan untuk mencampur, merawat atau penggunaan lainnya harus bebas dari minyak, sulfat dan klorida atau bahan lainnya yang

merugikan terhadap hasil akhir. Ketentuan air yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Ketentuan Air

Sumber : Pd T-08-2005, Departemen Pekerjaan Umum 2) Peralatan Peralatan laboratorium yang digunakan dalam pengujian harus memenuhi persyaratan ketelitian dan kalibrasi. Peralatan meliputi : a) 1 set pengukur Berat Jenis agregat kasar dan halus, b) 1 set pengukur Batas Cair Casagrande dan Batas Plastis, c) 1 set saringan ukuran dari 2 inci (50 mm) hingga No.200 (0,075 mm), d) 1 set alat uji kepadatan berat, e) 1 set alat uji kuat tekan bebas, ukuran tabung dim. 7 cm dan tinggi 14 cm, f) Alat pengaduk dan alat bantu lainnya 3) Perencanaan Campuran Perencanaan campuran dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan kadar semen yang menghasilkan kekuatan campuran optimum dan memenuhi kriteria kekuatan campuran daur ulang perkerasan dengan bahan tambah semen. Pencampuran harus homogen. a) Gradasi Gradasi campuran bahan garukan atau kombinasi bahan garukan dan agregat baru sesuai dengan gradasi seperti ditunjukkan pada Tabel 3.4.

29

Tabel 3.4 Gradasi Campuran

Sumber : Pd T-08-2005, Departemen Pekerjaan Umum b) Kriteria kekuatan campuran Kekuatan campuran akan meningkat sesuai dengan meningkatnya kadar semen yang ditambahkan, sehingga campuran dapat dipergunakan sebagai lapis perkerasan dengan kualitas sesuai kriteria kekuatan yang di syaratkan pada Tabel 3.5. Tabel 3.5 Kreiteria kekuatan campuran daur ulang perkerasan dengan semen

Sumber : Pd T-08-2005, Departemen Pekerjaan Umum c) Penentuan kadar semen i. Pengujian berat isi kering maksimum dan kadar optimum - Kadar semen dan air yang diperlukan harus ditunjukkan sebagai persentase terhadap berat total agregat, - Tentukan 5 variasi kadar semen untuk 5 set benda uji dengan rentang antara 1,5% - 7,5% berat total agregat, dengan interval sama, - Untuk berbagai variasi kadar semen, kadar air optimum perkiraan ditetapkan (umumnya pada rentang 5% - 8% terhadap berat total agregat, untuk kadar semen yang rendah dipilih kadar air perkiraan yang rendah, demikian pula kadar semen yang tinggi dipilih kadar air perkiraan yang tinggi pula), - Siapkan benda uji agregat sesuai prosedur SNI 03-1743-1989 metode D, - Bagilah setiap set benda uji agregat menjadi 6 bagian dan tiap bagian dicampur air dengan kadar air yang berbeda yang bervariasi antara 1-3%. Penambahan air di atur sehingga didapat 3 benda uji dengan kadar air
30

kira-kira dibawah optimum dan 3 benda uji dengan kadar air kira-kira diatas optimum, - Sebelum penambahan semen, tambahkan air sekitar 50% dari total yang diperlukan ketiap benda uji agregat, aduk sampai merata, masing-masing benda uji dimasukkan kedalam kantong plastik, kemudian peram berkisar antara 18 24 jam, - Setelah pemeraman, tambahkan semen dan air kekurangannya ke tiap benda uji, aduk sampai merata, kemudian segera lakukan pemadatan untuk menghindari proses hidrasi yang terlalu cepat, - Tentukan berat isi kering maksimum dan kadar air optimum tiap benda uji agregat dan semen yang diperoleh dari percobaan Pemadatan Berat (SNI 03-1743-1989). ii. Pengujian kuat tekan bebas (KTB) - Siapkan benda uji untuk pengujian KTB seperti disebutkan sebelumnya masing-masing 2 contoh dengan kepadatan maksimum dan kadar air optimum didapat dari percobaan pemadatan berat (SNI 03-1743-1989). Benda uji untuk pengujian KTB dalam bentuk silinder berdiameter 7 cm dan tinggi 14 cm. Masing-masing benda uji dibungkus plastik lalu disimpan pada tempat pemeraman pada temperatur ruang masing-

