You are on page 1of 22

PENDEKATAN

DALAM
PENELITIAN HUKUM
Penelitian hukum:
terdpt bbrp pendekatan

 pendekatan undang--undang (statute approach)


 pendekatan kasus (case approach)
 pendekatan historis (historical approach)
 pendekatan komparatif (comparative approach)
 pendekatan konseptual (conceptual approach).

dengan pendekatan tersebut:


peneliti akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang sedang
dicoba untuk dicari jawabnya.
Pendekatan undang-undang
(statute approach)

dilakukan dengan menelaah semua UU dan regulasi


yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani

☼ Bagi penelitian untuk kegiatan praktis:


= akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk
mempelajari adakah konsistensi dan kesesusaian antara:
- suatu UU dengan UU lainnya, atau
- UU dan UU, atau
- regulasi dan UU

= Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk


memecahkan isu yang dihadapi.
Pendekatan undang-undang
(statute approach)

☼ Bagi penelitian untuk kegiatan akademis:

= mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya UU tsb

= Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis


suatu UU peneliti sebenarnya mampu menangkap
kandungan filosofi yang ada di belakang UU itu.

= Memahami kandungan filosofi yang ada di belakang UU


itu, peneliti tsb akan dapat menyimpulkan mengenai ada
tidaknya benturan filosofis antara UU dengan isu yang
dihadapi.
Pendekatan kasus (case approach)

☼ dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus


yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.

☼ dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara


lain.

☼ menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio


decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk
sampai kepada suatu putusan.

☼ ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi


penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.
Pendekatan kasus (case approach)
tidak sama dengan
studi kasus (case study)

 Pendekatan kasus (case approach):


beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi
suatu isu hukum.

 Studi kasus (case study)


merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari
berhagai aspek hukum
(misalnya kasus Akbar Tanjung yang telah diputus oleh
Mahkamah Agung pada 12 Februari 2004 dilihat dari sudut
Hukum Pidana, Hukum Administrasi, dan Hukum Tata Negara)
Pendekatan historis
☼ dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang
dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai
isu yang dihadapi.
☼ diperlukan oleh peneliti manakala peneliti memang
ingin mengungkap filosofis dan pola pikir yang
melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari.
☼ pengungkapan filosofis dan pola pikir ketika sesuatu
yang dipelajari itu dilahirkan memang mempunyai
relevansi dengan masa kini.
(contoh:
Isu mengenai advokat sebagai officium nobile dikaitkan
dengan Undang-Undang Advokat, misalnya perlu
pendekatan historis mengenai lahirnya jabatan tersebut.)
Pendekatan komparatif
☼ dilakukan dgn membandingkan UU suatu negara dengan UU
dari satu atau lebil negara lain mengenai hal yang sama.

☼ Dapat juga yang diperbandingkan di samping UU juga putusan


pengadilan di beberapa negara untuk kasus yang sama.

Kegunaan pendekatan:
 utk memperoleh persamaan dan perbedaan di antara UU tsb
 utk menjawab mengenai isu antara ketentuan UU dgn
filosofi yang melahirkan UU itu.
 akan memperoleh gambaran mengenai konsistensi antara
filosofi dan UU di antara negara-negara tersebut.
(Hal yang sama juga dapat dilakukan dengan membandingkan putusan
pengadilan antara suatu negara dengan negara lain untuk kasus serupa)
Pendekatan konseptual
☼ beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

☼ akan menemukan ide-ide yang melahirkan:


- pengertian-pengertian hukum,
- konsep-konsep hukum, dan
- asas-asas hukum
yang relevan dengan isu yang dihadapi.

☼ Pemahaman akan pandangan-pandangan dan


doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi
peneliti dalam membangun suatu argumentasi
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
PENDEKATAN PERUNDANG-UNDANGAN

(STATUTE APPROACH)
Kecuali penelitian dlm ruang lingkup hukum adat:
penelitian hukum dalam level dogmatik hukum
atau penelitian untuk keperluan praktik hukum
tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan
perundang-undangan.

