You are on page 1of 23

ASMA I.

Definisi

Asma merupakan kelainan inflamasi kronis pada jalan napas. Saluran pernapasan yang mengalami inflamasi kronis menjadi hiperresponsif. Saat terpapar faktor resiko, saluran napas akan mengalami penyempitan dan aliran udara menjadi terbatas. Sehingga para ahli berpendapat bahwa asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1) Obstruksi saluran napas yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan; 2) Inflamasi saluran napas; 3) Peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Asma akan menyebabkan beberapa episode yang berulang dari gejala mengi, sesak, dada terasa sempit, dan batuk. II. Prevalensi, Morbiditas, dan Mortalitas

Asma merupakan masalah di seluruh dunia yang mengenai kurang lebih 300 juta individu dengan prevalensi global 1-8 % populasi di negara yang berbeda. Kematian pada penderita asma sekitar 250.000.Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%. Prevalensi ini terus meningkat terutama pada anak-anak. III. Faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma

Faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya asma terbagi menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan asma dan faktor yang mencetuskan timbulnya gejala asma, beberapa diantaranya masuk ke dalam 2 kriteria tersebut. Faktor tersebut berasal dari faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan.

Faktor Pejamu (host) 1

Genetik. Asma memiliki komponen yang diturunkan dan banyak gen yang terlibat dalam pathogenesis asma dan gen tersebut berbeda untuk setiap kelompok etnik. Gen yang berhubungan pada perkembangan asma difokuskan pada 4 daerah mayor, yaitu : produksi antibody IgE yang allergen spesifik (atopi), ekspresi hiperesponsif jalan nafas, pembentukkan mediator inflamasi (sitokin, kemokin, dan growth factor) dan penentuan rasio antara respon imun Th1 dan Th2 . Selain berpengaruh terhadap perkembangan asma, gen tersebut juga berpengaruh terhadap respon terhadap pengobatan. Obesitas. Obesitas merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin , dapat mempengaruhi fungsi jalan nafas dan meningkatkan kecenderungan perkembangan asma. Jenis kelamin Jenis kelamin pria merupakan faktor resiko asma pada anak anak, terutama sebelum usia 14 tahun (2: 1). Ketika bertambah dewasa, resiko asma lebih banyak pada wanita. Alasan perbedaan yang berhubungan dengan jenis kelamin belum jelas. namun, ukuran paru paru pria lebih kecil daripada wanita pada saat lahir tetapi lebih besar saat dewasa.

Faktor Lingkungan Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi resiko perkembangan asma,dan juga mencetuskan gejala asma . Salah satu contohnya adalah occupational sensitisizer. Allergen. Walaupun allergen telah diketahui dengan baik menyebabkan eksaserbasi asma namun peran spesifiknya dalam perkembangan asma belum diketahui sepenuhnya. Beberapa allergen yang biasanya mencetuskan asma diantaranya adalah : tungau, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), kecoa, jamur, ragi, serbuk sari. Infeksi. Ketika bayi, beberapa virus berhubungan dengan fenotipe asmatik. RSV dan virus parainfluenza menghasilkan pola gejala termasuk bronkhiolitis yang parallel dengan gambaran klinis asma pada anak anak. Sekitar 40% anak yang dirawat di RS karena RSV tetap mengi atau mendapatkan asma hingga setelah masa anak anak. Namun, di sisi lain, beberapa bukti juga mengindikasikan bahwa infeksi pernafasan, termasuk campak dan bahkan RSV saat awal kehidupan dapan memproteksi terhadap asma. Infeksi parasit tidak memproteksi terhadap asma namun infeksi dengan cacing tambang dapat menurunkan resiko. Hygiene hypothesis asma menjabarkan bahwa infeksi pada awal kehidupan mempengaruhi perkembangan sistem imun pada jaras non-allergenik sehingga menurunkan resiko asma dan penyakit alergi lainnya. Walaupun hipotesis ini sedang diselidiki secara kontinu, mekanisme ini dapat menjelaskan hubungan antara jumlah anggota keluarga, urutan lahir, perawatan di tempat penitipan anak, dan resiko asma. Sebagai contoh, anak yang memiliki kakak dan anak yang dirawat di penitipan anak memiliki resiko infeksi yang lebih besar namun memiliki proteksi terhadap perkembangan penyakit alergi, termasuk asma.

