You are on page 1of 89

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Badung adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Bali, Indonesia. Ibu kotanya berada di Mengwi, dahulu berada di Denpasar. Secara geografis Kabupaten Badung terletak membujur dari Utara ke Selatan hampir di tengah-tengah Pulau Bali. Kabupaten Badung berada pada koordinat : 081417085057LS, 1150502-1151509 BT. Batas wilayahnya adalah Kabupaten Buleleng disebelah Utara, Kabupaten Tambanan di Barat, dan Kabupaten Bangli, Gianyar serta Kota Denpasar disebelah Timur. Adapun luas wilayahnya sebesar 418,52 km2, secara administratif Kabupaten Badung di bagi menjadi 6 kecamatan, yaitu : Kecamatan Petang, Mengwi, Abiansemal, Kuta, Kuta Utara dan Kuta Selatan. Kabupaten Badung masih tercatat sebagai daerah terkaya di Provinsi Bali. Sumber kekayaan terbesar dari daerah yang terletak di kawasan selatan Pulau Dewata itu adalah industri pariwisata, bahkan pajak sektor pariwisata telah menyumbang hingga 76,19% bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung. Sektor Pariwisata merupakan sektor andalan Kabupaten Badung, hal ini dimungkinkan karena dukungan potensi sumber daya alamnya. Bermodal fisik lingkungan yang berkontur dengan variasi ketinggian 0-3000 m dari permukaan laut, membuat Kabupaten Badung memiliki ragam bentang alam yang kaya, mulai dari rona pantai hingga pegunungan. Maka dengan potensi ini tidak

mengherankan bila Kabupaten Badung merupakan tempat tujuan wisata utama di Pulau Bali. Obyek-obyek wisata sebagian besar berada di kawasan Kuta dan Nusa Dua, Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODWT) menarik yang biasa dijadikan obyek wisata di Kabupaten Badung meliputi wisata alam maupun buatan, seperti : Air terjun Nungnung, Ayung Rafting, Bumi Perkemahan Dukuh, Bungy Jumping, Desa Petang, Kawasan Nusa Dua, Monumen Tragedi Kemanusiaan, Panggung Kesenian Kuta Timur, Pantai Canggu, Pantai Jimbaran, Pantai Kuta, Legian, Taman Raptil Indonesia Jaya, dan masih banyak lagi tempat wisata yang berada di Kabupaten Badung. Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retibusi Daerah, Pemerintah Daerah berhak memungut pajak sesuai kriteria yang ada di dalam Undang-Undang tersebut. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Badung mengeluarkan peraturan-peraturan yang terkait dengan sektor pariwisata yaitu Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel, Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Pajak Restoran dan Perturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan. Dengan tingginya pendapatan daerah dari sektor pariwisata, apakah dimungkinkan adanya earmarking Pajak Sektor Pariwisata untuk meningkatkan keamanan daerah-daerah wisata itu sendiri. Karena faktor keamanan adalah unsur yang sangat penting bagi kepariwisataan, rasa aman dan nyaman merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam dinamika kepariwisataan, karena tanpa faktor yang kodusif dan terjaga maka akan mengganggu tingkat kedatangan

wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Badung. Tentunya fasilitas dan saranasarana yang ada menjadi percuma karena kebutuhan akan perlindungan hukum dan keamanan bagi wisatawan tidak terjamin yang pastinya menimbulkan ketidakpercayaan wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ke obyek wisata tersebut. Seperti yang pernah dialami Bali sendiri pasca terjadinya peristiwa Bom Bali yang terjadi secara beruntun di tahun 2002 dan 2005 menimbulkan efek domino yang sangat besar terhadap penerimaan pajak dari sektor pariwisata, dikarenakan dengan sangat menurunnya tingkat kedatangan wisatawan yang disebabkan adanya travel warning oleh beberapa Negara untuk berkunjung ke Indonesia, hal ini dapat dilihat dari jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Badung di tahun 2003 terus mengalami penurunan dari 1.412.839 orang menjadi 988.202 orang yang diakibatkan oleh peristiwa Bom Bali I dan penurunan jumlah wisatawan asing yang datang ke Kabupaten Badung juga kembali terjadi pada tahun 2005 dan 2006 masing- masing 1.386.448 orang dan 1.260.270 orang, penurunan ini diakibatkan oleh peristiwa Bom Bali II1. Berdasarkan tingkat keamanan yang masih sangat kurang maka dibentuklah Polisi Pariwisata berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor pol : kep/58/X/2002 Tanggal 17 Oktober 2002 Tentang Pembentukan Direktorat Pengamanan Pariwisata Polda D.I.Y dan Polda Bali. Selain Polisi Pariwisata di Bali dikenal dengan Desa Adat yang juga mempunyai peran yang cukup penting dalam menjaga, memelihara keamanan tempat-tempat wisata serta wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata, aparatur pengamanan Desa Adat dikenal dengan

Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung

sebutan Pecalang (Polisi Adat), peran Pecalang ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 yang diubah menjadi Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2005 tentang Desa Pakraman. Polda Bali mempuyai tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan pengamanan pariwisata yang meliputi keselamatan, kenyamanan wisatawan, obyek wisata dan mobilitas wisatawan, melalui penugasan Polisi Pariwisata. Kegiatan pengamanan dan pelayanan dilaksanakan melalui upaya-upaya premtif, preventif, represif dan koordinasi lintas sektoral dengan pola pengamanan terpadu sebagai berikut2 : 1) Pengamanan Pengamanan dilaksanakan pada objek atau kawasan wisata, Hotel, tempat tinggal wisatawan dan event-event Internasional serta kepada wisatawan selama kunjungan pada wilayah tugasnya mulai dari pintu masuk ke Bali sampai kepulangan ke tempat asalnya. 2) Pengaturan Pengaturan dilaksanakan pada lingkungan objek atau kawasan wisata, tempat parkir, route-route yang dilewati oleh wisatawan dan objek-objek lain yang dijadikan objek kunjungan. 3) Penjagaan Mengadakan pos-pos penjagaan baik tetap maupun sementara pada lingkungan objek atau kawasan wisata dan atau tempat-tempat lain yang dijadikan kunjungan wisatawan.

Juklak Kapolda Bali No.Pol.: JUKLAK/899/II/2004 tentang TUPOKS Polisi Pariwisata. Hlm 7.

4) Pengawalan Pengawalan dilaksanakan sepanjang route perjalanan wisata baik atas permintaan biro perjalanan, angkutan wisata atau berdasarkan situasi atau kondisi saat itu. 5) Patroli Patroli Dialogis pada lingkungan objek atau kawasan wisata, tempat tinggal dan tempat-tempat lain yang dijadikan objek kunjungan. 6) Penyidikan a. Penyidikan dilakukan sebatas pelanggaran yang dilakukan oleh Biro perjalanan, Money Changer, pramuwisata berkaitan dengan

pendataan dan penertiban perijinan kegiatan pariwisata. b. Penyidikan dilakukan kepada wisatawan yang melanggar Pasal 51, 60, 61 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. 7) Penindakan Melakukan penindakan ( tilang ) atas pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh wisatawan maupun angkutan wisata bekerja sama atau berkoordinasi dengan Dit Lantas/Sat Lantas pada wilayah tugasnya. 8) Memberikan bantuan dan pertolongan darurat kepada wisatawan pada objekobjek wisata maupun tempat tinggal, 9) Menerima Laporan/pengaduan wisatawan dan melakukan TPKP dan penegakkan hukum pada wilayah tugasnya sesuai ketentuan Perundangundangan atau atas petunjuk pimpinan.

Peran Pajak Daerah sektor pariwisata dapat membantu meningkatkan keamanan wisatawan, karena apabila dengan meningkatnya sistem keamanan yang baik dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan Domestik maupun manca negara untuk berkunjung ke daerah wisata di Bali khususnya Kabupaten Badung, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung serta sebagai pencitraan bahwa Indonesia pada umumnya dan Pulau Bali pada khususnya sebagai tempat wisata yang aman dan nyaman. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pada permasalahan yang telah dielaborasi diatas dapat dirumuskan sebagai permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut : a. Permasalahan Hukum Empiris : Bagaimana peran pajak sektor pariwisata dalam meningkatkan keamanan wisatawan di Kabupaten Badung ? b. Permasalahan Hukum Normatif : Apakah dimungkinkan adanya earmarking pajak sektor pariwisata di Kabupaten Badung dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ? 3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data sebagai bahan pengkajian terhadap permasalahan yang berkaitan dengan Peran Pajak Daerah sektor pariwisata dalam meningkatkan keamanan wisatawan di Kabupaten Badung.

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui peran pajak sektor pariwisata dalam meningkatkan keamanan wisatawan. 2. Untuk mengetahui apakah ada earmarking pajak sektor pariwisata yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. 4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, terutama mengenai Peran Pajak Daerah Sektor Pariwisata dalam Meningkatkan Keamanan Wisatawan di Kabupaten Badung. 2. Dapat digunakan Sebagai salah satu kelengkapan dalam persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Gadjah Mada. 3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Badung, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, dan Kepolisian Republik Indonesia khususnya Polisi Pariwisata Kabupaten Badung dalam hal pelaksanaan kegiatan fungsi dan kinerja Polisi Pariwisata di Kabupaten Badung.

5. Keaslian Penelitian Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM dan internet tidak ditemukan penelitian yang mirip dengan penelitian ini. Memang ada penelitian dan skripsi yang mengangkat tema Pajak Sektor Pariwisata, adapun penelitian tersebut adalah skripsi yang ditulis oleh Irwanto yang berjudul : Kontribusi Pajak Sektor Pariwisata Dalam Menunjang Keamanan Wisatawan di Kabupaten Kulon Progo , pada program sarjana Universitas Gadjah Mada, tahun 2008. Masalah yang di kaji dalam skripsi tersebut adalah : (1) Bagaimanakah realisasi kontribusi pajak sektor pariwisata dalam menunjang keamanan wisatawan di Kabupaten Kulon Progo, (2) Apakah kebijakan pajak sektor pariwisata sudah sesuai dengan sistem pengamanan wisatawan di Kabupaten Kulon Progo, (3) Apakah kontribusi pajak sektor pariwisata sudah sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan daerah. Objek penelitian dan fokus pembahasannya berbeda dengan yang dilakukan penulis, penulis akan mengambil penelitian di Kabupaten Badung, fokus pembahasannya lebih kepada peran Pajak Daerah terhadap Keamanan Wisatawan serta tinjauan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang penerapan earmarking pajak. Berdasarkan uraian diatas, maka dengan demikian penelitian ini adalah asli. 6. Sistematika Penelitian Penulisan laporan penelitian ini akan disusun dalam 5 (lima) bab, yaitu Bab 1, Bab 2, Bab 3, Bab 4, Bab 5. Dari bab-bab tersebut kemudian diuraikan lagi

menjadi sub bab-sub bab yang diperlukan. Sistematika penulisan selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I: Pendahuluan; Bab ini akan berisikan Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, dan Sistematika Penelitian. Bab II: Tinjauan Pustaka; Bab ini akan berisiakan uraian yang sistematis yang

merupakan landasan teori atau kerangka pemikiran yang diperlukan untuk pembahasan dalam pemecahan masalah sesuai topik yang diteliti. Bab III: Metodologi Penelitian; Bab ini akan berisikan tentang pendekatan masalah, bahan hukum, prosedur pengumpulan bahan hukum, pengolahan, dan analisis bahan penelitian. Bab IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan; Bab ini merupakan uraian berupa

analisis-analisis yang dilakukan untuk membahas pemecahan permasalahanpermasalahan dengan tujuan mendapatkan kesimpulan dan akan memuat sub babsub bab, Bab V: Kesimpulan dan saran; Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab

terdahulu dan saran yang dipandang perlu.

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Pajak Menurut Prof.Dr.P.J.A.Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan, terutang yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan umum dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan3. Menurut Prof.Dr.H.Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapat kontra prestasi langsung yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum4. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk publik saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. Menurut Soeparman Soemahamidjaja, Pajak ialah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh pengusaha berdasarkan norma-norma hukum, guna menutupi kesejateran umum5. Menurut Anderson, pajak adalah Pembayaran

3 4 5

Safri Nurmatu, 2003, Penghantar Perpajakan, Granit, Jakrta hlm.12. Rochmat soemitro, 1998, Asas dan dasar-dasar perpajakan 3, Eresco, Bandung, hlm. 21. R. Santoso Brotodiharjo, 2003, Penghantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Jakarta, hlm.5.