masing selama 7 hari. Guna menjaga kondisi tetap lembab, benda uji ditutup karung basah, - Setelah pemeraman, lakukan pengujian kuat tekan bebas sesuai SNI 036887-2002. iii. Pemilihan kadar semen, kadar air optimum dan berat isi kering maksimum - Gambarkan grafik hubungan antara kadar semen campuran dengan KTB setiap variasi kadar semen untuk menentukan kadar semen yang

memberikan nilai KTB yang di syaratkan pada Tabel 3.5, - Gambarkan grafik hubungan antara kadar semen campuran dengan kadar air optimum setiap variasi kadar semen untuk menentukan kadar air optimum campuran pada kadar semen yang dipilih, - Gambarkan grafik hubungan antara kadar semen campuran dengan berat isi kering maksimum setiap variasi kadar semen untuk menentukan

kepadatan kering maksimum campuran pada kadar semen yang dipilih.

31

III.5 -

Diagram Alir Penelitian Diagram alir penelitian


Mulai

Studi Pendahuluan

Latar Belakang dan Rumusan Penelitian

Tujuan Penelitian

Pengumpulan Data

Analisa Lapangan dan Laboratorium

Analisa Perhitungan

Penyelidikan Laboratorium

Penyelidikan Lapangan

Pengambilan data Lalulintas Harian

Persiapan Alat dan Lokasi

Hasil Perhitungan

Uji Lapangan & Pengambilan Material

Sifat-sifat tanah dan Material Daur Ulang

Desain Campuran (Job Mix Design)

CTRB

Hasil Uji Lab.

Hasil Desain

Hasil Uji Lap.

Analisa Hasil Pembahasan & Kesimpulan Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian


32

Diagram alir pembuatan Job Mix Design untuk CTRB Mulai

Agregat

Air

Semen

RAM

Agregat Baru

Sesuai SNI 03-6817-2002

Sesuai SNI 15-2049-1994

- Sesuai gradasi tabel 2.1 -

Menentukan hub. kadar air, Agregat dan semen, (SNI 03-6886-2002), didapat : - Kepadatan Kering Maks. (MDD) - Kadar Air Opt. (OMC)

Membuat 4 benda uji untuk uji tekan (UCS)

Uji UCS sesuai dengan SNI 03-6429-2000 Tidak Memenuhi syarat? Ya Memilih Campuran Optimum Hasil Job Mix Design

Selesai Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian untuk Pembuatan Job Mix Design CTRB

33

III.6

Jadwal Penelitian Rencana jadwal penelitian adalah sebagai berikut : Tabel 3.6 Jadwal Penelitian

Bulan Minggu Proposal Tesis Seminar Proposal Tesis Survey Pendahuluan Pengumpulan Data Analisa Data Bab I. Pendahuluan Bab II. Tinjaun Pusataka Bab III. Metode Penelitian Bab IV. Analisa dan Rekomendasi Bab V. Kesimpulan Draft Laporan Tesis Seminar Hasil Penelitian/Tesis Ujian tesis Revisi
01