Interaksi antara atopi dan infeksi virus merupakan hubungan yang kompleks di mana status atopi dapat mempengaruhi respon jalan nafas bawah terhadap infeksi viral dan infeksi viral dapat mempengaruhi perkembangan sensitisasi alergi. interaksi ini dapat terjadi ketika individu terpapar secara simultan oleh allergen dan virus. Occupational sensitizer. Sekitar 300 substansi berhubungan dengan asma okupasional yang didefinisikan sebagai asma yang disebabkan oleh paparan zat yang berada di lingkungan kerja. Substansi substansi ini termasuk molekul kecil yang reaktif seperti isosianat, iritan yang dapat mengakibatkan perubahan responsivitas jalan nafas, beberapa imunogen seperti garam platinum dan produk tumbuh tumbuhan serta produk biologis hewan dapat menstimulasi produksi IgE.

Paparan yang sangat tinggi terhadap iritan yang terhirup dapat mengakibatkan irritant induced asthma yang dapat terjadi walaupun pada orang non atopi. Atopi dan merokok dapat meningkatkan sensitisasi 3

okupasional namun skrining individu terhada atopi memiliki nilai yang terbatas dalam pencegahan asma okupasional. Metode pencegahan asma okupasional yang paling penting adalah eliminasi atau menurunkan paparan terhadap occupational senisitizer. Merokok. Merokok berhubungan dengan akselerasi penurunan fungsi paru pada orang dengan asma, meningkatkan beratnya asma, dan dapat menurunkan respon obat inhalasi dan glukokortikoid sistemik, serta menurunkan kecenderungan asma untuk terkontrol. Paparan terhadap rokok prenatal dan setelah lahir berhubungan dengan resiko yang lebih besar terhadap gejala seperti asma pada awal masa anak anak. Pada ibu yang merokok saat kehamilan diketahui dapat mempengaruhi perkembangan paru anak dan meningkatkan resiko 4 kali lipat terhadap penyakit dengan mengi pada tahun pertama kehidupan. Paparan terhadap rokok (perokok pasif) meningkatkan resiko penyakit salurah nafas bawah pada bayi dan anak anak. Polusi udara outdoor/indoor. Peran polusi outdoor dalam menyebabkan asma masih controversial. Anak anak yang dibesarkan pada lingkungan yang terpolusi memiliki penurunan fungsi paru namun hubungannya dengan perkembangan asma belum diketahui. Outbreak eksaserbasi asma terjadi ketika terdapat peningkatan polusi udara dan hal ini mungkin berhubungan dengan peningkatan kadar polutan ataupun allergen spesifik secara menyeluruh. Walaupun demikian, peran polutan terhadap perkembangan asma masih belum diketahui dengan jelas, Hubungan yang sama juga terjadi pada pollutan indoor seperti gas dan asap dari bahan bakar pemanas ataupun pendingin, dan infestasi kecoa. Diet. Hubungan diet terutama pada ASI berhubungan dengan perkembangan asma. Pada bayi yang mengkonsumsi susu formula atau protein kedelai memiliki insidensi yang lebih tinggi terhadap penyakit mengi pada masa awal anak anak dibandingkan dengan bayi yang disusui dengan ASI. Beberapa data juga mengindikasikan karakterisik diet barat seperti meningkatnya konsumsi makanan yang diproses dan menurunnya antioksidan (buah buahan dan sayuran), meningkatnya asam lemak tidak jenuh n-6 (margarine dan minyak sayur), dan menurunnya asam lemak tidak jenuh n-3 (minyak ikan) berkontribusi terhadap peningkatan penyakit asma dan atopi lainnya.

IV.

Mekanisme Asma

Asma merupakan penyakit inflamasi pada jalan napas yang melibatkan beberapa sel dan mediator sehingga menimbulkan karakteristik perubahan patofisiologis. Inflamasi jalan napas pada asma Inflamasi jalan napas pada asma terjadi secara persisten walaupun gejala yang muncul episodik , selain itu hubungan antara beratnya asma dan intensitas inflamasi masih belum dapat diketahui secara jelas. Inflamasi terjadi pada seluruh jalan napas termasuk jalan napas atas dan hidung akan tetapi efek fisiologis yang paling menonjol adalah inflamasi pada brochi berukuran sedang.Pola inflamasi yang terjadi mirip di segala bentuk asma. 4

Sel-sel inflamasi.Karakteristik inflamasi yang terlihat pada penyakit alergi seperti asma adalah sel mast yang aktif, meningkatnya jumlah eosinofil,meningkatnya jumlah reseptor sel T pada natural killer cell dan Th2 yang mengeluarkan mediator yang berkontribusi terhadap gejala gejala yang terjadi. Sel sel struktural pada jalan nafas juga memproduksi mediator inflamasi, dan berkontribusi terjadap persistensi inflamasi pada jalur yang bervariasi.