11

yang bersifat paksaan kepada negara yang dibebankan pada pendapatan kekayaan seseorang yang diutamakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah6. Menurut Sommerfeled Ray M., Andrson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan7. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 A ditentukan bahwa pajak adalah pungutan kepada rakyat untuk Negara yang bersifat memksa dan diatur dengan Undang-Undang. Walaupun terdapat pengertian pajak yang berbeda- beda dan dari ahli yang berbeda-beda pula, tetapi dapat disimpulkan ciriciri pokok yang melekat pada pengertian pajak, adalah8 : 1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaan yang sifatnya memaksa; 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah; 3. Pajak dipungut oleh negara baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;

6 7 8

Safri Nurmatu, loc. cit Kesit Bambang Prakoso, 2006, Hukum pajak, Ekonisa, Yogyakarta, hlm.2. Waluyo, Wirawan B.Ilyas, 2003, Perpajakan Indonesia, Salamba empat, jakarta, hlm. 5.

12

4. Pajak diperuntukan oleh negara bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk public investment; 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan lain selain Budgeter, yaitu mengatur. Kesimpulan yang dapat diambil dari ciri-ciri tersebut adalah bahwa pajak merupakan pungutan dari pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah kepada rakyat yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang untuk membiayai pengeluaran pembangunan tanpa ada kontra prestasi secara langsung kepada masyarakat pembayar pajak. Pajak yang dapat dikenakan dapat digolongkan dalam 3 golongan yaitu: Menurut Sifatnya, menurut Sasarannya/Objeknya, dan menurut Lembaga Pemungutannya9. a. Menurut Sifatnya Jenis jenis pajak menurut sifatnya dapat dibagi dua yaitu: Pajak langsung dan pajak tidak langsung. 1. Pajak Langsung Pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulangulang pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, Pajak Penghasilan.

Departemen Keuangan DJP, 1992, panduan Menteri Penunjang Penyuluhan Perpajakan.

13

2. Pajak Tidak Langsung Pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. Misalnya, Pajak Pertambahan Nilai. b. Menurut Sasarannya Menurut Sasarannya, jenis-jenis pajak yang dapat dibagi dua yaitu: Pajak Subjektif dan Pajak Objektif. 1. Pajak Subjektif Jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat Penghasilan. 2. Pajak Objektif Jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama dikenakan pajak atau tidak. Misalnya, Pajak

memperhatikan/melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya. Misalnya, Pajak Pertambahan Nilai. c. Menurut Lembaga Pemungutannya Menurut lembaga pemungatannya, jenis pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan jenis pajak yang

14

dipungut oleh Pemerintah Daerah, yang sering disebut Pajak Pusat dan Pajak Daerah. 1. Pajak Pusat Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jendral Pajak. Hasil dari pemungutan Pajak Pusat dikumpulkan dan dimasukan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Jenis Pajak Pusat yang dikelola oleh Kementrian Keuangan cq. Direktorat Jendral Pajak yaitu ; Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Materai. 2. Pajak Daerah Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah (Dinas Pendapatan Daerah). Hasil dari pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan dimasukan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Sesuai dengan undang-undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah adalah10: 2.1. Pajak Provinsi terdiri dari : a. Pajak Kendaran Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

10

Undang-undang no.28 th 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

15

d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok 2.2. Jenis Pajak Kabupaten / Kota terdiri dari : a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pemerintah Daerah selain memungut pajak juga melakukan pemungutan dengan nama Retribusi yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas pajak atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang Pribadi atau Badan, yang terdiri atas 3 (tiga) jenis Retribusi11:

11

Undang-undang no 28 th 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

16

1. Retribusi Jasa Umum Jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh Orang Pribadi atau Badan. 2. Retribusi Jasa Usaha Jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsipprinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 3. Retribusi Perizinan Tertentu Kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada Orang Pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

2. Pajak Sektor Pariwisata Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Jadi yang termasuk dalam pajak sektor pariwisata adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan.

17

2.1. Pajak Hotel Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Pengertian hotel disini termasuk juga rumah penginapan yang memungut bayaran. Dalam pemungutan Pajak Hotel terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui, yaitu 12: 1. Hotel adalah bangunan khusus yang disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola, dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali oleh pertokoan dan perkantoran; 2. Rumah penginapan adalah penginapan dalam bentuk dan klasifikasi apapun beserta fasilitasnya yang digunakan untuk menginap dan disewakan untuk umum; 3. Pengusaha hotel adalah Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang jasa penginapan; 4. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang atau pelayanan sebagai pembayaran kepada pemilik hotel; 5. Bon penjualan (bill) adalah bukti pembayaran, yang sekaligus sebagai bukti pungutan pajak, yang dibuat oleh Wajib Pajak pada saat

12

Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 245.

18

mengajukan pembayaran atas jasa pemakaian kamar atau tempat penginapan beserta fasilitas penunjang lainnya kepada subjek pajak. 2.1.1. Objek Pajak Hotel pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk pelayanan sebagaimana dibawah ini13: a. Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek. Dalam pengertian rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar sepuluh atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan. Fasilitas penginapan/fasilitas tinggal jangka pendek antara lain : 1.) Gubuk pariwisata (cottage); 2.) Motel; 3.) Wisma pariwisata; 4.) Pesanggrahan; 5.) Losmen; 6.) Rumah penginapan. b. Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tempat tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan. Pelayanan penunjang, antara lain : 1.) Telepon; 2.) faksimile; 3.) Teleks; 4.) Foto copy; 5.) Pelayanan cuci; 6.) Setrika; 7.) Taksi; 8.) Pengangkutan lainnya yang disediakan atau dikelola oleh hotel. c. Fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum. Fasilitas olah raga dan hiburan antara lain : 1.) Pusat kebugaran; 2.) Kolam renang; 3.) Tenis; 4.) Golf; 5.) Karoke; 6.) Pub; 7.) Diskotik.

13

Ibid, hlm 247.

19

d. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara dan pertemuan. Pada Pajak Hotel, tidak semua pelayanan yang diberikan oleh penginapan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu14: a) Penyewaan rumah atau kamar, apartemen, dan atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel. b) Pelayanan tinggal di asrama dan pondok pesantren. c) Fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan di hotel yang digunakan oleh bukan tamu hotel. d) Pertokoan, perkantoran, perbankan, dan salon yang digunakan oleh umum di hotel. e) Pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum. 2.1.2. Subjek Pajak Hotel Pada Pajak Hotel, yang menjadi subjek pajak adalah Orang Pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel. Sementara itu yang menjadi Wajib Pajak adalah Pengusaha hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjanya melakukan usaha di bidang jasa penginapan. Dengan demikian, subjek pajak

14

Ibid. Hlm 248.

20

dan wajib pajak pada Pajak Hotel tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan hotel merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sedangkan pengusaha hotel bertindak sebagai Wajib Pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak) dan melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya. Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya Wajib Pajak dapat di wakili oleh pihak tetentu yang di perkenankan oleh Undang-Undang dan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel. Wakil Wajib Pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya15. Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Jika pembayaran dipengaruhi oleh hubungan istimewah, harga jual atau penggantian di hitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pemakaian jasa hotel. Contoh hubungan istimewah adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan jasa hotel dengan pengusaha hotel, baik langsung atau tidak langsung, berada dibawah pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama16. 2.1.3. Tarif Pajak Hotel Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan ditetapkan dengan peraturan daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan pada pemerintah
15 16

Ibid, hlm 249. Ibid, hlm 249.

21

Kabupaten/Kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, setiap daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berada dengan Kabupaten/Kota lainnya, asalkan tidak lebih dari 10% (sepuluh persen)17. 2.2. Pajak Restoran Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. Restoran adalah tempat menyantap makanan dan/atau minuman, yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering18. 2.2.1. Objek Pajak Restoran Objek pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran. Tidak termasuk objek pajak restoran adalah19: 1. Pelayanan usaha jasa boga atau katering; 2. Pelayanan yang disediakan oleh restoran atau rumah makan yang peredarannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah 2.2.2. Subjek Pajak Restoran Subjek Pajak Restoran adalah Orang Pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada restoran. Sedangkan yang dimaksud Wajib Pajak untuk pajak restoran adalah orang atau badan yang membayar atas pelayanan

17 18

Ibid, hlm. 250. Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, hlm. 122. 19 Ibid.

22

restoran dan pengusaha restoran20. Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang/atau jasa sebagai pembayaran kepada pemilik restoran21. 2.2.3. Tarif Pajak Restoran Tarif Pajak Restoran paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pajak Restoran yang terhutang dipungut di wilayah Daerah tempat restoran berlokasi. Besarnya pokok Pajak Restoran yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak restoran paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dengan dasar pengenaan pajak, yaitu jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang dan/atau jasa sebagai pembayaran kepada pemilik restoran22. 2.3. Pajak Hiburan Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga. 2.3.1. Objek Pajak Hiburan Objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Tidak termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan

20 21

Ibid. Ibid, hlm. 123. 22 Ibid.

23

yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan. 2.3.2. Subjek Pajak Hiburan Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan/atau menikmati hiburan. Dasar Pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan/atau menikmati hiburan. 2.3.3. Tarif Pajak Hiburan Tarif pajak hiburan pada umumnya ditetapkan paling tinggi 35% (tiga puluh lima persen), sedangkan jenis pajak hiburan yang dikenakan tarif pajak hiburan yang khusus ialah seperti tabel di bawah ini 23: Jenis-Jenis Hiburan Pagelaran Busana Kontes Kecantikan Klub Malam/Diskotik Karoke Panti Pijat Mandi Uap/Spa Permainan ketangkasan Tarif pajak hiburan Tarif Pajak Hiburan Tarif pajak hiburan

ditetapkan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)

Kesenian Rakyat/Tradisional

ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen)


23

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 45.

24

3. Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam pelaksanaan Otonomi Daearah, Pajak Daerah sebagai salah satu

sumber Pendapatan Asli Daerah memiliki peran yang cukup penting. Otonomi Daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan Perundang-

Undangan24. Untuk melaksanakan kewenangan ini ditentukan sumber pendapatan asli daerah yaitu terdiri dari: a). Pendapatan Asli Daerah yaitu hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil Perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah; b). Dana perimbangan keuangan; c). Pinjaman Daerah; d). Lain-lain pendapatan daerah yang sah25. Dalam peraturan pemerintah tentang Pengelolaan dan Pertanggung-jawaban keuangan daerah disebutkan bahwa Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung-jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan26.

24

Undang-undang no.22 th 1999 pasal 1 huruf (h) jo. Undang-undang no.32 th 2004 tentang Pemerintah Daerah 25 Ibid, pasal 79 26 Pp no.105 th 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pasal 4

25

4. Tinjauan Umum Tentang Pariwisata A. Pengertian Pariwisata Untuk memahami masalah kepariwisataan berarti juga harus memahami isi dari Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yaitu :27 1. Wisata Adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara; 2. Wisatawan Adalah orang yang melakukan wisata; 3. Pariwisata Adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah; 4. Kepariwisataan Adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pengusaha;

27

Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Pasal 1-5.

26

5. Daya tarik wisata Adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran/tujuan kunjungan wisata; 6. Daerah tujuan pariwisata Yang selanjutnya disebut Distinasi Pariwisata, adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan; 7. Usaha pariwisata Adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelengaraan pariwisata; 8. Pengusaha pariwisata Adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata; 9. Industri pariwisata Adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/ atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata; 10. Kawasan strategis pariwisata Adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh

27

penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosisal dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan; 11. Kompetensi Adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja; 12. Sertifikasi Adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk wisata, pelayanan dan pengelolaan kepariwisataan; 13. Pemerintah Pusat Selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemeritah Negara Republik Indonesia sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; 14. Pemerintah Daerah Adalah Gubernur, Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah; 15. Menteri Adalah menteri yang tugas dan tanggung-jawabnya di bidang kepariwisataan.

28

Dengan demikian, berdasarkan isi Undang-Undang diatas, pariwisata tidak hanya mengacu pada orang yang melakukan suatu perjalanan dan kegiatan wisata saja tetapi juga meliputi obyek wisata, daya tarik wisata dan usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Drs. Oka A Yoeti berpendapat bahwa pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha (business) atau mencari

nafkah di tempat yang dikunjungi tersebut semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam28. Sedangkan Prof. Hunzeiker dan Prof. Krapt memberikan definisi pariwisata adalah totally of relationship and phenomenon arising from the travel and stay of the strangers, provide the stay door not imply the establishment of the permanent residen29, yang dapat diartikan bahwa pariwisata merupakan keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan tinggalnya orang-orang asing serta tempat tinggal untuk sementara waktu bagi mereka, asalkan si orang yang tinggal itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh suatu penghasilan dari aktifitas sementara waktu itu. Dari 2 (dua) definisi diatas terkandung makna bahwa: 1. Pariwisata merupakan perjalanan untuk melakukan rekreasi dan perjalanan itu bukanlah untuk mendapatkan suatu penghasilan tetapi untuk mengeluarkan/menghabiskan uang. Daerah yang menjadi tujuan

perjalanan akan memperoleh pemasukan/pendapatan dari pengeluaran


28 29

Drs.Oka Yoeti, 1995, Penghantar Ilmu Pariwisata, Angkasa, Bandung, Hlm 6. Ibid, Hlm 8-9.