Februari 02 03 04 05

Maret 06 07 08 09

April 10 11 12

Mei 13 14

34

DAFTAR PUSTAKA [1] [2] Hadihardja, J., 1997, Rekayasa Jalan Raya, Penerbit Gunadarma, Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum, 1987, Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, SNI NO : 03-1732-1989-F , Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta. [3] Augustine, Julia., 2007., Karakteristik Marshall dan Modulus Resilien Campuran Laston Lapis Pengikat (AC-BC) Hasil Daur Ulang (Studi Kasus : Proyek Peningkatan Jalan Palembang Tanjung Api Api)., Tesis, Magister Sistem Teknik Jalan Raya, ITB, Bandung. [4] Sunaryono., 2009., Kajian Penggunaan Lapis Pondasi Agregat yang Distabilisasi Semen., Makalah Penelitian, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. [5] Anas Aly, M., 2007, Teknik Dasar dan Potensi Daur Ulang Konstruksi Jalan, Yayasan Pengembang Teknologi dan Manajemen, Jakarta. [6] Fernandez del Campo, J. A., 2003, Recycling in Road Pavements,

MAIREPAV03_Third International Symposium on Maintenance anda Rehabilitation of Pavements and Technological Control, Universitas of Minho, Guimaraes. [7] Epps J. A., Little D. N., and Holmgreen R. J., (1980), Guidlies for Recycling Pavement Materials, Transportation Research Board, Washington D. C.. [8] Lida A. and Maruyama M., (1983), Surface Recycling as an Optimum Alternative for Pavement Rehabilitation, The Fourth Conference of The Road Engineering Association of Asia and Australia, Jakarta, Indonesia. [9] Tim Pusat Litbang Jalan dan Jembatan., 2007., Spesifikasi Khusus tentang Cement Treated Recycling Base and Subbase (CTRB and CTRSB) Dicampur di Tempat (Mix in Place)., Pusat Litbang Jalan dan Jembatan., Bandung. [10] Tim Pusat Litbang Jalan dan Jembatan., 2007., Spesifikasi Khusus tentang Daur Ulang Campuran Beraspal Dingin Lapis Pondasi dengan Foam Bitumen (Cold Mix Recycling Base by Foam Bitumen, CMRFB)., Pusat Litbang Jalan dan Jembatan., Bandung. [11] AASHTO, 1986, Pavement Design Procedure For New Construction or

Reconstruction, AASHTO Guide for Design of Pavement 1986, The American Association of State Highway ad Transportation Officials, Washington DC 20001.
35

[12] Soedharmanto dan Dardak, 1992, Percobaan Daur Ulang in Place di Camp. Gunung Putri Jalan Tol Jagorawi. Badan Penelitian dan Pengembangan PU, Bandung. [13] Reichert,U,1977, Modern Methods of Road Maintenance. Wirtgen GmbH. West Germany. [14] Departemen Pekerjaan Umum, 2005, Pedoman Teknik Perencanaan Campuran Lapis POndasi Hasil Daur Ulang Perkerasan Lama Dengan Semen (Pd.T-08-2005), Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta. [15] Departemen Pekerjaan Umum, 1990, Metode Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Air Agregat Kasar (SNI 03-1969-1990), Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta. [16] Departemen Pekerjaan Umum, 1989, Metode Pengujian Kepadatan Berat Untuk Tanah (SNI 03-1743-1989), Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta. [17] Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Metode Pengujian Kuat Tekan Bebas Campuran Tanah Semen (SNI 03-6887-2002), Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta.

36

LAMPIRAN 1
Peta Lokasi Penelitian

37

38

39

LAMPIRAN 2
Foto Kondisi Jalan Eksisting
40

Kondisi KM SMG 80+900

Kondisi KM SMG 81+400

Kondisi KM SMG 82+750

Kondisi KM SMG 82+950

41

LAMPIRAN 3
Foto Kondisi Jalan Pada Proses Daur Ulang
42

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

43

LAMPIRAN 4
Foto Kondisi Jalan Pada CTRB
44

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

45

LAMPIRAN 5
Foto Kondisi Jalan Pada AC-Base
46

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

47

LAMPIRAN 6
Foto Kondisi Jalan Pada AC-Binder
48

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

49

LAMPIRAN 7
Foto Kondisi Jalan Pada AC-Wearing
50

Kondisi KM SMG 81+600

Kondisi KM SMG 81+600

Kondisi KM SMG 81+600

Kondisi KM SMG 81+600

51

You might also like