Mediator Inflamasi. Lebih dari 100 mediator inflamasi dikenali berperan dalam asma dan memediasi respon inflamasi kompleks pada jalan nafas.

Perubahan Struktural pada Asma. Selain terjadi respon inflamasi, perubahan struktural yang khas juga terjadi pada pasien asma. Perubahan perubahan ini berhubungan dengan beratnya penyakit dan dapat menyebabkan penyempitan jalan nafas yang ireversibel.

Patofisiologi Penyempitan jalan napas adalah jaras terakhir yang mengakibatkan gejala dan perubahan fisiologis pada asma.

Hiperresponsif jalan napas. Hiperresponsif jalan napas adalah ciri-ciri kelainan fungsional pada asma yang mengakibatkan penyempitan jalan napas sebagai respon terhadap stimulus yang mungkin tidak berefek pada individu normal. Penyempitan ini berhubungan dengan inflamasi dan perbaikan jalan nafas yang reversibel dengan terapi. Namun mekanisme hiperresponsivitas jalan nafas ini belum dimengerti secara menyeluruh.

Mekanisme Khusus Eksaserbasi Akut. Perburukan asma yang berlangsung sementara dapat terjadi sebagai akibat paparan faktor resiko asma atau mencetuskan asma, seperti olah raga, polutan udara, dan perubahan musim. Perburukan yang lebih lama dapat terjadi dan biasanya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas oleh virus terutama rhinovirus dan RSV atau paparan allergen yang meningkatkan inflamasi pada saluran nafas bawah yang dapat menetap selama beberapa hari atau minggu. Asma Nokturnal. Mekanisme yang terjadi pada perburukan asma di malam hari belum diketahui secara menyeluruh namun dapat disebabkan oleh irama sirkadian hormon yang berada dalam sirkulasi seperti epinefrin, kortisolm dan melatonin, serta mekanisme neural seperti kolinergik. Peningkatan inflamasi jalan nafas pada malam hari telah dilaporkan. Hal ini dapat mencerminkan adanya penurunan mekanisme anti inflamasi endogen. Keterbatasan Aliran Udara Ireversibel. Beberapa pasien dengan asma berat dapat terjadi keterbatasan aliran udara yang tidak reversibel dengan terapi. Hal ini dapat mengindikasikan adanya perubahan struktur jalan nafas pada asma kronik. Kesulitan untuk Mengobati Asma. Alasan mengapa pada beberapa pasien asma susah ditangani dan tidak sensitif terhadap efek glukokortikoid sistemik kurang dapat dimengerti. Hal hal yang biasanya berhubungan adalah kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan dan masalah psikologis serta psikiatris. Walaupun demikian, faktor genetik juga dapat berkontribusi pada beberapa kasus. Pada pasien pasien ini terjadi kesulitan untuk mengobati sejak onset asma terjadi. Selain itu penutupan jalan nafas dapat mengakibatkan terperangkapnya udara dan hiperinflasi. Walaupun secara patologis, mirip dengan bentuk asma lain, pada pasien pasien ini terjadi peningkatan neutrofil, keterlibatan jalan nafas yang lebih kecil, dan lebih banyak perubahan struktural. Merokok dan Asma. Merokok mengakibatkan asma lebih sulit dikontrol dan mengakibatkan eksaserbasi yang lebih sering dan akselerasi penurunan fungsi paru serta meningkatkan resiko kematian. Pasien asma yang merokok dapat memiliki inflamasi yang didominasi oleh neutrofil pada jalan nafas dan kurang responsive terhadap glukokortikoid.

V.