29

perjalanan oleh orang yang melakukan perjalanan rekreasi tersebut. Pemasukan/pendapatan itu dapat dipergunakan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga pendapatan daerah (PD) juga ikut meningkat; 2. Pariwisata berhubungan dengan semua hal yang ditimbulkan oleh perjalanan itu, yaitu adanya tujuan perjalanan (obyek wisata) dan fasilitas pendukung (penyedia angkutan dan tempat tinggal sementara waktu). Tujuan dari penyelenggaraan kepariwisataan yang ingin dicapai oleh UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan adalah30: 1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi; 2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat; 3. Menghapus kemiskinan; 4. Mengatasi pengangguran; 5. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya; 6. Memajukan kebudayaan; 7. Mengangkat citra bangsa; 8. Memupuk cinta tanah air; 9. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan 10. Mempererat persahabatan antar bangsa.

30

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Pasal 4.

30

Sedangkan definisi wisatawan berdasarkan rekomendasi International Union of Office Travel Organization (IUOTO) dan World Tourism Organization (WTO) adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke sebuah atau beberapa negara di luar tempat tinggal biasanya atau keluar dari lingkungan tempat tinggalnya untuk periode kurang dari 12 (dua belas) bulan dan memiliki tujuan untuk berbagai aktivitas wisata. Terminologi ini mencakup penumpang kapal pesiar (cruise ship passenger) yang datang dari negara lain dan kembali dengan catatan bermalam31. B. Bentuk dan Jenis Pariwisata 1. Bentuk Pariwisata Bentuk-bentuk pariwisata secara umum adalah sebagai berikut 32: a. Menurut asal wisatawan 1) Wisatawan domestik Yaitu wisatawan yang berasal dari dalam negeri yang berarti wisatawan tersebut hanya berpindah tempat untuk sementara waktu dalam suatu lingkungan wilayah sendiri atau lebih selama melakukan perjalanan. 2) Wisatawan mancanegara/internasional Yaitu wisatawan yang berasal dari luar negeri yang bearti wisatawan tersebut hanya berpindah tempat untuk sementara waktu dalam suatu lingkungan wilayah sendiri atau lebih selama melakukan perjalanan.
31 32

Sumber : http//pariwisata.jogja.go.id., diakses tanggal 10 Desember 2011. Nyoman S. Pendit, tahun 2002. Ilmu Pariwisata, Jakarta, Pradiya Paramita, hlm.37.

31

b. Menurut pengaruhnya terhadap neraca pembayaran 1) Pariwisata aktif Jenis pariwisata ini ditandai dengan masuknya wisatawan asing ke suatu negara sehingga memasukan devisa bagi negara tersebut; 2) Pariwisata pasif Pariwisata ini ditandai dengan keluarnya warga negara yang bepergian ke luar negeri sebagai wisatawan sehingga berpengaruh negatif terhadap neraca pembayaran. c. Menurut jangka waktu Kedatangan wisatawan di suatu Daerah diperhitingkan pula menurut waktu lamanya ia tinggal di suatu Daerah yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan istilah-istilah pariwisata jangka panjang dan pariwisata jangka pendek yang tergantung pada ketentuan-ketentuan yang diberlakukan oleh suatu Daerah atau negara untuk mengukurnya. d. Menurut jumlah wisatawan Perbedaan ini diperhitungkan berdasarkan jumlah wisatawan yang datang apakah ia datang sendirian atau dalam suatu rombongan. e. Menurut alat angkut yang dipergunakan Berdasarkan alat angkut yang dipergunakan, maka dapat dibagi menjadi pariwisata laut, pariwisata udara, pariwisata kereta api dan pariwisata mobil.

32

Selain itu, pariwisata mencakup 4 (empat) komponen yaitu wisata, pengusahaan obyek wisata, daya tarik wisata dan usaha-usaha lain di luar bidang tersebut namun masih terkait dengan pariwisata. 2. Jenis-Jenis Pariwisata Jenis-jenis pariwisata adalah sebagai berikut 33: 1) Wisata Budaya Adalah wisata yang dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari adat istiadat, budaya dan tata cara kehidupan di tempat dikunjungi; 2) Wisata kesehatan Adalah wisata yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan kesehatan jasmani dan rohani (misalnya : berwisata ke tempat pemandian air panas); 3) Wisata olahraga Adalah wisata yang dilakukan dengan tujuan dan dalam rangka olahraga (misalnya : Olimpiyade dan Sea Games); 4) Wisata industri Adalah wisata yang dilakukan dengan berkunjung ke suatu tempat industri yang besar yang bertujuan untuk mempelajari dan meneliti industri tersebut;

33

Ibid, hlm. 38-43.

33

5) Wisata komersial Adalah wisata yang dilakukan dengan dan untuk tujuan komersial atau mencari suatu keuntungan (misalnya : berkunjung ke pameran industri, pekan raya dan hasil kerajinan rakyat); 6) Wisata politik Adalah wisata yang dilakukan dengan berkunjung ke suatu tempat dalam suatu rangka kegiatan dan tujuan politik; 7) Wisata konvensi Adalah wisata yang dilakukan dengan berkunjung untuk tujuan aktif dan mengikuti konvensi atau konferensi (misalnya : KTT Non Blok, konferensi Asia-Afrika) 8) Wisata sosial Adalah wisata yang kegiatannya dilakukan dengan tujuan sosial dan non komersial atau dengan tujuan tidak mencari suatu keuntungan (misalnya : berkunjung ke panti jompo); 9) Wisata maritim atau bahari Adalah wisata yang yang dilakukan dengan berkunjung ke tempattempat wisata kelautan (misalnya : untuk berselancar air); 10) Wisata pertanian Adalah wisata yang kegiatan dan pengorganisasiannya dilakukan dengan mengunjungi daerah pertanian;

34

11) Wisata cagar alam Adalah wisata yang dilakukan di daerah cagar alam (misalnya : berkunjung ke Kebun Raya Bogor); 12) Wisata buru Adalah wisata yang kegiatannya dilakukan dan tujuannya untuk berburu; dan 13) Wisata ziarah Adalah wisata yang mempunyai tujuan dan berkaitan dengan agama, kepercayaan maupun adat istiadat. Wisata ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang dianggap oleh masyarakat suci.

5. Keamanan Wisatawan Keamanan dan Ketertiban adalah segala sesuatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu persyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang di tandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam hal mencegah dan menanggulangi segala bentuk penegakan hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat34. Salah satu faktor utama yang tidak boleh dilupakan yaitu selalu meningkatkan keamanan, apabila keamanan dalam kondisi yang buruk maka dapat mengurangi minat wisatawan untuk berwisata ke daerah tujuan wisata tersebut, keamanan
34

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 ayat 5.

35

wisatawan dalam lokasi wisata adalah unsur penting dalam kegiatan kepariwisataan, karena itu merupakan salah satu komponen daya saing suatu daerah tujuan wisata, rasa aman dan nyaman merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam dinamika kepariwisataan, karena tanpa faktor keamanan yang kondusif dan terjaga maka akan mengganggu tingkat kedatangan wisatawan ke Kabupaten Badung. Tentunya fasilitas dan sarana-sarana yang ada menjadi percuma karena kebutuhan akan perlindungan hukum dan keamanan bagi wisatawan tidak terjamin yang pastinya menimbulkan ketidakpercayaan wisatawan Domestik maupun Mancanegara untuk berkunjung ke Objek wisata tersebut. Bali pernah mengalami peristiwa yang sangat menakutkan yaitu peristiwa pengeboman secara beruntun yang terjadi pada tahun 2002 dan 2005, pasca terjadinya peristiwa Bom Bali yang terjadi secara beruntun, menimbulkan efek domino dengan ditutupnya objek wisata, hotel serta menurunnya tingkat kedatangan wisatawan karena adanya travel warning oleh beberapa negara. Atas dasar keinginan untuk meningkatkan keamanan para wisatawan yang berkunjung kedaerah pariwisata maka dibentuklah Polisi Pariwisata berdasarkan keputusan Kapolri Nomor Pol: kep/58/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang pembentukan Direktorat pengamanan pariwisata Polda D.I.Y dan Polda Bali. Selain Polisi Pariwisata di Bali dikenal dengan Desa Adat yang juga mempunyai peran yang cukup penting dalam menjaga, memelihara keamanan tempat-tempat wisata serta wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata, aparatur pengamanan Desa Adat dikenal dengan sebutan Pecalang (Polisi Adat), peran Pecalang ini

36

diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 yang diubah menjadi Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2005 tentang Desa Pakraman. Dengan keamanan yang terjamin secara tidak langsung membantu dalam meningkatkan jumlah pengunjung, membuka peluang investasi dan, sehingga kegiatan wisata semakin meningkat karena pelaku wisata merasa aman dalam melakukan kegiatan dan terlindungi.

6. Earmarking Earmarking merupakan salah satu pendekatan dalam bidang pengelolaan keuangan publik, khususnya bidang penganggaran atau pengalokasian belanja. Istilah earmarking dalam konteks pengelolaan keuangan publik diartikan sebagai suatu kondisi di mana sumber pendapatan negara tertentu dialokasikan kepada kegiatan atau pelayanan publik tertentu. Earmarking sendiri sering dikaitkan dalam konteks perpajakan, sehingga muncul istilah yang sering dikenal dengan earmarking tax35. Earmarking tax merupakan pajak yang dipungut untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran tertentu yang sudah spesifik. Praktik seperti ini telah ada sejak dahulu dan cukup popular di dunia, menurut Ranjit Teja yang menyatakan bahwa earmarking mengacu pada desain pendanaan baik dari satu sumber maupun banyak sumber penerimaan untuk penggunaan akhir yang spesifik36. Selain itu menurut Mc Cleary earmarking merupakan praktik umum yang menetapkan pendapatan (melalui Undang-Undang atau Konstitusi) dari pajak
35 36

http:/www.pnpb.net/?p=64, diakses pada tanggal 28 Desember 2011 Rajit Teja S. The Case For Earmarked Taxes, International Monetary Fund, Vol. 35 No. 3 (september, 1988), hlm 523. Diunduh dari www.jstor.org pada tanggal 23 Maret 2012.

37

tertentu atau kelompok pajak untuk digunakan membiayai kegiatan khusus Pemerintah. Konsep earmarking pada dasarnya bukan hanya pada pajak tetapi bisa diaplikasikan dalam bentuk penerimaan Pemerintah lainnya37. Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah mengatur tentang earmarking pajak, seperti Pajak Rokok yang tercantum di dalam Pasal 31 bahwa penerimaan Pajak Rokok, baik Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang38. Dengan Surat Keputusan bersama antara Gubernur Bali, Bupati Badung dan Walikota Denpasar, Nomor 075/01/KB/B.Pem/2009 Pemerintah Kabupaten Badung menyisihkan Pendapatan Pajak Hotel dan Restoran, Kabupaten Badung wajib menyetor 15% (lima belas persen) hingga 22% (dua puluh dua persen) dari Pajak Hotel dan Pajak Restoran, sedangkan Pemerintah Kota Denpasar wajib menyetor 10%(sepuluh persen). Pemerintah Provinsi Bali memperoleh 20% (dua puluh persen) untuk biaya promosi pariwisata, Pemerintah Provinsi Bali juga menggunakan Dana ini untuk meningkatkan sistem keamanan, pelestarian budaya dan lingkungan. Sedangkan sisa 80% (delapan puluh persen) akan dibagikan ke enam Kabupaten lain di Bali.

37

Wiliam McCleary. The Earmarking Of Government Revenue. A Review of some World Bank Experience. The World Bank Research Observer, Vol. 6 No. 1 hlm. 82 (January 1991). 38 Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 31

38

BAB III METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian Penelitian ini ialah jenis penelitian yang berupa kombinasi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif-empiris mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif atau Perundang-Undangan secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan39. Penelitan yang bertipe normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dimana bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder40. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah Suatu proses menemukan satu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi41. Penelitian hukum normatif dapat dikatakan sebagai penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang

39 40

Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm.53 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, 1983, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, hlm.3 4 41 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, hlm.35

39

dimaksud adalah mengenai asas, norma, kaidah dari peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin-doktrin. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian hukum empiris adalah penelitian yang menggunakan studi kasus sosiologis atau yang disebut dengan socio-legal case study, dimana objek yang diteliti adalah perilaku hukum masyarakat tertentu.42 Istilah yang digunakan dalam penelitian hukum empiris yang lain adalah penelitian sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan. Jika penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang didasarkan atas data sekunder, maka penelitian hukum sosiologis ini bertitik tolak dari data primer.