Penelitian untuk karya akademik:


pada level teori atau filsafat hukum dapat saja
tidak menggunakan pendekatan perundang-
undangan karena (mungkin) belum ada
ketentuan perundang-undangan yang dijadikan
referensi dalam memecahkan isu hukum yang
diajukan.
Sebagai contoh:

sebelum Indonesia memiliki UU Transaksi Elektronik


(Electronic Transaction Act) tidak tertutup kemungkinan
seseorang ingin mengangkat isu mengenai alat bukti dalam
transaksi elektronik dalam penelitiannya.

-- pendekatan yang dilakukan untuk memecahkan isu tsb


bukan pendekatan perUUan, melainkan pendekatan
konseptual karena isu sentral yang diajukan tsb dalam
ruang lingkup konseptual.

Tidak memahami ”makna” pendekatan perundang-undangan


bisa terjadi dlm melakukan legal research, menempatkan
pendekatan perUUan sebagai salah satu pendekatan
walaupun isu sentral yang diajukan belum diatur oleh UU

Tidak semua penelitian hukum pada level selain


dogmatik dan bukan untuk keperluan praktik
menggunakan pendekatan perUUan
Peneliti perlu memahami:
 hierarki dan
 asas-asas
dalam peraturan perundang-uudangan.

Pasal 1 angka 2 UU No.10 Tahun 2004:


peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Statute  berupa legislasi dan regulasi

Pendekatan peraturan perundang-undangan:


- pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.

Produk yang merupakan beschikking/decree


 suatu keputusan yg diterbitkan oleh pejabat
administrasi yg bersifat konkret dan khusus
(misal: Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan
Bupati, Keputusan suatu badan tertentu, dll)
tidak dapat digunakan dalam pendekatan UUan
Pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004:
Jenis dan Hierarki PerUUan RI
- UUD RI Tahun 1945
- UU/Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Patron Daerah

Pasal 7 (4) UU No. 10/2004:


Jenis Perat PerUUan selain sebagaimana dimaksud Ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan PerUUan yang lebih tinggi

Penjelasan:
Jenis Perat PerUUan selain dlm ketentuan ini, antara lain, peraturan yang
dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan Perwakilan Daerah, MA, Mahmah Konstitusi,
BPK, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD
Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Wali Kota, Kepala Desa atau
yang setingkat".
Apabila dilihat sekilas bunyi penjelasan tersebut dan dikaitkan dengan Pasal 7 (1)
UU No. 10 Tahun 2004:
- seakan-akan kedudukan Peraturan MPR, MA dan organ negara lainnya
secara hierarkis berada di bawah Perda.
Akan tetapi:
-- apabila dicermati bunyi ketentuan Pasal 7 (4) akan terlihat bahwa
peraturan yang dibuat oleh organ negara tersebut tidak lebih
rendah dari Peraturan Daerah.
Hal itu tergantung:
kepada diperintahkan oleh perat perUUan yg mana;
jika diperintahkan oleh UU, Peraturan Bank Indonesia, misalnya
dapat dikatakan setingkat dengan PP karena sama-sama
diperintahkan oleh UU sehingga merupakan regulation;
sebaliknya,
apabila diperintahkan oleh PP, Peraturan Bank Indonesia
berada di bawah PP dan dlm hal ini merupakan delegated
regulation.

Dengan demikian:
bukan lembaga yang menerbitkan perat perUUan yang
menentukan kedudukannya, melainkan perat perUUan yang
mana yang menterintahkan yang menentukan kedudukan
peraturan perUUan dlm hierarki perat perUUan RI.
Hal ini sangat berbeda dengan yang pernah dituangkan
di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan
Ketetapam MPR-RI No. II Tahun 2000.
Perlu memahami:

Asas lex superior derogat legi inferiori


apabila terjadi pertentangan antara perat perUUan yang secara
hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, perat perUUan
yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan.

Dengan mempelajari ketentuan Pasal 7 (1) jo. ayat (4) UU No. 10


Tahun 2004, peneliti tidak lagi terperangkap oleh kesalahan yang
dibuat oleh Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 maupun
Ketetapan MPR-RI No. III Tahun 2000.