Diagnosis dan Klasifikasi

Diagnosis yang tepat pada asma diperlukan untuk pemberian pengobatan. Gejala asma dapat intermiten dan non spesifik sehingga dapat terjadi kesalahan diagnosis. Diagnosis Klinis Gejala. Diagnosis klinis asma biasanya berdasarkan gejala gejala seperti sesak nafas episodic, mengi, batuk, dan chest tightness yang biasanya terjadi setelah paparan allergen ataupun perubahan musim. Adanya riwayat asma dan penyakit atopi pada keluarga juga dapat berguna untuk diagnosis. Diagnosis asma bersifat variabel, dipresipitasi oleh iritan non spesifik seperti asap, parfum, bau yang menyengat atau olah raga; memburuk pada malam hari ; dan berrespon terhadap terapi asma yang tepat. Beberapa pertanyaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis asma tercantum pada tabel di bawah ini :

Cough Variant Asthma. Pada pasien dengan cough-variant asthma mengalami batuk kronik sebagai gejala yang menonjol. Seringkali terjadi pada anak anak dan lebih berat pada malam hari sehingga evaluasi pada siang hari dapat normal. Untuk pasien pasien seperti ini, dokumentasi fungsi paru atau hiperresponsivitas jalan nafas dan pencarian eosinofil sputum penting dilakukan. Cpugh variant asthma ini harus disingkirkan dari bronchitis eosinofilik di mana pada pasien tersebut terdapat batuk dan eosinofil sputum namun dengan fungsi paru normal dan jalan nafas yang tidak hiperresponsif. Diagnosis lain yang perlu dipikirkan adalah batuk yang diinduksi oleh ACE inhibitor, GERD, postnasal drip, sinusitis kronis dan disfungsi pita suara. Bronkhokonstriksi yang Diinduksi Olah Raga. Aktivitas fisik merupakan penyebab yang penting pada pasien asma. Bronkhokonstriksi yang diinduksi olah raga secara tipikal terjadi 5 10 menit setelah selesai berolah raga (jarang terjadi selama berolah raga). Pasien mengalami gejala asma atau kadang kadang batuk yang terus menerus yang mereda secara spontan setelah 30 45 menit. Beberapa jenis olah raga seperti berlari merupakan pencetus yang poten. Bronkhokonstriksi yang diinduksi olah raga dapat terjadi pada setiap kondisi iklim, terutama bila udara kering, dingin dan jarang pada udara panas dan lembab.

Hilangnya gejala post olah raga yang cepat setelah penggunaan 2 agonist atau pencegahan dengan inhalasi 2 agonist mendukung diagnosis asma. Pada anak anak, asma dapat terjadi hanya saat olah raga. Untuk menegakkan diagnosis ini, dapat dilakukan tes lari selama 8 menit. Pemeriksaan Fisik Karena gejala asma bervariasi, pada pemeriksaan fisik sistem pernafasan dapat normal. Penemuan pemeriksaan fisik abnormal yang sering ditemukan adalah wheezing pada ekspirasi yang mengkonfirmasi adanya keterbatasan aliran udara. Walaupun demikian, pada beberapa orang dengan asma, wheezing dapat tidak ada atau hanya dapat dideteksi bila melakukan ekspirasi maksimum ataupun pada keterbatasan aliran udara yang signifikan. Kadang kadang, ada eksaserbasi berat asma, wheezing dapat tidak ada karena adanya penurunan aliran udara dan ventilasi. Walaupun demikian, pasien seperti ini memiliki tanda fisik yang merefleksikan eksaserbasi dan beratnya eksaserbasi tersebut, seperti sianosis, susah berbicara, takikardia, hiperinflasi, penggunaan otot otot aksesorius, dan resesi interkostal. Tanda klinis yang lain dapat hanya muncul pada pemeriksaan saat periode simtomatik. Hiperinflasi terjadi karena pasien bernafas dengan volume paru yang lebih besar untuk meningkatkan retraksi outward jalan nafas dan menjaga patensi jalan nafas yang lebih kecil ( yang menyempit karena kontraksi otot polos pernafasan, edema , dan hipersekresi mucus). Kombinasi hiperinflasi dan keterbatasan aliran nafas pada eksaserbasi asma meningkatkan kerja pernafasan.