2. Bahan Penelitian Bahan penelitian terdiri dari atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui penelitian lapanagan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelitian pustaka. Data sekunder terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 2.1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer meliputi : a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah .

42

Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm.40

40

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. e. Perturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Uang Negara / Daerah f. Keputusan Kapolri Nomor pol : Kep / 58 / X / 2002 Tanggal 17 Oktober 2002 Tentang Pembentukan Direktorat Pengamanan

Pariwisata Polda D.I.Y dan Polda Bali. g. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel di Kabupaten Badung. h. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Pajak Restoran di Kabupaten Badung. i. Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan di Kabupaten Badung. j. Kesepakatan Bersama Nomor: 075/01/KB/B.Pem/2009 Tentang Relokasi Hasil Penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Kepada Provinsi Bali. 2.2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang erat hubungannya dengan hukum primer, yaitu : a. Buku-buku yang terkait dengan Polisi Pariwisata, dan Pariwisata ; b. Tulisan dari ilmuan dan praktisi ilmu Pers ; c. Media Massa ;

41

d. Media Internet ; 2.3. Bahan Hukum Tersier, meliputi bahan hukum yang memberikan kelengkapan informasi tentang bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berupa kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.

3. Cara Pengumpulan Bahan Penelitian Lokasi penelitian ini ialah di Polres Kabupaten Badung dan Direktorat Polisi Pariwisata Kabupaten Badung, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung, Desa Adat Mengwi Kabupaten Badung. Penelitian ini menggunakan wawancara kepada narasumber karena narasumber merupakan orang yang mengetahui fakta normatif yang sedang atau akan diimplementasikan di dalam lokasi penelitian yang ditentukan. Narasumber yang terkait dengan peran pajak daerah ialah Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung atau Kepala Bagian yang terkait dengan bidang pendapatan daerah. Narasumber yang terkait dengan sektor-sektor pariwisata di Kabupaten Badung ialah Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, sedangkan narasumber yang terkait dengan Tugas dan Fungsi Polisi Pariwisata ialah Kapolres Kabupaten Badung dan /atau Kepala Bagian Polisi Pariwisata Kabupaten Badung, Narasumber yang terkait dengan peran dan fungsi Pecalang adalah Kepala Desa Adat Mengwi. Dalam penelitian normatif-empiris, kegiatan observasi termasuk kegiatan pengumpulan data primer. Observasi berupa kegiatan pengumpulan data di lokasi penelitian dengan berpedoman pada alat pengumpulan data yang sudah diarsipkan

42

yaitu berupa proposal penelitian. Wawancara ialah salah satu dari kegiatan observasi. Wawancara yang mendalam dengan para narasumber yang berkompeten dan terkait langsung dengan Peran Pajak Daerah Sektor Pariwisata dalam meningkatkan Keamanan Wisatawan di Kabupaten Badung. Kegiatan wawancara tersebut dilakukan untuk mendapatkan data primer.

4. Analisis Bahan Penelitian Semua bahan yang terkumpul, baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier dianalisis dengan metode kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang mencari data yang berhubungan dengan data yang diperlukan. Data primer diperoleh melalui wawancara dan studi pustaka. Data yang didapat baik melalui wawancara maupun studi pustaka diteliti dan dipelajari secara utuh dengan dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing, kemudian diteliti dan dipelajari dalam usaha untuk menjawab permasalah. Penyajian data dilakukan dengan menggunakan logika deduktif indukatif (umumkhusus) dan kemudian dicari hubungan logis diantara aspek-aspek yang berhubungan.

43

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pemerintah Daerah terus-menerus melakukan optimalisasi sumber-sumber pendapatan daerah yang dimiliki, salah satu upaya optimalisasi penerimaan daerah adalah dengan dibentuknya berbagai peraturan daerah tentang pajak atau peraturan daerah lainnya yang bertujuan untuk memperbaiki sistem perpajakan daerah serta meningkatkan PAD. Dalam usaha peningkatan PAD pada era Otonomi Daerah, Pajak Sektor Pariwisata sebagai salah satu jenis pajak Kabupaten/Kota mempunyai peran yang sangat penting di Kabupaten Badung. Dapat dikatakan demikian karena: (1) Pajak Sektor Pariwisata sebagai salah satu jenis Pajak Daerah yang memberi kontribusi yang besar terhadap pemasukan tetap dan rutin terhadap PAD maupun APBD, (2) Kabupaten Badung merupakan bagian dari Provinsi Bali yang merupakan salah satu tujuan utama pariwisata di Provinsi Bali. Keamanan merupakan unsur penting dalam kegiatan kepariwisataan dan merupakan salah satu komponen daya saing suatu daerah tujuan wisata. Polri melalui penugasan Polisi Pariwisata mempunyai tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan pengamanan pariwisata yang meliputi keselamatan, kenyamanan wisatawan, objek wisata dan mobilitas wisatawan. Polri dalam melaksanakan tugasnya bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam segi menyamakan Visi dan persepsi dalam pembinaan penyelenggaraan trantibum, pemeliharaan kantibmas, pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan

44

kepada

masyarakat,

penegakan

Peraturan

Perundang-undangan

serta

pengembangan sumber daya manusia dan sarana prasarana43.

Selain Polisi

Pariwisata di Bali dikenal dengan Desa Adat yang juga mempunyai peran yang cukup penting dalam menjaga, memelihara keamanan tempat-tempat wisata serta wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata, aparatur pengamanan Desa Adat dikenal dengan sebutan Pecalang (Polisi Adat). 1. Peran Pajak Sektor Pariwisata Dalam Meningkatkan Keamanan Di Kabupaten Badung. Pajak sektor pariwisata termasuk jenis pemasukan daerah yang sangat berperan untuk meningkatkan PAD di Kabupaten Badung yang merupakan salah satu pusat tujuan wisata di Bali. Keamanan merupakan unsur penting dalam mempengaruhi mobilitas wisata. Kebijakan yang dikeluarkan dalam kegiatan Pariwisata dapat memberi dampak bagi kegiatan pariwisata, begitupun sebaliknya. Pada Sub bab satu ini akan dibahas mengenai Peran pajak sektor pariwisata terhadap PAD di Kabupaten Badung dan peran pajak sektor pariwisata terhadap keamanan wisatawan di Kabupaten Badung. 1.1. Peran Pajak Sektor Pariwisata Terhadap PAD Di Kabupaten Badung

Pajak Sektor Pariwisata yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan merupakan jenis pajak Kabupaten/Kota yang sangat berperan untuk meningkatkan PAD di Kabupaten Badung yang merupakan salah satu tujuan utama wisata di Bali. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dalam bidang pariwisata khususnya dalam hal penarikan Pajak Hotel, Pajak
43

Materi sosialisasi kesepakatan bersama Mendagri dan Kapolri No. 119/1527/SJ/Tahun2002, No Pol: B/2300/VII/2002 tentang kerjasama pembinaan penyelenggaraan Trantibum serta pemeliharaan Kamtibmas)

45

Restoran, Pajak Hiburan dapat memberi dampak bagi kegiatan kepariwisataan, begitupun sebaliknya44. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa pajak sektor pariwisata yang direalisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Badung adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. Dari keseluruhan potensi tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Badung mendapatkan pemasukan PAD yang sangat besar, keluarnya Peraturan Daerah mengenai Pajak Sektor Pariwisata tersebut dapat memberikan dampak peningkatan di bidang perekonomian khususnya

pengangkatan PAD Kabupaten Badung. Pelaksanaan pemungutan Pajak Sektor Pariwisata di Kabupaten Badung di jalankan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung. Dinas ini telah ditunjuk oleh Bupati sebagai pelaksana pemungutan semua jenis pajak Kabupaten, termasuk Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa Dinas Pendapatan Daerah sebagai badan yang telah ditunjuk oleh Bupati untuk melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan amanat Peraturan Daerah, selain mempunyai kewajiban untuk memungut pajak tentu saja mempunyai Hak untuk membuat kebijakan yang berkenaan dengan proses pemungutan. Kewenangan ini telah diberikan oleh Bupati walaupun sebenarnya kewenangan mutlak tetap berada di tangan Bupati sedangkan Dinas Pendapatan Daerah hanya sebagai pelaksana. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
44

Hasil wawancara dengan Bapak Gede Solastika. Kepala Bidang Objek Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata Kabupaten Badung pada hari Rabu, 8 februari 2012.

46

di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah45. Kontribusi yang disumbangkan Sektor Pariwisata ke PAD Kabupaten Badung sangat besar. Kontribusi Sektor Pariwisata tersebut meliputi (1) Pajak Hotel (2) Pajak Restoran (3) Pajak Hiburan (4) Retribusi Pariwisata. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa sumber penerimaan daerah sebagai sumber daerah, segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah. Kekayaan daerah Kabupaten Badung dikelola secara tertib, efisien, efektif, akuntabel, keadilan dan kepatutan. Kekayaan daerah Kabupaten Badung salah satunya dari Sektor Pariwisata yang masuk ke kas daerah yang meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan. Hasil pemungutan Pajak Hotel Kabupaten Badung terhadap PAD Kabupaten Badung Tahun 2008 sampai tahun 2011 yang terdiri dari Hotel Bintang, Hotel Melati, Pondok Wisata, Rumah Sewa dapat dilihat di tabel 1 di bawah ini46:

45

Peraturan Mentri Dalam Negri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Daerah, Psl 1 angka (6) dan (8) 46 Sumber dari Bidang Pembukuan dan Pelaporan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung.

47

Tabel 1 Target Dan Realisasi Pajak Hotel Di Kabupaten Badung TAHUN TARGET (Rp) 2008 2009 2010 2011 506.900.000.000,00 575.500.000.000,00 693.000.000.000,00 733.675.500.000,00 REALISASI (Rp) 579.748.984.665,13 592.761.049.412,29 713.206.180.445,45 829.378.097.437,72 % 87,43 97,08 97,16 88,46

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung

Hasil pemungutan Pajak Restoran Kabupaten Badung terhadap PAD Kabupaten Badung Tahun 2008 sampai tahun 2011 yang terdiri dari Restoran, Rumah Makan, dan Bar dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :

Tabel 2 Target Dan Realisasi Pajak Restoran Di Kabupaten Badung TAHUN TARGET (Rp) 2008 2009 2010 2011 43.000.000.000,00 56.675.000.000,00 79.750.000.000,00 91.000.000.000,00 REALISASI (Rp) 55.934.645.897,19 63.642.551.096,25 85.621.105.444,41 111.384.356.271,65 % 76,87 89,05 93,14 81,69

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung

48

Hasil pemungutan Pajak Hiburan Kabupaten Badung terhadap PAD Kabupaten Badung Tahun 2008 sampai tahun 2011 terdiri dari Pertunjukan, Kebugaran, Kolam Renang, Billyard, Bioskop, Bowling, Karoke, Panti Pijat, Salon/Spa dapat dilihat di tabel 3 dibawah ini :

Tabel 3 Target Dan Realisai Pajak Hiburan Di Kabupaten Badung TAHUN 2008 2009 2010 2011 TARGET (Rp) 6.940.000.000,00 9.329.000.000,00 12.650.000.000,00 12.400.000.000,00 REALISASI (Rp) 9.490.786.720,00 10.715.446.650,40 13.828.188.934,26 16.031.385.275,49 % 73,12 87,06 91,47 77,34

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung

Dari paparan diatas, dapat diketahui bahwa Peran Pajak Sektor Pariwisata terhadap PAD Kabupaten Badung sangat besar. Pajak sektor pariwisata menyumbang pemasukan paling besar terhadap PAD yaitu pada tahun 2008 sebesar Rp. 645.174.417.282,32. Pada tahun 2009 sebesar Rp.

677.834.493.810,00. Pada tahun 2010 sebesar Rp. 812.655.474.823,26. Pada tahun 2011 sebesar Rp. 956.793.838.984,10. Jika dilihat dari tahun 2008-2011 pajak sektor pariwisata menyumbang rata-rata lebih dari 74% terhadap PAD pertahun. Hal tersebut dapat dilihat di tabel 4 di bawah ini :

49

Tabel 4 Kontribusi Pajak Sektor Pariwisata Terhadap PAD Tahun PAD 2008 2009 2010 2011 759.720.015.450,53 796.879.516.014,72 979.241.565.350,13 1.281.695.594.848,77 Realisasi Pajak Sektor Pariwisata 645.174.417.282,32 677.834.493.810,00 812.655.474.823,26 956.793.838.984,10 Prosentase (%) 84,93% 85,07% 82,99% 74,65%

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung

1.2.

