You are on page 1of 4

Resensi novel KERING

Perjuangan Belum Berakhir!

Judul Novel : KERING Penulis Penerbit Tebal Harga : Iwan Simatupang : PT Toko Gunung Agung, Jakarta, Cetakan keenam, 1995 : 168 Halaman :-

Sebuah tongkat besar dari kayu, yang ditancapkan dalam bekas-bekas lubang mata air, bercerita tentang betapa sia-sia usaha mereka merongrong air dari situ. Mereka; para transmigran di suatu perkampungan transmigran yang sudah sekian lama dilanda kemarau. Kemarau itu jugalah, yang mengeringkan semangat mereka untuk tetap tinggal. Setelah melalui diskusi yang cukup pelik, mereka memutuskan untuk pindah. Namun tokoh kita bersikeras untuk tetap tinggal. Satu-satunya orang yang memutuskan untuk tetap tinggal. Demikianlah Iwan Simatupang memulai lembaran kisah miris dalam novelnya yang berjudul KERING. Novel ini mengusung perjuangan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui transmigrasi sebagai temanya. Transmigrasi bukan piknik. Bukan pula kemah gaya pramuka. Sungguh bukan sesuatu yang mudah. Terlebih yang dihadapi para transmigran ini adalah alam yang susah ditebak; apakah ia akan berkawan, atau malah menjadi lawan. Bersettingkan sebuah pemukiman transmigran yang gersang, tandus dan kering, Iwan mengajak pembaca untuk membayangkan pahitnya kehidupan para transmigran. *** Novel ini berkisah tentang seorang mahasiswa berotak cemerlang, Tokoh kita; demikian penulis menyebutnya, atas kehendaknya sendiri meninggalkan bangku kuliah. Ia tidak puas dengan sistem dan materi pendidikan yang diterimanya sehingga diputuskannya untuk bertransmigrasi. Di sinilah awal pertemuannya dengan si Kacamata dan si Gemuk pendek. Belakangan diketahui bahwa si Kacamata bertransmigrasi lantaran lari dari tanggung jawab setelah menghamili salah seorang muridnya. Sedangkan si Gemuk pendek adalah seorang penjudi yang baru saja bebas dari penjara setelah menggelapkan dana

Resensi novel KERING

perusahaan. Mereka bertiga berkawan karena merasa senasib; sama-sama menjadi transmigran spontan. Kehidupan tidak lantas begitu saja berpihak pada mereka. Kemarau berkepanjangan membuat satu per satu transmigran memutuskan untuk pergi dari tempat yang lebih layak disebut neraka dunia itu. Semuanya pergi. Semua, kecuali satu: dialah Tokoh kita. Di perkampungan kecil itu, hanya ada air minum seguci. Beras, jagung, gaplek, masing-masing satu karung. Garam dua balok. Ikan asin beberapa kerat. Sebungkus korek api. Sekaleng minyak tanah. Kesemuanya itu merupakan warisan dari transmigran lain yang merasa simpati pada Tokoh kita. Cukuplah untuk bertahan selama paling tidak, 2 bulan. Selebihnya urusan nanti, demikian perhitungan Tokoh kita. Tokoh kita menyibukkan dirinya dengan menggali sumur, siapa tahu saja di entah kedalaman berapa, akan muncul air. Ia terus menggali hingga otot-ototnya semakin kekar. Namun tak kunjung didapati olehnya mata air. Hingga pada suatu hari Tibalah hari dimana makanannya habis. Dari tiga kali, ke dua kali, ke satu kali, dan kini nol kali makan sehari. Dia terpaksa hidup dengan keadaan begitu, berhari-hari. Dia putuskan untuk terus menggali dan menggali sampai jauh malam. Ototnya tak lagi kekar, lebih terlihat seperti kumpulan tulang yang dibalut dengan daging yang amat tipis lantaran tak makan berhari-hari. Di suatu malam, ia tidak dapat tidur. Ia risau. Bagaimana esok? Semakin dia memikirkannya, semakin risau dia. Kemudian dia lari. Lari ke luar rumah. Dibakarnya gubuk beserta seluruh perkampungan itu. Dalam sekejap, perkampungan itu menjadi hitam termakan api. Ia pun pingsan. Fisiknya tak mampu mengampu penderitaan yang sekian lama menghantuinya. Begitu bangun ia sudah ada di Rumah Sakit Umum. Rupa-rupanya petugas transmigrasi yang sedang menginspeksi perkampungan transmigran itu, menemukan Tokoh kita tergeletak di pinggir pemukiman yang telah ludes oleh api. Segera mereka membawanya ke rumah sakit, bagian kejiwaan lebih tepatnya. Keluar dari rumah sakit, Tokoh kita terkatung-katung berjalan tanpa tujuan. Di setiap persimpangan, dipicingkan matanya untuk memilih jalan selanjutnya. Ia berjalan mengikuti nalurinya. Nasib mempertemukannya dengan kawan lamanya; si Gemuk. Diajaknya Tokoh kita ke rumahnya. Ketika sampai, alangkah terkejutnya Tokoh kita! Takjub lebih tepatnya! Rumah si Gemuk begitu mewah dan wah. Bagaimana mungkin? Tiga bulan adalah waktu yang singkat