Uji untuk Diagnosis dan Monitoring Pengukuran Fungsi Paru. Diagnosis asma biasanya berdasarkan adanya gejala yang khas. Walaupun demikian, pengukuran fungsi paru dan terutama demonstrasi adanya abnormalitas fungsi paru yang reversibel dapat meyakinkan diagnosis. Hal ini karena pasien asma seringkali kurang mengenali gejala gejala yang terjadi dan memiliki persepsi yang kurang terhadap berat ringannya gejala, terutama pada asma yang lama terjadi. Penilaian gejala seperti dyspnea dan wheezing oleh dokter juga dapat kurang akurat. Pengukuran fungsi paru dapat menyediakan pengukuran berat ringannya keterbatasan aliran udara, reversibilitasnya, dan variabilitasnya dan juga konfirmasi diagnosis asma. Walaupun pengukuran ini tidak berkorelasi kuat dengan gejala atau pengukuran lain untuk mengontrol asma, perngukuran ini memberikan informasi mengenai aspek lain dalam pengontrolan asma. Beberapa metode digunakan untuk menilai keterbatasan aliran udara, anmun ada 2 metode yang dapat diterapkan pada pasien usia 5 tahun ke atas yaitu dengan pengukuran FEV1 (forced expiratory volume dalam 1 detik) dan FVC (forced vital capacity) serta pengukuran PEF (peak expiratory volume). Istilah reversibilitas dan variabilitas merujuk pada perubahan gejala yang terjadi seiring dengan perubahan keterbatasan aliran udara yang terjadi secara spontan ataupun sebagai respon terapi. Reversibilitas diaplikasikan secara umum sebagai peningkatan FEV1 (atau PEF) yang cepat, dalam hitungan menit, setelah inhalasi bronchodilator kerja cepat atau kemajuan yang bertahap selama beberapa hari ataupun minggu setelah diberikan controller seperti glukokortikoid inhalasi.

10

Variabilitas merujuk pada perkembangan ataupun perburukan gejala dan fungsi paru dalam jangka waktu tertentu. Variabilitas dapat terjadi dalam 1 hari (diurnal), hari ke hari, bulan ke bulan, ataupun musiman. Mendapatkan riwayat variabilitas merupakan komponen penting dalam diagnosis asma. Variabilitas merupakan bagian dari peniliaian dalam pengontrolan asma. Spirometri direkomendasikan sebagai metode untuk mengukur keterbatasan aliran udara dan reversibilitas untuk menegakkan diagnosis asma. Derajat reversibilitas pada FEV1 yang mengindikasikan diagnosis asma yaitu > 12% dan > 200 ml dari nilai pre-bronkhodilator. Reversibilitas seringkali tidak ditemukan pada pasien asma sehingga kadang diperlukan beberapa kali test. Pada penilaiand dengan spirometri diperlukan penjelasan pada pasien untuk melakukan forced expiratory maneuver dan hasil yang diambil adalah hasil tertinggi dari 3 kali penilaian. Nilai spirometri berbeda pada etnis yang berbeda sehingga diperlukan pengukuran rasio FEV1 dan FVC. Nilai normal rasio FEV1/FVC adalah lebih dari 0,75 0,80 pada dewasa dan > 0,90 pada anak anak. Nilai yang lebih rendah mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara. Pengukuran Peak Expiratory Flow dilakukan menggunakan peak flow meter dan merupakan alat yang penting untuk diagnosis dan monitoring asma. Walaupun spirometri merupakan metode yang lebih sering dipilih untuk mendokumentasikan keterbatasan aliran udara, peningkatan 60L/menit (> 20% prebronkhodilator PEF) setelah inhalasi bronchodilator ataupun variasi diurnal PEF > 20% (dengan 2 kali pembacaan dalam 1 hari, > 10%) menegakkan diagnosis asma. Selain itu PEF dapat pula untuk mengidentifikasi penyebab gejala asma dengan pengukuran PEF setiap hari atau setelah terpapar faktor resioko atau selama olah raga atau aktivitas lain yang dapat mencetuskan asma, dan pada saat periode tidak terpapar. Pengukuran Responsivitas Jalan Nafas. Untuk pasien dengan gejala yang konsisten dengan asma namun dengan fungsi paru normal, perlu dilakukan pengukuran responsivitas jalan nafas dengan direct airway challeng seperti methacholine inhalasi dan histamine atau indirect airway challenge seperti mannitol inhalasi ataupun challenge dengan olah raga. Pengukuran ini merefleksikan sensitivitas jalan nafas terhadap faktor yang dapat menyebabkan gejala asma, dan kadang kadang disebut trigger atau pencetus dan hasil tes biasanya diekspresikan sebagai dosis/konsentrasi provokatif mengakibatkan penurunan FEV1 (biasanya 20). Test ini sensitif untuk asma namun memiliki spesifisitas yang rendah. Hal ini berarti hasil negative dapat mengekslusi diagnosis persisten asma pada pasien yang tidak mendapatkan inhalasi glukosotikoid namun hasil positif tidak selalu berarti pasien memiliki asma. Hal ini terjadi karena hiperresponsif juga rejadi pada rhinitis alergi dan keterbatasan aliran udara lain seperti pada fibrosis kistik, bronkiektasis, dan PPOK. Marker Non Invasif pada Inflamasi Jalan Nafas Evaluasi inflamasi jalan nafas yang berhubungan dengan asma dapat dilakukan dengan penilaian sputum yang diinduksi oleh larutan garam hipertonis ataupun sputum spontan untuk melihat adanya inflamasi eosinofil atau neutrofil. Selain itu, kadar nitric oksida (FeNO) dan karbon monoksida (FeCO) merupakan marker non invasive inflamasi jalan anfas pada asma. Kadar FeNO meningkat pada asma (yang tidak menggunakan glukokortikoid inhalasi) namun tidak spesifik untuk asma. Pengukuran eosinofilia pada sputum dan FeNO berguna untuk menentukan terapi yang optimal.