Peran Pajak Sektor Pariwisata Terhadap Keamanan Wisatawan Di Kabupaten Badung

PAD dikatagorikan dalam pendapatan rutin APBD, PAD merupakan suatu pendapatan yang menunjukan suatu kemampuan daerah menghimpun sumbersumber dana untuk membiayai kegiatan rutin maupun pembangunan. Sumbersumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari PAD, dana perimbangan, Pinjaman Daerah dan lain-lain penerimaan yang sah, salah satu dari sumber keuangan daerah berasal dari pajak daerah. Pajak sektor pariwisata sebagai salah satu penyumbang pendapatan daerah sangat potensi untuk ditingkatkan mengingat peran pajak sektor pariwisata ini dalam peningkatan PAD. Pajak sektor pariwisata bisa terus diupayakan dan dimaksimalkan pemungutannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

50

Pajak sektor pariwisata sebagai salah satu jenis Pajak Daerah di Kabupaten Badung telah berperan besar dalam menyumbang pemasukan tetap dan rutin terhadap PAD dan APBD. Dapat dikatakan demikian karena pajak sektor pariwisata di Kabupaten Badung sebagai fungsi budgetair yaitu sebagai salah satu sumber pendanaan bagi Pemerintah untuk membiayai pengeluaran-

pengeluarannya. Desa adat di Kabupaten Badung mendapat anggaran dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung sebesar Rp. 150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta ) setiap tahun yang diambilkan dari APBD yang mana sebagian dari anggaran Rp. 150.000.000,00 tersebut diperuntukan untuk Pecalang sebagai apratur keamanan47. Peran Pajak sektor pariwisata yang besar tidak lepas dari faktor keamanan yang baik, sehingga apabila suatu keamanan wisata baik maka akan menarik wisatawan untuk berkunjung. Untuk mempertahankan atau menambah pendapatan dari sektor pariwisata maka Pemerintah Daerah harus lebih memperkuat dan menambah sistem keamanan yang sudah ada serta tidak boleh merasa puas dengan sistem keamanan yang dilakukan saat ini48. Jumlah kunjungan wisatawan asing di Kabupaten Badung dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 terus meningkat, hal tersebut dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini:

47

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 57 Tahun 2010 tentang Pembagian dan pengelolaan Ayahan Desa Adat. Pasal 5. 48 Hasil wawancara dengan Bapak AKP. I Wayan Suana, Kasat PAM OBVIT POLRES Badung pada hari Senin, 6 Februari 2012.

51

Tabel 5 Jumlah Wisatawan Yang Berkunjung Ke Kabupaten Badung TAHUN JUMLAH (Orang) 2008 1.966.318 2009 2.229.945 2010 2.493.058 2011 2.756.579

Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Badung

Dari tabel 5 tersebut menunjukan bahwa minat kunjungan wisatawan asing untuk berkunjung ke Badung sangat besar serta dapat dilihat bahwa setiap tahun jumlah wisatawan asing yang berkunjung terus meningkat. Jumlah tersebut sangatlah berbeda jika dilihat pada saat pasca Bom Bali tahun 2002 dan 2005 yang mengalami penurunan, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Kabupaten Badung di tahun 2003 terus mengalami penurunan dari 1.412.839 orang menjadi 988.202 orang yang diakibatkan oleh peristiwa Bom Bali I dan penurunan jumlah wisatawan asing kembali terjadi pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing 1.386.448 orang dan 1.260.270 orang, penurunan ini diakibatkan oleh peristiwa Bom Bali II49. Pajak Sektor Pariwisata di Kabupaten Badung yang meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan, karena faktor keamanan merupakan salah satu daya tarik pengunjung untuk datang ke Hotel, Restoran, dan tempat Hiburan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang datang ke Hotel, Restoran, dan tempat Hiburan terjamin maka pengunjung yang datang akan meningkat tetapi apabila terjadi sebaliknya maka

49

Hasil Observasi di Bagian Promosi dan Pemasaran Dinas Pariwisata Kabupaten Badung.

52

jumlah pengunjung akan menurun50. Pada saat ini keamanan di Bali khususnya Kabupaten Badung dapat dikatakan aman dan kodusif karena dapat dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan dan penghasilan dari Pajak sektor pariwisata terus meningkat setiap tahun. Tetapi dalam hal pengamanan Pemerintah Daerah dan Polri tidak boleh merasa puas, karena setiap tindak kejahatan dapat terjadi apabila pada saat sistem keamanan itu lengah dan longgar51. Apalagi Bali selalu di jadikan isu tempat target operasi Terorisme seperti yang terjadi pada tahun 2002 dan 2005 yang dapat mengurangi minat untuk berkunjung ke Bali, jadi intinya keamanan terhadap wilayah Badung dan wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata harus di tingkatkan. Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa faktor keamanan wisatawan di lokasi wisata sangatlah penting, karena dengan keamanan yang terjamin maka akan menarik wisatawan untuk berkunjung dan mengubah opini Negara asing bahwa Bali pada umumnya dan Badung pada khususnya sudah sangat aman dan nyaman, sehingga visi dari Dinas Pariwisata Kabupaten Badung yaitu untuk terus meningkatkan jumlah wisatawan, lama tinggal nya wisatawan, dan wisatawan yang berkualitas dapat terwujud. Dalam hal pengamanan wisatawan Polisi Pariwisata di bantu oleh masyarakat Desa Adat (Pecalang) , hal ini di pertegas dengan Skep Kapolri

Nomor.Pol.:SKEP/ 737/ X/ 2005 yang menyatakan bahwa Polri dalam melakukan pengamanan wisatawan berupaya melakukan perubahan khususnya perubahan
50

Hasil Rakernas Dit Pam Obsus Polri Tahun 2007 tentang Pengembangan Pariwisata Indonesia dan Peranan Polri dalam Mewujudkan Destinasi Pariwisata yang Aman, Tertib, Nyaman, dan Ramah Lingkungan. 51 Hasil wawancara dengan Bapak AKP. I Wayan Suana, Kasat PAM OBVIT POLRES Badung pada hari Senin, 6 Februari 2012.

53

kultur atau budaya Polri yang lebih mengutamakan pendekatan kemanusiaan dengan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan kehidupan sosial masyarakat, salah satunya dengan program Perpolisian Masyarakat ( Polmas ) dimana antara Polri dan Masyarakat terjalin kemitraan52. Polisi Pariwisata di Kabupaten Badung bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi Polisi Pariwisata yang sudah diatur dalam Petunjuk Pelaksana Kapolda Bali yaitu, Menciptakan keamanan, ketertiban, perlindungan, pengayoman dan kelancaran (Turjawali) terhadap wisatawan dan tempat tinggal serta harta benda wisatawan, serta melakukan penyelidikan dan penydikan, penindakan, serta memeriksa identitas diri wisatawan yang dicurigai melakukan pelanggaran ataupun tidak pidana yang dilakukan oleh wisatawan. Selain mempuyai tugas, fungsi dari Polisi Pariwisata yaitu, mendeteksi atas faktor-faktor korelatif kriminogen, Police Hazard, dan Ancaman Faktual yang terdapat dilingkungan objek wisata, tempat tinggal ( Hotel, Bungalow, Villa, Home Stay, dan lain-lain ) dan pada route perjalanan wisata, penegakan atas faktor-faktor korelatif

kriminogen dari aspek-aspek kehidupan wisatawan dilingkungan objek/kawasan wisata, tempat tinggal dan route perjalanan wisatawan. Pencegahan atas kerawanan-kerawanan kepolisian, Penindakan dan penegakan hukum atas kasus kejahatan / pelanggaran atau ancaman factual. Memberikan pengawalan terhadap wisatawan atas permintaan biro perjalanan guna keamanan dan keselamatan selama perjalanan53. Anggaran biaya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Polisi Pariwisata di Kabupaten Badung hanya bersal dari Instansi Kepolisian dan tidak
52

Skep Kapolri Nomor.Pol.: SKEP/737/X/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Polmas Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. 53 Juklak Kapolda Bali No.Pol.: Juklak/899/II/2004 Tentang TUPOKS Polisi Pariwisata.

54

ada bantuan anggaran Polisi Pariwisata melalui Pajak Sektor Pariwisata maupun APBD . Desa Adat di Bali sebagai persekutuan hukum adat yang diakui dalam kerangka kehidupan bernegara, secara khusus diatur dalam Peraturan Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 tahun 1986. Dengan peraturan seperti ini diharapkan Desa Adat dapat lebih berperan dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dalam penjelasan umum dari Peraturan Daerah tersebut dinyatakan bahwa Desa Adat selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat Desa Adat maupun dalam proses pembangunan. Untuk masa mendatang, Desa Adat mempunyai fungsi untuk menata kehidupan masyarakat Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berkaitan dengan hukum adat dan kebudayaan Bali. Fungsi seperti ini akan dapat di jadikan landasan bagi kelancaran penyelenggaraan Pemerintah dan pelaksana pembangunan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya54. Bertitik tolak dari hal tersebut maka secara terperinci peran dan fungsi Desa Adat yaitu, Membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu dan kaidah hukum adat dresta55 di tengah-tengah masyarakat adat, Menyelenggarakan sengketa adat, Mengusahakan perdamaian dan memberikan kekuatan atau hukum terhadap status, hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat
54

yang

Hasil Wawancara dengan Bapak I.B. Karina P selaku Kepala Desa Adat Mengwi. Pada hari Selasa, 7 Februari 2012. 55 Pengertian Dresta : kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan berlaku di suatu wilayah tertentu.

55

bersangkutan menurut hukum adat yang belaku, Mengembangkan kebudayaan masyarakat Desa Adat, dalam usaha melestarikan kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya khasanah kebudayaan bangsa, Memelihara dan melestarikan adat-istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa, Menjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan masyarakat baik dalam hubungan antara masyarakat sendiri, hubungan masyarakat dengan alam lingkungan maupun anggota masyarakat dengan maha pencipta yang kita kenal dengan konsep Tri Hita Karana. 56 Dari paparan diatas, peran Desa Adat lebih diarahkan kepada upaya untuk menjaga, melindungi, dan melestarikan kehidupan adat dan budaya di lingkungan Desa Adat yang bersangkutan dan secara tidak langsung akan dapat pula ikut menjaga dan melestarikan budaya bangsa. Pecalang adalah perangkat desa adat yang mengemban misi fungsi kepolisian yakni pengamanan adat di lingkungan wilayah adatnya, harus tunduk dengan hukum adat dan bersinergi dengan kepolisian dalam mewujudkan pola keamanan swakarsa57. Secara hakekat Pecalang dan Kepolisian sesungguhnya sama-sama pengemban fungsi Kepolisian, perbedaannya Pecalang pengemban fungsi Kepolisian dalam konteks Desa Adat, sedangkan Kepolisian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara formal hubungan yang terjadi antara Kepolisian dan Pecalang adalah hubungan kelembagaan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, di
56

Hasil Wawancara dengan Bapak I.B. Karina P selaku Kepala Desa Adat Mengwi. Pada hari Selasa, 7 Februari 2012. 57 http://humaspropemkabkarangasem.blogspot.com/2011/06/pecalang-polisi-adat-pengembanmisi.html. Diakses pada hari senin, tanggal 12-03-2012.

56

mana Pecalang bersetatus membantu Kepolisian dalam mengemban fungsi kepolisian, sejalan dengan itu kepolisian berkewajiban membina Pecalang. Secara informal hubungan Pecalang dengan Kepolisian di lihat dari hubungan individu yang ditentukan oleh keperibadian dan kemampuan pihak yang berhubungan yang kemudian melahirkan kesan terhadap pihak yang berhubungan ini mempengaruhi hubungan formalnya58. Pecalang memiliki peran penting dalam fungsi menjaga keamanan desa sehingga harus diatur dalam Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2001 yang telah diubah menjadi Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2005 tentang Desa Pakraman. Dapat di katakan bahwa Pecalang adalah perangkat desa yang diatur dengan hukum adat. Pada saat ini dilapangan secara formal Pecalang membantu tugas Polisi dalam hal pengamanan desa, hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pengalaman peristiwa Bom Bali I di tahun 2002 yang memicu kesadaran bahwa keamanan bali belum begitu baik, mungkin sangat longgar atau penuh toleransi. Masyarakat Bali sadar persoalan keamanan dan pengamanan Bali tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada aparat, khususnya Kepolisian. Pecalang pun menjadi organ alternatif untuk lebih di fungsikan untuk menjaga keamanan dan pengamanan. Dalam menjalankan fungsi dan perannya Desa Adat di wilayah Kabupaten Badung mendapat bantuan anggaran dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung sebesar

58

Ibid.