Resensi novel KERING

untuk mendapatkan semua revolusi kehidupan ini. Si Gemuk menceritakan riwayatnya yang kini menjadi gembong penyelundupan uang palsu kaliber internasional bersama si Kacamata, yang kemudian mati tertembak ketika dia tengah beraksi dan ketahuan petugas pelabuhan. Tokoh kita menolak ketika si Gemuk menawarinya agar tetap tinggal bersamanya. Dia lebih memilih untuk melanjutkan perjalanannya. Entah kemana. Perjalanannya ini mempertemukannya dengan si Janggut; bekas gembong gerombolan perampok, di suatu yang tempat yang jauh dari kota. Di tempat mantan gembong inilah Tokoh kita memilih untuk tinggal. Pada akhirnya si Janggut mati lantaran kelaparan. Tokoh kita kesepian lagi. Ia putuskan untuk kembali pada kawan lamanya. Walhasil, ternyata si Gemuk mati tertembak dan berkata kepada wanita di rumahnya bahwa ia mewariskan kekayaannya kepada Tokoh kita. Uang yang tak terhitung banyaknya itu digunakannya untuk membangun sebuah kota transmigrasi. Di kala ia merintis usahanya membangun kota transmigrasi, Badan Meteorologi meramalkan bahwa hujan akan turun dalam waktu dekat. Hujan dapat menghambat pembangunan kotanya! Tokoh kita kembali dilanda kerisauan. Ia memang telah biasa menunggu, tapi kali ini tidak lagi. Ia mulai menggila dan hampir bunuh diri karenanya. Bagaimana ending-nya? Ia urung melakukannya. Kembalilah ia ke proyek kota transmigrasinya. Ketika itu hujan turun dengan derasnya, sehingga merobohkan bangunan yang belum sempat terselesaikan itu. Disingsingkan lengannya, ditegakkannya kerah bajunya bersama pekerjapekerja yang dibayarnya. Dilawannya alam. Lagi. Untuk kesekian kalinya. *** Membaca novel karya Iwan Simatupang ini pembaca tidak hanya disuguhkan pada cerita yang menarik bukan hanya dari segi isinya saja, akan tetapi juga dari segi kebahasaannya yang indah, realis, singkat, namun padat makna. Selain itu, ceritanya mengalir, dalam artian: pergantian dari suasana ke suasana tidak langsung kontras. Rupanya penulis cukup cerdas dalam menjalin koherensi antara kisah yang satu dengan kisah berikutnya. Satu hal yang sangat menonjol dari novel KERING adalah penokohannya yang cukup unik. Iwan tidak serta merta menamai tokoh-tokohnya. Bahkan semua tokoh disebutkannya dalam nama julukan (si Kacamata, si Gemuk, tokoh kita, petugas transmigrasi)

Resensi novel KERING

yang justru dapat mengingatkan pembaca pada karakter si tokoh. Penggambaran karakter tiap-tiap tokoh pun jelas dan sesuai bidangnya. Hal ini menunjukkan intelektual penulis memang cukup luas. Sedikit yang agak mengganggu adalah penulisan dialog antar tokoh yang tidak disertakan siapa yang mengucapkan. Terkadang ini cukup membingungkan pembaca, apalagi untuk dialog yang banyak. Selebihnya, novel ini merupakan karya sastra yang inspiratif dan sarat akan nilai-nilai kehidupan.

You might also like