11

Penilaian Status Alergi Karena hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi, adanya alergi, penyakit alergi dan rhinitis alergi meningkatkan probabilitas diagnosis asma pada pasien dengan gejala respiraoti. Adanya alergi pada pasien asma (tes kulit dengan allergen atau IgE serum) dapat membantu identifikasi faktor resiko yang mengakibatkan gejala asma. Diagnostic challenge dan diagnosis banding Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat dengan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel dan variabel (spirometri) dapat mengkonfirmasi diagnosis asma. Kategori berikut ini perlu juga dipikirkan, yaitu : Sindrom hiperventilasi atau serangan panik Obstruksi jalan nafas atas dan benda asing yang terinhalasi Disfungsi pita suara Bentuk lain penyakit paru obstruktif Penyakit paru non obstruktif seperti penyakit parenkim paru Gejala yang tidak disebabkan oleh pernafasan seperti gagal jantung kiri

Orang tua Asma yang tidak terdiagnosis seringkali merupakan gejala pernafasan padan orang tua dan adanya komorbid memperberat diagnosis. Mengi, sesak nagas dan batuk karena gagal jantung kiri seringkali disebut sebagai cardiac asma. Peningkatan gejala dengan olah raga dan saat malam hari dapat mengakibatkan kebingungan dalam diagnosis apakah asma atau gagal jantung kiri. Penggunaan beta blocker sering ditemukan pada kelompok usia ini. Namun anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat serta EKG dapat memudahkan diagnosis. Pada orang tua, sulit untuk membedakan asma dengan PPOK dan memerlukan percobaan pengobatan dengan bronkodilator ataupun glukokortikoid. Asma Okupasional Seringkali diagnosis asma okupasional terlewat , karena onsetnya yang mendadak seringkali didiagnosa sebagai bronchitis kronis ataupun PPOK. Adanya gejala baru rhinitis, batuk, dan atau mengi terutama pada orang yang tidak merokok perlu dicurigai. Deteksi asma okupasional ini memerlukan adanya riwayat paparan sensitizing agent, tidak adanya gejala asma sebelum bekerja,atau adanya perburukan asma setelah bekerja. Karena penatalaksanaan asma ini memerlukan penggantian pekerjaan, dan memperngaruhi sosioekonomi, diagnosis harus objektif dan memerlukan te provokasi bronchial. Selain itu dapat juga menggunakan monitor PEF setidaknya 4X dalam 1 hari selama 2 minggu saat bekerja dan saat tidak bekerja. Menyingkirkan Asma dengan PPOK PPOK memiliki cirri khas yaitu keterbatasan aliran udara yang tidak reversibel dan biasanya progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi abnormal terhadap partikel atau gas tertentu. Namun individu asma yang terpapar gas seperti rokok dapat juga berkembang menjadi keterbatasan aliran udara yang menetap seperti PPOK. Dan bila telah terjadi hal ini, akan sulit dibedakan dengan asma. 12

VI. Etiologi

Klasifikasi Asma

Banyak yang mengklasifikasikan asma berdasarkan etiologi, terutama sensitizing agents di lingkungan. Namun klasifikasi ini terbatas pada asma tanpa penyabab lingkungan. Berat Ringannya Asma Klasifikasi asma menurut GINA berdasarkan berat ringannya gejala, keterbatasan aliran udara, dan variabilitas fungsi paru, yaitu : intermitten, mild persistent, atau severe persistent. Klasifikasi ini berguna untuk penatalaksanaan saat penilaian pasien.