57

Rp. 150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ) setiap tahun yang di ambilkan dari APBD59. Dari paparan-paparan diatas dapat diketahui bahwa adanya bantuan angaran untuk Desa Adat sebesar Rp. 150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta ) yang diambilkan dari APBD untuk keamanan, ada keterkaitan antara pajak sektor pariwista terhadap keamanan, yang mana sebagian besar PAD Kabupaten Badung berasal dari Pajak Sektor Pariwisata sesungguhnya aparat pengamanan wisatawan di Bali khususnya Kabupaten Badung tidak hanya mengandalkan Polisi Pariwisata saja, melainkan bahwa Polisi Pariwisata dalam mengerjakan tugasnya dibantu oleh masyarakat desa adat yaitu Pecalang. Pecalang adalah perangkat desa adat yang mengemban misi fungsi kepolisian yakni pengamanan adat di lingkungan wilayah adatnya, harus tunduk dengan hukum adat dan bersinergi dengan kepolisian dalam mewujudkan pola keamanan swakarsa. Secara hakekat Pecalang dan Kepolisian sesungguhnya sama-sama pengemban fungsi Kepolisian, perbedaannya Pecalang pengemban fungsi Kepolisian dalam konteks Desa Adat, sedangkan Kepolisian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dapat diketahui pula bahwa Polisi Pariwisata di Kabupaten Badung tidak mendapatkan bantuan anggaran dari sektor pariwisata, hal ini sungguh sangat berbeda dengan Polisi Pariwisata di Kabupaten Kulon Progo yang dalam hal ini mendapatkan bantuan anggaran dari Sektor Pariwisata. Padahal pendapatan pajak sektor pariwisata di Kabupaten Badung melebihi target yang sudah di tentukan oleh Pemerintah Daerah.
59

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 57 Tahun 2010 tentang Pembagian dan pengelolaan Ayahan Desa Adat. Pasal 5.

58

2. Earmarking Pajak Sektor Pariwisata Di Kabupaten Badung Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Pada sub bab ini akan dibahas mengenai kesesuaian antara Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bali dengan Bupati Badung dan Walikota Denpasar Nomor 075/01/KB/B.Pem/2009 tentang Relokasi hasil penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung dan Denpasar Kepada Provinsi Bali dalam kaitannya dengan sistem earmarking pajak yang dimaksud Undang-Undang nomor 28 tahun 2009. Pada sub bab yang pertama akan membahas tentang earmarking tax. Pada sub bab yang kedua akan membahas tentang Penerapan earmarking pajak pada Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pada sub bab ketiga akan membahas mengenai wacana earmarking terhadap pajak sektor pariwisata. 2.1. Earmarking Tax

Earmarking merupakan salah satu pendekatan dalam bidang pengelolaan keuangan publik, khususnya bidang penganggaran atau pengalokasian belanja. Istilah earmarking dalam konteks pengelolaan keuangan publik diartikan sebagai suatu kondisi dimana sumber pendapatan negara tertentu dialokasikan kepada kegiatan atau pelayanan publik tertentu. Earmarking sendiri sering dikaitkan dalam konteks perpajakan, sehingga muncul istilah yang sering dikenal dengan earmarking tax60.

60

http:/www.pnpb.net/?p=64, diakses pada tanggal 28 Desember 2011

59

Earmarking

tax

merupakan pajak

yang dipungut

untuk

membiayai

pengeluaran-pengeluaran tertentu yang sudah spesifik. Praktik seperti ini telah ada sejak dahulu dan cukup popular di dunia, menurut Ranjit Teja yang menyatakan bahwa earmarking mengacu pada desain pendanaan baik dari satu sumber maupun banyak sumber penerimaan untuk penggunaan akhir yang spesifik61. Selain itu menurut Mc Cleary earmarking merupakan praktik umum yang menetapkan pendapatan (melalui Undang-Undang atau Konstitusi) dari pajak tertentu atau kelompok pajak untuk digunakan membiayai kegiatan khusus Pemerintah. Konsep earmarking pada dasarnya bukan hanya pada pajak tetapi bisa diaplikasikan dalam bentuk penerimaan Pemerintah lainnya62. Karakteristik earmarking terletak pada penggunaan dana penerimaan pajak tersebut, Newbery dan Santos menyatakan bahwa Earmarked Tax memiliki karekteristik penting yaitu pada alokasi hasil pajaknya yang hanya digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pajak uang dibayarkan tersebut. Selain itu karakteristik earmarking yang lain adalah ketika terdapat hubungan manfaat yang kuat antara pembayar pajak dengan pengguna hasil pajak untuk membiayai kebutuhan pengeluaran sektor pajak tersebut63. Berkaitan dengan karakteristik ini, maka earmarked taxs sangat berhubungan dengan penyediaan barang publik. Seperti yang dikutip oleh Wiliam McCleary bahwa earmarking digunakan untuk menutupi kebutuhan dana dalam penyediaan

61

Rajit Teja S. The Case For Earmarked Taxes, International Monetary Fund, Vol. 35 No. 3 (september, 1988), hlm 523. Diunduh dari www.jstor.org pada tanggal 23 Maret 2012. 62 Wiliam McCleary. The Earmarking Of Government Revenue. A Review of some World Bank Experience. The World Bank Research Observer, Vol. 6 No. 1 hlm. 82 (January 1991). 63 Richard M. Bird. Threading The Fiscal Labirinth : Some Fiscal Issues In Fiscal Decentralization, Tax Policy In Real World, cambridge University Press, 1999. hlm 104-105.

60

barang dan jasa publik, selain earmarking ada karena setiap barang publik memiliki sumber pembiayaannya masing-masing64. Sebagai pajak yang penerimaannya telah di desain khusus earmarking tax terbagi dua tipe yaitu full dan partial earmarking tax. Full earmarking tax memiliki pengertian bahwa earmarking tax di desain sebagai satu-satunya sumber pembiayaan bagi program tersebut, partial earmarking tax memiliki pengertian bahwa earmarking tax di desain bukan sebagai satu-satunya sumber pembiayaan, namun ada sumber pendapatan lain yang dialokasikan untuk membiayai program tersebut65. Bird dan Joosung Jun membagi earmarking tax kedalam delapan tipe sebagaimana digambarkan dalam tabel 6 berikut :

Tabel 6 Tipe-Tipe Earmarking Tipe Expenditure Linkage Rationale Example A B C D E Specific Specific Broad Broad Specific Tight Loose Tight Loose Tight Benefit Benefit Benefit Benefit None Public enterprise Gasoline tax and road finance Social security Tobacco tax and health finance Environmental taxes and clean-up programs F Specific Loose None Payrool tax and health finance

64 65

Wiliam McCleary. Op Cit. hlm. 88 Joel Michael. Earmarking State Tax Revenues, Policy Brief Minnesota House of Representatives Research Repartment, 2008. hlm. 2.

61

Tipe Expenditure Linkage Rationale Example G H Broad Broad Tight Loose None None Revenue sharing to localities Lottery revenues to health

Sumber : Earmarking in Theory and Korean Practice

Dalam melakukan klasifikasi Bird dan Jun menitikberatkan pada tiga aspek yang dilihat dari hubungan pajak dengan pengeluaran yang dialokasikan. Pertama adalah derajat kekhususan (spesifik) pengeluaran; kedua, kekuatan dan sifat hubungan antara pendapatan dan pengeluaran; ketiga, ada atau tidaknya alasan manfaat yang dapat di identifikasi untuk hubungannya66. Tipe A adalah yang baik dan paling rasional dari tipe earmarking, pendapatan yang dialokasikan datang langsung dari orang-orang yang memperoleh manfaat tersebut. Tipe B pendapatan mana yang diperuntukan bagi tujuan tertentu sudah ditentukan secara spesifik, tetapi hubungan antara pendapatan dan pengeluaran sangat longgar dalam arti bahwa jumlah pengeluaran tidak harus meningkat, jika pendapatan dari sumber ini meningkat, dan sebaliknya. Tipe ini dicontohkan oleh penerimaan dari bahan bakar dan pembiayaan jalan. Tipe C mirip dengan tipe A kecuali bahwa pengeluaran yang ditunjuk tidak secara sempit di definisikan. Tipe ini memiliki contoh sistem jaminan sosial, pajak atas gaji jelas membiayai berbagai tunjangan sosial seperti pensiun, dan

66

Bird Richad M dan Joosung Joon, Earmarking in Theory and Korean Practice, ITP Peper 0513,2005, http://www.rotman.utoronto.ca/riib/details.aspx?Content ID=267, diunduh pada 25 Maret 2012.

62

sebagainya. Walaupun jumlah total yang dihabiskan sangat terbatas pada jumlah pajak yang diajukan oleh earmarked. Tipe D analog dengan Tipe B namun pengeluarannya belum memiliki tujuan yang spesifik. Contoh bagi tipe ini adalah antara dalam hal ada kelompok di bayangkan manfaat sambungan, tetapi hubungan antara pajak dikumpulkan dan pengeluaran yang dibuat dalam bidang yang luas dimana pendapatan yang dikhususkan alokasinya cukup longgar. Tipe ini dicontohkan seperti pajak tembakau dan pembiayaan kesehatan. Tipe E terkait erat dengan Tipe A dalam hal spesifikasi pengeluaran yang dibiayai oleh penerimaan tersebut, namun tidak ada alasan manfaatnya. Sebagai contoh, pajak lingkungan dan program pembersihan lingkungan. Tipe F juga tidak memiliki alasan manfaat, tipe ini bersifat longgar dan arti bahwa jumlah yang dibelanjakan daerah tidak dipengaruhi oleh jumlah diperoleh dari pajak. contoh dari tipe ini adalah pajak gaji dan pembiayaan kesehatan. Tipe G bahkan tidak memiliki alasan manfaat apapun meskipun dalam kasus ini hasil dari pajak yang disisihkan untuk daerah menentukan jumlah pengeluaran daerah yang ditunjuk. Contoh dari tipe ini adalah pendapatan pajak digunakan sebagi satu-satunya sumber keuangan untuk transfer lokal. Terakhir Tipe H tidak memiliki alasan ekonomi dan umumnya tidak ada efek ekonomi rill, sebuah contoh umumnya adalah mengalokasikan pajak minuman keras atau undian untuk pendidikan dan kesehatan. Sebagai suatu kebijakan baru, penerapan earmarking tax memiliki beberapa alasan-alasan justifikasi untuk penerapannya, selain itu juga memiliki alasan-

63

alasan agar tidak diterapkan. Berikut ini adalah justifikasi untuk penerapan earmarking yang diungkapkan Derran dalam McCleary, yaitu67 : Earmarking appiles the benefit principle of taxation. Earmarking gives more assurance of minimum levels of financing for public services that governments cosider worthy, thus avoiding periodic haggling within the bureaucracy and the legislature over appropiate level of funding. Greater stabilitiy and continuity of funding may lead to lower cost because of speedy completion of projects. By linking taxation with spending, earmarking may overcome resistance to taxes and help to generate new sources of revenue. Justifikasi pertama adalah bahwa earmarking tax adalah menerapkan prinsip manfaat seperti yang dijelaskan di poin sebelumnya. Earmarking akan semakin kuat jika ada hubungan yang kuat antara pembayar pajak dengan manfaat yang akan ia dapatkan dari pembayaran pajak itu. Kedua earmarking tax akan memberikan kepastian dana setidaknya pada level yang minimum. Selanjutnya adalah memberikan kontinuitas dan stabilitas dalam pendanaan, hal ini juga akan menjadikan cost recovery dalam penyediaan barang dan jasa publik menjadi semakin feasible untuk dijalankan. Terakhir adalah penerapan earmarking akan mengurangi resistensi dari pembayar pajak yang sangat terkait dengan prinsip manfaat yang diterima oleh pembayar pajak;

67

Wiliam McCleary. The Earmarking Of Government Revenue . A Review of some World Bank Experience. The World Bank Research Observer, Vol. 6 No. 1 hlm. 88 (January 1991).

64

Budgeting arguments The distributional argument Earmarking may not work

Poin pertama adalah masalah penganggaran, dalam proses penganggaran earmarking tax di klaim akan menghasilkan kekakuan, misal alokasi dalam penganggran, tidak adanya evaluasi untuk pengeluaran dari earmarking tax, serta berkurangnya diskresi Pemerintah dalam proses penganggaran. Poin yang kedua adalah permasalahan distribusi yang merintangi penerapan prinsip manfaat pada earmarking tax, hal ini dikarenakan tidak ada pemisahan bagian pajak mana yang digunakan untuk earmarking dan yang digunakan untuk distribusi pendapatan. Terakhir adalah earmarking tax bisa jadi tidak berhasil. Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa pengertian earmarking pajak ialah beberapa jenis pajak yang hasil dari penerimaan pajak tersebut wajib dialokasikan untuk kegiatan atau pelayanan publik yang berkaitan dengan pajak tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan pengertian pajak secara umum, yaitu pungutan dari masyarakat oleh negara ( Pemerintah ) berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayar dengan tidak mendapat prestasi kembali ( kontra prestasi/balas jasa ) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran68.