Asas lex specialis derogat legi generali


 dua peraturan perUUan yang secara hierarkis mempunyai
kedudukan yang sama, akan tetapi ruang lingkup materi
muatan antara kedua perat perUUan itu tidak sama, maka
peraturan yang satu merupakan pengaturan secara
khusus dari yang lain.
 penggunaan asas ini mensyaratkan bahwa yang
diperhadapkan adalah dua peraturan perUUan dalam
hierarki yang sama.
 Peraturan perUUan yang baru lebih mencerminkan kebutuhan dan
situasi yang sedang berlangsung.

Bagaimana jika perat perUUan yang baru tidak memuat ketentuan


yang dibutuhkan untuk situasi yang sedang dihadapi, tetapi termuat
di dalam perat per yang telah digantikan.

Apabila ketentuan yang termuat di dalam peraturan perUUan


yang lama tersebut tidak bertentangan dengan landasan
filosofis peraturan perundang-undangan yang baru, peneliti
harus dapat menyatakan bahwa ketentuan itul tetap berlaku
melalui aturan peralihan perat perUUan yang baru.

Dengan demikian:
pendekatan perUUan juga mensyaratkan bahwa
peneliti juga perlu mempelajari landasan filosofis
dari setiap perat perUUan yang diacunya.
Peneliti:

☼ dalam pendekatan perundang-undangan


 bukan saja melihat kepada bentuk perat perUUan
tetapi juga
menelaah materi muatannya

mempelajari:
-- dasar ontologis lahirnya UU
-- landasan filosofis UU
-- ratio legis dari ketentuan UU

UU dibuat oleh wakil rakyat yg diandaikan dibuat oleh rakyat

regulasi tidak lain daripada pendelegasian apa yang


dikehendaki oleh rakyat
Untuk memahami dasar ontologis UU
 perlu diacu latar belakang lahirnya UU tsb

Dalam Naskah Akademis:


 akan terlihat landasan filosofis mengapa UU itu diperlukan
 dapat diketahui adanya studi perbandingan yang dilakukan
oleh mereka yang menyiapkannya
 akan diperoleh juga pemahaman mengenai UU negara lain
tentang hal yang sama

 perlu ditelaah risalah pembahasan UU itu di DPR


(Peneliti dalam hal ini harus dapat memilah-milah mana yang dapat
dimasukkan ke dalam dasar ontologis dan filosofis dan mana yang tidak
relevan untuk ditelaah karena hanya pandangan politis)
Peneliti hukum:
 seorang juris
 bukan pengamat
sehingga tidak pada posisi yang netral, melainkan sudah
bersikap kritis terhadap yang ditelaahnya.
 harus tetap berpegang kpd suatu sikap bahwa
hukum bukan sekadar gejala atau fenomena
sosial, melainkan suatu fenomena budaya.
(Sebagai suatu fenomena budaya hukum harus dipandang
sebagai konsep budaya, yaitu suatu konsep realitas yang
dikaitkan dgn nilai-nilai yg justru harus ditampung oleh UU itu)
Undang-undang:
 harus mencerminkan gagasan yg ada di
belakangnya, yaitu keadilan.
 bukan sekadar produk tawar-menawar
politik
(Jika suatu UU cuma menghasilkan dan merupakan
legitimasi dari tawar-menawar politik, UU itu
memang diundangkan dan sah, tetapi secara
hukum sebenarnya tidak pernah ada jika tidak
memuat nilai-nilai keadilan.
Hal inilah yang seharusnya
diungkap oleh peneliti hukum
Sejak awal menjadi mahasiswa hukum sudah
dihadapkan kepada masalah keadilan)
Ratio legis dari suatu ketentuan UU
 perlu ditelaah.

Ratio legis:
 berkenaan dgn salah satu ketentuan dari suatu
UU yang diacu dalam menjawab isu hukum yg
dihadapi peneliti.
 secara sederhana dpt diartikan alasan mengapa
ada ketentuan itu.

Membahas ratio legis suatu ketentuan UU tidak


dapat terlepas dari dasar ontologis dan landasan
filosofis UU yg memuat ketentuan itu.

Membahas ratio legis perlu juga ajaran interpretasi


atau penafsiran.
 sebab tidak semua teks UU jelas.

You might also like