Kontrol Asma Kontrol asma dapat didefinisikan dalam beberapa cara. Secara umum, istilah control mengindikasikan adanya pencegahan penyakit maupun penyembuhan. Walaupun demikian, pada asma istilah ini berarti adanya kontrol terhadap manifestasi penyakit dan juga abnormalitas fungsi paru. karakteristik Terkontrol (semua) Tidak ada (<2/minggu) Tidak ada Sebagian terkontrol Tidak terkontrol (beberapa gejala muncul beberapa minggu) >2 x/minggu > 3 gejala sebagian terkontrol pada Ada 13

Gejala di siang hari Keterbatasan aktivitas

Gejala nocturnal / terbangun Perlunya reliever/pengobatan segera Fungsi paru (PEF atau FEV1) eksaserbasi

Tidak ada Tidak ada (<2x/minggu)

ada >2x/minggu

beberapa minggu

Normal Tidak ada

< 80% < 1 / tahun 1 dalam minggu beberapa

VII.

Pengobatan Asma

Tujuan pengobatan asma adalah mencapai dan mempertahankan kontrol secara klinis. Pengobatan asma dapat diklasifikasikan sebagai controller dan reliever. Controller adalah pengobatan yang dilakukan setiap hari guna mencegah munculnya gejala asma melalui efek antiinflamasinya. Obat-obatan tersebut meliputi glukokortikosteroid inhalasi dan sistemis, leukotrienemodifier , long-acting 2 agonis,sustained-release teophylline ,cromones, anti-IgE, dan systemic steroid-sparing lainnya. Reliever merupakan pengobatan yang digunakan untuk mengatasi bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala secara cepat. Obat-obatan reliever meliputi rapid-acting 2 agonis, antikolinergik inhalasi, short acting oral 2 agonis. Untuk mencapai tujuan ini, 4 komponen terapi diperlukan, yaitu : 1. 2. 3. 4. Mengembangkan hubungan pasien dan dokter yang baik Mengidentifikasi dan menurunkan paparan terhadap faktor resiko Menilai, mengobatai, dan memonitor asma Menangani eksaserbasi asma

Komponen 1 : Mengembangkan Hubungan Doktor/Pasien Penanganan yang efektif terhadap asma memerlukan hubungan antara pasien dengan dokter yang baik sehingga dengan bantuan kita, pasien dapat belajar untuk : Mencegah faktor resiko Meminum obat dengan benar Mengerti perbedaan antara controller dan reliever Mengenali tanda asma yang memburuk dan mengambil tindakan Mencari pertolongan medis bila diperlukan

Edukasi harus merupakan bagian yang terintegrasi dengan semua interaksi antara dokter dan pasien. Dengan menggunakan metode yang bervariasi, diharapkan pasien dapat mendapatkan pesan edukasi tentang penyakitnya. Komponen 2 : Mengidentifikasi dan Menurunkan Paparan terhadap Resiko 14

Untuk mengontrol asma and menurunkan medikasi yang diperlukan, paparan terhadap resiko juga harus diturunkan. Namun ada beberapa faktor resiko yang tidak bisa dihindari oleh pasien sehingga medikasi untuk mengontrol asma dibutuhkan. Aktivitas fisik dapat menjadi pencetus gejala asma namun pasien tidak boleh menghindari aktivitas fisik. Gejala dapat dicegah dengan menggunakan 2 agonist inhalasi kerja cepat sebelum olah raga.Pasien dengan asma sedang hingga berat dapat dianjurkan untuk divaksin terhadap influenza setiap tahun.

Komponen 3 : Menilai, Mengobati, dan Memonitor Asma Menilai kontrol asma merupakan tindakan yang penting untuk menentukan pengobatan yang akan kita berikan. Setelah menilai status kontrol asma pada pasien, pengobatan yang diberikan meliputi reliever untuk menangani gejala akut yang terjadi dan controller, untuk menjaga gejala dan serangan terjadi.Untuk sebagian besar pasien yang baru didiagnosis, pengobatan biasanya dimulai pada step 2 (atau bila gejala sangat berat, step 3). Bila asma tidak terkontrol dengan regimen yang diberikan, dapat dinaikkan stepnya. Pasien yang tidak bisa dikontrol asmanya dengan step 4 dapat dipikirkan sebagai asma yang sulit diobati. Pada pasien ini dapat dilakukan kontrol yang sebisa mungkin dengan sedikit pembatasan terhadap aktivitas fisik sehari hari. Pengobatan inhalasi lebih dipilih karena penghantaran obat yang langsung ke jalan nafas sehingga dapat mencapai efek terapi dengan efek samping yang minimal. Penggunaan inhaler juga harus diajarkan kepada pasien sehingga pasien dapat mengontrol asmanya dengan baik. Terapi yang tidak direkomendasikan untuk serangan asma, yaitu :