68

Marihot Pahala Siahaan,S.E.,M.T., Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.hlm 7.

65

2.2.

Penerapan Earmarking Pajak Pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengatur secara nyata tentang adanya earmarking. Tujuan dari earmarking yang dimaksud Undang-Undang 28 tahun 2009 ialah untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan ( di-earmark ) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan earmarking tersebut dapat dilihat di dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Pajak Rokok, Pajak Kendaraan Bermotor, dan Pajak Penerangan Jalan69. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah Pusat. Cukai rokok di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaiman diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007. Yang dimaksud dengan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang Cukai, yaitu: a. Konsumsinya perlu dikendalikan; b. Peredarannya perlu diawasi;

69

Ibid, hlm 61.

66

c. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; d. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik sebagaimana di atas yang dikenai cukai bersarkan Undang-Undang Cukai dinyatakan sebagai barang kena cukai. Salah satu jenis barang yang merupakan barang kena cukai adalah hasil tembakau. Cukai atas hasil tembakau dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dinyatakan sebagai cukai rokok. Penerapan earmarking pajak terhadap Pajak Rokok secara nyata telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mewajibkan penerimaan Pajak Rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 50% ( lima puluh persen ) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang70. Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa penerapan sistem earmarking sudah secara nyata diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Rokok. Hasil pengalokasiannya juga sudah diatur secara jelas dan diperuntukan untuk hal yang terkait dengan penariakan Pajak Rokok itu sendiri seperti Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain pembangunan atau pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok ( smoking area ), kegiatan
70

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 31 ayat 5.

67

kemasyarakatan tentang bahaya rokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. Penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat bekerjasama dengan pihak atau instansi lain, antara lain pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 ( lima Gross Tonnage ) sampai dengan GT 7 ( tujuh Gross Tonnage ). Penerapan earmarking pajak terhadap Pajak Kendaraan Bermotor secara nyata telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mewajibkan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% ( sepuluh persen ) termasuk yang dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota, dialokasikan untuk pembangunan dan atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum71. Karakteristik dari penerapan earmarking pada pajak kendaraan bermotor yaitu72: a. Pengawasan terhadap jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah, yang dapat menimbulkan kemacetan. b. Perawatan jalan, serta pembangunan insfratruktur seperti pelebaran jalan. c. Pemkaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
71

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 8 ayat 5. 72 http://rajindong.blogspot.com/2010//11/dampak-kendaraan-bermotor-terhadap.html.

68

Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa penerapan sistem earmarking sudah secara nyata diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Kendaraan Bermotor. Hasil pengalokasiannya juga sudah diatur secara jelas dan diperuntukan untuk hal yang sangat berkaitan dengan Pajak Kendaraan Bermotor itu sendiri seperti pengalokasian untuk pembangunan dan atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah73. Pengecualian dari Pajak Penerangan Jalan ialah74: a. Penggunaan listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. Penggunaan listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik; c. Penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; d. Penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah. Penerapan earmarking pajak terhadap Pajak Penrangan Jalan secara nyata telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mewajibkan hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan yang sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan75. Hal ini dapat dikatakan sebagai earmarking pajak karena telah

73

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 1 angka 28. 74 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 52 ayat 3. 75 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 56 ayat 3.

69

menjalankan kewajiban Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengalokasikan sebagian hasil penerimaan Pajak Daerah untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah mengatur tentang adanya earmarking yang mana bahwa Pajak Penerangan Jalan di wajibkan mengalokasikan sebagian penerimaan pajaknya yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten diperuntukan bagi desa di wilayah daerah Kabupaten tempat pemungutan Pajak Penerangan Jalan, hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan tersebut di peruntukan sedikit 10% ( sepuluh persen ) bagi desa di wilayah yang bersangkutan. Bagian desa yang berasal dari pajak Kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten dengan memperhatikan aspek dan potensi antardesa. Pajak sektor pariwisata di Kabupaten Badung meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. Objek Pajak Hotel dan Restoran adalah setiap pelayanan yang diselenggarakan dengan pembayaran, sedangkan objek pajak hiburan adalah setiap penyelenggara Hiburan. Subjek pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan yang diberikan Hotel, subjek pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang di berikan oleh Restoran, dan subjek pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan

70

yang menonton atau menikmati Hiburan. Tarif pajak hotel dan pajak restoran adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari tarif pembayaran yang dikenakan subjek pajak kepada Wajib Pajak, dan besar tarif pajak hiburan untuk setiap jenis jenis Hiburan mulai dari 0% (nol persen) sampai dengan 12,5% (dua belas koma lima persen), dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya di bayar untuk menonton dan/atau menikmati hiburan serta disesuaikan dengan jenis Hiburan yang ditampilkan76. Tarif Pajak Hiburan di Kabupaten Badung sangat berfariasi, untuk tarif pajak hiburan pada umumnya ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen), sedangkan jenis pajak hiburan yang dikenakan tarif hiburan khusus ialah seperti table 7 di bawah ini77:

Tabel 7 Tarif Pajak Hiburan Kabupaten Badung Jenis-Jenis Hiburan Hiburan kesenian rakyat/tradisional yang diselenggarakan oleh Desa Adat Tarif pajak ditetapkan 0% (nol persen) Tarif pajak ditetapkan Hiburan rakyat/tradisional sebesar 5% (lima persen) Tarif Pajak Hiburan

76

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 15, 16, 17 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. 77 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan, pasal 6.

71

Jenis-Jenis Hiburan Mandi Uap/Spa Diskotik/Klab Malam Karoke Panti Pijat

Tarif Pajak Hiburan Tarif pajak hiburan ditetapkan sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen)

Sumber : Perda Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011

Pajak sektor pariwisata sangat di pengaruhi oleh faktor keamanan, karena faktor keamanan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata. Apabila keamanan di tempattempat wisata terjamain maka jumlah pengunjung akan meningkat tetapi apabila terjadi sebaliknya maka jumlah pengunjung akan berkurang78, sehingga dapat mengurangi pemasukan terhadap PAD, hal tersebut sebenarnya telah dirasakan Kabupaten Badung pada tahun 2002 dan 2005 yang dimana terjadi pristiwa Bom Bali I dan II. Pemerintah Kabupaten Badung belum mengatur mengenai keamanan wisatawan serta pembiayaannya dari penerimaan pajak sektor pariwisata, padahal pajak sektor pariwisata di Kabupaten Badung menyumbang pendapatan untuk PAD terbesar di bandingkan dengan sektor-sektor penerimaan pajak yang lain. Oleh karena itu dapat dilakukan earmarking terhadap pajak sektor pariwisata, Berdasarkan klasifikasi Bird dan Jun menitikberatkan pada tiga aspek yang dilihat

78

Hasil Rakernas Dit Pam Obsus Polri Tahun 2007 tentang Pengembangan Pariwisata Indonesia dan Peranan Polri dalam Mewujudkan Destinasi Pariwisata yang Aman, Tertib, Nyaman, dan Ramah Lingkungan.

72

dari hubungan pajak dengan pengeluaran yang dialokasikan. Pertama adalah derajat kekhususan (spesifik) pengeluaran; kedua, kekuatan dan sifat hubungan antara pendapatan dan pengeluaran; ketiga, ada atau tidaknya alasan manfaat yang dapat di identifikasi untuk hubungannya. Serta maksud dari earmarking itu sendiri bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government. Dari semua paparan-paparan pada sub bab 2.1 dan 2.2 Dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengatur secara jelas aturan tentang sistem earmarking pajak, lebih nyatanya Undang-Undang tersebut yang mengatur tentang adanya earmarking terdapat pada: (1) Pajak Kendaraan Bermotor yang menjelaskan bahwa hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% ( sepuluh persen ) termasuk yang dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota, dialokasikan untuk pembangunan dan atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (2) Pajak Rokok, mewajibkan penerimaan Pajak Rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 50% ( lima puluh persen ) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. (3) Pajak Penerangan Jalan, mewajibkan hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan yang sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan. Untuk Pajak sektor Pariwisata memang belum diatur secara nyata oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut, tetapi berdasarkan uraian dan paparan pada sub bab 3.1 penulis menggunakan teori-teori mengenai earmarking tax yang telah di jelaskan diatas, termasuk juga

73

pembagian tipe yang diungkapkan oleh Joel Michael dan Bird untuk melakukan analisis earmarking tax atas pajak sektor pariwisata, selain itu juga menggunakan alasan-alasan justifikasi dan penghalang earmarking tax. Dari analisis berdasarkan teori-teori diatas bahwa dapat dimungkinkan Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerahnya memberlakukan sistem earmarking Pajak Sektor Pariwisata. Karena klasifikasi Bird dan Jun menitikberatkan pada tiga aspek yang dilihat dari hubungan pajak dengan pengeluaran yang dialokasikan. Pertama adalah derajat kekhususan (spesifik) pengeluaran; kedua, kekuatan dan sifat hubungan antara pendapatan dan pengeluaran; ketiga, ada atau tidaknya alasan manfaat yang dapat di identifikasi untuk hubungannya. Serta maksud dari earmarking itu sendiri bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government. 2.2. Wacana Earmarking Terhadap Pajak Sektor Pariwisata.

Pada sub bab 2.2 diatas telah dijelaskan bahwa jenis Pajak yang dapat diearmarking menurut Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu Pajak Rokok, Pajak Kendaraan Bermotor, dan Pajak Penerangan Jalan. Karakteristik dimungkinkannya pajak tersebut untuk di earmarking adalah : Pajak Rokok79 a) Konsumsinya perlu dikendalikan; b) Peredarannya perlu diawasi;
79

Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai sebagaimna diubah dengan undangundang Nomor 39 Tahun 2007.

74

c) Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; d) Pemakaiannya perlu pembebenan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, Pajak Kendaraan Bermotor80 a) Pengawasan terhadap jumlah kendaraan bermotor yang terus

bertambah, yang dapat menimbulkan kemacetan. b) Perawatan jalan, serta insfratruktur seperti pelebaran jalan. c) Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Pajak Penerangan Jalan a) Perwatan lampu jalan b) Pemerataan penerangan jalan. Untuk meningkatkan keamanan pariwisata jelas harus berasal dari sektor pariwisata karena antara pajak sektor pariwisata dan keamanan pariwisata sangat terkait, dan tidak dapat dimungkinkan earmarking teradap keamanan pariwisata dari sektor pajak yang lain. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengatur tentang keamanan wisatawan yang diatur dalam Pasal 23 ayat 1a yaitu Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan wisatawan. Kabupaten Badung sebenarnya sudah menerapkan sistem earmarking yang dimaksud dalam Undang-Undang 28 Tahun 2009 tetapi penerapannya hanya

80

http://rajindong.blogspot.com/2010//11/dampak-kendaraan-bermotor-terhadap.html.

75

berlaku di daerah Denpasar dan Badung, berdasarkan nota kesepakatan antara Gubernur Bali dan Bupati Badung serta Walikota Denpasar. Kabupaten Badung terhitung dari tahun 2009 sampai tahun 2011 selalu merealokasikan hasil penerimaan pajak hotel dan pajak restoran kepada Provinsi Bali. Dasar pengalokasikan pajak hotel dan pajak restoran tersebut adalah Kesepakatan Bersama Antara Gubernur Bali Dengan Bupati Badung dan Walikota Denpasar Nomor 075/01/KB/B.Pem/2009 yang disepakati pada hari Senin tanggal 12 januari 2009. Tujuan dari kesepakatan bersama ini untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan pariwisata Bali secara menyeluruh, terintegrasi dan utuh yang berwawasan budaya dan lingkungan serta pembangunan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Atas dasar kesepakatan bersama Gubernur dan Bupati Badung tersebut Kabupaten Badung harus mengalokasikan Pajak Hotel dan Pajak Restoran kepada Provinsi Bali berkisar antara 15% ( lima belas persen ) sampai dengan 22% (dua puluh dua persen ) dari hasil penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran setelah dikurangi biaya pemungutan dengan jumlah yang cenderung meningkat dari jumlah sebelumnya. Berdasarkan kesepakatan tersebut hasil pembagian Pajak Hotel dan Pajak Restoran di pergunakan untuk81: a. 20% ( dua puluh persen ) dimanfaatkan oleh Provinsi Bali sebagai dana untuk membiayai promosi pariwisata terintegrasi dan menyeluruh dengan melibatkan Kabupaten/Kota, biaya peningkatan keamanan, pelestraian budaya dan lingkungan.
81

Kesepakatan Bersama Antara Gubernur Bali dengan Bupati Badung dan Walikota Denpasar Nomor : 075/01/KB/B.Pem/2009 tentang Realokasi hasil penerimaan pajak hotel dan pajak restoran Kabupaten Badung dan Kota Denpasar kepada Provinsi Bali.Pasal 3 ayat 2 dan 3.