15

Sedatif Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk) Fisioterapi dada (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien) Hidrasi dengan volume yang besar Antibiotic (kecuali ada tanda tanda infeksi seperti pneumonia atau sinusitis) Epinefrin / adrenalin

16

Komponen 4 : mengatasi eksaserbasi Eksaserbasi asma (serangan asma) merupakan episode peningkatan sesak nafas yang progresif, batuk, mengi, atau chest tightness atau kombinasi dari gejala gejala ini. Asma berat dapat mengancam jiwa sehingga penanganannya harus diperhatikan dengan baik. Pasien dengan resiko tinggi asma yang berhubungan dengan kematian memerlukan perhatian yang lebih dan

17

harus dipacu untuk mencari pertolongan bila terjadi serangan. Pasien pasien tersebut di antaranya adalah pasien : Dengan riwayat asma yang fatal sehingga memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik Yang dirawat atau datang ke UGD karena asma dalam 1 tahun terakhir Yang sekarang sedang menggunakan atau baru berhenti menggunakan glukokortikoid oral Yang sedang tidak menggunakan inhalasi glukokortikoid Yang bergantung secara berlebihan terhadap 2 agonist inhalasi kerja cepat terutama yang menggunakan lebih dari 1 tabung salbutamol setiap bulannya Dengan riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial terutama pengguna sedative Dengan riwayat kepatuhan yang kurang terhadap pengobatan asma

Pasien harus segera mencari pertolongan medis bila : Serangan yang terjadi berat : - Pasien sesak saat beristirahat, membungkukkan badan ke depan, berbicara dalam beberapa kata, agitasi, bingung, bradikardia, atau pernafasan > 30 x/menit. - Mengi keras ataupun tidak ada - Nadi lebih dari 120 x/menit - PEF kurang dari 60% nilai yang diprediksi, walaupun telah diterapi inisial - Pasien kelelahan Respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator inisial tidak berhasil dan masih berlangsung setidaknya 3 jam Tidak ada kemajuan dalam 2 6 jam setelah meminum glukokortikoid oral Terjadi perburukan

Serangan asma memerlukan pengobatan yang tepat : 2 agonist inhalasi kerja cepat (dimulai dengan 2 4 puff setiap 20 menit untuk 1 jam pertama, serangan ringan 2 4 puff setiap 3 4 jam, dan serangan sedang 6 10 puff setiap 1 2 jam) Glukokortikoid oral (0,5 1,0 mg prednisolon / kgBB selama 24 jam) pada serangan sedang dan berat untuk mengurangi inflamasi dan mempercepat penyambuhan Oksigen diberikan bila saturasi O2 kurang dari 95% Kombinasi 2 agonist dengan antikolinergik berhubungan dengan angka perawatan di rumah sakit yang lebih rendah dan perkembangan PEV dan FEV1 yang lebih baik. Methylxanthine tidak direkomendasikan bila digunakan bersama dengan 2 agonist inhalasi. Walaupun demikian, teofilin dapat digunakan bila 2 agonist inhalasi tidak tersedia. Bila pasien mengkonsumsi teofilin, konsentrasi serum harus diukur sebelum menambahkan teofilin kerja cepat.

18

19

20

Monitor Respon Terapi Evaluasi gejala dan peak flow diperlukan untuk memonitor respon terapi. Pada setting rumah sakit, dapat dilakukan pengukuran saturasi oksigen. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai hipoventilasi, kelelahan, distress yang berat, atau PEF diprediksi 30 50%. Follow Up : Setelah eksaserbasi ditangani, penyebab serangan perlu diidentifikasi dan perlu ditetapkan strategi untuk mencegah serangan dan menentukan pengobatan pada pasien.

21

Daftar Pustaka Global Initiative For Asthma. 2008. Pocket Guide For Asthma Management and Prevention. Medical Communication Resources, Inc. Global Initiative For Asthma. 2008. Global Strategy For Asthma Management And Prevention. Medical Communication Resources, Inc.

22

23

You might also like