76

b. 80% ( delapan puluh persen ) lainnya dimanfaatkan oleh 6 ( enam ) Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buleleng, Karangasem, Tabanan, Bangli, Jembrana, Klungkung. Pembagian hasil penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran kepada enam Kabupaten tersebut di prioritaskan untuk

pengembangan dan pemeliharaan sarana objek wisata, kebersihan/pelestarian lingkungan serta pelestarian budaya dan pembangunan lainnya yang menyentuh kepentingan masyarakat secara langsung. Realisasi pengalokasian Pajak Hotel dan Pajak Restoran di Kabupaten Badung dari Tahun 2009 sampai tahun 2011 dapat dilihat di tabel 8 di bawah ini:

Tabel 8 Relokasi PHR TAHUN 2008 2009 2010 2011 Alokasi PHR Badung Rp. 85.840.109.720,46 Rp. 90.642.392.500,00 Rp. 105.812.136.551,40 Rp. 114.217.500.000,00

Sumber : Bagian Keuangan Kabupaten Badung

Dari paparan diatas pada sub bab 3.2 diatas dapat diketahui bahwa Relokasi hasil penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung dan Kota Denpasar kepada Provinsi Bali Nomor 075/01/KB/B.Pem/2009 dapat dikatakan earmarking pajak sektor pariwisata, karena pengertian earmarking yang dimaksud

77

dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sama dengan yang dimaksud dalam Kesepakatan Bersama tersebut yaitu beberapa jenis pajak yang hasil dari penerimaan pajak tersebut wajib dialokasikan untuk kegiatan atau pelayanan publik yang berkaitan dengan pajak tersebut. Maksud dari earmaking dalam Undang-Undang 28 tahun 2009 ialah untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan ( di-earmark ) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Jika meliahat dari paparan diatas dapat kita ketahui bahwa Kesepakatan Bersama Antara Gubernur dengan Bupati Badung dan Walikota Denpasar dapat dikatakan sebagai earmarking pajak yang di maksud oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009. Berdasarkan Kesepakatan Bersama tersebut di jelaskan maksud dan tujuan dari alokasi Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung yang salah satunya diperuntukan untuk Peningkatan Keamanan yang tertuang dalam Pasal 3 ayat 3a, tetapi Polres dan Polisi Pariwisata Badung tidak pernah mendapatkan bantuan apapun yang deberikan oleh Pemerintah Provinsi terkait upaya peningkatan keamanan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 3a. Sebaiknya pengalokasian Pajak Hotel dan Pajak Restoran tersebut di tuangkan ke dalam Peraturan Nasional tentang pajak sektor pariwisata, agar menjadi lebih konsisten serta dapat diatur juga mengenai pengawasan alokasi pajak sektor pariwisata

78

tersebut sehingga dapat ikut diterapkan oleh daerah lain yang mempunyai potensi pada sektor pariwisata. Dari semua paparan sub bab 2.1, 2.2 dan 2.3 dapat diketahui bahwa bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengatur secara jelas aturan tentang sistem earmarking pajak, lebih nyatanya Undang-Undang tersebut yang mengatur tentang adanya earmarking terdapat pada: (1) Pajak Kendaraan Bermotor yang menjelaskan bahwa hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% ( sepuluh persen ) termasuk yang dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota, dialokasikan untuk pembangunan dan atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (2) Pajak Rokok, mewajibkan penerimaan Pajak Rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 50% ( lima puluh persen ) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. (3) Pajak Penerangan Jalan, mewajibkan hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan yang sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan. Relokasi hasil penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung dan Kota Denpasar kepada Provinsi Bali Nomor 075/01/KB/B.Pem/2009 dapat dikatakan earmarking pajak sektor pariwisata, karena pengertian earmarking yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sama dengan yang dimaksud dalam Kesepakatan Bersama tersebut yaitu beberapa jenis pajak yang hasil dari penerimaan pajak tersebut wajib dialokasikan untuk kegiatan atau pelayanan publik yang berkaitan dengan pajak tersebut. Hal tersebut juaga dapat

79

dilihat dari pendapat Newbery dan Santos yang menyatakan bahwa earmarked tax memiliki karakteristik penting yaitu pada alokasi hasil pajaknya yang hanya digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pajak yang dibayarkan tersebut. Maksud dari earmaking dalam Undang-Undang 28 tahun 2009 ialah untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean

government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan ( diearmark ) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat.

80

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan Dari keseluruhan uraian dan pembahasan sebelumnya, maka dalam bab ini penulis sajikan kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis susun yaitu mengenai Peran Pajak Sektor Pariwisata Dalam Meningkatkan Keamanan Wisatawan Di Kabupaten Badung . Dari penulisan tersebut dapat diambil Kesimpulan dan Saran sebagai berikut : 1.1. Peran Pajak Sektor Pariwisata terhadap PAD Kabupaten Badung sangat besar. Pajak sektor pariwisata menyumbang pemasukan paling besar terhadap PAD yaitu pada tahun 2008 sebesar Rp. 645.174.417.282,32. Pada tahun 2009 sebesar Rp. 677.834.493.810,00. Pada tahun 2010 sebesar Rp. 812.655.474.823,26. Pada tahun 2011 sebesar Rp. 956.793.838.984,10. Jika dilihat dari tahun 2008 sampai tahun 2011 pajak sektor pariwisata menyumbang rata-rata lebih dari 75% terhadap PAD pertahun. Aparat pengamanan wisatawan di Bali khususnya Kabupaten Badung tidak hanya mengandalkan Polisi Pariwisata saja, melainkan Polisi Pariwisata dalam mengerjakan tugasnya dibantu oleh masyarakat desa adat yaitu Pecalang. Pecalang adalah perangkat desa adat yang mengemban misi fungsi kepolisian yakni pengamanan adat di lingkungan wilayah adatnya, harus tunduk dengan hukum adat dan bersinergi dengan kepolisian dalam mewujudkan pola keamanan swakarsa. Secara hakekat Pecalang dan Kepolisian sesungguhnya

81

sama-sama

pengemban

fungsi

Kepolisian,

perbedaannya

Pecalang

pengemban fungsi Kepolisian dalam konteks Desa Adat, sedangkan Kepolisian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dapat diketahui pula bahwa Polisi Pariwisata di Kabupaten Badung tidak mendapatkan bantuan anggaran dari sektor pariwisata, hal ini sungguh sangat berbeda dengan Polisi Pariwisata di Kabupaten Kulon Progo yang dalam hal ini mendapatkan bantun anggaran dari Sektor Pariwisata. 1.2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengatur secara jelas aturan tentang sistem earmarking pajak, lebih nyatanya Undang-Undang tersebut yang mengatur tentang adanya earmarking terdapat pada: (1) Pajak Kendaraan Bermotor yang menjelaskan bahwa hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% ( sepuluh persen ) termasuk yang dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota, dialokasikan untuk pembangunan dan atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (2) Pajak Rokok, mewajibkan penerimaan Pajak Rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 50% ( lima puluh persen ) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. (3) Pajak Penerangan Jalan, mewajibkan hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan yang sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan. Relokasi hasil penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung dan Kota Denpasar kepada Provinsi Bali Nomor 075/01/KB/B.Pem/2009 dapat dikatakan earmarking pajak sektor pariwisata,

82

karena pengertian earmarking yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sama dengan yang dimaksud dalam Kesepakatan Bersama tersebut yaitu beberapa jenis pajak yang hasil dari penerimaan pajak tersebut wajib dialokasikan untuk kegiatan atau pelayanan publik yang berkaitan dengan pajak tersebut. Maksud dari earmaking dalam Undang-Undang 28 tahun 2009 ialah untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan ( di-earmark ) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. 2. Saran Sebagai akhir penulisan ini, penulis hendak mengemukakan saran serta harapan yang semoga dapat memberikan masukan yang bermenfaat. 2.1. Seyogyanya, pajak sektor pariwisata harus berperan dalam meningkatkan keamanan, karena keamanan merupakan unsur penting dalam menunjang peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan bantuan operasional kepada Polisi Pariwisata Polres Badung melalui pajak sektor pariwisata. Dengan adanya bantuan biaya operasional maka dapat lebih membantu patroli dan pengamanan wisatawan secara menyeluruh karena wilayah Kabupaten Badung cukup besar dan tempat-tempat wisatanya tersebar dan tidak terpusat sehingga

83

membutuhkan mobilitas yang tinggi dan selalu berpindah-pindah dalam menjaga keamanannya. 2.2. Seyogyanya, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung sudah menerapkan sitem earmarking pajak sektor pariwisata dalam meningkatkan keamanan yang dapat diberlakukan nasional. Karena Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah mengatur tentang earmarking pajak. agar dapat meningkatkan kinerja Polisi Pariwisata dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara utuh.

84

DAFTAR PUSTAKA

Brotodihardjo, R.S, 1981, Penghantar Ilmu Hukum Pajak, cetakan ke IX, PT. Eresco, Bandung. ______________, 1998, Penghantar Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung. Bambang, Kesit P, 2006, Hukum Pajak, Eksonia, Yogyakarta. Nurmatu, Safri, 2003, Penghantar Perpajakan, Granit, Jakarta. Pendit, Nyoman S, 2002, Ilmu Pariwisata, Pradiya Paramitha, Jakarta. Soemitro, Rochmat, 1998, Asas dan Dasar-Dasar Perpajakan 3, Eresco, Bandung. Siahaan, Marihot P, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Serjono, 1983, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Waluyo, Wirawan B.I, 2003, Perpajakan Indonesia, Salemba empat, Jakarta. Yoeti, Oka, 1995, Penghantar Ilmu Pariwisata, Angkasa, Bandung. Departemen Keuangan Direktorat Jendral Pajak, 1992, Panduan Materi Penunjang Penyuluhan Perpajakan. Hasil Rakernis Dit Pam Obsus Polri Tahun 2007 tentang Pengembangan Pariwisata Indonesia dan Peranan Polri dalam mewujudkan Destinasi Pariwisata yang aman, tertib, nyaman dan ramah lingkungan.

85

Materi Sosialisasi Kesepakatan Bersama Mendagri dan Kapolri No. 119/152/SJ Tahun 2002, No. Pol : B/2300/VII/2002 tentang Kerjasama Pembinaan Penyelenggaraan Trantibum serta Pemeliharaan Kantibmas. Keputusan Kapolri Nomor Pol : Kep/58/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Pembentukan Direktorat Pengamanan Pariwisata Polda D.I.Y dan Polda Bali. Skep Kapolri No. Pol : SKEP/737/X/2005 tentang kebijakan dan strategi polmas dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Skep Kapolri No. Pol : SKEP/ 248/IV/2004 Tanggal 21 april 2004 tentang Buku Petunjuk Kegiatan Pengamanan Objek Wisata. Juklak Kapolda Bali Nomor Pol. : JUKLAK/899/II/2004 tentang TUPOKS Polisi Pariwisata.

Jurnal Internasional Richard M. Bird dan Joosung Joon, Earmarking in Theory and Korean Practice, ITP Peper 0513, 2005, http://www.rotman.utoronto.ca/riib/details.aspx?P=64, diunduh pada 25 Maret 2012. Teja, Rajit S. The Case For Earmarked Taxes, International Monetary Fund, Vol. 35 No. 3 (September, 1988), hlm 532 di unduh dari www.jstor.org pada 23 Maret 2012. McCleary, Wiliam. The Earmarking of Government Revenve. A Review of Some World Bank Experince. The World Bank Research Observer, Vol. 6 No. 1 (January 1991).

86

Internet http//pariwisata.jogja.go.id.,diakses tanggal 10 Desember 2011 http:/www.pnpb.net/?P=64, diakses pada tanggal 28 Desember 2011. http://arcaban.blogspot.com/2011/12/peranan-desa-adat-di-bali.html. diakses pada tanggal 12 Maret 2012 http://humaspropemkabkarangasem.blogspot.com/2011/06/pecalang-polisi-adatpengemban-misi.html. diakses pada tanggal 12 Maret 2012. http://rtlovin3.blogspot.com/2007/06/sistem-keamanan-terpadu.html, pada 27 Maret 2012. diunduh

Peraturan-Peraturan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

87

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Daerah. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor PM./106/PW.006/MPEK/2011. Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 57 Tahun 2010 tentang Pembagian dan Pengelolaan Ayahan Desa Adat. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 16 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan. Kesepakatan Bersama Antara Gubernur Bali dengan Bupati Badung dan Walikota Denpasar Nomor: 075/01/KB/B.Pem/2009 tentang Relokasi Hasil Penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Kepada Provinsi Bali.

88

89

You might also like